Anda di halaman 1dari 19

TUGAS METODOLOGI KEBIDANAN

Nama Dosen : Dr. Ma’mun Sutisna,Drs.,S.Sos.,M.Pd


Nama Mahasiswa : Ai Tita Rosita
No. Induk : 4007200004

*Permasalahan Asuhan atau Pelayanan Kebidanan dan upaya yang telah dilakukan
terhadap permasalahan tersebut diantaranya :
1. Tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi masih terus menjadi perhatian yang
sangat besar bagi pemerintah karena penurunan AKI dan AKB merupakan salah satu
indicator pembangunan sebuah bangsa. Ujung tombak penurunan kematian ibu (AKI)
adalah tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah bidan. Bidan adalah seorang perempuan
yang lulus dari pendidikan bidan yang teraktreditasi, memenuhi kualifikasi untuk
didaftarkan, disertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk praktek kebidanan.
Bidan diakui sebagai seorang profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel,
bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, informasi berdasarkan bukti,
asuhan dan nasihat yang diperlukan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas,
memfasilitasi kelahiran atas tanggungjawabnya sendiri serta memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan anak. Salah satu factor yang sangat mempengaruhi
terjadinya kematian ibu dan bayi adalah factor pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan keteranpilan tenaga kesehatan sebagai penolong pertama pada
persalinan tersebut, dimana setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga
kesehatan terlatih. Namun sayangnya sampai saat ini di wilayah Indonesia masih
banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi yang masih
mengggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak peluang merugikan dan
membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di beberapa daerah, keberadaan
dukun bayi sebagai orang kepercayaan dalam menolong persalinan, sosok yang
dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Keberadaan nya
berbeda dengan keberadaan bidan yang rata-rata masih muda dan belum seluruhnya
mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Upaya yang telah di lakukan terhadap permasalahan tersebut :
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya
dengan menyelenggarakan kegiatan yang saling menguntungkan antara bidan dan
dukun bayi, dengan harapan pertolongan persalinan akan berpindah dari dukun bayi ke
bidan. Dengan demikian, kematian ibu dan bayi diharapkan dapat diturunkan dengan
mengurangi resiko yang mungkin terjadi bila persalinan tidak ditolong oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dengan menggunakan kemitraan bidan dan dukun. Dalam
pola ini kemitraan bidan dengan dukun sebagai elemen masyarakat yang ada dilibatkan
sebagai unsur untuk dapat memberikan dukungan kesuksesan kegiata nini.
Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) perlu peningkatan standar dalam
menjaga mutu pelayanan kebidanan. Untuk itu, pelayanan kebidanan harus
mengupayakan peningkatan mutu dan member pelayanan sesuai standar yang
mengacu pada semua persyaratan kualitas pelayanan dan peralatan agar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Demi memenuhi pelayanan berkualitas, pemerintah mewajibkan bidan untuk
tinggal di desa selama setahun. Kebijakan dari pemerintah ini tidak bertahan lama
karena pada tahun 2008 dilaporkan sangat sedikit petugas kesehatan/bidan yang
mampu bertahan mau tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Beberapa factor
pemicunya ialah karena miskin, prospek untuk kemajuan karir dan pekerjaan yang buruk
serta tidak adanya prospek pendidikan bagi keluarga mereka. Untuk mengatasi
masalah tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Nigeria meluncurkan program MSS.
MSS adalah inisiatif bersama antara tiga tingkatan pemerintah di Nigeria yang bertugas
memobiliasi bidan, termasuk bidan yang masih menganggur dan pension untuk bekerja
di daerah yang kurang terlayani. Sejak diluncurkan hingga bulan Juli 2010, program ini
telah melibatkan 2.622 bidan yang dipekerjakan di fasilitas perawatan kesehatan primer
di daerah pedesaan.
Pendidikan bidan sebagian besar berada di bawah standar ICM, ICM
merekomendasikan minimum teori 40% dan minimum 50% praktek. Rumah sakit dan
klinik terutama di daerah pedesaan kekurangan alat dan fasilitas untuk berlatih asuhan
kebidanan yang mengarah kekurangan perawatan berbasis bukti dan kemampuan untuk
berlatih keterampilan yang diperoleh. ICM merekomendasikan bidan
perlu refreshing ilmu melalui pelatihan yang upto-date dan berlatih terus-menerus jika
menemukan kasus yang belum pernah dialami. Pelatihan, kualitas control dan
pengawasan sangat penting untuk menghasilkan bidan yang berkualitas untuk
peningkatan derajat kesehatan.
Oleh: Armiatin, SE.,MPH.
Sumber:
Oyetunde et al., Quality Issuses in Midwifery: A Critical Analysis of Midwifery in Nigeria
Within The Context of The International Confederation of Midwives (ICM)
Global Standards. Academic Journals. Vol. 6(3), pp. 40-48, July 2014.
2. Gizi Pada Ibu hamil dengan Kekurangan Energi Kronik (KEK)
Penatalaksanaan ibu hamil dengan dengan KEK menurut Depkes RI (2012) yaitu
dengan cara penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dimana PMT
yang dimaksudkan adalah berupa makanan tambahan bukan sebagai pengganti
makanan utama sehari hari. Makanan tambahan pemulihan ibu hamil dengan KEK
adalah makanan bergizi yang diperuntukan bagi ibu hamil sebagai makanan tambahan
untuk pemulihan gizi, mkanan tambahan ibu hamil diutamakan berupa sumber protein
hewani maupun nabati misalnya seperti ikan, telur, daging, ayam, kacang-kacangan
dan hasil olahan seperti temped an tahu. Makanan tambahan diberikan sekali sehari
selama 90 hari berturutturut, berbasis makanan lokal dapat diberikan makanan keluarga
atau makanan kudapan lainnya.
Adapun upaya atau penatalakasanaan ibu hamil dengan kekurangan energi kronis
menurut para ahli lainnya, yaitu :
a. Memberikan penyuluhan dan melaksanakan nasehat atau anjuran.
1) Tambahan Makanan Makanan pada ibu hamil sangat penting, karena makanan
merupakan sumber gizi yang dibutuhkan ibu hamil untuk perkembangan janin
dan tubuhnya sendiri (Notoadmojo, 2008).
Tabel 2.1 Makanan Tambahan Pada Ibu Hamil
Bahan Porsi Hidangan
Jenis Hidangan
Makanan Sehari
Nasi 6 porsi Makan pagi
Sayuran 3 mangkok Nasi, 1,5 porsi (150gr)
Buah 4 potong Ikan/daging 1 potong sedang
(40gr)
Tempe 3 potong Sayur 1 mangkok
Daging 3 potong Buah 1 potong
Susu 2 gelas Selingan
Minyak 5 sendok teh Selingan
Gula 2 sendok teh Susu 1 gelas dan buah 1 potong
sedang.
Makan siang :
Nasi 3 porsi (300gr)
Lauk, sayur dan buah sama
dengan pagi.
Selingan :
Susu 1 gelas dan buah 1 potong
sedang
Makan malam :
Nasi 2,5 porsi (250gr)
Lauk, buah dan sayur sama
dengan pagi/siang
Selingan :
Susu 1 gelas
2) Istirahat lebih banyak Ibu hamil sebaiknya menghemat tenaga dengan cara
mengurangi kegiatan yang melelahkan siang 4 jam/hari, malam 8 jam/hari
(Wiryo, 2012).
b. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) PMT yaitu pemberian tambahan makanan
disamping makanan yang dimakan sehari-hari untuk mencegah kekurangan energi
kronis (Chinue, 2010).Pemberian PMT untuk memenuhi kalori dan protein, serta
variasi menu dalam bentuk makanan. Pemenuhan kalori yang harus diberikan
dalam program PMT untuk ibu hamil dengan Kekurangan Energi Kronis sebesar
600-700 kalori dan protein 15-20 mg (Nurpudji, 2011).
1) Contoh makanan antara lain :
a) Susu ibu hamil
b) Makanan tinggi protein, contoh susu, roti dan biji-bijian.
c) Buah dan sayur yang kaya vitamin C
d) Sayuran berwarna hijau tua, buah dan sayuran lainnya
(Sandjaja, 2014).
2) Cara mengolah makanan menurut Proverawati (2011)
a) Jangan terlalu lama menyimpan makanan
b) Sayuran segara dihabiskan setelah diolah
c) Susu sebaiknya jangan terlalu lama terkena cahaya karena dapat
menyebabkan hilangnya vitamin B.
d) Jangan memberi garam pada ikan atau daging sebelum dimasak
e) Makanan yang mengandung protein lebih baik dimasak jangan terlalu panas
3) Apabila terjadi atau timbul masalah medis, maka hal yang perlu dilakukan
(Saifuddin,2013) adalah :
a) Rujuk untuk konsultasi
b) Perencanaan sasuai kondisi ibu hamil
c) Minum tablet zat besi atau tambah darah. Ibu hamil setiap hari harus minum
satu tablet tambah darah (60 mg) selama 90 hari mulai minggu ke-20.
c. Periksa kehamilan secara teratur. Setiap wanita hamil mengadapi komplikasi yang
bisa mengancam jiwanya.Ibu hamil sebaiknya memeriksakan kehamilannya secara
teratur kepada tenaga kesehatan agar resiko pada waktu melahirkan dapat
dikurangi. Pelayanan prenatal yang dilakukan adalah minimal Antenatal Care 4 kali
dengan ditambah kunjungan rumah bila ada komplikasi oleh bidan.
Sumber :
Apriliani Ririn. 2019. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Ny”N” dengan Kekurangan
Energi Kronik Di Puskesmas Tanjung Karang. Laporan Tugas Akhir.
Universitas Muhammadiyah Mataram. Prodi DIII Kebidanan. Fakultas
Ilmu Kesehatan. Mataram

3. Pertolongan Persalinan yang Kurang Aman


Dari hasil penelitian melaui wawancara di Wilayah Kerja Puskesmas Wakaokili
Kabupaten Buton dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar informan tidak
mengetahui keberadaan bidan didesanya. Hal ini dikarenakan mereka jarang
berkomunikasi dengan bidan di desanya karena bidan tidak tinggal dan menetap di
desa sehingga hanya turun ke lapangan saat posyandu setiap bulan. Namun demikian
mereka mengetahui tugas dan manfaat bersalin dibidan, walaupun kenyataannya ada
diantara mereka yang belum pernah bertemu dan diperiksa oleh bidan.
Selain itu menilik dari jawaban informan dapat dikatakan bahwa pengetahuan
mereka adalah murni dari pengalaman, baik itu pengalaman pribadi maupun
pengalaman orang disekitarnya. Hal ini dapat jelaskan karena sebagian besar dari
informan adalah petani yang sehari ± hari menghabiskan waktu di kebun, jarang
bertemu dan menggunakan jasa bidan didesanya, dan juga umumnya mereka
berpendidikan rendah sehingga kemungkinan untuk memperoleh informasi kesehatan
sangat kecil. Hal ini di juga didukung hasil observasi dilapangan bahwa sebagian besar
informan adalah warga miskin yang tidak memiliki sarana komunikasi seperti televisi
sehingga praktis informasi yang didapat hanya dari cerita tetangga.
Sikap dan Pandangan Terhadap Pemerikasaan Kehamilan
Pada prinsipnya baik kaum ibu maupun suami setuju pemeriksaan kehamilan pada
bidan karena dirasakan banyak memberi manfaat dilihat dari sisi kesehatan ibu dan bayi
serta dari sisi ekonomis sangat terjangkau karena tidak dipungut biaya. Tetapi disisi
lain, kaum ibu juga mengatakan bahwa pemeriksaan pada dukun juga diperlukan
karena adanya kemampuan dukun yang tidak dimiliki oleh bidan yakni pijat (urut) dan
kemampuan dalam melafalkan doa-doa untuk mempercepat / memperlancar proses
persalinan. Ketika ditanya tempat bersalin dan siapa yang sebaiknya menolong
persalinan, sebagian besar dari mereka menjawabnya sebaiknya persalinan dilakukan
di rumah dengan dukun sebagai penolong persalinan, terkecuali pasangan suami istri
dari desa Sandang Pangan yang berpendapat pertolongan persalinan sebaiknya
dilakukan sendiri di rumah didampingi suami karena suami memiliki kemampuan doa-
doa.
Praktek Pemanfaatan Layanan Persalinan Tenaga Kesehatan
Dari hasil wawancara baik pada informan ibu maupun informan suami, ditemukan
bahwa sebagian besar bulin di tiga desa yakni Wakaokili, Waangu ± Angu dan Hendea
memeriksakan kandungannya pada dukun dan bidan pada saat hamil anak terakhir.
Menurut mereka, pemeriksaan kehamilan pada bidan rutin dilakukan setiap bulan di
posyandu dengan tujuan untuk mengetahui keadaan janin serta untuk mengukur
tekanan darah, meminta obat dan vitamin. Adapun periksa pada dukun dilakukan begitu
terlambat datang bulan untuk memastikan kehamilan dan untuk pijat (urut).
Ketersediaan dan Keterjangkauan Layanan Persalinan Tenaga Kesehatan
Dari hasil wawancara diketahui bahwa posyandu yang berada di tiap desa adalah
tempat layanan kesehatan yang paling sering dikunjungi ibu hamil dalam rangka
memeriksan kehamilan. Hal ini juga didukung kemudahan dari sisi jarak dan biaya,
dimana untuk periksa hamil tidak dipungut biaya (gratis). Selain itu seluruh informan
menilai bahwa fasilitas layanan kesehatan berada dekat tempat tinggal mereka
sehingga mudah dijangkau, walaupun ada diantara mereka yang belum pernah
menggunakannya, misalnya pasangan bulin keluarga dari desa Sandang Pangan,
alasannya karena tidak punya biaya dan merasa jarang sakit, kalaupun sakit mereka
hanya mengobati menggunakan air doa dari dukun atau yang dibuat sendiri oleh suami.
Hasil Wawancara Dengan Tokoh Masyarakat (Toma) ,Tokoh Agama (Toga) dan
Kader Kesehatan
Hasil wawancara dari aspek pengetahuan dapat katakan bahwa sebagian besar para
tokoh ini memiliki pemahaman yang baik tentang persalinan tenaga kesehatan. Untuk
aspek sikap atau pandangan tentang kehamilan dan persalinan seluruh informan
berpendapat sebaiknya ibu hamil diperiksa oleh bidan dan dukun, dengan alasan bidan
dari segi obat ± obatan dan dukun untuk pijat. Demikian juga pendapat tentang
penolong persalinan, hampir seluruh informan berpendapat sebaiknya ditolong bidan
dan dukun, karena mengingat dukun adalah penolong tradisional yang selama ini
menolong persalinan di desa mereka serta bidan dari sisi modern. Pada aspek sikap
tentang bidan sebagai penolong yang paling aman, seluruh informan setuju bahwa
bidan yang paling aman karena bidan memiliki pengetahuan, obat dan alat yang
lengkap. Terkait dengan pertanyaan tentang kelebihan bidan, seluruh informan
mengatakan karena bidan memiliki kemampuan teknis serta obat ± obatan sedangkan
kelebihan dukun lebih karena alasan non teknis yaitu satu bahasa, satu budaya dan
juga karena faktor kebiasaan. Sementara para bidan di Wakaokili adalah bukan warga
asli desa Wakaokili dan umumnya masih berusia muda yakni 30 ± 40 tahun.
Dukungan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Kader Kesehatan Terhadap
Peningkatan Pemanfaatan layanan Persalinan Tenaga Kesehatan
Para Tokoh masyarakat ini mendukung sepenuhnya agar masyarakat mau bersalin
pada bidan, tetapi tanpa mengabaikan peran dukun yang selama ini berjasa menolong
persalinan di desa. Oleh karena itu pada setiap kesempatan mereka selalu
menghimbau agar ibu hamil dan bersalin untuk memanggil dukun dan bidan. Selain itu
bila anda kesempatan bertemu dengan Kepala Daerah mereka selalu meminta
tambahan tenaga kesehatan terutama tenaga bidan khususnya di desa Hendea, karena
sejak 2 tahun terakhir pustu di desa Hendea tidak aktif, dan sampai saat ini belum
ditindaklanjuti.
Kebutuhan Terhadap Layanan Persalinan
Hasil wawancara diketahui masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Wakaokili
menginginkan dukun sebagai penolong persalinan dengan berbagai alasan yang
melatar belakangi seperti kedekatan pribadi dan juga hal obyektif seperti kemudahan
untuk dijangkau. Pada sisi lain bidan umumnya belum dikenal karena tidak tinggal dan
menetap di desa dan juga bukan penduduk asli Wakaokili. Hasil ini juga sesuai dengan
pendapat bidan dan kepala puskesmas yang mengatakan bahwa masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Wakaokili lebih memilih dukun sebagai penolong persalinan.
Kesimpulan :
Hasil penelitian Dwilaksono dan Hidayati (2007) di Pamekasan Madura, diketahui
bahwa lebih dari 50% ibu menginginkan dukun sebagai penolong persalinan dengan
alasan sudah kenal dekat dan sudah berpengalaman. Penelitian ini juga menemukan
bahwa faktor yang mempengaruhi need terhadap pertolongan persalinan adalah
adanya sikap dan keyakinan terhadap dukun. (Dwilaksono dan Hidayati, 2007)
Dari temuan diatas dapat disimpulkan peranan dukun dalam kehamilan dan
persalinan sangat besar, oleh karenanya akan sangat tepat jika dukun yang ada
diberdayakan dan ditingkatkan kemampuannya terutama dalam hal sterilisasi alat dan
tempat persalinan melalui program dukun latih agar hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang bersih dan aman dapat terpenuhi (Anggorodi, 2009).
Sumber :
Yusnita Ira. 2015. Analisis Rendahnya Pemanfaatan Layanan Persalinan Tenaga
Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Wakaokili Kabupaten Buton. Jurnal
Manajemen Kesehatan Indonesia Volume 03 No. 1. Media.neliti.com diakses
pada 15 Januari 2021 14:11

4. ASI Eksklusif
Perilaku ibu dalam mengatasi kondisi fisiologis payudara saat menyusui
Berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang ditemui saat menyusui dan
cara mengatasinya. Sebagian besar informan memiliki permasalahan yang sama yaitu
mengalami bengkak pada payudara dan sering kali puting lecet. Walaupun demikian
informan utama tetap memberikan ASInya kepada bayi mereka. Berikut salah satu
kutipan jawaban informan. “Kira-kira satu minggu setelah melahirkan tetenya bengkak
terus kata ibu suruh dikompres pake air anget” (Informan Df)
“Kalo saya mah suka lecet putingnya, paling ya didiemin aja karena waktu itu tu
kalo ga salah sembuh sendiri deh, oya ada yang bilangin juga kalo putingnya lecet
suruh diolesi sama air susu ibunya sendiri jadi tuh pas mau netein air susunya diolesin
kebagian yang lecetnya” (Informan Mf) Sedangkan berdasarkan hasil penelitian
wawancara mendalam dengan informan utama, terdapat satu informan utama yang
mengatakan bahwa permasalahan yang sering ditemui yaitu bayi sering mengeluarkan
kembali susu yang telah didapatkannya dari ASI maupun susu formula, istilah ini dikenal
dengan sebutan “gumoh‟. Dan satu informan lainnya mengatakan bahwa masalah yang
ditemui yaitu air susu keluar hanya dari salah satu payudaranya, sedangkan payudara
yang lainnya tidak menghasilkan susu. Berikut salah satu kutipan jawaban informan.
“Saya sih Alhamdulillah ya ga ada masalah, paling ya itu sih nih air susunya cuma
keluar dari tete sebelah kanan kalo sebelah kiri ga keluar, jadinya gede sebelah
gini.hehee..Tapi gapapa yang penting bayinya bisa menyusui. Buat ngatasin masalah
ini saya ga tau harus gimana, yang penting mah masih ada lah air susunya” (Informan
Iv).
Kesimpulan: Untuk terlaksananya pemberian ASI eksklusif diharapkan kondisi
fisiologis payudara ibu saat menyusui tidak menghambat pemberian ASI eksklusif dan
keluarga diharapkan memberi dukungan serta tidak memberikan saran kepada ibu
untuk memberikan makanan prelakteal kepada bayi di bawah usia 6 bulan.
Sumber :
Safitri Yeni. 2009. Perilaku Yang Menghambat Pemberian Asi Eksklusif Pada Ibu Di
Wilayah Kerja Puskesmas Cibeber. http://ejournal.litbang.kemkes.go.id.
diakses pada tanggal 15 januari 2021 09:46

5. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)


Komunikasi dalam Peng-implementasian Inisiasi Menyusu Dini di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang Berdasarkan penelitian diketahui bahwa ada beberapa tenaga
kesehatan yang belum mengetahui istilah dan kebijakan inisiasi menyusu dini. Hal ini
disebabkan karena latar belakang pendidikan yang bukan berasal dari bidang
kesehatan dan kurangnya inisiatif dalam mencari informasi karena sistem bottom up
yang berlaku di rumah sakit dimana kebijakan sebuah program dibuat berdasarkan
permintaan dari masing-masing bagian. “Belum tahu. Saya kan SMA mba, nggak
berpengalaman di bagian rumah sakit atau kesehatannya. Karena kita kan staf.” (T)
“Kalau itu saya belum tahu ya. Sedangkan beberapa tenaga kesehatan lainnya sudah
mengenal istilah inisiasi menyusu dini, baik mengenai langkahnya maupun manfaat
yang didapat melalui inisiasi menyusu dini. Hal ini karena mereka sudah mendapatkan
materi mengenai inisiasi menyusu dini sewaktu di bangku perkuliahan, selain itu juga
karena mereka mendapatkan informasi melalui berbagai media yang ada. Namun,
masih terdapat kekeliruan mengenai lamanya pelaksanaan inisiasi menyusu dini
dimana tenaga kesehatan hanya melakukan inisiasi menyusu dini selama 5-30 menit
dan apabila bayi belum menemukan puting ibunya maka tenaga kesehatan akan
membantu bayi untuk menyusu pada ibunya, padahal inisiasi menyusu dini wajib
dilakukan paling singkat selama 1 (satu) jam dan dilakukan dengan cara meletakkan
bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu.
Kesimpulan: Hambatan implementasi inisiasi menyusu dini di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang adalah komunikasi, struktur, sumber daya dan sikap.
Sumber :
Aisyah Erlita, dkk. 2014. Hambatan Implementasi Inisiasi Menyusu Dini Di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang. https://media.neliti.com/. Diakses pada tanggal
15 januari 2021 09:55

6. Post Partum
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 56 responden yang telah diteliti,
terdapat 19 orang ibu post partum (33,9%) mengalami post partum blues. Tabel 4
menggambarkan perbedaan kejadian post partum blues pada ibu post partum blues
dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya didukung oleh faktor karakteristik
responden. Penelitian Irawati dan Yuliani (2013) yang menunjukkan bahwa adanya
pengaruh faktor demografi (umur, paritas, pendidikan) terhadap terjadinya post partum
blues di ruang nifas RSUD R.A. Bosoeni Mojokerto. Penelitian yang dilakukan oleh
Irawati dan Yuliani (2013) menunjukkan bahwa ada pengaruh antara usia dengan
kejadian post partum blues (p=0,025). Menurut Bobak, Lowdermilk dan Jensen (2005),
faktor pencetus terjadinya post partum blues adalah pada usia remaja atau 35 tahun.
Post partum blues juga dapat terjadi baik pada ibu primipara maupun multipara.
Penelitian Machmudah (2008) menyatakan bahwa ada hubungan antara paritas dengan
kejadian post partum blues (p=0,000). Ibu multipara mempunyai pengalaman dalam hal
pengasuhan anaknya dan lebih siap secara psikologis, berbeda halnya dengan ibu
primipara yang sering merasa khawatir tentang perubahan bentuk tubuh, pencapaian
peran baru dan dukungan sosial (Hung, 2007).
Hal ini menunjukkan bahwa ibu primipara lebih berisiko untuk mengalami post
partum blues dibandingkan multipara. Penelitian yang dilakukan Reid dan Oliver (2007)
didapatkan bahwa yang mengalami post partum blues yaitu yang berpendidikan di
bawah SMA. Pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berpikir dan cara
pandang terhadap diri dan lingkungannya karena itu akan berbeda sikap responden
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah
dalam menyikapi proses selama persalinan sehingga pada pendidikan tinggi tidak
sering terjadi post partum blues (Latipun, 2001).
Selain itu, penelitian Dewi, Mariati dan Wahyuni (2011) yang menunjukkan bahwa
pemberian ASI pada bayi umur <10 hari berhubungan dengan gejala post partum blues.
Mezzacappa dan Endicott (2007) menyatakan bahwa metode pemberian makanan bayi
mempunyai pengaruh terhadap kejadian gejala post partum blues, dimana menyusui
dapat mengurangi risiko terjadinya gejala post partum blues dan sebaliknya. Hal ini
diperkuat dengan beberapa penelitian mengatakan bahwa menyusui ASI eksklusif telah
secara signifikan mengurangi gejala depresi daripada susu formula/susu botol
(Tammentie, et.al., 2002).
Sumber :
Miyansaski Andrew Umaya. Perbandingan Kejadian Post Partum Blues Pada Ibu Post
Partum Dengan Persalinan Normal Dan Sectio Caesarea. JOM PSIK VOL. 1
NO. 2 OKTOBER 2014. https://media.neliti.com/. Diakses pada tanggal 15
januari 2021 10:16

7. Anemia kehamilan
Data hasil penelitian terhadap ibu hamil penderita anemia, yang diperoleh dari salah
satu Rumah Sakit di Kabupaten Karawang berdasarkan jumlah pasien dan obat anemia
yang diresepkan. Data tersebut terdapat pada rekam medik pasien dari bulan Januari
2017-Desember 2017 .
Data Kuantitatif Berdasarkan Jumlah Pasien Data pasien berdasarkan jumlah pasien
terdiri atas kadar Hb, usia kehamilan, usia pasien, dan klasifikasi anemia

Gambar 1. Grafik Jumlah Ibu Hamil Penderita Anemia


Berdasarkan Kadar Hb
Dari hasil pengamatan jumlah penderita anemia berdasarkan kadar Hb paling banyak
ditemukan pada kadar Hb 10 – 11 g/dL yaitu 81 pasien (64,8%) untuk kadar Hb 8 – 10
sebanyak 38 pasien (30,4%) sedangkan paling sedikit ditemukan pada kadar Hb.
Gambar 2. Grafik Jumlah Ibu Hamil Penderita Anemia
Berdasarkan Usia (Tahun)
Hasil pengamatan berdasarkan kelompok usia, pada usia 20 – 35 tahun banyak
menderita anemia yaitu sebanyak 103 orang. Untuk usia kurang dari 19 tahun sebanyak
5 orang sedangkan untuk pasien dengan usia 36-40 tahun sebanyak 17 orang. Pada
usia 20 – 35 tahun merupakan usia dengan resiko tinggi terhadap terjadinya anemia
dibanding usia 36 – 40 meskipun tidak menutup kemungkinan telah menderita anemia
karena kurang beristirahat, kelelahan, dan faktor pendukung lainnya yang dapat
menyebabkan anemia. Usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia yaitu semakin
rendah usia ibu hamil maka maka semakin rendah kadar hemoglobinnya (Amirudin R,
2007).
Faktor usia merupakan faktor resiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur seorang
ibu berkaitan dengan alat reproduksi wanita umur reproduksi yang sehat dan aman
adalah umur 30 - 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal
emosinya cenderung labil mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami
keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan zat – zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun tekait
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering
menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat
berpengaruh terhadap kejadian anemia (Amirudin, 2014).
Gambar 3. Grafik Jumlah Ibu Hamil Penderita Anemia
Berdasarkan Usia Kehamilan (Trimester)
Hasil pengamatan berdasarkan usia kehamilan didapat pada kehamilan minggu ke
13 hingga minggu ke 28 ibu hamil yang menderita anemia sebanyak 51 orang atau
sekitar 40,8% sedangkan pada kehamilan 29 sampai minggu ke 40 yang menderita
anemia sebanyak 74 orang atau sekitar 59,2%. Pemeriksaan hemoglobin untuk
mendeteksi anemia dilakukan di triwulan pertama umur kehamilan (< 3 bulan) dan
triwulan ketiga umur kehamilan ( > 6 bulan). Pada pemeriksaan dan pengawasan
hemoglobin dapat dilakukan dengan metode sahli, dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan yaitu trimester I dan III (Proverawati A, 2011). Masa kehamilan terutama
trimester ke III merupakan masa kritis dimana kebutuhan akan zat besi meningkat.
Jika zat besi dalam darah kurang maka kadar hemoglobin akan menurun yang
mengakibatkan gangguan dan pertumbuhan janin. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa kadar Hb ibu hamil trimester akhir dan tingginya angka anemia pada trimester III
dapat mempengaruhi berat badan lahir (Ariyani, 2016). Kebutuhan zat besi ibu hamil
meningkat pada kehamilan trimester II dan III. Pada masa tersebut kebutuhan zat besi
tidak dapat diandalkan dari menu harian saja. Walaupun menu hariannya mengandung
zat besi yang cukup, ibu hamil tetap perlu tambahan tablet besi atau vitamin zat besi.
Zat besi bukan hanya untuk memelihara kehamilan. Ibu hamil yang kekurangan zat besi
dapat menimbulkan perdarahan setelah melahirkan, bahkan infeksi, kematian janin intra
uteri, cacat bawaan dan abortus (Rizky, 2017). Menginjak trimester kedua hingga
ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen
dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah
harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu
tambahan besi 300 – 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita
hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali (Ojofeitimi, 2008).
Berdasarkan klasifikasi anemia didapat hasil yaitu ibu hamil dengan anemia
defisiensi besi sebanyak 80 pasien (64 %) jumlah itu terbanyak dibanding dengan
anemia akibat pendarahan sebanyak 6 pasien (4,8 %), anemia megaloblastik sebanyak
39 pasien (31,2 %). Defisiensi besi memiliki persentase terbanyak yaitu 64% dari 125
pasien. Karena anemia yang sering terjadi yaitu anemia defisiensi besi dan anemia
megaloblastik. Menurut Charles (2010), wanita yang sering mengalami kehamilan dan
melahirkan akan banyak kehilangan zat besi, hal ini disebabkan selama kehamilan
wanita menggunakan cadangan besi yang ada dalam tubuhnya (Rizky, 2017).
Pada penelitian terhadap 125 pasien ibu hamil berdasarkan obat anemia yang
diresepkan menunjukkan bahwa nama obat yang sering digunakan yaitu tablet neo
tambah darah sebanyak 125 resep karena kebutuhan tablet tambah darah pada wanita
hamil yaitu rata-rata mendekati 800mg. Dari hasil penelitian pada obat anemia yang
diresepkan terbagi dari dua jenis obat yaitu obat generik dan obat paten. Berdasarkan
jenis obat yang diresepkan hanya terdapat obat generik saja yaitu 100% sedangkan
obat patennya tidak ada.
Setiap obat anemia mempunyai indikasi dan efek samping tersendiri. Kebanyakan
pasien memerlukan dua atau lebih obat anemia untuk mencapai target kadar Hb yang
diinginkan atau kadar Hb yang normal, begitu juga dengan dokter yang
mengkombinasikan obat untuk menghasilkan efek yang diinginkan, melengkapi terapi
danmenutupi efek samping yang tidak diinginkan. Dalam penelitian didapat beberapa
kombinasi obat anemia yang digunakan seperti tablet neo tambah darah + Folamil
genio® dan tablet Neo tambah darah+ Osfit DHA®, kombinasi paling banyak yaitu tablet
Neo tambah darah+ Folamil genio® sebanyak 98 resep (78,4%) dan paling sedikit tablet
neo tambah darah + Osfit DHA® yaitu 27 resep (21,6%). Saat ini program Nasional
menganjurkan kombinasi 60mg besi dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis
anemia (Linda, 2007).
Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan analisis tepat dosis berdasarkan
kriteria anemia ringan, sebanyak 38 orang (100 %) sudah sesuai dengan dosis yang
dianjurkan Depkes RI. Dosis untuk pengobatan anemia diberikan bila kadar HB < 11
pemberian tablet fe menjadi 2 tablet sehari (2 x 1 tablet) selama 90 hari masa
kehamilan sedangkan kadar Hb < 10 maka pemberian menjadi 3 tablet sehari (3 x 1
tablet) selama 90 hari masa kehamilan, untuk anemia berat bisa dilakukan transfusi
darah. Pemberian preparat tablet Fe (fero sulfat) 60 mg /hari dapat menaikan kadar Hb
sebanyak 1 g % perbulan.
Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg zat besi dan 50
nanogram asam folat untuk profilaksis anemia (Saifuddin, 2002). WHO
merekomendasikan ferro sulfat 320 mg (setara dengan 60 mg zat besi) 2 kali sehari
bagi semua ibu hamil. Jika Hb 8 g atau kurang pada salah satu kunjungan, tingkatkan
pemberian tablet besi menjadi 3 kali 1 tablet perhari selama kehamilan. Sedangkan
kebijaksanaan progran KIA pemberian tablet Fe ( 320 mg Fe sulfat dan 0,5 mg asam
folat ) untuk semua ibu hamil selama 90 hari. Jumlah tersebut sudah mencukupi
tambahan zat besi selama kehamilan yaitu 1000 mg (Depkes RI, 2016).
Kesimpulan : Dari hasil penelitian yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit Ibu dan
Anak Kabupaten Karawang menunjukan bahwa pola pengobatan anemia pada ibu
hamil yang diterapkan sudah sesuai dengan standar pengobatan anemia.
Sumber :
Deswatil Dytha Andri. 2019. Pola Pengobatan Anemia Pada Ibu Hamil di Salah Satu
Rumah Sakit Ibu dan Anak. Jurnal Family Edu Vol V No. 1. Ejournal.upi.edu.
diakses pada tanggal 15 Januari 2021 11:10
8. Kontrasepsi
-Hubungan antara umur dengan pemanfaatan pelayanan alat kontrasepsi KB
Bila di tinjau dari penggunaan kontrasepsi maka masa pencegahan kehamilan umur
35 tahun dianjurkan untuk memilih alat kontrasepsi yang disarankan yaitu IUD, implant,
suntikan, pil, dan kondom. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara umur dengan pemanfaatan pelayanana alat kontrasepsi KB pada pasangan usia
subur.
-Hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanana alat kontrasepsi
KB.
Pengetahuan merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan tentang suatu alat
kontrasepsi baik itu manfaat, efek samping, cara kerja maupun jenisnya akan teratur
dan taat atas aturan penggunaannya.Begitu pula sebaliknya orang yang tidak tahu
apapun tentang suatu alat kontrasepsi, lantas disuruh menggunakan, hal yang tidak
kemungkin besar akan terjadi adalah salah dalam penggunaannya dan tidak sesuai
aturan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara
pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan alat kontrasepsi.
Pasangan usai subur yang memiliki pengetahuan cukup akan memilih alat kontrasepsi
motode jangka panjang karena pengetahuan peserta KB lebih sering mendapat
informasi dari berbagai sumber seperti media sosial, elektronik, majalah dan
sebagainya dan lebih banyak memanfaatkan pelayanan alat kontrasepsi dan pasangan
usia subur yang tingkat pengetahuannya kurang sebagian besar menggunakan alat
kontrasepsi dan memanfaatkan yaitu 25 (62.5%), hal ini dikarenakan kurangnya
pengetahuan tentang kontrasepsi terbatas dan hanya pada alat kontrasepsi yang
digunakan pada pasangan usia subur.
Sedangkan pasangan usia subur yang memiliki pengetahuan yang cukup dan tidak
memanfaatkan pelayanan alat kontrasepsi bisa disebabkan oleh faktor lain dimana
suami tidak mendukung untuk menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Pasangan usia
subur yang memiliki pengetahuan kurang karena beberapa hal yang mempengaruhi
seperti informasi yang kurang mengenai alat kontrasepsi beserta efek sampingnya,
sangat jarang mengikuti acaraacara penyuluhan mengenai keluarga berencana, namun
tetap memanfaatkan pelayanan alat kontrasepsi kemungkinan adanya pemberian
informasi dari orang lain baik itu dari keluarga maupun petugas kesehatan mengenai
perlunya penggunaan alat kontrsepsi. Sedangkan pasangan usia subur yang
pengetahuannya kurang dan tidak memanfaatkan pelayanan alat kontrasepsi bisa
disebabkan karena ketidaktahuan pasangan usia subur (PUS) dalam penggunaan alat
kontrasepsi. Bagi ibu yang kurang aktif dalam mengikuti kegiatan penyuluhan di daerah
setempat diharapkan dapat berkonsultasi pada bidan tentang kontrasepsi yang cocok
untuk digunakan baginya. Petugas kesehatan agar lebih sering melakukan
penyuluhan tentang alat kontrasepsi kepada peserta KB.
-Hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan alat kontrasepsi
KB
Pendidikan merupakan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi wawasan dan
pengetahuan ibu. Semakin rendah pendidikan ibu maka akses terhadap informasi
tentang KB khususnya KB IUD akan berkurang sehingga ibu akan kesulitan untuk
mengambil keputusan secara efektif, alat kontrasepsi yang mana akan dipilih oleh ibu.
-Hubungan anatra dukungan suami dengan pemanfaatan pelayanan alat
kontrasepsi KB.
Dukungan suami, seperti mengetahui bahwa istrinya ber-KB, setuju, dan tahu jenis
alat kontrasepsi yang digunakan istrinya, mengawasi efek samping dari konntrasepsi
istrinya, serta mengantar istrinya ke tempat pelayanan kesehatan untuk ber-KB
merupakan hal yang sangat penting, terkait dengan ketidakteraturan istrinya dalam
menggunakan alat kontrasepsi.Dukungan suami dapat menjadi motivasi tersendiri bagi
istri untuk taat dan patuh terhadap aturan penggunaan alat kontrasepsi yang sedang
digunakan.Dengan adanya kesepakatan antara keduanya mengenai kontrasepsi yang
dipakai oleh suami/istri menyebabkan pemakaian alat kontrasepsi dapat berlangsung
secara terus menerus.
Beberapa bentuk dukungan suami yang diberikan kepada istrinya yang
menggunakan kontrasepsi dengan memberikan saran dalam memilih kontrasepsi yang
digunakan, mengantar istri ketempat pelayanan kontrasepsi, dan mengingatkan istri
untuk melakuakn kunjungan ulang.Jika jarak tempat pelayanan kesehatan jauh, mereka
biasanya lebih memilih menggunakan ojek atau berangkat dengan tetangga rumahnya.
Mengenai efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi, suami responden harus
memang melakukan engawasan, ini karena suami responden banyak yang tidak
mengetahui bahwa efek samping yang akan muncul saat istri mereka menggunakan
salah satu alat kontrasepsi.
Adapun upaya yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan diantaranya yaitu :
a) sebaiknya memberikan informasi tentang jenis alat kontrasepsi KB seperti pil, suntik,
kondom, IUD, implant, MOW/MOP pada pemanfaatan pelayanan alat kontrasepsi KB
pada PUS untuk meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan alat kontrasepsi
yang lebih efektif bagi kesehatan ibu dan anak.
b) Perlu memperkenalkan tentang metode kontrasepsi yaitu metode sederhana, metode
modern/efektif agar lebih diperluas jangkauannya dan menyebarluaskan kepada
masyarakat atau pasangan usia subur dalam hal jenis-jenis kontrasepsi tentang
keuntungan dan kerugiannya (efek samping) dari setiap jenis kontrasepsi.
c) Perlu adanya pemberian informasi kepada para suami tentang alat kontrasepsi agar
mereka memahami tentang tujuan dan efek samping dari alat kontrasepsi. Sehingga
suami lebih memperhatikan kesehatan istrinya yang mungkin di derita istri dari
penggunaan alat kontrasepsi.
Sumber :
Akib Asridawati. 2019. Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Alat Kontrasepsi KB Pada Pasangan Usia Subur Di Puskesmas Taman
Lanrea. Media.neliti.com. diakses pada 15 Januari 2021 17:44

9. Kehamilan yang tidak diinginkan


Gambaran Status Kehamilan Dalam penelitian ini, kehamilan dibagi menjadi 2 (tiga)
yaitu kehamilan diinginkan dan kehamilan tidak diinginkan. Pada kehamilan yang tidak
diinginkan terdapat dua kondisi yaitu kehamilan tidak tepat waktu (belum menginginkan
saat itu) dan tidak menginginkan sama sekali. Hasil penelitian ini menemukan proporsi
ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) ada sebanyak 15,4 persen.
Perilaku ibu hamil sangat berperan dalam perilaku perawatan kehamilan dan perawatan
bayinya.
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Perawatan
Maternal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria 1,79
dibandingkan ibu yang kehamilannya diinginkan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini menggunakan data SDKI 2012, ibu
yang mengalami kehamilan tidak diinginkan memiliki odds untuk tidak memeriksakan
kehamilan secara lengkap 1,4 dibandingkan kehamilan yang diinginkan.
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian ASI
Eksklusif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan
ASI eksklusif.
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian
Imunisasi Dasar Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan
imunisasi dasar lengkap kepada bayinya. Bila dilihat dari nilai rasio odds 1 berarti tidak
ada perbedaan, maka analisis ini dapat dianggap secara statistik tidak ada pengaruh
kehamilan tidak diinginkan atau sedikit sekali pengaruhnya terhadap pemberian
imunisasi dasar lengkap.
Kesimpulan
Status kehamilan yang tidak diinginkan masih cukup tinggi. Kehamilan yang tidak
diinginkan ini dapat mempengaruhi perilaku ibu untuk tidak melakukan ataupun kalau
melakukan tidak maksimal, kunjungan perawatan antenatal, persalinan, nifas, dan bayi,
karena ibu yang KTD pada umumnya berharap kehamilannya tidak akan berlanjut.
Status kehamilan tidak diinginkan mempunyai pengaruh terhadap perilaku perawatan
kehamilan yang tidak sesuai dengan kriteria (OR=1,79). Status kehamilan tidak
diinginkan mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak
memberikan ASI eksklusif dan imunisasi dasar lengkap.
d) Pengaruh status kehamilan tdak diinginkan terhadap perilaku ibu selama
kehamilan dan setelah kelahiran juga dipengaruhi oleh status ekonomi. Makin
miskin cenderung makin tidak melakukan ANC dan imunisasi dasar lengkap.
makin kaya cenderung tidak memberikan ASI Eksklusif.
e) Penjaringan kasus ibu hamil dengan status kehamilan yang tidak diinginkan perlu
dilakukan dengan bantuan kader agar mau ibu melakukan pemeriksaan
kehamilan sehingga petugas kesehatan dapat memberikan edukasi untuk
mencegah perilaku yang tidak mendukung program kesehatan ibu dan anak.
f) Identifikasi status kehamilan diinginkan atau tidak diinginkan agar menjadi
prosedur umum saat pemberi pelayanan kesehatan ibu hamil sehingga pemberian
edukasi dapat dilakukan sejak dini sehingga program 1000 pertama kehidupan
dapat terlaksana dengan baik oleh setiap ibu hamil
Sumber :
Dini Lisa Indrian. 2016. Pengaruh Status tidak Di inginkan Terhadap perilaku ibu
selama kehamilan tidak diinginkan Terhadap Perilaku Ibu selama
Kehamilan dan Setelah Kelahiran di Indonesia

10. Komplikasi Kehamilan


Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan ibu dengan status gizi kurang berisiko
2,862 kali mengalami kejadian komplikasi persalinan dibandingkan ibu dengan status
gizi baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sikder et al, gizi
kurang yang ditunjukkan dengan Lingkar Lengan Atas (LiLA) <23,5 cm meningkatkan
risiko perdarahan dan sepsis, yang mana ibu.
Pada penelitian ini diketahui bahwa beberapa ibu mengalami hiperemesis
gravidarum sehingga nafsu makan menurun, bahkan sampai dirawat di rumah sakit.
Adapula ibu yang mangaku tidak ingin makan melebihi porsi sebelum hamil karena
khawatir anak yang dikandungnya menjadi besar sehingga akan menyulitkan pada saat
bersalin. Ibu lainnya juga melaporkan bahwa berat badannya memang kurang sejak
gadis hingga menikah sampai akhirnya hamil. Berbagai alasan tersebut berdampak
pada penurunan berat badan ibu saat hamil, sehingga status gizi ibu dikategorikan gizi
kurang.
Ibu yang memiliki riwayat komplikasi kehamilan memiliki risiko 5,587 kali mengalami
kejadian komplikasi persalinan dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat
komplikasi kehamilan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Simarmata, dkk., yang menyatakan adanya komplikasi kehamilan terdahulu
berhubungan dengan kejadian komplikasi persalinan yang mana ibu dengan komplikasi
selama kehamilannya berisiko 2,15 kali mengalami komplikasi pada persalinannya.
Begitupun penelitian oleh Sikder et al, menyatakan riwayat lahir mati atau keguguran
berisiko 1,15 kali meningkatkan risiko komplikasi obstetri pada ibu. Serta oleh
Verhoeven, yang menyimpulkan bahwa risiko kelahiran sesar setelah induksi persalinan
meningkat dengan persalinan prematur sebelumnya. Riwayat komplikasi kehamilan
yang dialami oleh responden antara lain perdarahan, anemia dalam kehamilan, Ketuban
Pecah Dini (KPD), preeklampsia, hiperemesis, Kematian Janin Dalam Rahim (KJDR),
dan kehamilan serotinus.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa status gizi dan riwayat
komplikasi kehamilan berisiko terhadap kejadian komplikasi persalinan. Dari dua
variabel tersebut yang paling dominan berisiko, yaitu riwayat komplikasi kehamilan.
Penyakit ibu, riwayat persalinan sebelumnya dengan tindakan, kualitas ANC, dan
penolong persalinan berisiko terhadap kejadian komplikasi persalinan, namun tidak
signifikan dalam penelitian ini. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai
keseimbangan gizi dalam masa kehamilan, mulai mengonsumsi beberapa zat gizi tiga
bulan sebelum masa kehamilan dalam mencegah terjadinya gizi kurang, serta diit harus
ditingkatkan melalui pola makan dengan kebiasaan makan yang baik (menu seimbang
dengan jenis makanan yang bervariasi); dan perlu keterlibatan dari semua pihak
khususnya dari lingkungan rumah tangga dan sekitarnya dalam memotivasi ibu hamil
agar melakukan pemeriksaan secara rutin dan lengkap (ANC lengkap) sehingga
komplikasi dalam kehamilan yang mungkin akan muncul dapat dideteksi sedini mungkin
dan apabila ditemukan, dapat dilakukan upaya rujukan sesegera mungkin, sehingga
dapat meminimalisir dampak yang akan terjadi; serta bagi peneliti selanjutnya
disarankan untuk menggunakan desain penelitian cohort, sehingga validitas data dapat
dikontrol secara maksimal.
Sumber :
Kasminaati, dkk. 2015. Status Gizi dan Riwayat Komplikasi Kehamilan Sebagai
Determinan Kejadian Komplikasi Persalinan di Kab. Mamuju. Jurnal MKMI hal
99-1-7. Media.neliti.com. diakses pada tanggal 15 Januari 2021 15:55

Anda mungkin juga menyukai