Depy Irawan
Mahasiswa PPG Unesa
depyirawan08@gmail.com
Abstrak
Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir yang menekankan
kepada evaluasi dari informasi yang didapatkan, menggunakan
informasi yang dimiliki pada masa lampau dan digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Berdasarkan hasil observasi,
kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII C SMP Negeri 28
Surabaya dikatakan rendah.
1
menunjukkan bahwa aktivitas guru masih terlihat dominan dari pada aktivitas
peserta didik dalam pembelajaran di kelas. Hal ini berpengaruh dalam pencapaian
standar minimal hasil belajar yang diharapkan. Pembelajaran yang berorientasi
kepada peserta didik diyakini menumbuhkan cara bernalar peserta didik dalam
menemukan konsep dengan sendiri.
Pemecahan masalah dalam matematika menuntut peserta didik untuk bernalar.
Berpikir dan bernalar merupakan kegiatan utama dalam belajar Matematika.
Menurut (Krulick and Rudnick, 2010) penalaran mencakup berpikir dasar (basic
thinking), berpikir kritis (critical thinking) dan berpikir kreatif (creative thinking).
Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir yang penting dalam
belajar matematika. (Moon,2007) berpikir kritis adalah menganalisis fakta-fakta
dan bukti untuk membuat sebuah kesimpulan
Berpikir kritis adalah kegiatan mengolah ide-ide yang didapatkan
mengevaluasi berdasarkan perspektif yang berbeda dengan memunculkan
pertanyaan untuk menemukan solusi dari masalah yang dipecahkan. Selanjutnya
seseorang yang berpikir kritis akan melihat permasalahan lebih objektif, analitik
dan melihat masalah dalam sudut pandang yang berbeda (Moon,2007). Berpikir
kritis menekankan kepada evaluasi dari informasi yang didapatkan. Menggunakan
informasi yang dimiliki pada masa lampau dan digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi
Berdasarakan pengalaman mengajar pada siklus PPL 1 dan observasi,
Kemampuan berpikir kritis peserta didik bisa dikatakan rendah. Salah satu
indikator yang dapat diketahui dari kemampuan peserta didik dalam
menyelesaikan masalah Matematika. Peserta didik merasa kesulitan dalam
menyelesaikan masalah Matematika. Mereka hanya terpaku dengan algoritma
rutin yang mereka miliki. Hal tersebut menjadi batu sandungan guru dalam
mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis dalam belajar matematika,
Berdasarkan observasi dengan peserta didik. Peserta didik jarang menghadapi
masalah Matematika (soal-soal yang menantang bagi siswa).. Peserta didik lebih
menyukai soal yang bersifat hitung menghitung. Sehingga dapat dikatakan bahwa
peserta didik lemah dalam menghadapi masalah matematika dan kemampuan
berpikir kritis peserta didik rendah.
Berdasarkan anggapan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah
saling berkaitan sebagai suatu proses dan hasil dalam pembelajaran matematika.
Maka guru harus memilih dan memilah model pembelajaran yang sesuai untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Pembelajaran yang
berorientasi pada transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik tidaklah sesuai
untuk mengembangkan kemampuan berpkir kritis peserta didik. Pembelajaran
inovatif yang berorientasi pada aktivitas peserta didik dapat dijadikan alternatif
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Berpikir kritis memiliki hubungan erat dengan berpikir kreatif,
(Siswono,2011) mengatakan bahwa berpikir kreatif merupakan suatu gabungan
antara berpikir lateral dan vertical yang melengkapi. Pengertian ini secara tidak
langsung dalam berpikir kreatif melibatkan berpikir kritis (logis dan analitis)
sekaligus intuitif. Teori pendukung tentang hubungan antara bepikir kritis dan
berpikir kreatif ditunjukkan oleh Krulick & Rudnick (1995), membuat
perjenjangan penalaran yang digambarkan dengan piramida, dalam penalaran
dikategorikan dalam pengingatan, berpikir dasar, berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Jadi apabila mengukur kemampuan berpikir kreatif tentunya harus
mengukur kemampuan bepikir kritis terlebih dahulu serta pengingatan dan
berpikir dasar. Dan berlaku pada bepikir kritis.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan agar peserta didik aktif
dalam pembelajaran yaitu model Treffinger. Model ini dapat mendukung
pengembangan kemampuan berpikir kreatif dan kritis matematika peserta didik.
Model Treffinger ini terdiri dari tiga langkah inti atau tiga tingkatan, yaitu: 1)
Understanding the Challenge 2). Generating ideas 3). Preparing for Action.
Model pembelajaran treffinger adalah model pembelajaran yang melibatkan
proses aktif peserta didik dalam membangun pemahaman dari pengalaman yang
telah dimiliki sebelumnya dengan pengalaman baru. Peserta didik membangun
keterampilan berpikir pada tingkatan pertama dan kemudian digunakan pada
tingkatan selanjutnya (Nisa, 2011). Model pembelajaran treffinger menekankan
pada proses penemuan informasi atau penemuan konsep, sehingga konsep yang
diperoleh dapat tersimpan lebih lama diingat peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakuksn penelitian yang
berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Treffinger untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Pada Pelajaran Matematika Kelas
VIII SMP Negeri 28 Surabaya.”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model
pembelajaran Treffinger dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis Peserta
Didik Pada Pelajaran Matematika Kelas VIII SMP Negeri 28 Surabaya.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negei 28 Surabaya yang
berjumlah 38 siswa, tersiri dari 18 laki-laki dan 20 perempuan. Subjek penelitian
ini heterogen dari kemampuan berpikirnya yaitu ada yang tinggi, sedang dan
rendah. Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan secara dua siklus pada tanggal 9
Oktober- 2 November 2017. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Arikunto (2010: 16) mengemukakan bahwa
terdapat empat tahapan dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas, yaitu (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi.
3
Instrument Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Instrument tes kemampuan berpikir kritis siswa disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan. Tes tersebut dilakukan untuk mengetahui
hasil kemampuan berpikir kritis yang dicapai peserta didik pada setiap siklus
setelah pembelajaran treffinger. Soal tes kemampuan berpikir kritis peserta didik
berbentuk uraian atau essay. Selanjutnya hasil tes kemampuan berpikir kritis
peserta didik diberi skor sesuai dengan skor penskoran. skor rubrik yang
dimodifikasi dari Peter A. Facione dan Noreen C. Facione (1994) seperti disajikan
pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Indikator Berpikir Kritis
5
No Kemampuan Indikator Respon Siswa terhadap Soal Skor
Berpikir Kritis Berpikir Kritis
melakukan perhitungan dengan tepat
hingga menemukan solusi dari
masalah tersebut
Dengan adalah persentase nilai. Data hasil tes kemampuan berpikir kritis
peserta didik kemudian ditentukan rata-ratanya dan dilihat perbedaan rata-ratanya
dan dilihat kemampuan berpikir kritis. Jika terjadi peningkatan dari siklus I, siklus
II dan siklus III. Maka model penerapan Treffinger dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa. Untuk menyatakan persentase banyaknya siswa
yang tuntas dihitung dengan cara :
Dari tabel 2, dapat dikatakan bahwa rata-rata nilai tes kemampuan berpikir
kritis peserta didik mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Selanjutnya
jika dilihat dari banyak pesertadidik yang tuntas dalam pengerjaan tes kemampuan
berpikir kritis peserta didik dalam setiap siklus dan persentasenya maka dapat
dibuat tabel sebagai berikut.
Tabel 3 Persentase Ketuntasan Siswa pada
Tes Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik
7
Tabel 4 Rata-rata Skor Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Skor pada Indikator
No Siklus Focus Reason Inference Situation
1 I 3.34 2.68 1.76 2.65
2 II 3.63 2.84 2.5 3.08
Dari tabel 4, dibuat grafik batang untuk membandingkan rata-rata skor indikator
kemampuan berpikir kritis dengan mudah, apakah meningkat atau menurun,
semakin tinggi batang, maka semakin tinggi rata-rata skor indikator kemampuan
berpikir kritis peserta didik.
Pembahasan
Sebagaimana diuraikan dalam analisis data, rata-rata nilai tes kemampuan
berpikir kritis peserta didik mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Dalam hal tersebut, tes kemampuan berpikir kritis peserta didik pada siklus I
adalah mengenai materi relasi dan fungsi, tes pada siklus II tentang persamaan
garis lurus. Berdasarkan rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis peserta didik
siklus I dan II yang ditunjukkan tabel 2 dapat dibuat grafik garis sebagai berikut.
Grafik 2 Rata-rata Nilai Tes Kemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan grafik 2, rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis pada siklus
I dan II dapat dikatakan “Cukup”. namun mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dari siklus I ke II. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, dapat
dikatakan bahwa rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam
pembelajaran Treffinger mengalami kenaikan yang signifikan. Selanjutnya
berdasarkan persentase ketuntasan peserta didik pada tes kemampuan berpikir
kritis pada siklus I dan II ditunjukkan pada tabel 3, dapat dibuat grafik batang
sebagai berikut.
9
Adapun hasil yang penelitian yang relevan yang dirujuk peneliti relevan
dengan hasil penelitian (Pomalato,2006) yaitu adanya peningkatan kemampuan
berpikir kritis dan nilai ketuntasan belajar peserta didik tercapai. Dalam
penelitian pamalato membahas tentang penerapan pembelajaran Treffinger yang
dapat meningkatkan kreativitas peserta didik. Hal ini berkaitan antara penelitian
pomalato dan penelitian yang dilakukan peneliti. Perbedaanya yaitu dalam
penelitian ini peneliti membahas tentang berpikir kritis. Sehingga dapat dari apa
yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran treffinger
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII C SMP
Negeri 28 Surabaya.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan analisis data pembahasan dapat disimpulkan pembelajaran
matematika dengan model Treffinger dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa kelas VIII C SMP Negeri 28 Surabaya. Hal tersebut ditunjukkan
dengan rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I dan II
berturut-turut adalah 65.32 dan 74.87 Persentase ketuntasan siswa pada tes
kemampuan berpikir kritis pada siklus I dan II berturut-turut adalah 34,21% dan
65,79%. Rata-rata nilai dan persentase dari ketuntasan siswa dari tes kemampuan
berpikir kritis siswa mengalami kenaikan.
Saran
Saran yang dikemukakan peneliti adalah 1) Pembentukan kelompok menjadi
hal penting yang perlu diperhatikan agar pembelajaran matematika dengan model
Treffinger berlangsung lancar. Dengan demikian, guru hendaknya lebih cermat lagi
dalam membentuk kelompok yang kemampuannya merata antara kelompok yang
satu dengan yang lainnya. 2) Pemberian masalah yang dekat dengan siswa dapat
menambah kemudahan siswa memahami konteks yang ada pada materi yang akan
mereka laksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
11