Anda di halaman 1dari 11

RINITIS ALERGI

A. DEFINISI
Pada tahun 1998 Joint Task Force on Practicea Parameters in Allergy, Asthma, and
Immunology mendefinisikan rinitis sebagai ‘peradangan pada membran yang melapisi
hidung, dengan cirri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin, gatal pada hidung dan/atau
postnasal drainage.’ Sedangkan rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.

B. KLASIFIKASI
 Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya :
1) Rinitis alergi musiman
 Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim
 Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur
 Disebut juga polinolisis
2) Rinitis alergi sepanjang tahun
 Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim
 Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan pada orang dewasa
dan alergen ingestan pada anak-anak
 The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan
berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala

 Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi berdasarkan lama gejala dibagi
menjadi :
1) Intermiten : gejala ≤ 4 hari per minggu atau lamanya ≤ 4 minggu
2) Persisten : gejala > 4 hari per minggu atau lamanya > 4 minggu
 Sedangkan berdasar beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi
1) Ringan
 Tidur normal
 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal 
 Bekerja dan sekolah normal
 Tidak ada keluhan yang mengganggu
2) Sedang atau berat (satu atau lebih gejala)
 Tidur terganggu (tidak normal)
 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
 Gangguan saat bekerja dan sekolah
 Ada keluhan yang mengganggu

C. ETIOLOGI
 Inhalan : debu rumah, tungau, jamur, bulu hewan
 Ingestan : susu, telur, kacang, seafood
 Injektan : penisilin, sengatan lebah
 Kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan

D. FAKTOR RISIKO
E. PATOFISIOLOGI

 Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain
karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan untuk
melindungi saluran pernapasan bagian bawah
 Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh sistem mukosilia
 Pada permukaan mukosa hidung dan lamina propria terdapat sel mast dan basofil
yang merupakan unsur terpenting pada patofisiologi rinitis alergi
 Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau debu rumah, kecoa,
kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan diselaputi oleh IgE
terhadap alergen spesifik tersebut
 Paparan ulang terhadap alergen tersebut memicu suatu rangkaian kejadian yang
meliputi respon fase cepat dan fase lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi
1) Respon fase cepat
 Respons fase cepat timbul dalam beberapa menit sampai 1 jam setelah
paparan
 Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel mast dan basofil yang
sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan epitel
 Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel, sementara
bagian Fab bebas untuk menerima molekul alergen
 Jika alergen berikatan dengan dua molekul IgE yang terikat pada permukaan
sel, maka preformed mediator seperti histamin dilepaskan dari sel
 Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolisme fosfolipid membran menjadi
asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu rangkaian newly generated
mediator seperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan
 Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan timbulnya secara
mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan rinore
 Histamin akan merangsang reseptor H1 yang ada pada ujung saraf vidianus
akan menyebabkan gejala hidung gatal dan bersin-bersin
 Selain itu, histamin juga menyebabkan sel goblet dan sel penghasil mukus
mengalami hipersekresi sehingga menyebabkan rinorrhea
 Histamin juga menyebabkan vasodilatasi dari sinusoid sehingga menyebabkan
hidung tersumbat
2) Respon fase lambat
 Respons fase lambat terjadi dalam waktu 2-4 jam pasca paparan dan
puncaknya pad 6-8 jam serta dapat bertahan selama 24-48 jam
 Merupakan suatu proses cellular-driven dengan adanya infiltrasi eosinofil,
neutrofil, basofil, limfosit T dan makrofag, yang melepaskan mediator inflamasi
dan sitokin tambahan dan memperpanjang respons proinflamasi
 Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai penyebab gejala kronis dan
persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan hidung, anosmia, hipersekresi
mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang sama atau alergen
lainnya dan iritan
 Paparan alergen yang terus-menerus seringkali menyebabkan keadaan
inflamasi kronis

F. DIAGNOSIS
 Gejala alergi hidung berbeda dengan rinitis infeksiosa
 Respons alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang
encer dan banyak
 Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun menjadi
purulen, seperti yang terjadi pada rinitis infelsiosa
 Seperti pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder
akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.
a) ANAMNESIS
 Sangat penting dilakukan karena hampir 50% kasus rinitis alergi bisa
ditegakkan hanya dengan anamnesis
 Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga
 Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang
menyerang hidung, seperti asma, ekzema, urtikaria' atau sensitivitas obat
 Saat-saat di mana gejala sering timbul juga dapat membantu menenfukan
alergi musiman
b) PEMERIKSAAN FISIK
 Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,
dan disertai adanya sekret encer yang banyak → bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi
 Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia
 Gejala spesifik pada anak
 Terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung, disebut allergic
shiner
 Tampak anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan
karena gatal, disebut allergic salute
 Keadaan menggosok hidung ini lama-kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
disebut allergic crease
 Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga menyebabkan gangguan pertubuhan gigi geligi, disebut
facies adenoid
 Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestonr
appareance), serta dinding lateral faring menebal
 Lidah seperti gambaran peta (geographic tongue)
c) PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Apusan Hidung
 Apusan biasanya diambil dari bawah konka inferior (beberapa apusan
sekaligus) dan difiksasi dengan cennat.
 Ditemukan banyak eosinofil → terdapat hubungan positif antara RA
dan asma, semakin tinggi konsentrasi eosinofil maka semakin
hiperresponsif bronkial pasien
2. Uji Klinis Alergi
 Uji Diet
 Terdapat dua kategori utama: uji makanan provokatif dan
berbagai macam diet eliminasi
 Uji makanan provokatif adalah pengekangan diri dari makanan
tersangka selama 4-10 hari, kemudian makanan tersebut
dikonsumsi dalam jumlah besar → pasien melaporkan
perubahan-perubahan subjektif dan mengamati data objcktif
 Diet eliminasi telah dikembangkan untuk sereal, susu, telur, dan
buah, di mana pemeriksa memilih diet tertentu untuk pasien.
 Uji In Vitro
 Uji makanan sitotoksik digunakan sebagai uji skrining
 Bilamana leukosit dari lapisan buffy coat plasma pasien
dihancurkan oleh adanya antigen makanan, maka kepekaan
dapat dicurigai
 Uji Radioalergosorben
 Uji ini memerlukan inkubasi antibodi pasien dengan antigen
dalam konsentrasi tertentu yang terikat pada kertas radioaktif
 Dapat mengukur kadar antibodi IgE dan terbukti lebih bernilai
untuk hipersensitivitas tipe I
3. Uji Kulit
 Bila memungkinkan dilakukan uji kulit alergen untuk menentukan
status atopi serta menentukan kemungkinan alergen penyebab
4. Pemeriksaan Laboratorium
 Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan hitung
jenis eosinofil, hitung total eosinofil, dan kadar IgE total serum
5. CT Scan Sinus Paranasalis
 Pada pasien yang berusia 4 tahun atau lebih dapat dilakukan foto
atau CT scan sinus paranasalis bila dicurigai komplikasi sinusitis atau
adanya deviasi septum nasi

G. TATALAKSANA
a) Eliminasi Alergen
 Disesuaikan dengan alergen penyebab rinitis
 Apabila memiliki alergi terhadap debu maka diusahakan hidup dalam
lingkungan yang sebersih mungkin dan bisa menyingkirkan barang-barang
yang mungkin bisa mengumpulkan debu, contohnya karpet
 Apabila alergi terhadap udara yang panas maka bisa bekerja atau beraktivitas
di tempat yang berAC
 Apabila alergi terhadap suatu makanan maka sebisa mungkin menghindari
makanan tersebut
b) Penatalaksanaan Medis
1. ANTIHISTAMIN
 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target
 Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif)
 Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta serta memiliki efek kolinergik → difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan
secara topikal adalah azelastin
 Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik (sulit menembus sawar darah
otak), bersifat selektif terhadap reseptor H-1 perifer, dan tidak mempunyai
efek kolinergik atau antiadrenergik
 Antihistamin generasi-2 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
 Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai
efek kardiotoksik
 Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin,
dan levosetrisin
 Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
respon fase lambat
2. AGONIS ALFA ADRENERGIK
 Digunakan sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin
 Namun pemakaian topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menhindari ritinitis medikamentosa
3. KORTIKOSTEROID
 Digunakan apabila gejala hidung tersumbat pada respon fase lambat tidak
bisa diatasi oleh obat lain
 Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamnisolon)
 Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mast pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dan eosinofil,
mengurangi aktifasi limfosit sehingga tidak hiperresponsif terhadap
alergen
4. ANTIKOLINERGIK TOPIKAL
 Ipratropium bromida bermanfaat untuk mengatasi rinore
5. LAINNYA
 Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan
c) Terapi Bedah
 Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dilakukan apabila konka
inferior mengalami hipertrofi dan tidak dapat dikecilkan dengan kauterisasi
menggunakan AgNO3 25% atau triklor asetat
d) Imunoterapi
 Dilakukan apabila pengobatan lain tidak bisa mengatsi
 Tujuannya adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE
 Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-
lingual

Tata laksana utama adalah penghindaran alergen. Sedangkan pengobatan


medikamentosa tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala. Pengobatan
medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal maupun kombinasi dari antihistamin H1
generasi satu maupun generasi dua, kortikosteroid intranasal, dan stabilisator sel mast.
Imunoterapi spesifik dianjurkan pada semua penderita rinitis kategori berat. Tindakan
bedah hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan airfluid level atau
deviasi septum nasi.
 Rinitis alergi intermiten
1) Ringan
 Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
 Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2) Sedang/Berat
 Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan
sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau
generasi ketiga seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2
tahun
 Bila tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan
kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling lama
7 hari
 Rinitis alergi persisten
1) Ringan
 Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama
 Bila gejala tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid intranasal
misalnya mometason furoat atau flutikason propionat
2) Sedang/berat
 Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-
4 minggu
 Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis
alergi intermiten sedang/berat.
RINITIS VASOMOTOR

A. DEFINISI
 Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat
 Jenis rinitis non alergik yang umum dijumpai

B. ETIOLOGI
 Etiologi rhinitis vasomotor belum diketahui secara pasti
 Rhinitis vasomotor tidak disebabkan oleh infeksi, alergi, atau inflamasi terkait IgE
 Pencetus rhinitis vasomotor :
Perubahan Lingkungan  Udara dingin dan kering
 Udara panas dan lembab
 Perubahan suhu
 Perubahan tekanan
Iritan  Bau yang menyengat seperti parfum,
bunga
 Pembersih rumah tangga
 Paparan rokok baik aktif maupun pasif
 Polutan
Obat-obatan  Penyekat alfa : prazosin, terazosin
 Penyekat beta : propanolol, metoprolol
 Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid
lain
 ACE inhibitor : captopril, ramipril
 Kontrasepsi oral : estrogen, progestin
 Antidepresan : psikotropika
Diet  Makanan yang pedas
 Konsumsi alkohol
Olahraga
Paparan dan pekerjaan
Kondisi emosional yang kuat

C. FAKTOR RISIKO
 Rhinitis vasomotor ditandai dengan gejala obstruksi nasal yang menonjol,
rhinorrhea, dan kongesti
 Gejala ini biasanya memberat dengan adanya bau tertentu seperti parfum, rokok,
dan, bau cat
 Gejala juga bisa memburuk dengan konsumsi alkohol, makanan pedas, emosi, dan
faktor lingkungan seperti suhu, perubahan tekanan, dan cahaya terang.
 Banyak studi telah mencoba mengetahui penyebab yang mendasari patologi
rhinitis, tetapi belum ada yang benar-benar mampu menjelaskan secara pasti
 Sebuah studi dengan jumlah sampel yang kecil mengindikasikan adanya peran
disfungsi sistem autonom pada pasien dengan rhinitis vasomotor
 Compounding factor lain yang diduga berperan adalah riwayat trauma nasal dan
manifestasi esofageal dari gastroesophageal reflux disease (GERD)

D. PATOFISIOLOGI
1) Neurogenik
 Persarafan sensorik di hidung berasal dari cabang saraf trigeminal pertama
dan kedua yang menerima input dari epitel, pembuluh darah mukosa, dan
kelenjar sekretorik
 Saraf simpatis hidung dimediasi oleh neurotransmitter norepinefrin dan
neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi
hidung
 Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n. Vidianus kemudian menginervasi pembuluh
darah dan terutama kelenjar eksokrin
 Saraf parasimpatis memiliki neurotransmitter asetilkolin dan berkontribusi
dalam vasodilatasi pembuluh darah (kongesti hidung) dan hipersekresi mukus
dari kelenjar submukosa hidung
 Dalam keadaan normal lebh dominan yang simpatis tapi kalo yang rinitis
vasomotor lebih dominan yang parasimpatis
2) Neuropeptida
 Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensorik serabut C di hidung
 Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptide seperti substance P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar
 Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiperreaktivitas
hidung
3) Nitrit Oksida
 Kadar NO yg tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel
 Sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung dengan lapisan sub-
epitel → peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitments refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung
4) Trauma
 Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanis neurogenik dan/atau neuropeptide

E. GEJALA KLINIS
 Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat (bergantian kiri dan kanan)
 Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa
 Keluhan ini jarang disertai dengan gejala pada mata
 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya
 Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan :
1) Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal
2) Golongan rinore (runners), gejala daoat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal
3) Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang
baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriktor oral

F. DIAGNOSIS
 Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya
rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat
 Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala
 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
 Tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna
merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula livid atau pucat
 Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi)
 Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit
 Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan
banyak jumlahnya
 Pemeriksaan laboratorium
 Dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi
 Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah
sedikit
 Tes cukit kulit biasanya negatif
 Kadar IgE spesifik tidak meningkat

G. TATALAKSANA
1) Menghindari faktor predisposisi
2) Medikamentosa
 Dekongestan oral Antihistamin (cetirizine 1x10mg)
 Kortikosteroid topical (flutikason propionate)
 Antikolinergik topical (ipratropium bromida)
3) Operatif : bedah beku, konkotomi
4) Vidian neuroktomi

H. EDUKASI
 Memberikan pengetahuan kepada pasien tentang faktor pencetus alergi dan
menganjurkan pasien untuk menjauhi faktor pencetus gejala
 Apabila pasien tidak bisa menghindari, maka bisa diberikan steroid dan antihistamin
untuk mengurangi gejala
 Bagi pasien yang sedang menjalani imunoterapi diedukasi untuk melaporlan efek
obat, timbulnya infeksi saluran pernapasan baru, meburuknya asma dll pada saat
kunjungan berikutnya

RINITIS MEDIKAMENTOSA

A. DEFINISI
 Adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang
diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topikal (tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap
 Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse)

B. PATOFISIOLOGI
 Mukosa hidung merupakan salah satu organ yang sangat peka terhadap
rangsangan atau iritan sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokontriktor
 Obat topikal vasokontriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan
 Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang setelah vasokkontriksi, sehingga
timbul gejala obstruksi
 Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut
 Pada keadaan ini akan ditemukan kadar agonis alfa adrenergik yang tinggi di
mukosa hidung → hal ini akan diikutin dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-
adrenergik di pembuluh darah di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi →
aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokontriksi (dekongesti mukosa
hidung) menghilang → akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung,
disebut rebound congestion
 Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung
dalam waktu lama ialah :
1) Silia rusak
2) Sel goblet berubah ukurannya
3) Membran basal menebal
4) Pembuluh darah melebar
5) Stroma tampak edema
6) Hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung
7) Lapisan submukosa menebal
8) Lapisan periostium menebal

C. GEJALA DAN TANDA


 Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair
 Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan
 Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang

D. PENATALAKSANAAN
 Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokontriktor hidung
 Kortikosteroid oral
 Untuk mengatasi sumbatan berulang, dapat diberikan kortikosteroid oral dosis
tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan
menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari
 Bisa juga dengan pemberian kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu
untuk mengembalikan proses fisiologis mukoas hidung
 Obat dekongestian (biasanya mengandung pseudoefedrin)
 Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke
dokter THT

RINITIS SIMPLEKS

 Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia
 Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu
 Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah rhinovirus
 Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus Coxsackie, dan virus ECHO
 Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya
kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun dan lain-lain)
 Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung
 Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, dan ingus encer yang
biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala
 Mukosa hidung tampak merah dan membengkak
 Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen
 Tidak ada terapi spesifik untuk rinitis simpleks, selain istirahat dan pemberian obat-obat
simtomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan
 Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri

SINUSITIS

A. DEFINISI
 Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal
 Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis
 Penyebab utamanya adalah ialah selesma (common cold yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti dengan infeksi bakteri
 Jika mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan jika mengenai
semua sinus paranasal disebut parasinusitis
 Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal
lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi
 Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akan gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen

B. ETIOLOGI
 Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi,kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konkai, nfeksi tonsil, dan infeksi gigi
 Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuh rinosinusitisnya
 Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok → lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia

C. PATOFISIOLOGI
 Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar di dalam KOM
 Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan
 Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus
anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal.
 Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan ostium tersumbat
 Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous → dianggap sebagai rinosinusitis non-
bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan
 Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri → sekret menjadi purulen, disebut sebagai
rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik
 Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang
 Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista → perlu tindakan operasi

D. KLASIFIKASI
 Konsensus internasional tahun 1995 :
1) Rinosinusitis akut : ≤ 8 minggu
2) Rinosinusitis kronis : > 8 minggu
 Konsensus tahun 2004 :
1) Rinosinusitis akut : < 4 minggu
2) Rinosinusitis subakut : 4 minggu - 3 bulan
3) Rinosinusitis kronis : > 3 bulan
 Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat

E. KRITERIA DIAGNOSIS
 Acute Rhinosinusitis
 ≤ 4 minggu timbul gejala sekret purulen disertai obstruksi hidung, nyeri tekan
pada wajah, atau keduanya
 Viral Rhinosinusitis
 Gejala atau tanda rinosinusitis akut muncul kurang dari 10 hari dan gejalanya
tidak memburuk
 Acute Bacterial Rhinosinusitis
 Gejala atau tanda rinosinusitis akut gagal membaik dalam 10 hari atau lebih
setelah timbulnya gejala
 Gejala atau tanda rinosinusitis memburuk dalam 10 hari setelah perbaikan
awal
 Chronic Rhinosinusitis
 Muncul dua atau lebih gejala berikut selama > 12 minggu :
1) Sekret mukopurulen
2) Obstruksi hidung (kongesti)
3) Nyeri tekan pada wajah
4) Indra penciuman menurun
5) Inflamasi (keluar nanah tidak jernih, polip, dengan CT scan paranasal)
 Recurrent Acute Rhinosinusitis
 Empat atau lebih episode rhinosinusitis bakterial akut per tahun tanpa atau
adanya gejala rhinosinusitis di antara episodenya (harus memenuhi kriteria
rhinosinusitis bakterial akut tiap episodenya)

F. PEMERIKSAAN
 Tes alergi
 Jika mencurigai bahwa sinusitis disebabkan oleh alergen tertentu, dokter akan
melakukan tes alergi melalui kulit
 Jenis tes alergi ini aman dan cepat, serta dapat membantu menentukan jenis
alergen yang menyebabkan gejala sinusitis
 Endoskopi hidung
 Untuk melihat bagian dalam sinus
 CT scan paranasal
 Digunakan untuk memperoleh gambaran area sinus dan hidung secara detail,
seperti kondisi peradangan atau penyumbatan yang sulit terdeteksi dengan
endoskopi
 Kultir hidung dan sinus
 Dilakukan ketika sinusitis gagal merespon terapi obat atau gejala yang
dirasakan semakin memburuk
 Dapat membantu untuk menentukan penyebabnya

SINUSITIS JAMUR

 Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal


 Angka kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya pemakaian antibiotik,
kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi
 Kondisi yang merupakan predisposisi anatara laian DM, neutropenia, penyakit AIDS dan
perawatan yang lama di rumah sakit
 Etiologi paling sering adalah Aspergillus dan Candida
 Sinusitis jamur dibagi menjadi sinusitis invasif dan non-invasif
 Sinusitis jamur invasif dibagi lagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolan
 Sinusitis jamur invasif akut
 Ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular
 Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresif seperti leukimia, pemakaian steroid lama dan terapi imunosupresan
 Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur
sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus
kavernosus
 Di kavum nasi, mukosa berwarna biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau
septum yang nekrotik
 Sering berakhir dengan kematian
 Sinusitis jamur invasif kronik
 Biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti
diabetes
 Bersifat kronis progresif dan bisa juga menginvasi sampai ke orbita atau
intrakranial, tetapi gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fulminan karena
perjalanan penyakitnya lebih lambat
 Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-
bercak kehitaman, yang bila dilihat dengan mikroskopi merupakan koloni jamur
 Sinusitis jamur non-invasif
 Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa
dan tidak mendestruksi tulang
 Sering mengenai sinus maksila
 Gejala klinis mirip dengan yang kronis : rinore purulen, post nasal drip, dan napas
bau
 Kadang-kadang ada massa jamur juga di kavum nasi
 Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor
dengan atau tanpa pus di dalam sinus
 Terapi
 Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridement, anti jamur
sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya
 Obat standar ialah amfoterisin B, bisa ditambah rifampisin atau flusitosin agar lebih
efektif
 Pada non-invasif atau misetoma hanya perlu tindakan bedah untuk membersihkan
massa jamur, menjaga drainasen dan ventilasi sinus

Anda mungkin juga menyukai