Skenario 4
Skenario 4
A. DEFINISI
Pada tahun 1998 Joint Task Force on Practicea Parameters in Allergy, Asthma, and
Immunology mendefinisikan rinitis sebagai ‘peradangan pada membran yang melapisi
hidung, dengan cirri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin, gatal pada hidung dan/atau
postnasal drainage.’ Sedangkan rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.
B. KLASIFIKASI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya :
1) Rinitis alergi musiman
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur
Disebut juga polinolisis
2) Rinitis alergi sepanjang tahun
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan pada orang dewasa
dan alergen ingestan pada anak-anak
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan
berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala
Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi berdasarkan lama gejala dibagi
menjadi :
1) Intermiten : gejala ≤ 4 hari per minggu atau lamanya ≤ 4 minggu
2) Persisten : gejala > 4 hari per minggu atau lamanya > 4 minggu
Sedangkan berdasar beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi
1) Ringan
Tidur normal
Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
Bekerja dan sekolah normal
Tidak ada keluhan yang mengganggu
2) Sedang atau berat (satu atau lebih gejala)
Tidur terganggu (tidak normal)
Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
Gangguan saat bekerja dan sekolah
Ada keluhan yang mengganggu
C. ETIOLOGI
Inhalan : debu rumah, tungau, jamur, bulu hewan
Ingestan : susu, telur, kacang, seafood
Injektan : penisilin, sengatan lebah
Kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan
D. FAKTOR RISIKO
E. PATOFISIOLOGI
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain
karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan untuk
melindungi saluran pernapasan bagian bawah
Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh sistem mukosilia
Pada permukaan mukosa hidung dan lamina propria terdapat sel mast dan basofil
yang merupakan unsur terpenting pada patofisiologi rinitis alergi
Orang yang tersensitisasi alergen inhalan seperti tungau debu rumah, kecoa,
kucing, anjing atau pollen, sel mast dan basofilnya akan diselaputi oleh IgE
terhadap alergen spesifik tersebut
Paparan ulang terhadap alergen tersebut memicu suatu rangkaian kejadian yang
meliputi respon fase cepat dan fase lambat yang menimbulkan gejala rinitis alergi
1) Respon fase cepat
Respons fase cepat timbul dalam beberapa menit sampai 1 jam setelah
paparan
Paparan terhadap alergen menyebabkan migrasi sel mast dan basofil yang
sudah diselaputi IgE spesifik dari lamina propria ke permukaan epitel
Bagian Fc dari molekul IgE berikatan dengan permukaan sel, sementara
bagian Fab bebas untuk menerima molekul alergen
Jika alergen berikatan dengan dua molekul IgE yang terikat pada permukaan
sel, maka preformed mediator seperti histamin dilepaskan dari sel
Mediator lain kemudian dibentuk dari metabolisme fosfolipid membran menjadi
asam arakhidonat dan selanjutnya menjadi suatu rangkaian newly generated
mediator seperti leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan
Respons fase cepat pada rinitis alergi ini menyebabkan timbulnya secara
mendadak bersin, gatal hidung, tersumbatnya hidung dan rinore
Histamin akan merangsang reseptor H1 yang ada pada ujung saraf vidianus
akan menyebabkan gejala hidung gatal dan bersin-bersin
Selain itu, histamin juga menyebabkan sel goblet dan sel penghasil mukus
mengalami hipersekresi sehingga menyebabkan rinorrhea
Histamin juga menyebabkan vasodilatasi dari sinusoid sehingga menyebabkan
hidung tersumbat
2) Respon fase lambat
Respons fase lambat terjadi dalam waktu 2-4 jam pasca paparan dan
puncaknya pad 6-8 jam serta dapat bertahan selama 24-48 jam
Merupakan suatu proses cellular-driven dengan adanya infiltrasi eosinofil,
neutrofil, basofil, limfosit T dan makrofag, yang melepaskan mediator inflamasi
dan sitokin tambahan dan memperpanjang respons proinflamasi
Respons fase lambat ini diperkirakan sebagai penyebab gejala kronis dan
persisten dari rinitis alergi, terutama sumbatan hidung, anosmia, hipersekresi
mukus dan hiperresponsif nasal terhadap alergen yang sama atau alergen
lainnya dan iritan
Paparan alergen yang terus-menerus seringkali menyebabkan keadaan
inflamasi kronis
F. DIAGNOSIS
Gejala alergi hidung berbeda dengan rinitis infeksiosa
Respons alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang
encer dan banyak
Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun menjadi
purulen, seperti yang terjadi pada rinitis infelsiosa
Seperti pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder
akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.
a) ANAMNESIS
Sangat penting dilakukan karena hampir 50% kasus rinitis alergi bisa
ditegakkan hanya dengan anamnesis
Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga
Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang
menyerang hidung, seperti asma, ekzema, urtikaria' atau sensitivitas obat
Saat-saat di mana gejala sering timbul juga dapat membantu menenfukan
alergi musiman
b) PEMERIKSAAN FISIK
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,
dan disertai adanya sekret encer yang banyak → bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia
Gejala spesifik pada anak
Terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung, disebut allergic
shiner
Tampak anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan
karena gatal, disebut allergic salute
Keadaan menggosok hidung ini lama-kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
disebut allergic crease
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga menyebabkan gangguan pertubuhan gigi geligi, disebut
facies adenoid
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestonr
appareance), serta dinding lateral faring menebal
Lidah seperti gambaran peta (geographic tongue)
c) PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Apusan Hidung
Apusan biasanya diambil dari bawah konka inferior (beberapa apusan
sekaligus) dan difiksasi dengan cennat.
Ditemukan banyak eosinofil → terdapat hubungan positif antara RA
dan asma, semakin tinggi konsentrasi eosinofil maka semakin
hiperresponsif bronkial pasien
2. Uji Klinis Alergi
Uji Diet
Terdapat dua kategori utama: uji makanan provokatif dan
berbagai macam diet eliminasi
Uji makanan provokatif adalah pengekangan diri dari makanan
tersangka selama 4-10 hari, kemudian makanan tersebut
dikonsumsi dalam jumlah besar → pasien melaporkan
perubahan-perubahan subjektif dan mengamati data objcktif
Diet eliminasi telah dikembangkan untuk sereal, susu, telur, dan
buah, di mana pemeriksa memilih diet tertentu untuk pasien.
Uji In Vitro
Uji makanan sitotoksik digunakan sebagai uji skrining
Bilamana leukosit dari lapisan buffy coat plasma pasien
dihancurkan oleh adanya antigen makanan, maka kepekaan
dapat dicurigai
Uji Radioalergosorben
Uji ini memerlukan inkubasi antibodi pasien dengan antigen
dalam konsentrasi tertentu yang terikat pada kertas radioaktif
Dapat mengukur kadar antibodi IgE dan terbukti lebih bernilai
untuk hipersensitivitas tipe I
3. Uji Kulit
Bila memungkinkan dilakukan uji kulit alergen untuk menentukan
status atopi serta menentukan kemungkinan alergen penyebab
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan hitung
jenis eosinofil, hitung total eosinofil, dan kadar IgE total serum
5. CT Scan Sinus Paranasalis
Pada pasien yang berusia 4 tahun atau lebih dapat dilakukan foto
atau CT scan sinus paranasalis bila dicurigai komplikasi sinusitis atau
adanya deviasi septum nasi
G. TATALAKSANA
a) Eliminasi Alergen
Disesuaikan dengan alergen penyebab rinitis
Apabila memiliki alergi terhadap debu maka diusahakan hidup dalam
lingkungan yang sebersih mungkin dan bisa menyingkirkan barang-barang
yang mungkin bisa mengumpulkan debu, contohnya karpet
Apabila alergi terhadap udara yang panas maka bisa bekerja atau beraktivitas
di tempat yang berAC
Apabila alergi terhadap suatu makanan maka sebisa mungkin menghindari
makanan tersebut
b) Penatalaksanaan Medis
1. ANTIHISTAMIN
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif)
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta serta memiliki efek kolinergik → difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan
secara topikal adalah azelastin
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik (sulit menembus sawar darah
otak), bersifat selektif terhadap reseptor H-1 perifer, dan tidak mempunyai
efek kolinergik atau antiadrenergik
Antihistamin generasi-2 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai
efek kardiotoksik
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin,
dan levosetrisin
Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
respon fase lambat
2. AGONIS ALFA ADRENERGIK
Digunakan sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin
Namun pemakaian topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menhindari ritinitis medikamentosa
3. KORTIKOSTEROID
Digunakan apabila gejala hidung tersumbat pada respon fase lambat tidak
bisa diatasi oleh obat lain
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamnisolon)
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mast pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dan eosinofil,
mengurangi aktifasi limfosit sehingga tidak hiperresponsif terhadap
alergen
4. ANTIKOLINERGIK TOPIKAL
Ipratropium bromida bermanfaat untuk mengatasi rinore
5. LAINNYA
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan
c) Terapi Bedah
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dilakukan apabila konka
inferior mengalami hipertrofi dan tidak dapat dikecilkan dengan kauterisasi
menggunakan AgNO3 25% atau triklor asetat
d) Imunoterapi
Dilakukan apabila pengobatan lain tidak bisa mengatsi
Tujuannya adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE
Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-
lingual
A. DEFINISI
Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat
Jenis rinitis non alergik yang umum dijumpai
B. ETIOLOGI
Etiologi rhinitis vasomotor belum diketahui secara pasti
Rhinitis vasomotor tidak disebabkan oleh infeksi, alergi, atau inflamasi terkait IgE
Pencetus rhinitis vasomotor :
Perubahan Lingkungan Udara dingin dan kering
Udara panas dan lembab
Perubahan suhu
Perubahan tekanan
Iritan Bau yang menyengat seperti parfum,
bunga
Pembersih rumah tangga
Paparan rokok baik aktif maupun pasif
Polutan
Obat-obatan Penyekat alfa : prazosin, terazosin
Penyekat beta : propanolol, metoprolol
Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid
lain
ACE inhibitor : captopril, ramipril
Kontrasepsi oral : estrogen, progestin
Antidepresan : psikotropika
Diet Makanan yang pedas
Konsumsi alkohol
Olahraga
Paparan dan pekerjaan
Kondisi emosional yang kuat
C. FAKTOR RISIKO
Rhinitis vasomotor ditandai dengan gejala obstruksi nasal yang menonjol,
rhinorrhea, dan kongesti
Gejala ini biasanya memberat dengan adanya bau tertentu seperti parfum, rokok,
dan, bau cat
Gejala juga bisa memburuk dengan konsumsi alkohol, makanan pedas, emosi, dan
faktor lingkungan seperti suhu, perubahan tekanan, dan cahaya terang.
Banyak studi telah mencoba mengetahui penyebab yang mendasari patologi
rhinitis, tetapi belum ada yang benar-benar mampu menjelaskan secara pasti
Sebuah studi dengan jumlah sampel yang kecil mengindikasikan adanya peran
disfungsi sistem autonom pada pasien dengan rhinitis vasomotor
Compounding factor lain yang diduga berperan adalah riwayat trauma nasal dan
manifestasi esofageal dari gastroesophageal reflux disease (GERD)
D. PATOFISIOLOGI
1) Neurogenik
Persarafan sensorik di hidung berasal dari cabang saraf trigeminal pertama
dan kedua yang menerima input dari epitel, pembuluh darah mukosa, dan
kelenjar sekretorik
Saraf simpatis hidung dimediasi oleh neurotransmitter norepinefrin dan
neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi
hidung
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenopalatina dan membentuk n. Vidianus kemudian menginervasi pembuluh
darah dan terutama kelenjar eksokrin
Saraf parasimpatis memiliki neurotransmitter asetilkolin dan berkontribusi
dalam vasodilatasi pembuluh darah (kongesti hidung) dan hipersekresi mukus
dari kelenjar submukosa hidung
Dalam keadaan normal lebh dominan yang simpatis tapi kalo yang rinitis
vasomotor lebih dominan yang parasimpatis
2) Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensorik serabut C di hidung
Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptide seperti substance P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar
Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiperreaktivitas
hidung
3) Nitrit Oksida
Kadar NO yg tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel
Sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung dengan lapisan sub-
epitel → peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitments refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung
4) Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanis neurogenik dan/atau neuropeptide
E. GEJALA KLINIS
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat (bergantian kiri dan kanan)
Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa
Keluhan ini jarang disertai dengan gejala pada mata
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan :
1) Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal
2) Golongan rinore (runners), gejala daoat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal
3) Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang
baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriktor oral
F. DIAGNOSIS
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya
rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
Tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna
merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula livid atau pucat
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi)
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit
Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan
banyak jumlahnya
Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi
Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah
sedikit
Tes cukit kulit biasanya negatif
Kadar IgE spesifik tidak meningkat
G. TATALAKSANA
1) Menghindari faktor predisposisi
2) Medikamentosa
Dekongestan oral Antihistamin (cetirizine 1x10mg)
Kortikosteroid topical (flutikason propionate)
Antikolinergik topical (ipratropium bromida)
3) Operatif : bedah beku, konkotomi
4) Vidian neuroktomi
H. EDUKASI
Memberikan pengetahuan kepada pasien tentang faktor pencetus alergi dan
menganjurkan pasien untuk menjauhi faktor pencetus gejala
Apabila pasien tidak bisa menghindari, maka bisa diberikan steroid dan antihistamin
untuk mengurangi gejala
Bagi pasien yang sedang menjalani imunoterapi diedukasi untuk melaporlan efek
obat, timbulnya infeksi saluran pernapasan baru, meburuknya asma dll pada saat
kunjungan berikutnya
RINITIS MEDIKAMENTOSA
A. DEFINISI
Adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang
diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topikal (tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap
Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse)
B. PATOFISIOLOGI
Mukosa hidung merupakan salah satu organ yang sangat peka terhadap
rangsangan atau iritan sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokontriktor
Obat topikal vasokontriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan
Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang setelah vasokkontriksi, sehingga
timbul gejala obstruksi
Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut
Pada keadaan ini akan ditemukan kadar agonis alfa adrenergik yang tinggi di
mukosa hidung → hal ini akan diikutin dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-
adrenergik di pembuluh darah di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi →
aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokontriksi (dekongesti mukosa
hidung) menghilang → akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung,
disebut rebound congestion
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung
dalam waktu lama ialah :
1) Silia rusak
2) Sel goblet berubah ukurannya
3) Membran basal menebal
4) Pembuluh darah melebar
5) Stroma tampak edema
6) Hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung
7) Lapisan submukosa menebal
8) Lapisan periostium menebal
D. PENATALAKSANAAN
Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokontriktor hidung
Kortikosteroid oral
Untuk mengatasi sumbatan berulang, dapat diberikan kortikosteroid oral dosis
tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan
menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari
Bisa juga dengan pemberian kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu
untuk mengembalikan proses fisiologis mukoas hidung
Obat dekongestian (biasanya mengandung pseudoefedrin)
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke
dokter THT
RINITIS SIMPLEKS
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia
Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu
Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah rhinovirus
Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus Coxsackie, dan virus ECHO
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya
kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun dan lain-lain)
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung
Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, dan ingus encer yang
biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak
Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen
Tidak ada terapi spesifik untuk rinitis simpleks, selain istirahat dan pemberian obat-obat
simtomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan
Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri
SINUSITIS
A. DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis
Penyebab utamanya adalah ialah selesma (common cold yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti dengan infeksi bakteri
Jika mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan jika mengenai
semua sinus paranasal disebut parasinusitis
Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal
lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akan gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen
B. ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi,kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konkai, nfeksi tonsil, dan infeksi gigi
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuh rinosinusitisnya
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok → lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia
C. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar di dalam KOM
Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus
anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan ostium tersumbat
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous → dianggap sebagai rinosinusitis non-
bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri → sekret menjadi purulen, disebut sebagai
rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista → perlu tindakan operasi
D. KLASIFIKASI
Konsensus internasional tahun 1995 :
1) Rinosinusitis akut : ≤ 8 minggu
2) Rinosinusitis kronis : > 8 minggu
Konsensus tahun 2004 :
1) Rinosinusitis akut : < 4 minggu
2) Rinosinusitis subakut : 4 minggu - 3 bulan
3) Rinosinusitis kronis : > 3 bulan
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat
E. KRITERIA DIAGNOSIS
Acute Rhinosinusitis
≤ 4 minggu timbul gejala sekret purulen disertai obstruksi hidung, nyeri tekan
pada wajah, atau keduanya
Viral Rhinosinusitis
Gejala atau tanda rinosinusitis akut muncul kurang dari 10 hari dan gejalanya
tidak memburuk
Acute Bacterial Rhinosinusitis
Gejala atau tanda rinosinusitis akut gagal membaik dalam 10 hari atau lebih
setelah timbulnya gejala
Gejala atau tanda rinosinusitis memburuk dalam 10 hari setelah perbaikan
awal
Chronic Rhinosinusitis
Muncul dua atau lebih gejala berikut selama > 12 minggu :
1) Sekret mukopurulen
2) Obstruksi hidung (kongesti)
3) Nyeri tekan pada wajah
4) Indra penciuman menurun
5) Inflamasi (keluar nanah tidak jernih, polip, dengan CT scan paranasal)
Recurrent Acute Rhinosinusitis
Empat atau lebih episode rhinosinusitis bakterial akut per tahun tanpa atau
adanya gejala rhinosinusitis di antara episodenya (harus memenuhi kriteria
rhinosinusitis bakterial akut tiap episodenya)
F. PEMERIKSAAN
Tes alergi
Jika mencurigai bahwa sinusitis disebabkan oleh alergen tertentu, dokter akan
melakukan tes alergi melalui kulit
Jenis tes alergi ini aman dan cepat, serta dapat membantu menentukan jenis
alergen yang menyebabkan gejala sinusitis
Endoskopi hidung
Untuk melihat bagian dalam sinus
CT scan paranasal
Digunakan untuk memperoleh gambaran area sinus dan hidung secara detail,
seperti kondisi peradangan atau penyumbatan yang sulit terdeteksi dengan
endoskopi
Kultir hidung dan sinus
Dilakukan ketika sinusitis gagal merespon terapi obat atau gejala yang
dirasakan semakin memburuk
Dapat membantu untuk menentukan penyebabnya
SINUSITIS JAMUR