Anda di halaman 1dari 12

SKENAR

IO 2

PATOFISIOLOGI VISUS TURUN

PATOFISIOLOGI LAKRIMASI
PATOFISIOLOGI INVASI BAKTERI

PATOFISIOLOGI KERATITIS BAKTERI

Sahreena et al., 2016


 Ada 3 tahap :
1) Adhesi
2) Invasi bakteri dan efek sitotoksik
3) Nekrosis stroma dan pembentukan cincin infiltrat
 Adhesi
 Bakteri menginisiasi infeksi dengan cara berpasangan dengan reseptor permukaan sel host
melalui berbagai adhesin
 Bakteri memiliki beberapa adhesin pada permukaanya, misalnya vili atau fimbriae yang
dapat mengenali karbohidrat atau protein pada permukaan sel host
 Adhesi P. aeruginosa, S. pneumoniae, dan S. aureus memiliki daya lebih tinggi untuk
menyebabkan kerusakan pada epitel kornea
 Glikoprotein epitel kornea bertindak sebagai reseptor permukaan yang memediasi
pengikatan vili
 Selain itu, glikokalik juga berperan dalam adhesi bakteri dengan cara menghasilkan agregat
lendir yang resisten terhadap fagositosis sehingga memungkinkan bakteri untuk melekat
pada epitel sel host
 Invasi bakteri dan efek sitotoksik
 Setalah menempel pada permukaan epitel, patogen akan menyerang stroma kornea
 Invasi bakteri difasilitasi oleh protease yang berfungsi untuk mendegradasi membran dasar
dan matriks ekstraseluler menyebabkan sel melisis
 Selain itu, hemolisin dan fosfolipase juga berperan dalam invasi bakteri ke dalam kornea
 Setelah invasi bakteri ke kornea terjadi, infeksi berkembang dengan cepat menuju
pelelehan kornea yang difasilitasi oleh protease bakteri, akrivasi metaloprotein, dan
stimulasi respon imun yang mengakibatkan kerusakan lebih lanjut melalui pelepasan
oksigen reaktiv dan protease sel host
 Protease berperan dalam mendegradasi membran basal, laminin, proteoglikan, kolagen
dan matriks ekstraseluler
 Nekrosis stroma dan pembentukan cincin infiltrat
 Eksotoksin dan protease dilepaskan secara konstitutif selama perbanyakan bakteri
 Toksin dan enzim ini akan bertahan di kornea dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
kerusakan stroma terus menerus dan dapat menyebabkan kebutaan
 LPS dan endotoksin dilepaskan dari dinding sel bakteri gram negatif sehingga menghasilkan
cincin stroma
 Cincin stroma terdiri dari leukosit polimorfonuklear di dalam stromal kornea

PATOFISIOLOGI ULSERASI KORNEA


KRITERIA MERUJUK
 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I): pelayanan kesehatan dasar yang diberikan
oleh puskesmas, klinik atau dokter umum. Disebut juga Faskes Primer.
 Fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua (Faskes II): pelayanan kesehatan spesialistik oleh dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis.
 Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL):  1. Klinik utama atau yang setara, 2. Rumah
Sakit Umum, 3. Rumah Sakit Khusus.

KERATITIS

A. PENDAHULUAN
 Keratitis adalah peradangan kornea
 Klasifikasi keratitis
 Berdasarkan waktu timbul gejala : akut dan kronis
 Berdasarkan derajat keparahan : ringan, sedang, dan berat
 Berdasarkan penyebabnya : noninfeksi dan infeksi
 Berdasarkan daerah yang terpapar : keratitis superfisialis dan keratitis
interstitial/stroma
 Keratitis noninfeksi dapat terjadi karena adanya gangguan pada film air mata, inflamasi dan
abnormalitas kelopak mata, trauma fisik dan kimia, alergi, pengguan lensa kontak,
neuropati fasialis. Etiologi keratitis infeksi ada berbagai macam, yaitu bakteri, virus, fungal,
dan parasit
 Inflamasi pada kornea dapat terjadi hanya sebatas epitel yang disebut keratitis superfisialis,
namun dapat pula terjadi inflamasi hingga mecapai stroma yang kemudian disebut keratitis
interstitial atau keratitis stroma
 Untuk ulkus kornea, penyebabnya terutama berasal dari golongan bakteri dan jamur
 Jenis bakteri yang dominan adalah basil gram negatif diikuti kokus gram negatif

B. MORFOLOGI
1) Keratitis Epitelial
 Epitel kornea terlibat pada sebagian besar konjungtivitis dan keratitis
 Perubahan pada epitel sangat bervariasi, misalnya edema sederhana, vakuolasi, erosi
kecil, pembentukan filamen, keratinisasi parsial
 Semua jenis keratitis epitelial memiliki ciri khasnya masing-masing dan pemeriksaan
slitlamp dengan dan tanpa pewarnaan fluorescein harus menjadi bagian dari setiap
pemeriksaan mata eksternal

2) Keratitis Subepitelial
 Biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder dari keratitis epitelial (misalnya, infiltrat
subepitel dari keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus 8 atau
19)
3) Keratitis Stromal
 Respon stroma kornea terhadap infiltrasi agen asing, antara lain akumulasi sel
inflamasi, edema dimanifestasikan sebagai edema kornea, kekeruhan, dan jaringan
parut
 Nekrosis yang dapay menyebabkan penipisan atau perforasi

4) Keratitis Endotelial

C. ETIOLOGI
1) Injury
 Jika ada objek yang menggores atau melukai permukaan kornea dapat menyebabkan
keratitis atau keratitis non infeksi
 Selain itu, c=injury dapat menjadi akses masuk untuk agen penyebab keratitis
2) Pemakaian lensa kontak yang terkontaminasi
 Bakteri, jamur atau parasit - terutama parasit mikroskopis acanthamoeba - dapat
menghuni permukaan lensa kontak
3) Virus
4) Jamur
5) Bakteri
6) Air yang terkontaminasi
 Bakteri, jamur, dan parasit dalam air - terutama di lautan, sungai, danau, dan bak
mandi air panas - dapat memasuki mata Anda ketika Anda berenang dan
mengakibatkan keratitis
 Namun harus didahului trauma okular sebelumnya yang digunakan sebagai akses
masuk agen-agen tersebut

D. FAKTOR RISIKO
 Penggunaan lensa kontak yang tidak tepat (pemakaian lensa kontak dalam jangka waktu
lama, desinfeksi yang tidak tepat, dan penggunaan lensa kontak saat berenang)
 Daya tahan tubuh yang menurun (imunodefisiensi)
 Penggunaan tetes mata yang mengandung steroid
 Penyakit sistemik, misalnya diabetes melitus
 Trauma okular sebelumnya → bisa digunakan sebagai jalan masuk agen penyebab keratitis

E. PATOGENESIS
 Kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan yaitu dengan refleks menutup mata,
produksi air mata, sawar difusi epitel, dan kemampuan regenerasi yang sangat cepat →
Gangguan sistem pertahanan kornea baik melalui adanya injuri maupun dengan defek
epitel menyebabkan beberapa patogen dapat secara mudah menginfeksi kornea →
menyebabkan inflamasi pada kornea yang disebut keratitis

F. MANIFESTASI KLINIS
 Keratitis memberi gejala dan tanda-tanda berupa epifora (keluar air mata), fotofobi (sensitif
cahaya), penglihatan kabur, mata merah, kadang sakit, blefarospasme dan injeksi
perikorneal
 Injeksi perikornea adalah bila pembuluh darah lurus radial ke arah limbus terlihat jelas dan
jika kornea digerakkan vasanya tidak ikut bergerak karena ber-asal dari vasa-vasa yang lebih
profunda
 Injeksi konjungtiva berwarna merah kehitaman, pembuluh darah ber-kelok-kelok di
permukaan luar, dan jika konjungtiva digerakkan vasa-nya ikut bergerak karena berasal dari
vasa-vasa superfisial
 Perbedaan klinis antara keratitis dan konjungtivitis adalah sebagai berikut :
 Pada keratitis merahnya tidak begitu berat, ada injeksi perikornea, sekretnya sedikit
atau tidak ada, tapi pasien merasa sangat silau (fotofobia) dan untuk mengkompensasi
rasa silau makanya bisa terjadi blefarospasme, karena palpebra terus menerus
menyipit
 Pada konjungtivitis mata sangat merah, sekretnya bisa sangat banyak, dan ada injeksi
konjungtiva
 Ketajaman penglihatan dapat menurun sampai buta, tergantung letak dan kepadatan
kekeruhan kornea
 Kesembuhan dapat menimbulkan parut → Jika defek hanya di epitel bisa sembuh
sempurna, tapi jika sampai lapisan dalam maka akan terbentuk jaringan parut

G. PEMERIKSAAN
 Untuk memilih terapi yang tepat untuk keratitis (baik karena bakteri, virus, ataupun jamur)
maka diperlukan pemeriksaan laboratorium secepatnya
 Karena penundaan pemeriksaan akan mempengaruhi kemampuan visual pasien
 Pemeriksaan kerokan kornea yang kemudian dilakukan pengecatan Gram atau Giemsa
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme, terutama pada infeksi bakteri
 Pemeriksaan PCR dapat memberikan hasil identifikasi dengan waktu yang cepat, biasanya
dilakukan pada kecurigaan infeksi oleh virus, Achantamoeba, dan jamur
 Kultur untuk jamur, Acanthamoeba, dan virus dilakukan apabila memiliki gambaran klinis
yang khas dan kurangnya respon terhadap pengobatan infeksi bakteri

H. TATALAKSANA
ULKUS KORNEA
KERATITIS BAKTERIAL

1) Streptococcus Pneumoniae Corneal Ulcer

 Ulkus kornea pneumococcus biasanya bermanifestasi 24-48 jam setelah inokulasi kornea
yang terabrasi
 Biasanya menghasilkan ulkus abu-abu dengan batas yang cukup baik, menyebar secara
tidak menentu dari tempat asal infeksi ke bagian tengah kornea
 Perbatasan yang semakin maju menunjukkan ulserasi dan infiltrasi aktif saat perbatasan
belakang mulai sembuh (ulkus serpiginous akut)
 Lapisan kornea superfisial terlibat terlebih dahulu lalu parenkim dalam
 Kornea yang mengelilingi ulkus biasanya jernih
 Hipopion sering terjadi
 Kerokan dari tepi depan ulkus kornea pneumococcus biasanya mengandung diplococcus
berbentuk lanset gram positif

2) Pseudomonas oeruginosa Corneal Ulcer

 Ulkus kornea pseudomonas dimulai sebagai infiltrat abu-abu atau kuning di tempat
pecahnya epitel kornea
 Lesi cenderung menyebar dengan cepat ke segala arah karena enzim proteolitik dari
organisme
 Meskipun awalnya superfisial, ulkus dapat dengan cepat mempengaruhi segala permukaan
kornea dengan konsekuensi yang parah, termasuk perforasi kornea dan infeksi intraokular
yang parah
 Seringkali terdapat hipopion yang membesar seiring dengan perkembangan ulkus
 Infiltrasi dan eksudat berwarna hijau kebiruan → karena pigmen yang diproduksi oleh
organisme dan merupakan potognomonik dari infeksi P. aeruginosa
 Infeksi kornea Pseudomonas sering dikaitkan dengan pemakain lensa mata dan pemakaian
fluorescein yang terkontaminasi atau obat tetes mata
 Kerokan dari ulkus kornea akan didapatkan bakteri gram negatif berbentuk batang,
panjang, dan tipis dalam jumlah yang sedikit

3) Moroxella liquefaciens Corneal Ulcer


 M. liquefaciens menyebabkan ulkus berbentuk oval lambat yang biasanya mengenai kornea
inferior dan berkembang ke dalam stroma dalam beberapa hari
 Biasanya tidak ada hipopion atau ada tapi kecil, kornea di sekitar ulkus jernih
 Ulkus jenis ini sering terjadi pada alkoholisme, diabetes melitus, atau penyebab
imunosupresan lainnya
 Kerokan ulkus kornea didapatkan bakteri diplobasilus gram negatif yang besar dan
berbentuk persegi

4) Group A Streptococcus Corneal Ulcer


 Ulkus kornea sentral yang disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitik tidak memiliki ciri
pengidentifikasi
 Stroma kornea di sekitarnya sering mengalami infiltrasi dan edema, dan biasanya terdapat
hipopion yang cukup besar
 Kerokan sering kali mengandung coccus gram positif berbentuk rantai

5) Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Alpha-Hemolithic Streptococcus Corneal


Ulcers
 Ulkus kornea sentral yang disebabkan oleh organisme ini sekarang lebih sering terjadi
 Dangkal dan dasar ulkus terasa keras saat dikerok
 Kerokan mungkin mengandung coccus Gram-positif — soliter, multipel, atau berantai
 Keratopati kristal infeksiosa (di mana kornea memiliki tampilan kristal) telah dijelaskan
pada pasien yang menerima terapi jangka panjang dengan kortikosteroid topikal; penyakit
ini sering disebabkan oleh streptokokus alfa-hemolitik serta streptokokus yang kekurangan
nutrisi.
6) Mycobacterium fortuitum-chelonei & Nocardia Corneal Ulcers
 Jarang terjadi
 Berkaitan dengan trauma dan kontak dengan tanah
 Lesinya lamban dasar ulkus sering menampilkan garis-garis yang memancar sehingga
terlihat seperti kaca depan yang retak
 Hipopion biasanya ada atau tidak ada
 Kerokan didapatkan batang ramping tahan asam (Mycobacterium fortuitum-chelonei) atau
gram positif berfilamen, seringkali bercabang (Nocardia)

FUNGAL KERATITIS

 Pada awalnya, ulkus kornea akibat jamur hanya terdapat pada lingkungan pertanian. Tetapi sejak
ada lensa mata, penyakit imunosupresif, dan penggunaan kortikosteroid, infeksi ini terlihat pada
berbagai populasi
 Ulkus jamur lamban dan memiliki infiltrasi abu-abu dengan tepi tidak beraturan, seringkali
hipopion, peradangan bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi satelit
 Terdapat plak endotel yang berhubungan dengan reaksi bilik anterior yang parah
 Abses kornea sering terjadi
 Kebanyakan ulkus akibat jamur disebabkan oleh oporthunis seperti Candida, Fusarium,
Aspergillus, Penicillum, Cephalosporium, dan lain-lain
 Tidak ada fitur pengidentifikasi yang membantu membedakan satu jenis ulkus jamur dengan
yang lainnya
 Kerokan dari ulkus kornea jamur, kecuali Candida akan didapatkan elemen hifa
 Kerokan dari ulkus Candida biasanya mengandung bentuk pseudohifa atau ragi yang
menunjukkan tunas yang khas

ACANTHAMOEBA KERATITIS

 Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup bebas dan tumbuh subur di air tercemar yang
mengandung bakteri dan bahan organik lainnya
 Keratitis pada acanthamoeba biasanya dihubungan dengan penggunaan lensa kontak
 Ini juga dapat terjadi pada seseorang yang tidak menggunakan lensa kontak tetapi telah terpapar
air atau tanah yang terkontaminasi
 Pasien mengeluhkan gejala nyeri, kemerahan, dan fotofobia
 Tanda klinis yang khas adalah ulserasi kornea yang lamban, cincin stroma, dan infiltrat perineural
 Diagnosis
 Ditegakkan dengan kultur pada media khusus (agar non-nutrient dengan lapisan Escherichia
coli)
 Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan bentuk amuba (trofozoit atau kista)
 Seringkali bentuk amuba dapat ditemukan di dalam cairan case lensa kontak
 Tatalaksana
 Tindakan debridement bisa bermanfaat pada awal infeksi
 Perawatan medis biasanya dimulai dengan pemberian propamidine isethionate topikal
intensif (larutan 1%) dan poliheksametilen biguanida (larutan 0,01-0,02%) atau obat tetes
mata neomisin
 Kortikosteroid tidak diperlukan pada infeksi Acanthamoeba kecuali terjadi peradangan yang
serius
 Keratoplasti mungkin diperlukan pada penyakit lanjut untuk mengehentikan perkembangan
infeksi atau setelah resolusi untuk menangani jaringan parut parah atau memulihkan
penglihatan

VIRAL KERATITIS

1) Varicella Zooster Viral Keratitis


 Bisa terjadi dalam 2 bentuk, yaitu infeksi primer (varicella) dan rekuren (herpes zooster)
 Manifestasi pada mata jarang terjadi pada pasien varicella, tetapi sering ditemui pada
pasien herpes zooster
 Pada varicella, lesi mata yang sering dijumpai berupa bopeng pada kelopak mata dan tepi
kelopak mata, jarang dijumpai keratitis
 Pada pasien herpes zooster sering dibarengi dengan keratouveitis atau keratitis dengan
tingkat keparahan yang bervariasi sesuai dengan imun pasien → pada pasien anak dijumpai
keratitis dengan derajat ringan, sedangkan pada usia lanjut sering dijumpai keratitis dengan
derajat parah atau kebutaan
 Komplikasi kornea pada pasien herpes zooster sering terjadi jika terdapat erupsi kulit di
daerah yang disuplai oleh cabang saraf nasosiliar
 Tidak seperti HSV rekuren yang hanya menyerang epitel kornea, tapi pada herpes zooster
bisa sampai menyerang stromal dan uvea anterior
 Pasien mengeluhkan mata merah, epifora, fotofobia, dan penglihatan menurun mendadak
 Pada periorbita didapatkan lesi vesikel bergerombol, edema palpebra
 Pemeriksaan segmen anterior tampak injeksi perikornea dan tampak defek pada kornea
berupa lesi dendritik
 Tatalaksana
 Antivirus intravena atau oral disebutkan lebih efektif hasilnya jika diberikan pada
pasien herpes zooster opthalmicus
 Dosis oral asiklovir 800 mg 5x/hari selama 10-14 hari
 Valasiklovir 1 g 3x/hari selama 7-10 hari
 Famciclovir 500 mg 3x/hari selama 7-10 hari
 Terapi harus dimulai 72 jam setelah munculnya ruam
 Kortikosteroid mungkin diperlukan pada keratitis berat, uveitis, dan glaukoma
sekunder
 Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial, mungkin diindikasikan untuk
pasien neuralgia postherpetik

2) Herpes Simplex Keratitis


A. PENDAHULUAN
 Keratitis herpes simplex terjadi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan rekuren
B. MANIFESTASI KLINIS
 Herpes simpleks mata primer jarang terlihat, tetapi bermanifestasi sebagai
blefarokonjungtivitis, kadang-kadang dengan keterlibatan kornea, dan biasanya terjadi
pada anak kecil → biasanya sembuh sendiri tanpa menimbulkan kerusakan mata,
terapi antiviral topikal digunakan sebagai profilaksis terhadap keterlibatan kornea
 Keratitis herpes berulang yang umum dipicu oleh demam, paparan sinar uv berlebih,
trauma, dan sumber imunosupresi lokal atau sitemik → biasnya unilateral
 Gejala
 Gejala pertama infeksi HSV adalah iritasi, fotofobia, dan mata kering
 Ketika kornea sentral terpengaruh, ada juga penurunan penglihatan
 Lesi
 Lesi yang paling khas adalah ulkus dendritik yang terjadi di epitel kornea,
bercabang tipikal, pola linier dengan tepi berbulu, dan memiliki bola terminal di
ujungnya
 Pewarnaan fluoroscein membuat dendrit mudah diidentifikasi
 Tetapi keratitis herpes juga dapat menstimulasi infeksi lainnya makannya harus
dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding lainnya
 Ulserasi geografis

 Bentuk penyakit dendritik kronis di mana lesi dendritik halus mengambil bentuk
yang lebih luas
 Tepi ulkus kehilangan kualitas bulunya
 Penglihatan menurun
 Lesi epitel kornea yang mungkin disebabkan oleh HSV adalah keratitis epitel
bercak, keratitis epitel stellata, dan keratitis filamen → hanya sementara → 1
atau 2 hari akan berubah jadi dendrit tipikal
 Kekeruhan subepitel
 Keratitis diskiform
 Bentuk kelainan stroma yang paling umum pada infeksi HSV
 Stroma mengalami edema di bagian tengah, daerah berbentuk cakram, tanpa
infiltrasi yang berarti dan biasanya tanpa vaskularisasi
 Tidak bisa sembuh dengan sendirinya, perlu waktu berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan
C. TATALAKSANA
 Debridement
 Cara efektif untuk mengobati keratitis dendritik adalah debridemen epitel karena
virus terletak di epitel dan debridemen juga akan mengurangi antigen virus ke
stroma kornea
 Epitel yang sehat melekat erat pada kornea, tetapi epitel yang terinfeksi mudah
dihilangkan
 Debridemen dilakukan dengan aplikator berujung kapas yang dililitkan rapat
 Dilakukan oembalutan setelah tindakan dan diperiksa setiap harinya serta diganti
sampe kornea sembuh biasanya dalam 72 jam
 Terapi tambahan dengan antivirus topikal mempercepat penyembuhan
 Terapi obat
 Agen antivirus topikal yang digunakan untuk keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, gansiclovir, dan acyclovir
 Gansiklovir dan asiklovir jauh lebih efektif pada penyakit stroma daripada yang
lain
 Idoksuridin dan trifluridin sering kali dikaitkan dengan epitelopati toksik
 Antivirus oral seperti asiklovir sangat penting dalam pengobatan penyakit mata
herpes, terutama pada individu atopik atau imunokompremaise yang rentan
terhadap penyakit herpes mata dan dermal yang agresif (eksim herpetikum)
 Dosis untuk penyakit aktif adalah 400 mg lima kali sehari pada pasien yang tidak
mengalami imunokompremaise
 800 mg lima kali sehari pada pasien yang mengalami penurunan imun dan atopik
 Dosis profilaksis pada penyakit rekuren adalah 400 mg dua kali sehari
 Famciclovir atau valacyclovir juga dapat digunakan
 Replikasi virus pada pasien imunokompeten, terutama bila terbatas pada epitel
kornea, biasanya sembuh sendiri dan jaringan parut minimal → penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu dan berpotensi sangat merusak
 Operasi
 Keratoplasti penetrasi mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi visual pada
pasien dengan jaringan parut kornea yang parah, tetapi tidak boleh dilakukan
sampai penyakit herpes tidak aktif selama berbulan-bulan
 Pasca operasi, infeksi herpes berulang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma
bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan
cangkok kornea
 Agen antivirus sistemik harus digunakan selama beberapa bulan setelah
keratoplasti untuk menutupi penggunaan kortikosteroid topikal

PENGOBATAN KERATITIS BAKTERI DAN VIRAL

Anda mungkin juga menyukai