Anda di halaman 1dari 13

SKENAR

IO 1 PERTANYAAN

1. Bagaimana bisa terjadi mata merah dan gatal?


2. Bagaimana bisa terjadi benjolan pada kelopak mata?
3. Bagaimana bisa terdapat sekret?
4. Apa saja faktor risiko penyakit pada pasien?
5. Apa maksud dari visus ODS 6/6?
6. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan?
7. Apa terapi yang bisa diberikan?
8. Apa edukasi yang bisa diberikan?
KELAINAN MATA

HORDEOLUM

A. DEFINISI
 Hordeolum adalah infeksi kelenjar pada kelopak mata atau palpebra
 Paling banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus
 Dibagi menjadi :
 Hordeolum eksterna = mengenai kelenjar zeiss atau moll
 Kelenjar interna = mengenai kelenjar meibom

B. FAKTOR RISIKO
 Berikut ini adalah beberapa faktor risiko yang dapat memicu penyebab
bintitan:

 Menyentuh mata dengan tangan kotor


 Mengenakan lensa kontak tanpa membersihkannya secara menyeluruh
 Tidak mencuci tangan saat memakai lensa kontak
 Tidur menggunakan make up semalaman
 Menggunakan make up lama atau yang telah kedaluwarsa
 Memiliki riwayat penyakit blepharitis dan rosacea
 Infeksi mata sering disebabkan oleh perawatan atau penggunaan lensa
kontak yang tidak tepat. Perilaku yang meningkatkan risiko infeksi terkait
lensa kontak adalah:

 Lensa kontak yang kurang bersih


 Menyentuh lensa kontak sebelum mencuci tangan
 Menggunakan lensa kontak saat tidur
 Menggunakan lensa kontak secara berulang
 Menggunakan lensa kontak kedaluwarsa 
 Setiap usia dan demografi dapat mengalami hordeolum dan terdapat sedikit
peningkatan insidensi pada pasienpasien berusia 30 hingga 50 tahun
 Pasien-pasien dengan kondisi penyakit kronis seperti dermatitis seboroik,
diebetes melitus, dan kadar kolesterol yang tinggi memiliki risiko yang lebih
tinggi terkena hordeolum.

C. PATOFISIOLOGI
 Diawali dengan infeksi S. aureus pada sillia palpebra yang meluas mengenai
glandula-glandula palpebra yang menyebabkan pembengkakan pada
palpebra
 Kelenjar zeiss dan moll merupakan kelenjar pada sillia palpebra
 Kelenjar memiliki fungsi :
 Kelenjar zeis berfungsi mensekresi sebum yang bersifat antiseptik yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri
 Kelenjar moll berfungsi untuk memproduksi IgA, musin 1, dan lisozim
yang berperan dalam pertahanan imun terhadap adanya bakteri
 Kelenjar meibom berfungsi sebagai kelenjar sebasea yang berada pada
bagian tarsal palpebradan berfungsi menjaga permukaan kelopak mata
tetap terlubrikasi
 Terjadi sumbatan, penebalan, dan keringnya sekresi kelenjar → pertahanan
terhdap invasi bakteri tidak ada → infeksi → nyeri dan edem pada dasar
bulu mata, infiltrasi leukosit (maka akan muncul suatu kantong berisi nanah
atau terbentuk abses)
 Perjalanan alamiah dari hordeolum internum akut umumnya berlangsung
antara satu hingga 2 minggu, dimulai dengan munculnya nanah dan
berakhir dengan drainase spontan dari nanah tersebut

D. MANIFESTASI KLINIS
 Secara subyektif, pasien mengeluh rasa mengganjal dan rasa sakit
 Permukaan bengkak, dalam beberapa hari bengkak terlokalisir
 Pemeriksaan obyektif mengungkap adanya benjolan merah, didekat pangkal
bulu mata, nyeri bila ditekan (abses kecil)

E. DIAGNOSIS
1) Anamnesis
 Datang dengan peradangan akut, seperti nyeri, hangat, bengkak,
benjolan merah pada kelopak mata
 Benjolan kelopak mata juga dapat menyebabkan astigmatisme kornea
dan menyebabkan penglihatan kabur.
 Memiliki riwayat lesi kelopak mata yang serupa atau faktor risiko
hordeola, seperti disfungsi kelenjar meibom, blepharitis, atau rosacea.
 Bedanya dengan kalazion kronis itu benjolan tidak nyeri tekan
2) Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan, nodul subkutan eritematosa yang nyeri tekan di
dekat tepi kelopak mata, yang dapat mengalami ruptur dan drainase
spontan.
 Nodul ini mungkin unilateral atau bilateral, tunggal atau multipel.

F. TATALAKSANA
 Pengobatannya dengan antibiotika dan insisi bila ada fluktuasi
 Perbaikan higiene bisa mencegah kekambuhan
 Penyulit yang bisa terjadi antara lain selulitis → karena hordeolumnya sering
dipegang-pegang pakai tangan, kemudian terjadi infeksi

G. EDUKASI
 Hordeolum bersifat self limited atau bisa sembuh dengan sendirinya →
pasien diminta mengompres hangat selama 5-10 menit beberapa kali per
hari dan pemberian antibiotik topikal untuk mempercepat regenerasi atau
drainase
 Apabila menetap > 2 minggu pasien dirujuk ke dokter spesialis mata untuk
menjalani insisi atau drainase
 Untuk mencegah rekurensi, jelaskan pasien untuk hidup bersih / higeine
 Anjurkan pasien untuk tidak memencet bintit karena infeksi dapat
menyebar ke jaringan sekitarnya

BLEFARITIS

A. DEFINISI
 Peradangan subakut/menahun pada tepi palpebra atau kelopak mata
 Bisa disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, atau jamur
 Blefaritis alergi dapat terjadi akibat debu, asap, bahan kimia iritatif, dan
bahan kosmetik
 lnfeksi kelopak disebabkan kuman streptococcus alfa atau beta,
pneumococcus, dan pseudomonas
 Demodex folliculorum selain dapat merupakan penyebab merupakan vektor
untuk terjadinya infeksi staphylococcus
 Berdasar lokasi :
 Blefaritis anterior = di kelopak mata bagian luar ; disebabkan oleh
staphylococcus atau ketombe di kulit kepala dan alis atau bisa juga
karena kutu dan akergi
 Blefaritis posterior = di kelopak mata bagian dalam ; disebabkan oleh
sekresi kelenjar yang tidak teratur sehingga menciptakan lingkungan
yang mendukung pertumbuhan bakteri
B. PATOFISIOLOGI
 Produksi kelenjar meningkat sangat banyak atau tidak teratur → disukai
bakteri → invasif ke jaringan sekitar → reaksi radang karena toksin bakteri
(lipase bakteri) → menyebabkan peningkatan produksi asam lemak bebas
yang meningkatkan titik leleh pada kelenjar meibom → menghambat
ekspresi kelenjar karena muaranya tertutup → blefaritis
C. MANIFESTASI KLINIS
 Gejala umum pada blefaritis adalah kelopak mata merah, bengkak, sakit,
eksudat lengket, dan epiforia
 Blefaritis sering disertai dengan konjungtivitis dan keratitis
 Blefaritis Seboroik

 Sering terjadi pada usia lanjut (50 tahun) dengan keluhan mata kotor,
panas, dan rasa kelilipan
 Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar Meibom, air mata
berbusa pada kantus lateral, hiperemia dan hipertrofi papil pada
konjungtiva
 Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis, poliosis,
dan jaringan keropeng
 Blefaritis Skuamosa

 Blefaritis disertai terdapatnya skuama atau krusta pada pangkal bulu


mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan terjadinya luka kulit
 Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang mengenai kelenjar
kulit di daerah akar bulu mata dan sering terdapat pada orang dengan
kulit berminyak
 Penyebab blefaritis skuamosa adalah kelainan metabolik ataupun oleh
jamur
 Pasien dengan blefaritis skuamosa akan merasa panas dan gatal
 Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna halus-halus dan
penebalan margo palpebra disertai dengan madarosis
 Sisik ini mudah dikupas dari dasarnya tanpa mengakibatkan
perdarahan.
 Blefaritis Ulseratif

 Akibat infeksi staphylococcus


 Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna kekuning-kuningan
yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan mengeluarkan
darah di sekitar bulu mata
 Pada blefaritis ulseratif skuama yang terbentuk bersifat kering dan
keras, yang bila diangkat akan luka dengan disertai perdarahan
 Penyakit bersifat sangat infeksius
 Ulserasi berjalan lanjut dan lebih dalam dan merusak folikel rambut
sehingga mengakibatkan rontok (madarosis)
 Blefaritis Angular

 Infeksi Staphylococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus


 Dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi pungtum lakrimal
 Blefaritis angularis disebabkan Staphylococcus aureus atau Morax
Axenfeld
 Biasanya kelainan ini berfisat rekuren

D. TATALAKSANA
 Blefaritis Seboroik
 Pengobatannya adalah dengan memperbaiki kebersihan dan
membersihkan kelopak dari kotoran
 Dilakukan pembersihan dengan kapas lidi hangat
 Dapat dilakukan pembersihan dengan nitrat argenti '1%
 Salep sulfonamid berguna pada aksi keratolitiknya
 Kompres hangat selama 5-10 menit. Kelenjar Meibom ditekan dan
dibersihkan dengan shampo bayi
 Pada blefaritis seboroik antibiotik diberikan lokal dan sistemik seperti
tetrasiklin oral4 kali 250 mg
 Blefaritis Skuamosa
 Pengobatan blefaritis skuamosa ialah dengan membersihkan tepi
kelopak dengan shampo bayi, salep mata, dan steroid setempat disertai
dengan memperbaiki metabolisme pasien
 Blefaritis Ulseratif
 Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang baik. Pengobatan pada
blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau
basitrasin
 Apabila ulseratif luas pengobatan harus ditambah antibiotik sistemik
dan diberi roboransia.
 Blefaritis Angular
 Blefaritis angluaris diobati dengn sulfa, tetrasiklin dan Sengsulfat.

KONJUNGTIVITIS

A. DEFINISI
 Peradangan pada konjungtiva
B. FAKTOR RISIKO
 Paparan terhadap individu yang terinfeksi
 Kontak fomite (handuk, serbet, sarung bantal, gagang pintu, dan lain-lain)
 Pemakaian lensa kontak → risiko umum untuk infeksi kornea akibat bakteri
 Sinusitis
 Imunodefisiensi
 Penyakit mata sebelumnya
 Paparan agen infeksi
C. PATOFISIOLOGI

 Berkaitan dengan lokasi anatomis konjungtiva (di bagian terluar)


 Konjungtiva memiliki perlindungan berupa tear film yang berfungsi
melarutkan kotoran-kotoran atau toksin-toksin yang dialirkan ke sulkus
lakrimalis lalu diteruskan ke meatus nasi inferior
 Tear film juga mengandung beta lisine, lisozim, IgA, dan IgG yang berfungsi
menghambat pertumbuhan kuman
 Injeksi konjungtiva adalah pelebaran pembuluh darah dari forniks ke arah
limbus, berwarna merah muda, berkelok-kelok dan letaknya superfisial
D. MANIFESTASI KLINIS
E. TATALAKSANA

KONJUNGTIVITIS GENOCOCCUS

 Penyebabnya Neiseria gonorrhoeae


 Gambaran klinis: sekret purulen berlimpah, kemosis (konjungtiva sangat oedem)
mata menutup dan terlihat bengkak
 Bisa terdapat pseudomembran dan limfadenopati preaurikular
 Dapat terjadi keratitis akibat penumpukan sel-sel polimorfonuklear, dan kalau
sudah nekrosis akan terbentuk ulkus, kemudian perforasi
 Iris bisa hanyut keluar, diikuti dengan turunnya tekanan intraokular sehingga
bola mata kempis
 Kemudian bisa terjadi endoftalmitis (vitreus dan aquous menjadi nanah), dan
akhirnya buta.

KONJUNGTIVITIS ADENOVIRUS
 Bisa dikelompokkan menjadi :
1) Demam Faringokonjungtiva
 Penyebabnya adalah adenovirus tipe 3 dan 7
 Sebanyak 30% kasus akan terjadi keratitis
 Tiga tanda kardinal pada demam faringokunjungtiva adalah demam,
faringitis, dan konjungtivitis
 Terdapat limfadenopati preaurikular tanpa rasa nyeri tekan
 Lebih sering pada anak-anak daripada dewasa
2) Keratokonjungtiva Epidemika
 Penyebabnya adalah adnovirus tipe 8 dan 19
 Sebanyak 80% kasus akan terjadi keratitis
 Karakteristik penyakit ini adalah adanya limfadenopati preaurikular
dengan nyeri tekan
 Gambaran klinisnya bersifat akut dengan hiperemia, nrocos (mata
berair terus), rasa tidak nyaman, dan fotofobia
 Pada 60% kasus bersifat bilateral dengan edem palpebra, reaksi
folikular, dan terdapat limfadenopati preaurikular
 Terdapat gambaran bercak-bercak keputihan pada kornea
 Pada kasus berat terdapat pendarahan subkonjungtiva karena eksudat
yang sangat banyak sehingga sel-sel darah merah ikut ekstravasasi,
timbul kemosis, dan pseudomembran

VISUS
 Visus adalah perbandingan jarak seseorang terhadap huruf optotip Snellen yang
masih bisa ia lihat jelas dengan jarak seharusnya yang bisa dilihat mata normal
 Fakta empiris menunjukkan bahwa mata kita bisa melihat sesuatu pada jarak
tertentu: jari bisa dilihat jelas hingga jarak 60 m; lambaian tangan hingga 300 m;
dan cahaya jauh tak terhingga (+).
 Dahulu Prof. Hermann Snellen dari Belanda menciptakan alat uji penglihatan
jauh yang sekarang dikenal dengan Optotip Snellen/Kartu Snellen
 Diameter jari ini kemudian diturunkan dalam bentuk angka atau huruf dan
sebagai patokan digunakan huruf “E”
 Diameter jari telunjuk ini sesuai dengan lebar balok buruf Snellen yang paling
besar (paling atas) yaitu 1,8 cm
 Huruf Snellen ini semestinya diletakkan 60 m di depan pasien → karena ruang
pemeriksaan tidaklah sebesar lapangan sepakbola, supaya mudah dibuat 6 m
jaraknya, dan huruf E-nya diperkecil jadi 1,8 mm
 Kalau pasien bisa melihat huruf ini, dikatakan visusnya 6/6. Kalau pasien hanya
bisa melihat huruf yang paling atas, visusnya dikatakan 6/60.
 Kalau huruf paling atas tak dapat dibaca, maka pasien diminta untuk
menghitung jari pada jarak 5m, 4m, 3m, 2m, 1m, dan visusnya masing-masing
dikatakan 5/60, 4/60, 3/60, 2/60, dan 1/60
 Apabila pasien tak bisa melihat jari pada jarak 1 m, maka digunakan lambaian
tangan pada jarak 1m. Apabila pasien bisa melihat arah gerak tangan dikatakan
visusnya 1/300
 Kalau masih tidak bisa juga, digunakan rangsang cahaya senter pada jarak 1 m.
Kalau bisa meilhat dikatakan visusnya 1/∞, tapi kalau tidak bisa melihat apaapa,
maka visusnya nol atau buta

Eva, P.R., Cunningham, E.T. 2011. Vaughan & Asbury’s General


Ophthalmology
KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL

A. PENDAHULUAN
 Ada dua bentuk konjungtivitis bakteri yang dikenali:
 Akut (termasuk hiperakut dan subakut)
 Kronis
 Konjungtivitis bakteri akut biasanya jinak dan sembuh sendiri, berlangsung tidak lebih dari
14 hari → perawatan dengan salah satu dari banyak agen antibakteri yang tersedia
biasanya menyembuhkan kondisi dalam beberapa hari.
 Konjungtivitis hiperakut (purulen) yang disebabkan oleh N gonorrhoeae atau N meningitidis
dapat menyebabkan komplikasi mata yang serius jika tidak segera ditangani
 Konjungtivitis kronis biasanya terjadi akibat penyakit kelopak mata atau obstruksi duktus
nasolakrimalis.
B. MANIFESTASI KLINIS
1) Hyperacute Purulent Bacterial Conjunctivities
 Disebabkan oleh N gonorrhoeae, N kochii, dan N meningitidis
 Ditandai dengan eksudat purulen yang banyak
 Setiap konjungtivitis eksudatif yang parah membutuhkan investigasi laboratorium
segera dan perawatan segera. Jika ada penundaan, mungkin ada kerusakan kornea
yang parah atau kehilangan mata, atau konjungtiva bisa menjadi pintu masuk untuk N
gonorrhoeae atau N meningitidis, yang menyebabkan septikemia atau meningitis.
2) Acute Mucopurulent (Catarrhal) Conjunctivities
 Disebut "pinkeye" oleh kebanyakan orang awam
 Hal ini ditandai dengan onset akut hiperemia konjungtiva dan cairan mukopurulen
dalam jumlah sedang
 Penyebab tersering adalah S pneumoniae di iklim sedang dan Haemophilus aegyptius
di iklim hangat
 Konjungtivitis yang disebabkan oleh S pneumoniae dan H aegyptius dapat disertai
dengan perdarahan subkonjungtiva
3) Konjungtivitis Subakut
 Disebabkan oleh H influenzae dan kadang-kadang oleh spesies Escherichia coli dan
proteus
 Infeksi H influenzae ditandai dengan eksudat encer atau flokulan
4) Konjungtivitis Kronis
 Terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis dan dakriosistitis kronik,
yang biasanya unilateral
 Ini juga dapat dikaitkan dengan blepharitis bakteri kronis atau disfungsi kelenjar
meibom
C. PEMERIKSAAN
 Banyak ditemukan sel PMN
D. TATALAKSANA
 Sambil menunggu laporan laboratorium, dokter dapat memulai terapi topikal dengan agen
antibakteri spektrum luas (misalnya, polimiksintrimetoprim)
 Pada konjungtivitis purulen / Neisseria terapi sistemik dan topikal harus segera dimulai :
 Jika tidak ada keterlibatan kornea, diberikan seftriakson IM tunggal 1 g
 Jika terdapat keterlibatan kornea, diperlukan rangkaian seftriakson parenteral selama
5 hari, 1–2 g setiap hari.
 Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, kantung konjungtiva harus diirigasi dengan
larutan garam seperlunya untuk menghilangkan sekresi

KONJUNGTIVITIS ALERGI

1) VERNAL KERATOCONJUNCTIVITIS
A. PENDAHULUAN
 Juga dikenal sebagai “spring catarrh”, “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis
cuaca hangat”
 Penyakit ini lebih jarang terjadi di daerah beriklim sedang daripada di daerah beriklim
hangat dan hampir tidak ada di daerah beriklim dingin
 Ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas, dan musim gugur
daripada di musim dingin
 Pasien biasanya mengeluhkan rasa gatal yang luar biasa dan keluarnya cairan yang
keras
 Seringkali terdapat riwayat alergi dalam keluarga (demam, eksim, dll)
 Konjungtiva memiliki tampilan seperti susu dengan banyak papila halus di konjungtiva
palpebra bagian bawah.
 Konjungtiva palpebra bagian atas sering memiliki papila raksasa yang tampak seperti
batu bulat (coblestone appereance)
 Kotoran konjungtiva berserabut dan pseudomembran fibrinosa yang halus (tanda
Maxwell-Lyons) dapat terlihat, terutama pada tarsus atas saat terpapar panas
 Pseudogerontoxon (kabut mirip busur) sering ditemukan di kornea yang berdekatan
dengan papila limbal
 Trantas dot’s adalah titik keputihan yang terlihat di limbus pada beberapa pasien
dengan keratokonjungtivitis vernal selama fase aktif penyakit.
B. TATALAKSANA
 Karena keratokonjungtivitis vernal adalah penyakit yang sembuh sendiri, harus diakui
bahwa obat yang digunakan untuk mengobati gejala dapat memberikan manfaat
jangka pendek tetapi merugikan jangka panjang
 Steroid topikal dan sistemik, yang menghilangkan rasa gatal, hanya mempengaruhi
penyakit kornea secara minimal, dan efek sampingnya (glaukoma, katarak, dan
komplikasi lainnya) dapat sangat merusak
 Gejala akut pada pasien yang sangat fotofobia yang tidak dapat berfungsi sering kali
dapat diredakan dengan steroid topikal atau sistemik jangka pendek diikuti dengan
vasokonstriktor, kompres dingin, dan penggunaan obat tetes mata pemblokir histamin
secara teratur
 Agen antiinflamasi nonsteroid topikal, seperti ketorolac, penstabil sel mast, seperti
lodoxamide, dan antihistamin topikal dapat meredakan gejala yang signifikan tetapi
dapat memperlambat reepitelisasi ulkus perisai
 Seperti yang telah ditunjukkan, penggunaan steroid dalam waktu lama harus dihindari.
2) ATOPIC KERATOCONJUNCTIVITIS
 Pasien dengan dermatitis atopik (eksim) seringkali juga mengalami
keratokonjungtivitis atopik
 Gejala dan tandanya adalah sensasi terbakar, keluarnya lendir, kemerahan, dan
fotofobia
 Tepi kelopak mata berwarna eritematosa, dan konjungtiva tampak seperti susu
 Terdapat papila halus (Gambar 5-17), tetapi papila raksasa kurang berkembang
dibandingkan pada keratokonjungtivitis vernal dan lebih sering terjadi pada
konjungtiva palpebra bawah.
 Tanda-tanda kornea yang parah muncul di akhir penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis berulang
 Dalam kasus yang parah, seluruh kornea menjadi kabur dan vaskularisasi, dan
ketajaman visual berkurang.
3) GIANT PAPILLARY CONJUNCTIVITIES
 Konjungtivitis papiler raksasa dengan tanda dan gejala yang mirip dengan
konjungtivitis vernal dapat berkembang pada pasien yang memakai mata atau lensa
kontak buatan plastik
 Ini mungkin gangguan hipersensitivitas tertunda yang kaya basofil (hipersensitivitas
Jones-Mote) dengan komponen humoral IgE
 Penggunaan kaca sebagai pengganti plastik untuk prostesis dan lensa kacamata
sebagai pengganti lensa kontak bersifat kuratif.
 Jika penggunaan lensa kontak akan dipertahankan maka perlu terapi tambahan :
 Perawatan lensa kontak yang hati-hati, termasuk bahan bebas pengawet, sangat
penting
 Desinfeksi hidrogen peroksida dan pembersihan enzimatis lensa kontak juga
dapat membantu
 Alternatifnya, mengganti ke sistem lensa kontak sekali pakai mingguan atau
harian mungkin bermanfaat
 Jika perawatan ini tidak berhasil, penggunaan lensa kontak harus dihentikan.

KONJUNGTIVITIS VIRUS

1) HPV CONJUNCTIVITIS
 Ditandai dengan injeksi unilateral, iritasi, keluarnya cairan berlendir, nyeri, dan fotofobia
ringan
 Ini terjadi selama infeksi primer dengan HSV atau selama episode herpes mata berulang
 Vesikula herpes terkadang muncul di kelopak mata dan tepi kelopak mata, terkait dengan
edema kelopak mata yang parah
 Biasanya, ada nodus preaurikuler kecil yang lunak
 Konjungtivitis bersifat folikuler atau, lebih jarang, pseudomembran.
 Jika konjungtivitisnya adalah folikuler, reaksi inflamasi yang dominan adalah mononuklear,
tetapi jika konjungtivitisnya adalah pseudomembran, reaksi utamanya adalah
polimorfonuklear

KONJUNGTIVITIS CLAMYDIAL

1) TRACHOMA
A. PENDAHULUAN
 Meskipun di seluruh dunia jumlah orang dengan kehilangan penglihatan yang
parah akibat trachoma telah turun dari 6 juta menjadi 1,3 juta, trachoma masih
menjadi penyebab kebutaan yang sering
 Trachoma biasanya muncul secara bilateral dan sering menyebar melalui kontak
langsung atau fomites, paling sering dari anggota keluarga lain,
 Vektor serangga, terutama lalat, dapat berperan dalam penularan
B. MANIFESTASI KLINIS
 Trachoma dimulai sebagai konjungtivitis folikuler kronis pada masa kanak-kanak
yang berkembang menjadi jaringan parut konjungtiva (Gambar 5-2)
 Dalam kasus yang parah, trichiasis terjadi pada awal kehidupan dewasa sebagai
akibat dari jaringan parut konjungtiva yang parah
 Abrasi konstan pada bulu mata yang bengkok dan film air mata yang rusak
menyebabkan jaringan parut kornea, biasanya setelah usia 30 tahun (Gambar 5-
3)
 Masa inkubasi trachoma rata-rata 7 hari tetapi bervariasi dari 5-14 hari
 Tanda dan gejala biasanya terdiri dari robekan, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema
kelopak mata, chemosis konjungtiva bulbar, hiperemia, hipertrofi papiler, folikel
tarsal dan limbal, keratitis superior, pembentukan pannus, dan nodus
preaurikular yang kecil dan lunak
C. PENEMUAN LAB

D. TATALAKSANA
 Perbaikan klinis yang mencolok biasanya dapat dicapai dengan tetrasiklin, 1–1,5
g / hari per oral dalam empat dosis terbagi selama 3–4 minggu; doksisiklin, 100
mg secara oral dua kali sehari selama 3 minggu; atau eritromisin, 1 g / hari per
oral dalam empat dosis terbagi selama 3-4 minggu
 Tetrasiklin sistemik tidak boleh diberikan kepada anak di bawah usia 7 tahun atau
wanita hamil → gigi kuning
 Penelitian terbaru di negara berkembang menunjukkan bahwa azitromisin adalah
pengobatan efektif untuk trachoma yang diberikan secara oral sebagai dosis 1 g
pada anak-anak → ES minimal
 Salep atau tetes topikal, termasuk sediaan sulfonamida, tetrasiklin, eritromisin,
dan rifampisin, digunakan empat kali sehari selama 6 minggu, sama efektifnya
 Koreksi trichiasis dengan pembedahan

Trantas dot’s

Anda mungkin juga menyukai