Anda di halaman 1dari 3

1.

Rekonstruksi Kesadaran Kelas

Di alam kapitalisme, hubungan produksi di korporasi manapun haruslah bersifat

eksploitatif. Tanpa penghisapan nilai lebih kelas pekerja, ongkos produksi tidak akan bisa

ditekan dan akan berimplikasi pada terhambatnya proses akumulasi kapital. Hubungan

produksi ini, menurut Marx, membentuk dua kelas yang bersifat antagonistik antara kelas

pemodal dan kelas pekerja. Implikasi dari hubungan produksi yang dicirikan dengan

kepemilikan pribadi ini ialah adanya kekuasaan yang akan mengontrol kelas pekerja yang

dibeli melalui institusi pasar oleh para pemilik modal. Dalam hal ini, institusi pasar

bertindak sebagai institusi koersif dan determinan dalam proses reproduksi. Dalam kasus

Uniqlo dan bisnis fast-fashion lainnya, tuntutan pasar akan produk fashion yang “murah”

menciptakan proses produksi yang semakin eksploitatif. Corak produksi dalam bisnis ini

menekan biaya tenaga kerja sekecil-kecilnya melalui penyebaran rantai produksi ke

negara pinggiran yang memiliki kebijakan tenaga kerja fleksibel dan populasi relatif

berlebih. Penekanan pada biaya tenaga kerja koheren dengan kemampuan Uniqlo menjual

produk dengan harga relatif “murah”.

Konsekuensi dari memahami sifat dalam hubungan produksi yang antagonistik

dan konfliktual ialah memandang kelas sebagai relasi kekuasaan antara kelas pekerja vis-

à-vis kelas pemodal. Oleh karenanya untuk menghancurkan relasi sosial yang eksploitatif

dibutuhkan perjuangan kelas pekerja. Namun sebelum sampai pada tahapan perjuangan

kelas, dibutuhkan kesadaran kelas di kalangan kelas pekerja itu sendiri. Tanpa adanya

kesadaran kelas, perjuangan kelas akan bersifat reformis atau bahkan menjadi suatu

utopia.
Merekonstruksi kesadaran kelas di era globalisasi memang membutuhkan tenaga

lebih. Masifnya perkembangan sistem kapitalisme menjadi hambatan dalam membangun

solidaritas kelas. Kapitalisme dengan mudahnya merekayasa persaingan di antara kelas

pekerja dengan sistem kompensasi, bonus, dan bentuk pengupahan lainnya. Rekayasa ini

juga berdampak pada gerakan buruh yang terpolarisasi sehingga melemahkan kekuatan

kelas pekerja. Selama ini gerakan buruh terlalu terpaku pada kepentingan ekonominya.

Bukannya berfokus pada merebut alat produksi, gerakan buruh justru terjebak pada

tuntutan yang bersifat reformis seperti tuntutan kenaikan upah atau jaminan sosial.

Padahal perjuangan politik dalam merebut kekuasaan merupakan hal yang mutlak untuk

dilakukan karena kapitalisme bersifat struktural.

Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, sudah seharusnya kelas pekerja

membangun solidaritas buruh internasional. Tidak lagi terjebak pada sentimen

kedaerahan, ras, etnis, dan sebagainya. Hal ini sangat diperlukan mengingat rangkaian

globalisasi semakin mereduksi kekuatan kelas pekerja. Perjuangan pekerja Uniqlo

Indonesia yang dibantu oleh serikat pekerja dan organisasi pro buruh lainnya patut

dijadikan batu loncatan bagi serikat dan kelas pekerja lainnya untuk membangun

solidaritas buruh internasional dalam merebut kekuasaan dan tidak lagi sekadar menuntut

hak-haknya saja.

Diskursus anti neoliberalisme harus dibangun kembali di kalangan kelas pekerja

dan merebut diskursus ini dari segelintir elite politik yang kerap memanfaatkan diskursus

ini untuk kepentingan politiknya. Membangun kembali kesadaran class for itself

merupakan jalan menuju pembebasan dari eksploitasi sistem kapitalisme yang tidak hanya
membebaskan kelasnya tetapi juga membebaskan seluruh masyarakat dari jeratan

kapitalisme.

Anda mungkin juga menyukai