eksploitatif. Tanpa penghisapan nilai lebih kelas pekerja, ongkos produksi tidak akan bisa
ditekan dan akan berimplikasi pada terhambatnya proses akumulasi kapital. Hubungan
produksi ini, menurut Marx, membentuk dua kelas yang bersifat antagonistik antara kelas
pemodal dan kelas pekerja. Implikasi dari hubungan produksi yang dicirikan dengan
kepemilikan pribadi ini ialah adanya kekuasaan yang akan mengontrol kelas pekerja yang
dibeli melalui institusi pasar oleh para pemilik modal. Dalam hal ini, institusi pasar
bertindak sebagai institusi koersif dan determinan dalam proses reproduksi. Dalam kasus
Uniqlo dan bisnis fast-fashion lainnya, tuntutan pasar akan produk fashion yang “murah”
menciptakan proses produksi yang semakin eksploitatif. Corak produksi dalam bisnis ini
negara pinggiran yang memiliki kebijakan tenaga kerja fleksibel dan populasi relatif
berlebih. Penekanan pada biaya tenaga kerja koheren dengan kemampuan Uniqlo menjual
dan konfliktual ialah memandang kelas sebagai relasi kekuasaan antara kelas pekerja vis-
à-vis kelas pemodal. Oleh karenanya untuk menghancurkan relasi sosial yang eksploitatif
dibutuhkan perjuangan kelas pekerja. Namun sebelum sampai pada tahapan perjuangan
kelas, dibutuhkan kesadaran kelas di kalangan kelas pekerja itu sendiri. Tanpa adanya
kesadaran kelas, perjuangan kelas akan bersifat reformis atau bahkan menjadi suatu
utopia.
Merekonstruksi kesadaran kelas di era globalisasi memang membutuhkan tenaga
pekerja dengan sistem kompensasi, bonus, dan bentuk pengupahan lainnya. Rekayasa ini
juga berdampak pada gerakan buruh yang terpolarisasi sehingga melemahkan kekuatan
kelas pekerja. Selama ini gerakan buruh terlalu terpaku pada kepentingan ekonominya.
Bukannya berfokus pada merebut alat produksi, gerakan buruh justru terjebak pada
tuntutan yang bersifat reformis seperti tuntutan kenaikan upah atau jaminan sosial.
Padahal perjuangan politik dalam merebut kekuasaan merupakan hal yang mutlak untuk
kedaerahan, ras, etnis, dan sebagainya. Hal ini sangat diperlukan mengingat rangkaian
Indonesia yang dibantu oleh serikat pekerja dan organisasi pro buruh lainnya patut
dijadikan batu loncatan bagi serikat dan kelas pekerja lainnya untuk membangun
solidaritas buruh internasional dalam merebut kekuasaan dan tidak lagi sekadar menuntut
hak-haknya saja.
dan merebut diskursus ini dari segelintir elite politik yang kerap memanfaatkan diskursus
ini untuk kepentingan politiknya. Membangun kembali kesadaran class for itself
merupakan jalan menuju pembebasan dari eksploitasi sistem kapitalisme yang tidak hanya
membebaskan kelasnya tetapi juga membebaskan seluruh masyarakat dari jeratan
kapitalisme.