Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

“Peran Pengobatan Menggunakan Agen Biologis untuk Penyakit Saluran

Pencernaan”

Dibimbing oleh: dr. Riki Tenggara, Sp.PD-KGEH, M.Kes, FINASIM

Dibuat oleh:

Kevin (2018-060-10079)

Thesia Natalia Thedy (2018-060-100)

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

ATMA JAYA

8 Juli 2019 - 14 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terapi pengobatan dengan menggunakan agen biologis adalah terapi yang
menggunakan stimulasi sel-sel imun kita untuk mengobati suatu penyakit. Terapi
dengan menggunakan agen biologis atau biasanya disebut dengan imunoterapi sering
digunakan untuk mengobati penyakit tertentu dalam dunia kedokteran.
Penyakit saluran pencernaan menggunakan agen biologis untuk
pengobatannya adalah contohnya Crohn’s disease dan kolitis ulserativa. Pada
penyakit tersebut terjadi peningkatan dari sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-
8, IL-23 dan Tumor Necrosis Factor (TNF). Peran sistem imun tubuh manusia
mengambil peran penting dalam patogenesis dari penyakit saluran pencernaan
tersebut. Pengobatan dengan menggunakan antibodi sudah mulai dilakukan pada
tahun 1800. Tentunya pengobatan menggunakan agen biologis memerlukan biaya
yang tinggi dan juga memberikan efek samping tergantung dari jenis obat yang
dipakai.
Pengobatan dengan menggunakan agen biologis untuk mengobati penyakit
saluran pencernaan juga pernah dilakukan di berbagai negara. Salah satu contohnya
adalah penggunaan antibodi monoklonal yaitu infliximab untuk pengobatan
inflammatory bowel disease (IBD). Infliximab bekerja dengan menargetkan produksi
dari TNF pada penyakit IBD dan menghentikan proses dari inflamasinya tersebut.
Obat lain yang biasanya digunakan adalah golongan integrin receptor antagonists
yaitu vedolizumab dan natalizumab. Obat golongan interleukin antagonists seperti
ustekinumab juga digunakan untuk pengobatan IBD.
Selain pengobatan agen biologis juga terdapat obat lain untuk pengobatan
penyakit saluran pencernaan. Salah satunya adalah kortikosteroid. Kortikosteroid bisa
juga digunakan untuk pengobatan penyakit saluran pencernaan tetapi tidak dapat
digunakan dalam waktu yang lama karena efeknya yang dapat menimbulkan
ketergantungan dan efek samping yang lain.
Penelitian lain sedang mencari agen biologis yang pas untuk pengobatan
penyakit saluran pencernaan. Brazikumab dan risankizumab adalah antagonists dari
IL-23 yang memberikan efek yang baik dalam pengobatan Crohn’s disease.
Etrolizumab juga memberikan efek yang baik dalam penelitian uji obat. Pengobatan
menggunakan agen biologis sangat tergantung dari pasien itu sendiri. Genetik dan
respon tubuh dari pasien sangat mempengaruhi keberhasilan dari pengobatan agen
biologis. Informasi dari pasien tersebut dapat juga menentukan pemilihan obat dalam
terapi juga.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui kegunaan terapi agen biologis untuk penyakit saluran
pencernaan

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui cara kerja dari obat agen biologis
2. Mengetahui efek samping dari obat agen biologis
3. Mengetahui obat-obatan agen biologis apa saja yang digunakan
dalam penyakit saluran pencernaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Terapi Agen Biologis
Terapi biologis adalah terapi dengan agen biologis untuk secara
spesifik menargetkan sel imun kita untuk pengobatan suatu penyakit. Molekul
yang biasa digunakan untuk pengobatan dengan agen biologis adalah
interleukin dan sitokin yang berperan langsung dalam sistem pertahanan tubuh
kita. Obat-obatan agen biologis ini bekerja untuk mengobati penyakit
inflamasi pada saluran cerna seperti Crohn’s disease, colitis ulserativa, dan
esofagitis.
Sebelum adanya pengobatan agen biologis untuk pengobatan dari
penyakit inflamasi saluran cerna, obat-obatan seperti 5-aminosalicylates,
steroids, azathioprine, dan obat-obatan yang bersifat imunosupresif terlebih
dahulu digunakan. Banyak sitokin proinflamasi yang terlibat dalam penyakit
Crohn’s disease dan colitis ulserativa. Sitokin yang berperan pada penyakit
Crohn’s disease adalah Th1 sitokin yaitu TNF-alpha, interleukin-2, dan
interleukin y. Colitis Ulserativa lebih berhubungan dengan sitokin Th2.

2.1.2 Crohn’s Disease


2.1.2.1 Definisi
Crohn’s disease adalah penyakit dari Inflammatory Bowel
Disease (IBD) yang dapat menyerang saluran pencernaan dari mulut
hingga anus. Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi yang
menyerang saluran pencernaan.
2.1.2.2 Epidemiologi
Crohn’s disease menyerang 3.2 setiap 1000 manusia pada
benua Amerika Utara dan Eropa. Penyakit ini lebih jarang pada Asia
dan Afrika. Penyakit ini lebih sering negara yang sudah berkembang.
IBD menyebabkan 47,400 kematian pada tahun 2015. Penyakit IBD
menyebabkan penurunan kualitas hidup dari pasien yang terkena
penyakit tersebut. Umur pasien yang sering terkena penyakit Crohn’s
disease adalah pada usia 20 tahun, tetapi dapat muncul pada seluruh
umur.
2.1.2.3 Etiologi
Etiologi dari penyakit Crohn’s disease sampai sekarang tidak
diketahui, tetapi dapat berhubungan dengan lingkungan, sistem imun,
faktor kerentanan untuk infeksi bakteri. Penyakit ini menyebabkan
inflamasi kronis pada saluran pencernaan manusia. Penelitian
menunjukkan terdapat lebih dari 70 gen yang terlibat dalam
patogenesis dari Crohn’s disease. Perokok lebih dua kali lipat berisiko
untuk terkena penyakit Crohn’s disease daripada orang yang tidak
merokok.
2.1.2.4 Patogenesis
Pada penyakit Crohn’s disease dapat dilihat melalui biopsi
bahwa terdapat proses inflamasi secara transmural yang terjadi di
dinding saluran pencernaan. Pada suatu lesi dengan lesi yang lain
terdapat lesi yang bebas dari lesi yang disebut dengan skip lesions.
Pada biopsi dapat dilihat terdapat serbukan sel radang yang didominasi
oleh neutrofil dan sel inflamasi lain.
2.1.2.5 Gejala Klinis
Nyeri perut pada kuadran kanan bawah dapat ditemukan pada
pasien dengan penyakit Crohn’s disease. Diare dapat atau tidak disertai
dengan darah. Konsistensi dari feses dapat bervariasi dari bentuk padat
dan cair. Perdarahan yang dapat dilihat langsung lebih jarang terjadi
pada penyakit Crohn’s disease daripada penyakit kolitis ulserativa,
tetapi dapat dilihat pada penyakit Crohn’s colitis. Gerakan usus dapat
meningkat.
Gejala sistemik seperti demam, penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan dapat juga terjadi pada penyakit Crohn’s
disease. Pada pasien dengan penyakit Crohn’s disease dapat terjadi
anemia karena defisiensi dari vitamin B12, asam folat, defisiensi Fe,
dan anemia karena penyakit kronis.
2.1.2.6 Diagnosis
Kolonoskopi dapat digunakan untuk mendiagnosis Crohn’s
disease. Pada lesi dapat juga dilakukan biopsi untuk mengkonfirmasi
apakah merupakan penyakit Crohn’s disease atau bukan. Secara
endoskopi lesi Crohn’s disease memiliki lesi seperti cobblestone
appearance.

Gambar 1. Lesi Crohn’s disease saat dilakukan kolonoskopi

CT scan dan MRI dapat juga digunakan untuk sarana diagnosis


dari penyakit Crohn’s disease. Barium meal dapat juga digunakan
sarana diagnostik Crohn’s disease.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia yang
disebabkan karena anemia defisiensi besi atau anemia defisiensi B12.
Pengukuran LED dan C-reactive protein dapat juga dilakukan untuk
mengukur derajat dari inflamasi. Serum iron, Total Iron Binding
Capacity (TIBC), dan saturasi transferin dapat juga diukur untuk
pengukuran dari derajat inflamasi tersebut.
2.1.2.7 Pengobatan
Pengobatan dari Crohn’s disease adalah bertujuan untuk
mengurangi dari derajat inflamasi. Antibiotik dan kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengurangi dari inflamasi tersebut. Pengobatan
dengan agen biologis seperti imunosupresan dapat juga dilakukan
untuk mengurangi dari inflamasi tersebut. Azathioprine, methotrexate,
infliximab, adalimumab, certolizumab, verdolizumab, ustekinumab
dan natalizumab adalah contoh dari beberapa agen biologis yang
digunakan untuk pengobatan Crohn’s disease.

2.1.3 Colitis Ulserativa


2.1.3.1 Definisi
Colitis ulserativa adalah penyakit peradangan dan ulserasi
kronis pada kolon dan rektum. Gejala utama yang dapat ditimbulkan
adalah rasa nyeri pada perut dan feses bercampur dengan darah. Berat
badan menurun, demam, dan anemia dapat juga terjadi. Gejala
biasanya terjadi secara intermitten dengan adanya waktu bebas dari
gejala tersebut.
2.1.3.2 Epidemiologi
Sebesar 11 juta manusia terkena penyakit kolitis ulserativa pada
tahun 2015. Angka kejadian penyakitnya adalah 1 dari 20 orang tiap
100.000 penduduk manusia. Penyakit ini lebih sering pada Amerika
Utara dan Eropa daripada bagian negara yang lain. Umur yang
tersering terkena adalah di antara 15-30 tahun, atau yang lebih dari 60
tahun. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
perempuan.
2.1.3.3 Etiolgi
Penyebab dari kolitis ulserativa sampai sekarang tidak
diketahui. Sistem imun, genetik, dan perubahan mikrobiota normal
pada saluran pencernaan, dan lingkungan berperan dalam terjadinya
penyakit kolitis ulserativa. Negara berkembang lebih banyak terjadi
kolitis ulserativa.

2.1.3.4 Patogenesis
Patogenesis penyakit dari kolitis ulserativa dimulai dengan
peningkatan dari hidrogen sulfida pada saluran pencernaan manusia.
Lapisan mukosa pencernaan manusia dilapisi oleh epitel dan sistem
imun pada lamina propia. N-butyrate membantu oksidasi melalui jalur
beta oksidasi menjadi karbon dioksida dan badan keton. Peningkatan
dari hidrogen sulfida dapat mengganggu jalur beta oksidasi tersebut
sehingga dapat mengganggu metabolisme tersebut.
2.1.3.5 Gejala Klinis
Gejala klinis dari kolitis ulserativa adalah diare kronis yang
bercampur dengan lendir dan darah. Berat badan menurun dan terdapat
darah pada saat dilakukan rectal touche adalah gejala yang lain pada
penyakit kolitis ulserativa. Anemia dan nyeri pada perut juga dapat
terjadi. Gejala dari ekstraintestinal adalah primary sclerosing
cholangitis, autoimmune hemolytic anemia, DVT, emboli paru,
sacroilitis, ankylosing spondilitis, dan uveitis.
2.1.3.6 Diagnosis
Diagnosis dari kolitis ulserativa dapat dilakukan dengan
memeriksa darah rutin untuk menilai apakah ada anemia dan
trombositosis. Elektrolit darah juga bisa dilakukan untuk menilai
kadar natrium dan kalium dalam darah karena pada diare kronis dapat
terjadi penurunan dari elektrolit darah tersebut. Pemeriksaan fungsi
hati juga bisa dilakukan untuk melihat nilai SGPT dan SGOT. Kultur
feces juga bisa dilakukan untuk mengeksklusi infeksi parasit dan
bakteri. Pemeriksaan LED juga bisa dilakukan karena pada penyakit
kolitis ulserativa maka akan didapatkan peningkatan dari LED. C-
reactive protein juga bisa dilakukan karena pada penyakit ini terdapat
peningkatan dari nilai tersebut.
Endoskopi adalah salah satu alat diagnosis yang baik untuk
penyakit kolitis ulserativa. Pada pemeriksaan endoskopi maka akan
didapatkan mukosa usus besar yang kehilangan vaskularnya, tampak
kemerahan (eritema), ulserasi, dan pseudopolyps.
Gambar 2. Endoskopi pada Penyakit Kolitis Ulserativa

Diagnosis dari kolitis ulserativa juga dapat dilakukan dengan


dilakukannya biopsi pada tempat lesi tersebut. Pada pemeriksaan
histopatologi dapat ditemukan kripta yang inflamasi, pembentukan
abses dari kripta, perdarahan atau inflamasi dari lamina propia.
2.1.3.7 Pengobatan
Sulfasalazine dan mesalazine dapat digunakan untuk
pengobatan dari kolitis ulserativa. Sulfasalazine adalah golongan obat
5-aminosalisylic acid (5-ASA). Kortikosteroid dapat juga digunakan
karena efek dari immunosuppresifnya tetapi tidak boleh digunakan
dalam janga waktu yang lama. Pengobatan dengan agen biologis
seperti infliximab dan adalimumab dapat digunakan jika pengobatan
dengan 5-ASA dan kortikosteroid tidak memberikan efek yang
memadai. Budesonide dan Tofacitinib dapat digunakan untuk
pengobatan dari kolitis ulserativa.
Pengobatan dengan probiotik dapat juga dilakukan untuk
penyakit kolitis ulserativa. Contoh probiotik yang biasa digunakan
adalah Eschericia coli Nissle. Lactobacillus acidophilus dapat juga
digunakan untuk pengobatan dari kolitis ulserativa.
2.2 Obat-Obatan Agen Biologis
2.2.1 TNF Inhibitors
Obat golongan TNF inhibitors adalah pertama kali yang digunakan
untuk pasien yang sedang pengobatan dengan agen biologis. Obat-obatan ini
sudah dilakukan uji klinis dan dapat digunakan untuk pengobatan penyakit
karena inflamasi dan harganya yang lebih murah. TNF inhibitors memiliki
mekanisme kerja menginaktivasi sitokin proinflamasi dengan netralisasi
secara direk. Obatan TNF inhibiors diadministrasikan secara subkutan atau
secara intravena.

2.2.1.1 Infliximab
Infliximab adalah golongan obat antibodi monoklonal yang
secara antibodi cimerik gabungan dari tikus dan manusia. FDA
menyetujui penggunaan Infliximab pada tahun 1998 sebagai obat
pertama TNF inhibitors yang ada. Infliximab selain dapat digunakan
untuk pengobatan Crohn’s disease dan Colitis Ulserativa dapat juga
digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis, akylosing
spondilitis, psoriatic arthritis, dan psoriasis plak.
Infliximab dengan nama dagang Remicade adalah obat untuk
mengobati penyakit autoimun. Obat ini dapat digunakan untuk
pengobatan Crohn’s disease, kolitis ulserativa, rheumatoid arthritis,
ankylosing spondilitis, psoriasis, psoriatic arthritis, dan Behcet’s
disease. Obat ini diadministrasikan secara lambat dengan intravena,
dengan interval pengobatan 6-8 minggu. Efek samping yang dapat
ditimbulkan dari obat Infliximab adalah reaksi akut infusion dan rasa
nyeri pada perut.

2.2.1.2 Adalimumab
Obat TNF inhibitors bernama Adalimumab disetujui oleh FDA
pada tahun 2002 sebagai antibodi monoclonal manusia yang pertama
kali ada. Adalimumab terlebih dahulu digunakan untuk pengobatan
rheumatoid arthritis tetapi sekarang juga digunakan untuk pengobatan
Crohn’s disease derajat sedang-berat dan colitis ulserativa yang tidak
berespon dengan pengobatan konvensional. Adalimumab kurang
efektif jika dibandingkan dengan infliximab.
Adalimumab dengan nama dagang Humira adalah obat untuk
pengobatan rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis, ankylosing
spondilitis, Crohn’s disease, colitis ulserativa, psoriasis, hidradenitis
suppurativa, dan juvenile idiopathic arthritis. Obat ini
diadministrasikan dengan injeksi di bawah kulit secara subkutan.
Efek samping yang dapat ditumbulkan dari obat Adalimumab
adalah infeksi dari traktus saluran pernapasan bagian atas, rasa sakit
pada tempat injeksi, rash, dan rasa nyeri kepala. Efek samping berat
yang dapat juga ditimbulkan adalah infeksi yang berat, kanker, reaksi
anafilatik, reaktivasi dari hepatitis B, multiple sclerosis, gagal jantung,
gagal liver, dan anemia aplastik.

2.2.1.3 Certolizumab Pegol


Certolizumab pegol adalah obat rekombinan antigen-biding
fragment antibody yang berikatan dengan 40kDa polyethylene glycol.
Certolizumab dapat digunakan untuk pengobatan Crohn’s disease.
Obat ini tidak digunakan untuk pengobatan Colitis Ulserativa, tetapi
digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis, psoriatic
arthropathy, dan akylosing spondilitis.
Certolizumab pegol dengan nama dagang Cimzia adalah obat
yang digunakan untuk pengobatan Crohn’s disease, rheumatoid
arthritis, psoriatic arthritis, dan akylosing spondilitis.

2.2.1.4 Golimumab
Golimumab (Simponi) adalah IgG1 monoclonal antibodi yang
pertama kali disetujui oleh FDA pada tahun 2009 untuk pengobatan
rheumatoid arthritis. Obat ini juga digunakan untuk pengobatan
psoriatic arthritis, ankylosing spondilitis, dan Colitis Ulserativa derajat
sedang-berat.
Obat ini memiliki mekanisme kerja dengan menurunkan dari C-
reactive protein, IL-6, intercelluler adhesion molecules (ICAM-1),
matrix metalloproteinase (MMP-3), dan vascular endothelial growth
factor (VEGF).

2.2.2 Integrin Receptor Antagonists


Obat golongan Integrin Receptor Antagonists berbeda dengan
golongan TNF inhibitors karena bekerja pada reseptor transmembrane
bernama integrins. Integrin memiliki fungsi untuk adhesi, signaling, migrasi
pada beberapa tipe sel yang berbeda. Obat golongan integrin receptor
antagonists memiliki fungsi untuk memblok interaksi dan migrasi dari sel-sel
proinflamasi ke daerah penyakit tersebut.

2.2.2.1 Natalizumab
Natalizumab (Tysabri) adalah IgG4 antibodi monoklonal yang
menginhibisi alpha integrin 4. Obat ini disetujui oleh FDA pada tahun
2004 untuk pengobatan Crohn’s disease. Obat ini juga dapat digunakan
untuk pengobatan multiple sclerosis tetapi dapat menimbulkan efek
samping yaitu progressive multifocal leukoenchephalopathy.
Mekanisme kerja dari obat Natalzumab adalah dengan
menghalangi interkasi antara α4β7 integrin dengan addressin di lokasi
yang terjadi inflamasi pada penyakit Crohn’s disease.
Efek samping lain yang dapat ditimbulkan dari obat
Natalizumab adalah kelelahan, reaksi alergi dengan risiko yang rendah
untuk anafilaksis, sakit kepala, mual, muntah, dan kekambuhan dari
penyakti Crohn’s disease. Penelitian juga mengatakan Natalizumab
memiliki hubungan dengan penyakit melanoma, infeksi, dan kanker.

2.2.2.2 Vedolizumab
Vedolizumab (Etyvio) hampir sama dengan Natalizumab yaitu
igG antibodi mnoklonal manusia. Vedolizumab secara spesifik
memblok alpha 4 beta 7 integrin yang secara khusus berada di saluran
pencernaan. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatan IBD.
Pada penelitian yang dilakukan dapat dikatakan Vedolizumab
dapat mengobati penyakit kolitis ulserativa. Vedolizumab memberikan
efek terapi setelah pengobatan dilakukan lebih dari 6 minggu.
Vedolizumab juga memberikan efek terapi pada penyakit Crohn’s
disease. Vedolizumab dapat menimbulkan efek terapi setelah
pengobatan lebih dari 6 minggu. Terapi maintenance dilakukan selama
52 minggu pengobatan.
Vedolizumab saat ini sedang uji coba pengobatan pada tahap 3
clinical trials. Vedolizumab dapat mengobati colitis ulserativa dan
Crohn’s disease derajat sedang hingga berat.
Efek samping pengobatan yang dapat ditimbulkan dari
Vedolizumab adalah reaksi alergi, gejala dari infeksi seperti demam,
nyeri pada tenggorokan, dan nyeri pada sinus. Sesak napas, pusing,
denyut jantung yang cepat dapat juga ditimbulkan dari efek samping
pengobatan Vedolizumab. Gejala paling parah yang dapat ditimbulkan
adalah progressive multifocal leukoencephalopathy (PML).
Vedolizumab dapat menimbulkan interaksi obat dengan
fluticasone, fexofenadine, ramipril, azathioprine, diphenhydramine,
buspirone, budesonide, infliximab, adalimumab, atropine, amlodipine,
pantoprazole, rifaximin, dan ondansetron sehingga kombinasi dari
pengobatan ini sebisa mungkin tidak dilakukan. Dosis Vadalizumab
adalah 300 mg diberikan secara IV selama 30 menit.

2.2.3 Interleukin Antagonists


Interleukin adalah sitokin yang beperan secara penting dalam sistem
imun manusia. IL-12 dan IL-23 memiliki peran dalam untuk aktivasi dan
differensiasi dari natural killer cells dan limfosit CD4+ yang sama-sama
memiliki peran dalam sitokin proinflamasi. Obat golongan interleukin
antagonists berperan dalam menghambat aktivasi dari interleukin inflamasi
dengan berikatan pada protein subunit p40 pada sitokin tersebut.
Ustekinumab (Stelara) adalah obat golongan interleukin antagonists
untuk pengobatan Crohn’s disease. Studi mengatakan dengan menghambat
pada IL-23 jauh lebih bermanfaat ketimbang menghambat pada IL-12 pada
obat ustekinumab.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari obat ustekinumab adalah
meningkatkan risiko dari infeksi seperti tuberculosis dan meningkatkan risiko
terkena suatu kanker. Jika diberikan dengan obat imunosupresan lain seperti
siklosporin maka dapat meningkatkan risiko terjadinya pembengkakan pada
otak bagian belakang sindroma ensephalopathy. Reaksi alergi juga dapat
ditimbulkan dari obat ini. Efek samping lain yang dapat ditimbulkan adalah
infeksi saluran pernapasan bagian atas, nyeri kepala, dan rasa kelelahan.

Obat-obatan agen biologis ini tentunya memiliki efek samping. Obat-


obatan ini diadministrasikan hanya secara sistemik. Obat ini tidak dapat
diadministrasikan secara oral karena akan dirusak pada saluran pencernaan
sebelum sampai ke jaringan yang rusak tersebut. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah limfoma, infeksi, congestive heart failure, penyakit
diemilenisasi, lupus-like syndrome, reaksi tempat injeksi, dan reaksi sistemik
yang lain.
Efek samping lain yang dapat ditimbulkan adalah antibodi terhadap
obat agen biologis dikarenakan agen biologis adalah substansi asing yang
dapat mengakibatkan respon dari sel imun tubuh kita juga. Efektivitas
pengobatan juga akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu setelah
pemberian terapi pertama kali.
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Terapi dengan agen biologis dapat digunakan untuk penyakit saluran pencernaan.
Obat-obatan golongan TNF inhibitors, integrin receptor antagonists, dan interleukin
antagonists dapat digunakan untuk pengobatan dari Crohn’s disease dan kolitis ulserativa.
Secara keseluruhan obat-obatan golongan ini dapat menurunkan inflamasi pada penyakit
tersebut dengan mempengaruhi sistem imun kita sendiri. Efek samping yang dapat terjadi
adalah contohnya seperti meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan kanker karena efeknya
yang immunosuppressive. Dibutuhkan pertimbangan antara risk dan benefit untuk
menggunakan obat-obatan ini.
REFERENSI

1. Pandurangan, A. K., Mohebali, N., Esa, N. M., Looi, C. Y., Ismail, S., & Saadatdoust,
Z. 2015. Gallic acid suppresses inflammation in dextran sodium sulfate-induced
colitis in mice: Possible mechanisms. International immunopharmacology, 28(2),
1034-1043.
2. Ma, C., Fedorak, R. N., Kaplan, G. G., Dieleman, L. A., Devlin, S. M., Stern, N., ... &
Halloran, B. P. 2017. Clinical, endoscopic and radiographic outcomes with
ustekinumab in medically‐refractory Crohn's disease: real world experience from a
multicentre cohort. Alimentary pharmacology & therapeutics, 45(9), 1232-1243.
3. Moss, A. C. 2015. Optimizing the use of biological therapy in patients with
inflammatory bowel disease. Gastroenterology report, 3(1), 63-68.
4. Baddley, J. W., Cantini, F., Goletti, D., Gómez-Reino, J. J., Mylonakis, E., San-Juan,
R., ... & Torre-Cisneros, J. 2018. ESCMID Study Group for Infections in
Compromised Hosts (ESGICH) Consensus Document on the safety of targeted and
biological therapies: an infectious diseases perspective (Soluble immune effector
molecules [I]: anti-tumor necrosis factor-α agents). Clinical Microbiology and
Infection, 24, S10-S20.
5. Hiraoka, S., Takashima, S., Kondo, Y., Inokuchi, T., Sugihara, Y., Takahara, M., ... &
Okada, H. 2018. Efficacy of restarting anti-tumor necrosis factor α agents after
surgery in patients with Crohn's disease. Intestinal research, 16(1), 75.
6. Komaki, Y., Yamada, A., Komaki, F., Micic, D., Ido, A., & Sakuraba, A. 2017.
Systematic review with meta‐analysis: the efficacy and safety of CT‐P13, a biosimilar
of anti‐tumour necrosis factor‐α agent (infliximab), in inflammatory bowel diseases.
Alimentary pharmacology & therapeutics, 45(8), 1043-1057.
7. Dulai, P. S., Singh, S., Jiang, X., Peerani, F., Narula, N., Chaudrey, K., ... & Shmidt,
E. 2016. The real-world effectiveness and safety of vedolizumab for moderate–severe
Crohn’s disease: results from the US VICTORY consortium. The American journal of
gastroenterology, 111(8), 1147.
8. Yokomizo, L., Limketkai, B., & Park, K. T. 2016. Cost-effectiveness of adalimumab,
infliximab or vedolizumab as first-line biological therapy in moderate-to-severe
ulcerative colitis. BMJ open gastroenterology, 3(1), e000093.

Anda mungkin juga menyukai