Anda di halaman 1dari 32

Kepada

Yth

Referat Patologi Anatomi

ENDOMETRIOSIS

Penyaji:
dr. Bagus Hilmawan
Pembimbing:
dr. Heni Maulani, Sp.PA (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA/RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2021
Dipresentasikan pada hari, tanggal 2021 Pukul 13:00 WIB

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ v
I. PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 2
2.1. Definisi ........................................................................................................................ 2
2.2. Patogenesis .................................................................................................................. 2
2.3. Patofisiologi ................................................................................................................ 5
2.4. Faktor Risiko ............................................................................................................... 8
2.5. Tipe endometriosis ...................................................................................................... 9
2.6. Etiologi ........................................................................................................................ 9
2.7. Manifestasi Klinis ..................................................................................................... 10
2.8. Algoritma Diagnosis ................................................................................................. 12
2.9. Tatalaksana ................................................................................................................ 18
2.10. Komplikasi .............................................................................................................. 23
2.11. Prognosis ................................................................................................................. 23
KESIMPULAN ......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 25

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Lokasi endometriosis ................................................................................ 2


Gambar 2.2 Inervasi saraf pelvis .................................................................................. 3
Gambar 2.3 Aktivasi dari COX-2 pada sel-sel stromal endometrium .......................... 7
Gambar 2.4 Diagnosis banding endometriosis ........................................................... 10
Gambar 2.5 Gejala endometriosis............................................................................... 11
Gambar 2.6 Foto laparoscopic .................................................................................... 11
Gambar 2.7 Kista coklat di ovary ............................................................................... 12
Gambar 2.8 Algoritma diagnosis klinis endometriosis ............................................... 14
Gambar 2.9 Contoh PA endometriosis ...................................................................... 16
Gambar 2.10 Contoh PA superficial servikal endometriosis dan endometriosis tipe
epitelium ..................................................................................................................... 17

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Histogenesis endometriosis .......................................................................... 4


Tabel 2.2 Faktor risiko endometriosis .......................................................................... 9
Tabel 2.3 Daftar lokasi ditemukannya endometriosis untuk biopsi............................ 16
Tabel 2.4 Daftar biomarker diagnosis endometriosis ................................................. 17
Tabel 2.5 Tatalaksana nyeri terkait endometriosis ..................................................... 19

iv

DAFTAR SINGKATAN

COX-2 : Cyclooxygenase type-2


NK : Natural Killer
IgG : Immunoglobulin G
PGE2 : Prostaglandin E2
TNF : Tumour necrosis factor
CA-125 : Cancer Antigen 125
NSAID : Non Steroid Anti-inflammatory drug
GnRH : Gonadotropin releasing hormone
ICSI : Intracytoplasmic sperm injection
IVF : In vitro fertilization

v

1

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Endometriosis adalah adanya kelenjar endometrium dan lesi seperti stroma di


luar uterus berupa lesi peritoneal, implan atau kista superfisial di ovarium. Gangguan
ginekologi jinak nyeri dan kronis ini bergantung pada kadar estrogen. Secara
karakteristik, derajat keparahan nyeri tidak berkorelasi dengan jumlah jaringan
endometrium yang terbentuk. Kejadian endometriosis pada populasi umum bervariasi
antara 4% dan 15% dan 70% wanita, namun insidensi infertilitas hingga 50% wanita.
Data berbasis populasi menunjukkan bahwa lebih dari 4 juta wanita usia subur
didiagnosis endometriosis di Amerika Serikat dan diperkirakan 6 dari 10 kasus
endometriosis tidak terdiagnosis. Endometriosis meningkatkan dua kali lipat risiko
infertilitas terutama dengan keluhan nyeri panggul, dismenore, dan dispareunia.
Sebagian besar endometriosis terjadi pada kelompok usia 18–45 tahun, rata-rata
keterlambatan adalah 6,7 tahun. Keterlambatan diagnosis lebih besar pada keluhan
nyeri panggul dibandingkan dengan infertilitas. Visualisasi lesi endometriotik saat
operasi dengan/tanpa biopsi sebagai standar emas dalam penegakan diagnosis.1,2,4,5,6
Meskipun tidak ada etiologi pasti, beberapa hipotesis perkembangan lesi
endometriosis, salah satunya adalah menstruasi retrograde. Endometriosis memiliki
gejala sisa yang meluas dan menyebar sehingga digambarkan sebagai "keadaan
darurat kesehatan masyarakat" yang membutuhkan tindakan segera. Tatalaksana
kasus endometriosis melalui pendekatan individualis dari pilihan awal farmakologis
dan tindakan perioperatif. Meski jarang, risiko kanker yang timbul dari endometriosis
perlu dipantau secara ketat. Sifat endometriosis yang kompleks dan multifaktorial
memerlukan pendekatan pengobatan multidisiplin. Kombinasi pengobatan medis,
bedah, psikoterapi, dan alternatif dapat meningkatkan kualitas hidup wanita yang
menderita endometriosis. Tujuan dari penulisan ilmiah ini mengetahui endometriosis
secara umum hingga pertimbangan terapi yang diberikan.3,4,6

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi
Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium fungsional
di berbagai lokasi ekstrauterin, sebagian besar endometrium ditemukan di daerah
bawah panggul, termasuk ligamen uterosakral dan cavum Douglas (Gambar 2.1).1

Gambar 2.1 Lokasi endometriosis sebagian besar endometrium ditemukan di daerah bawah panggul,
termasuk ligamen uterosakral dan cavum Douglas 1

2.2. Patogenesis
Pelvis merupakan rongga kaya vaskularisasi sehingga impuls nyeri dari daerah
ini diproses dan dikirim ke otak (Gambar 2.2). Cairan peritoneal pada wanita dengan
endometriosis mengandung faktor pertumbuhan saraf tingkat tinggi yang mendorong
neurogenesis, rasio serabut saraf simpatis dan sensorik berubah secara signifikan
dalam jaringan endometriotik, dan peningkatan kepadatan saraf di dalam nodul
endometriotik. Sitokin dan prostaglandin yang diproduksi oleh sel mast dan sel
inflamasi lainnya dapat mengaktifkan serabut saraf dan dapat memicu sel di dekatnya
untuk melepaskan molekul inflamasi.4 Pleksus hipogastrik superior mengandung
serabut aferen simpatis dan sensoris dari uterus, sebagai perpanjangan dari pleksus

aorta pada vertebra lumbal kelima. Pleksus ini terbagi menjadi saraf hipogastrik
kanan dan kiri yang bergabung dengan saraf splanknikus panggul dari S2-S4. Impuls
nyeri dari uterus dan serviks berjalan melalui saraf simpatis aferen di ligamen
uterosakral dan pelvis posterolateral. bergabung di garis tengah sebagai pleksus
hipogastrik superior dan berjalan ke ganglia akar dorsal dari sumsum tulang
belakang. Rangsangan nyeri ini kemudian diproses dan dikirim ke otak.4,10


Gambar 2. 2 Inervasi saraf pelvis. Pleksus ini terbagi menjadi saraf hipogastrik kanan dan kiri yang
bergabung dengan saraf splanknikus panggul dari S2-S4. Impuls nyeri dari uterus dan serviks berjalan
melalui saraf simpatis aferen di ligamen uterosakral dan pelvis posterolateral.4

Sumber nyeri lainnya adalah serabut saraf yang terperangkap dalam implan
endometriotik. Nyeri skiatik siklikal, kelemahan, dan kehilangan sensorik semuanya
dapat berasal dari akar saraf skiatik, femoralis, atau lumbosakral. Banyak deskripsi
radikulopati sakral yang terjadi pada pasien endometriosis. Sensitisasi sentral adalah

mekanisme lain yang memicu nyeri terkait endometriosis. Pasien menjadi sangat
sensitif terhadap rangsangan nyeri berikutnya karena perubahan neuroplastik yang
diinduksi endometriosis pada jalur menurun yang memodulasi nyeri persepsi.4,10
selain itu banyak teori telah dikemukakan untuk menjelaskan histogenesis
endometriosis (Tabel 2.1). Umumnya, mereka membagi menjadi tiga : transplantasi
fragmen endometrium ke tempat ektopik, metaplasia peritoneum multipotensial
celomic,induksi mesenkim yang tidak berdiferensiasi di tempat ektopik untuk
membentuk jaringan endometrium setelah terpapar zat yang dilepaskan dari
endometrium

Tabel 2.1 Histogenesis endometriosis23

Theory Comment
Transplanted endometrium
Retrograde menstruation Peritoneal implantation after passage through
fallopian tubes
Lymphatic dissemination Explains lymph node deposits
Vascular dissemination Explains pulmonary deposits
Direct invasion No evidence endometriosis penetrates wall of
uterus, except in adenomyosis
Uterotubal No evidence endometriosis penetrates wall of
fallopian tube
Metaplasia in situ
Celomic metaplasia No experimental evidence
Embryonic rests Experience limited to equivocal case reports
Wollfian duct remnans
Mullerian duct remnans
Induction May occur, but requires exfoliated endometrium
e.g. deciduosis

2.3. Patofisiologi
Endometrium ektopik bekerja dengan cara yang sama seperti endometrium
yang melapisi rahim. Pada fase proliferasi awal siklus menstruasi di bawah pengaruh
estrogen, memasuki fase sekretori pada bagian kedua siklus, sebelum akhirnya
mengalami deskuamasi selama menstruasi. Deskuamasi dan perdarahan di rahim
dapat menyebabkan nyeri panggul dan punggung selama menstruasi. Menstruasi pada
endometriosis dapat menyebabkan gejala siklus yang memengaruhi jaringan
endometrium ektopik, seperti kandung kemih dan usus.1 Walaupun penyebab pasti
dari endometriosis masih belum diketahui, beberapa teori dengan bukti yang
menyokong telah banyak dideskripsikan. 10,11
2.3.1. Retrograde Menstruation
Teori yang paling awal dan diterima secara luas mendeskripsikan retrograde
menstruation melalui tuba falopi dan penyebaran dari jaringan endometrium di dalam
kavitas peritoneum. Refluks dari fragmen-fragmen yang mengikuti dan menginvasi
mesotelium peritoneal dan membentuk suplai darah yang dapat menyebabkan
jaringan tetap bertahan dan berkembang. Pada saat pertama kali dikemukakan pada
tahun 1920, teori ini mendapatkan banyak dukungan dengan temuan volume darah
yang refluks dan jaringan endometrium pada pelvis wanita dengan endometriosis.
Hiperperistaltis dari uterus dan disperistaltis ditemukan pada wnaita dengan
endometriosis dan berakhir pada peningkatan refluks endometrial.10
2.3.2. Penyebaran Limfatik atau Vaskular
Bukti yang mendukung konsep dari endometriosis yang berasal dari penyebaran
jaringan endometrium melalui sistem limfatik atau vaskular. Temuan dari
endometriosis pada tempat yang kurang lazim seperti di perineum atau selangkangan
mendukung teori ini. Regio retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang sangat
banyak. Sebagai tambahan, kecendrungan dari adenokarsinoma untuk menyebar
melalui rute limfatik mengindikasikan kemudahan dari persebaran dan sel-sel
endometrium juga dapat menyebar melalui rute ini. 10,11

2.3.3. Coelomic Metaplasia


Teori dari coelomic metaplasia mengatakan bahwa periteoneum parietal adalah
jaringan pluripoten yang dapat bertransformasi secara metaplastic menjadi jaringan
yang tidak dapat dibedakan dari jaringan endometrium normal, duktus mulleri,
keduanya merupakan turunan dari coelomic epithelium, metaplasia dapat
menjelaskan perkembangan dari endometriosis ovarium. Sebagai tambahan teori ini
sudah meluas dengan memasukkan tidak hanya peritoneum parietal saja tetapi juga
seluruh peritoneum karena potensi proliferatif dan diferensiasi dari mesotelium
peritoneal. 10,11
2.3.4. Induction Theory
Teori induksi mengusulkan bahwa beberapa faktor hormonal atau biologis yang
dapat menginduksi diferensiasi dari sel yang belum terdiferensiasi menjadi jaringan
endometrial. Hormon-hormon atau faktor biologis ini dapat bersifat eksogen atau
dikeluarkan langsung dari endometrium. Penelitian in vitro mendemonstrasikan
potensi dari epitel permukaan ovarium, pada responnya terhadap estrogen, yang
mengalami transformasi untuk membentuk lesi endometriotik. Walaupun banyak
faktor yang diduga dan diidentifikasi, kecendrungannya untuk menyebabkan
endometriosis pada beberapa wanita belum dapat dipastikan dan menunjukkan
etiologi yang belum dapat diidentifikasi dari penyakit ini. 10,11
2.3.5. Ketergantungan Hormonal
Estrogen telah diketahui memiliki peran kausatif pada perkembangan dari
endometriosis. Walaupun sebagian besar estrogen pada wanita diproduksi langsung
oelh ovarium, beberapa jaringan perifer juga diketahui dapat menghasilkan estrogen
melalui aromatisasi dari androgen ovarian dan adrenal. Implan endometriotik
mengekspresikan aromatase dan 17b-hydroxysteroid dehydrogenase type 1, enzim
yang bertanggungjawab terhadap konversi dari androstenedione menjadi estrone dan
dari estrone menjadi estradiol. Implant, memiliki sedikit kadar 17beta-hydroxysteroid
dehydrogenase type 2 yang tidak mengaktifkan estrogen. Kombinasi enzimatik ini
memastikan implant akan terpapar terhadap lingkungan yang estrogenik. 10


7

Secara kontras, endometrium normal tidak mengekspresikan aromatase dan


memiliki kadar 17b-hydroxysteroid dehydrogenase type 2 yang meningkat karena
respon terhadap progesterone. Sebagai hasilnya progesteron menjadi antagonis
terhadap efek estrogen pada endometrium normal selama fase luteal dari siklus
menstruasi. Endometriosis, memunculkan keadaan resisten progesterone, yang
mencegah stimulasi yang lemah dari estrogen di dalam jaringan. Prostaglandin E2
(PGE2) adalah penginduksi dari aktivitas aromatase di sel-sel stromal endometrial,
bekerja melalui reseptor subtype prostaglandin EP2. Estradiol diproduksi sebagai
respon terhadap peningkatan aktivias aromatase, selanjutnya meningkatkan produksi
PGE2 dengan menstimulasi enzim cyclooxygenase type 2 (COX-2) pada sel-sel
endothelial uterus. Hal ini mengakibatkan positive feedback loop dan meningkatkan
efek estrogenic pada proliferasi dari endometriosis. Konsep dari estrogen yang
diproduksi secara lokal dan kerja estrogen pada endometriosis ini menjadi dasar
penggunaan inhibitor aromatase. Agen-agen ini mengurangi aktivitas aromatase pada
endometriosis yang refrakter terhadap terapi standar. 10,11

Gambar 2.3 Aktivasi dari COX-2 pada sel-sel stromal endometrium. Aktivasi dari COX-2 pada sel-sel
stromal endometrium menghasilkan peningkatan regulasi dari PGE2, yang merupakan stimulator poten
aromatase pada sel stromal endometrium.aktivitas aromatase menghasilkan aromatisasi intrasel dari androgen
untuk meningkatkan estradiol intraseluler melalui mekanisme parakrin. 10

2.3.6. Peran dari Sistem Imun


Walaupun kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograde, yang dapat
berperan dalam adanya implant, yang beberapa menjadi endometriosis. Jaringan
menstrual dan endometrium yang refluks ke dalam kavitas peritoneum biasanya
dibersihkan oleh sel-sel imun seperti makrofag, sel natural killer (NK), dan limfosit.
Untuk alasan ini, disfungsi sistem imun merupakan mekanisme yang mendukung
pembentukan endometriosis pada retrograde menstruation. (seli, 2003). Imunitas
seluler dan humoral yang terganggu dan faktor pertumbuhan seerta sitokin telah
teridentifikasi di jaringan endometriotik. Sel NK adalah sel imun yang memiliki
aktivitas sitotoksik pada sel-sel yang asing. Walaupun beberapa sel NK tidak berubah
pada cairan peritoneum dari wanita dengan endometriosis, penurunan sitotoksisitas
dari sel NK terhadap endometrium telah didemonstrasikan. Khususnya cairan
peritoneum dari wnaita dengan endometriosis ditemukan menurunkan aktivitas sel
NK. Imunitas seluler juga mengalami gangguan pada wanita dengan endometriosis,
limfosit T terlibat. Sebagai contoh, pada wanita dengan endometriosis dibandingan
dengan wnaita yang tidak terkena, rasio total limfosit atau helper/supresor tidak
berbeda pada darah perifer, tetapi limfosit pada cairan peritoneal meningkat. Imunitas
humoral juga terganggu pada wanita dengan endometriosis dan diduga memiliki
peran pada perkembangan endometriosis. Antibody endometrial dari IgG terdeteksi
pada wanita dengan endometriosis.10,11
2.4. Faktor Risiko
Beberapa faktor reproduksi secara konsisten dikaitkan dengan risiko
endometriosis (Tabel 2.2). Variasi hormonal memiliki dampak signifikan terhadap
risiko endometriosis. Usia dini saat menarke dan siklus menstruasi yang pendek
dikaitkan dengan peningkatan risiko, sedangkan paritas dan penggunaan kontrasepsi
oral saat ini dikaitkan dengan penurunan risiko. Faktor gaya hidup dan pola makan
lain yang memengaruhi risiko endometriosis mungkin terkait dengan kemampuannya
untuk mengurangi inflamasi. Aktivitas fisik dan asam lemak diet omega-3 dapat
menurunkan kadar tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin-6 (IL-6), dan

penanda inflamasi lainnya. Hubungan aktivitas fisik dan endometriosis tidak jelas,
asupan asam lemak omega-3 rantai panjang yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan
penurunan risiko endometriosis.6,12
Tabel 2.2 Faktor risiko endometriosis6

2.5. Tipe endometriosis


Ada tiga subtipe endometriosis: lesi peritoneal superfisial,lesi filtrasi dalam
(gambar 2.6) dan kista (endometrioma) yang mengandung darah dan jaringan mirip
endometrium (gambar 2.7).1,13

2.6. Etiologi
Etiologi endometriosis masih belum diketahui. Teori sebelumnya telah
memasukkan menstruasi retrograde, penyebaran hematogen, penyebaran limfatik dan
metaplasia. Konsensus umum saat ini, etiologi multifaktorial termasuk faktor genetik
Dalam beberapa penelitian wanita dengan endometriosis yang terbukti secara
histologis, sebagian besar kerabat wanita mereka juga terkena dampak yang sama,
implan endometriosis dapat menyediakan lingkungan mikro spesifik yang secara
dinamis berhubungan dengan sistem imun,dan endokrinologi.1 Etiologi endometriosis
masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi estrogen memainkan peran utama dalam
patogenesisnya. Sebuah teori yang diterima secara umum bahwa endometriosis
disebabkan oleh menstruasi retrograde diperkenalkan pada abad ke-17 oleh Ruysch,
dan didukung oleh Sampson. Salah satu teori adalah bahwa jaringan mirip
endometrium memasuki rongga peritoneum melalui saluran tuba, dan jaringan
ektopik ini bertahan dengan membentuk suplai darahnya sendiri.4,14,23



10

2.7. Manifestasi Klinis


Gejala klinis endometriosis dan tingkat keparahannya bervariasi. Beberapa
wanita mungkin asimtomatik dan didiagnosis secara tidak sengaja, misalnya selama
investigasi untuk subfertilitas. Beberapa wanita mungkin mengalami gejala lebih
berat. Kondisi ini berhubungan dengan gejala endometriosis yang menyerupai kondisi
lain (Gambar 2.4).


Gambar 2.4 Diagnosis banding endometriosis. Beberapa wanita mungkin mengalami gejala lebih
berat. Kondisi ini berhubungan dengan gejala endometriosis yang menyerupai kondisi lain 1

Wanita yang datang ke perawatan primer dengan gejala yang berhubungan


dengan menstruasi sering disalahartikan sebagai mengalami dismenorea atau penyakit
radang panggul.1,15 Gejala yang paling umum adalah dismenorea yang sering
bertambah parah (Gambar 2.5).



11

Gambar 2.5 Gejala endometriosis. Gejala ini cenderung muncul atau memburuk sesaat sebelum
1
menstruasi atau saat menstruasi

Gejala ini cenderung muncul atau memburuk sesaat sebelum menstruasi atau
saat menstruasi.1 Sekitar 30-50% wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas.
Hubungan antara endometriosis dan infertilitas saat ini masih kurang dipahami,
bahkan endometriosis ringanpun mengganggu kesuburan dengan mengganggu
kualitas oosit/embrio dan implantasi yang buruk. Endometriosis menyebabkan adhesi
tuba, sehingga memeengaruhi fungsi tuba falopi dan transportasi embrio.
Pemeriksaan seringkali normal. Namun, mungkin ada nyeri tekan uterus dan adneksa
atau uterus retrograde yang tetap, jarang ditemukan nodul teraba di forniks posterior
atau massa adneksa.1 Namun, endometriosis dapat menghasilkan gejala yang mirip
dengan penyakit lain, termasuk sindrom iritasi usus besar, sistitis interstisial, penyakit
vaskular, muskuloskeletal, neurologis, dan psikologis, obesitas, anoreksia, disfungsi
tiroid, gangguan autoimun, dan penyakit jantung.4,15

A B

Gambar 2.6 Foto dari laparoscopic A) Lesi merah dan putih dari lesi endometriotic terlihat pada
peritoneum pelvis pada saat laparoskopi.7 B) Endometriosis superfisial. Flame red appearance dengan
scarring.10



12


Gambar 2.7 Kista coklat di ovary. Endometrioma besar, tetapi belum sepenuhnya menggantikan

2.8. Algoritma Diagnosis


Diagnosis endometriosis harus berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kemudian dibuktikan dengan pemeriksaan histologis dari spesimen yang
dikumpulkan selama laparoskopi. Laparoskopi dan verifikasi histologis dianggap
sebagai standar emas dalam diagnosis penyakit, namun tidak setiap pasien dirujuk
untuk laparoskopi.3,9

2.8.1. Anamnesis
Nyeri panggul, meskipun umum di antara wanita dengan endometriosis, tidak
cukup sebagai indikator endometriosis, karena dapat dikaitkan dengan beberapa
kondisi ginekologi dan non-ginekologi. Nyeri panggul yang digambarkan sebagai
nyeri kronis, siklik, dan persisten atau progresif (yaitu, memburuk seiring waktu)
meningkatkan kemungkinan adanya hubungan dengan endometriosis. Nyeri biasanya
pada awal menstruasi (dismenore) berkembang menjadi nyeri panggul nonmenstruasi,
lazim di antara wanita dengan diagnosis endometriosis. Rasa sakit berat dan progresif
selama fase menstruasi dan nonmenstruasi. Wanita dengan endometriosis cenderung
dispareunia, diskezia, dan disuria.3,17
Riwayat medis terkait, pengobatan terkini, serta riwayat keluarga
endometriosis, nyeri kronis, perdarahan uterus abnormal, dan kanker ginekologi harus



13

ditanyakan. Riwayat penggunaan kontrasepsi oral untuk dismenore primer berat telah
dikaitkan dengan pilihan tindakan bedah endometriosis di kemudian hari, terutama
endometriosis profunda.5 ,17
Riwayat infertilitas sangat terkait dengan endometriosis, sehingga evaluasi yang
lebih menyeluruh pada wanita dengan infertilitas meningkatkan keberhasilan
kemungkinan diagnosis. Faktor lain yang terkait dengan kemungkinan diagnosis
endometriosis lebih besar adalah riwayat penyakit dalam keluarga, operasi panggul
sebelumnya, dan riwayat kista ovarium jinak dan/atau nyeri ovarium.3,17
Siklus menstruasi lebih umum di antara wanita dengan atau tanpa diagnosis
endometriosis, termasuk perdarahan menstruasi yang banyak, perdarahan yang
berlebihan/tidak teratur, pembekuan darah, dan periode menstruasi yang tidak teratur.
Bercak pramenstruasi juga berkorelasi dengan endometriosis pada wanita tidak subur.
Meskipun kelainan ini umum terjadi pada wanita dengan endometriosis, sebagian
besar wanita ini memiliki siklus teratur tanpa perdarahan abnormal.3,17

2.8.2. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada uterus atau adneksa, nodulasi
ligamentum uterosakral, dan massa pelvis. Nyeri palpasi forniks posterior adalah
temuan paling umum. Temuan pada pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi
endometriosis dengan akurasi tinggi misalnya, menggunakan kriteria yang ditetapkan
untuk pemeriksaan panggul bimanual positif (terabanya nodularitas, anatomi
pelvisrigid dan/atau menebal, terutama ligamen uterosakral, vagina, ruang
rektovaginal, cavum Douglas, adneksa, rektosigmoid, atau dinding posterior kemih
kandung kemih), akurasi diagnosis endometriosis 86-99%, tergantung lokasi anatomi.
Nyeri dinding vagina anterior memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendeteksi
endometriosis pada wanita dengan nyeri panggul kronis. Pemeriksaan bimanual tidak
dapat dilakukan untuk remaja/dewasa muda yang tidak aktif secara seksual.3,6



14


Gambar 2.8 Algoritma diagnosis klinis endometriosis. Diagnosis endometriosis harus
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kemudian dibuktikan dengan
pemeriksaan histologis dari spesimen yang dikumpulkan selama laparoskopi 3

Nyeri panggul juga merupakan gejala penyakit lain seperti adhesi panggul,
adenomiosis, dan gangguan gastrointestinal atau urologi. Penyebab lain nyeri panggul
harus disingkirkan dengan melakukan tes diagnostik yang sesuai seperti urinalisis,
Pap smear, tes kehamilan, dan usap vagina dan endoserviks. Pemindaian
ultrasonografi panggul dilakukan untuk memfasilitasi diagnosis endometrioma,
fibroid, dan kista ovarium.5,6
2.8.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti tes darah, urinalisis, triple swab, dan tes
kehamilan dapat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding.
Saat ini tidak ada tes diagnostik non-invasif untuk endometriosis. Meskipun titer CA-



15

125 sedikit meningkat pada wanita dengan endometriosis, CA-125 tidak dapat
mendiagnosis atau menyingkirkan endometriosis dengan baik sehingga dianggap
sebagai tes yang berguna dan tidak diindikasikan. Saat ini tidak ada biomarker
imunologi yang dapat mendiagnosis endometriosis.1 Endometriosis biasanya
ditentukan berdasarkan pemeriksaan histologi, didapatkan lesi ekstrauterin terdiri dari
kelenjar endometrium, stroma endometrium, dan/atau makrofag hemosiderin.
(gambar 2.9) 3,18
Ultrasonografi transvaginal dapat mendeteksi endometrioma ovarium dan
endometriosis rektum. Namun, pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi endometrium
kecil (kurang dari 1 cm), sehingga pemindaian normal tidak menyingkirkan
endometriosis. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat mengidentifikasi
endometrium subperitoneal, meskipun ini dapat disamarkan jika terdapat kelainan
pada anatomi pelvis dan endometrioma. Rekomendasi saat ini menyarankan bahwa
MRI tidak berguna untuk mendiagnosis dan menyingkirkan endometriosis
peritoneum dan relatif mahal. Pencitraan resonansi magnetik adalah pilihan non-
invasif tidak tersedia secara universal dan kurang sensitif, sehingga jarang digunakan
untuk diagnosis endometriosis. Laparoskopi dan pemeriksaan histologis sebagai
standar emas diagnosis.1,3 Daftar temuan endometriosis berdasarkan lokasi biobsi
untuk dirangkum dalam (Tabel 2.3).
Berhubung laparoskopi tidak praktis sebagai alat diagnosis lini pertama, para
peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi alat noninvasif untuk diagnosis dini
yang mungkin mencegah atau menunda perkembangan endometriosis. Terlepas dari
berbagai tes darah yang telah dievaluasi, pemeriksaan paling tepat belum dapat
diidentifikasi untuk diagnosis endometriosis. Perubahan tingkat analit, protein,
microRNA, dan penanda lain yang sesuai dengan keadaan penyakit dapat menjadi
dasar untuk mengidentifikasi biomarker baru. Wanita dengan endometriosis
menunjukkan perubahan kadar CA-125, sitokin, dan angiogenik serta faktor
pertumbuhan dibandingkan dengan wanita normal, tetapi tidak ada penanda yang
terbukti menjadi alat klinis definitif untuk diagnosis endometriosis.6


16

A B

Gambar 2.9 gambaran PA A) Endometriosis dengan xantoma cell dan haemosiderin.21


B) Adenokarsinoma endometrioid primer ini timbul terkait endometriosis.9

A B
Gambar 2.10 gambaran PA A) Superficial servikal endometriosis.23 B) Endometriosis tipe
epitelium23

Tabel 2.3 Daftar lokasi ditemukannya endometriosis untuk biopsi23

Location Frequency
Ovary 36%
Fallopian tube 14%
Uterine serosa 12%
Cul-de-sac 6%



17

Cervix 3%
Colon 3%
Peritoneum 3%
Appendix 2%
Broad ligament 2%
Pelvis 2%
Uterosacral ligament 2%
Vagina 2%
Abdominal wall 1%
Bladder 1%
Fibrous tissue 1%
Parametrium 1%
Rectum 1%
Small intestine 1%
Other sites (>20) 7%

Tabel 2.4 Daftar biomarker diagnosis endometriosis4

Daftar biomarker untuk diagnosis dan perkembangan endometriosis dirangkum


dalam (Tabel 2.4). Kombinasi dari biomarker ini dapat meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas atas biomarker tunggal manapun. Selain itu, studi sel punca, proteomik



18

dan genomik dapat memberikan peluang lanjutan untuk menemukan biomarker


diagnostik baru yang berpotensi dapat diandalkan dengan sensitivitas tinggi untuk
endometriosis.6,18

2.9. Tatalaksana
Wanita dengan endometriosis memerlukan pengobatan untuk nyeri, infertilitas,
atau keduanya. Pilihan pengobatan tergantung pada usia wanita, sifat dan tingkat
keparahan gejala, rencana kesuburan, pengobatan sebelumnya, dan lokasi serta
tingkat keparahan penyakit. Pilihan perawatan medis sama dengan penyebab
dismenore lainnya, misal obat antiinflamasi non steroid (NSAID), penekanan
hormonal ovulasi dan pil kontrasepsi oral kombinasi tri-siklus (meminum tiga paket
berturut-turut sebelum istirahat 7 hari).1 Manajemen nyeri harus bersifat individual.
Tujuan terapi medis adalah untuk mengurangi rasa sakit dengan mengurangi
peradangan serta produksi hormon ovarium dan lokal (Tabel 2.5). Tatalaksana medis
biasanya tidak menyembuhkan tetapi menekan, dan gejala akan sering kambuh
setelah terapi dihentikan.4 Jika pasien tidak merespons NSAID dalam 3 bulan,
pengobatan lini kedua digunakan yang meliputi progestin (oral, suntik, dan intra-
uterus), androgen, dan agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRH) yang
mengurangi nyeri sedang hingga berat endometriosis.6,18
Pil kontrasepsi oral efektif dalam mengurangi nyeri serta mencegah
kekambuhan pasca operasi. Bagi mereka yang tidak dapat mentolerir atau memiliki
kontraindikasi terhadap estrogen, progestin seperti medroxyprogesterone acetate,
norethindrone acetate, atau levonorgestrel dapat diindikasikan. Bagi mereka yang
tidak dapat mentolerir obat-obatan oral, levonorgestrel dapat mengurangi rasa sakit
dan kekambuhan. Pasien yang gagal dalam opsi sebelumnya, rekomendasi
penggunaan agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRH) dengan terapi tambahan
untuk mencegah keropos tulang dan mengurangi efek samping. Pasien yang memakai
agonis GnRH untuk endometriosis dapat berisiko resistensi.1,



19

Tabel 2.5 Tatalaksana nyeri terkait endometriosis4

Tatalaksana hormonal menyebabkan atrofi endometrium ektopik, baik dengan


mengubah efek estrogen pada jaringan ektopik atau dengan mengurangi kadar
estrogen yang bersirkulasi. Efeknya dapat mengurangi perdarahan menstruasi atau
menyebabkan amenore. Pilihan pengobatan termasuk kontrasepsi oral atau
progestogen berkelanjutan, seperti medroxyprogesterone acetate, Depo-Provera,
norethisterone, cyproterone acetate atau dienogest. Progestogen dapat dikaitkan
dengan perdarahan menstruasi yang tidak teratur, penambahan berat badan,
perubahan suasana hati dan penurunan libido yang harus didiskusikan dengan pasien
sebelum meresepkan. Danazol tidak dianjurkan karena profil efek samping
androgeniknya yang parah (misalnya jerawat, edema, bercak vagina, penambahan
berat badan, kram otot).1



20

Tatalaksana medis dalam perawatan sekunder terutama melibatkan analog


GnRH dengan menurunkan konsentrasi dan efek samping estrogen, termasuk gejala
menopause dan hilangnya kepadatan mineral tulang dalam penggunaan jangka
panjang. Banyak penelitian telah menunjukkan penurunan efek samping dengan
menambahkan estrogen dan/atau progestogen dibandingkan dengan terapi GnRH saja
dan analog GnRH tanpa HRT untuk penggunaan 6 bulan.1,19
Kombinasi antagonis GnRH, inhibitor aromatase, dan bazedoksifen bersama
dengan estrogen terkonjugasi. Beberapa pasien mendapatkan efek anti-nyeri dari
obat-obatan ini. Tetrahydrocannabinol dan cannabidiol, baik secara terpisah atau
dalam kombinasi, memberikan alternatif pilihan. Pasien sering lebih memilih
senyawa ini daripada opioid, dan penggunaannya dikaitkan dengan lebih sedikit mual
dan sembelit. Penggunaan tetrahydrocannabinol atau cannabidiol sangat bermanfaat
untuk mengatasi nyeri pasca operasi, dan penggunaannya tidak menimbulkan
masalah adiktif yang terkait dengan penggunaan opioid.4,20
2.9.1. Tatalaksana menopause
Terapi penggantian hormon banyak digunakan pada wanita dengan gejala
menopause. Endometriosis adalah kondisi yang bergantung pada estrogen, sehingga
terapi penggantian hormon pada wanita dengan riwayat endometriosis dapat
menghasilkan lesi baru. Namun, tanpa HRT, wanita mungkin mengalami konsekuensi
jangka panjang dari hipoestrogenisme, misalnya akibat pengobatan sebelumnya untuk
endometriosis, seperti agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRH) dan/atau
ooforektomi bilateral. Rekomendasi saat ini adalah bahwa tatalaksana wanita dengan
riwayat endometriosis setelah menopause melalui pembedahan dengan terapi
penggantian hormon, setidaknya hingga usia menopause alami.1,18
2.9.2. Tatalaksana sekunder
Pasien dengan dugaan endometriosis harus dirujuk ke klinik spesialis yang
sesuai jika pengobatan dismenorea primer dengan kontrasepsi oral dan analgesia telah
gagal, dan jika terdapat nyeri terus-menerus yang memerlukan hari libur



21

kerja/sekolah. Infertilitas yang terkait dengan nyeri panggul juga memerlukan rujukan
spesialis.1,18
2.9.3. Akupuntur
Akupunktur adalah tambahan lain yang berpotensi berguna dalam mengobati
nyeri. Akupunktur juga meningkatkan ambang nyeri dan menyebabkan produksi
faktor neurohumoral seperti dopamin, oksida nitrat, noradrenalin, asetilkolin, dan
lainnya. Selain itu, meningkatkan sel pembunuh alami, sehingga mengubah fungsi
kekebalan dan menurunkan produksi estrogen. 1,18
2.9.4. Terapi fisik pelvis
Terapi fisik pelvis telah ditunjukkan dalam penelitian retrospektif untuk
meningkatkan nyeri endometrium pada 63% pasien setelah setidaknya enam sesi.
Selain itu, pijat tekanan dalam, peregangan otot dasar panggul, mobilisasi sendi, foam
roller dengan pernapasan, dan teknik relaksasi dapat mengurangi nyeri akibat
endometriosis.4
2.9.5. Tatalaksana operatif
Indikasi laparoskopi meliputi keinginan wanita tersebut untuk diagnosis pasti,
infertilitas, dan kemungkinan penyakit lanjut.1 Operasi laparoskopi harus menjadi
pengobatan pilihan pertama, terutama pada wanita usia reproduksi. Keberhasilan
perawatan bedah bergantung pada lokasi penyakit, tingkat keparahan penyakit, dan
luasnya gejala. Pilihan pembedahan termasuk pengangkatan seluruh lesi, kistektomi
ovarium, adhesiolisis dan ooforektomi bilateral, seringkali dengan histerektomi.
Perawatan bedah bisa konservatif atau radikal. Dengan pembedahan konservatif,
tujuannya adalah untuk mempertahankan potensi reproduksi pasien. Pembedahan
konservatif dapat dilakukan secara laparoskopi atau sebagai prosedur terbuka dengan
eksisi atau ablasi jaringan endometrium. Eksisi bedah telah terbukti meningkatkan
pereda nyeri dan kualitas hidup 6 bulan pasca prosedur, jika dibandingkan dengan
laparoskopi diagnostik saja. Sayangnya, sekitar 20% wanita tidak melaporkan
perbaikan apapun setelah operasi dan kekambuhan endometriosis setelah operasi
laparoskopi sering terjadi.1,4


22

Sebuah metaanalisis dari uji coba terkontrol secara acak yang melibatkan 335
wanita menunjukkan bahwa eksisi endometriosis lebih unggul daripada koagulasi
dalam mengurangi dismenore, diskezia, dan nyeri panggul kronis ketika dievaluasi
pada 12 bulan masa tindak lanjut. Ablasi laser dengan evaporasi lapisan demi lapisan
endometriosis terbukti 65% efektif dalam mengurangi nyeri, dibandingkan dengan
reduksi 22% saat dilakukan laparoskopi diagnostik saja.4
Ablasi saraf uterosakral laparoskopi memengaruhi serabut saraf eferen.
Komplikasi prolaps uterus dan transeksi ureter intraoperatif telah dilaporkan dengan
prosedur ini. Sebaliknya, neurektomi laparoskopi presakral 87% efektif dalam
mengurangi nyeri panggul berat. Efek samping yang terkait dengan neurektomi
presakral adalah konstipasi dan gejala kandung kemih dan kemih.4
Sebuah studi kohort prospektif multisenter terhadap 981 wanita dengan
berbagai derajat penyakit menunjukkan perbaikan gejala pascaoperasi yang signifikan
selama 36 bulan pada pasien yang menjalani eksisi laparoskopi endometriosis.
Perbaikan yang paling mencolok terlihat pada dismenore, dengan penurunan gejala
sebesar 57%; nyeri panggul kronis dan dispareunia berkurang 30%.4
Saat melakukan pembedahan pada endometrioma ovarium, dokter disarankan
untuk melakukan sistektomi daripada drainase dan koagulasi karena tindakan ini
mengurangi nyeri terkait endometriosis. Histerektomi dengan salpingo-ooforektomi
bilateral adalah pilihan pengobatan yang berguna pada wanita yang tidak ingin hamil,
tetapi menyebabkan menopause bedah. Jika terdapat endometriosis di tempat
ekstrapelvis, keterlibatan tambahan dari spesialis lain mungkin diperlukan, misalnya
tim kolorektal atau urologi.1
Manfaat utama pembedahan untuk infertilitas yang terkait dengan
endometriosis adalah untuk meningkatkan kemungkinan konsepsi alami. Pembedahan
untuk infertilitas atau nyeri meningkatkan angka kehamilan pasca operasi secara
spontan. Di sisi lain, pembedahan untuk endometrioma dapat menyebabkan
penurunan fungsi ovarium dan kemungkinan hilangnya ovarium. Oleh karena itu,
keputusan pembedahan harus dibuat dengan hati-hati, terutama pada wanita dengan


23

usia lanjut, penyakit bilateral, gangguan cadangan ovarium, yang pernah menjalani
pembedahan untuk endometrioma sebelumnya, atau infertilitas jangka panjang, yang
tidak sesuai dengan konsepsi alami karena faktor tuba atau pria.6
2.9.6. Tatalaksana fertilitas
Pada wanita dengan endometriosis minimal hingga ringan, inseminasi
intrauterin dengan stimulasi ovarium terkontrol telah terbukti meningkatkan angka
kelahiran hidup dibandingkan dengan manajemen hamil atau inseminasi intrauterin
saja. Saat ini terdapat inkonsistensi mengenai implikasi endometriosis pada tingkat
keberhasilan setelah IVF atau injeksi sperma intrasitoplasma (ICSI). Pada wanita
infertil dengan endometriosis, dokter dapat menawarkan pengobatan dengan
teknologi reproduksi terbantu setelah operasi, karena tingkat kekambuhan
endometriosis kumulatif tidak meningkat setelah stimulasi ovarium terkontrol untuk
IVF / ICSI.1
2.10. Komplikasi
Wanita dengan endometriosis memiliki risiko keguguran dan kehamilan
ektopik yang lebih tinggi. Wanita yang mempertahankan kehamilannya selama lebih
dari 24 minggu menghadapi risiko lebih lanjut, seperti risiko tinggi plasenta previa,
perdarahan antepartum, perdarahan postpartum, dan risiko lebih tinggi untuk operasi
caesar. Studi lain juga menunjukkan bahwa wanita dengan endometriosis lebih
mungkin berisiko kanker ovarium.1
2.11. Prognosis
Prognosis endometriosis bervariasi. Dalam 5 tahun setelah tatalaksana medis
atau pembedahan, 20-50% wanita akan mengalami kekambuhan.1 Tingkat
kekambuhan endometriosis sangat bervariasi, berkisar antara 4–74%.4 Endometriosis
berulang pada 5% sampai 15% kasus bahkan setelah histerektomi dan ooforektomi
bilateral.6



24

KESIMPULAN

Endometriosis sangat umum terjadi dan memengaruhi 10–15% wanita usia


subur. Menegakan diagnosis endometriosis pada wanita usia subur yang disertai
dengan nyeri panggul/menstruasi kronis, terutama jika berhubungan dengan
dispareunia. Keterlambatan diagnosis endometriosis sering terjadi, seringkali sulit
untuk mendiagnosis karena pasien dapat datang dengan berbagai gejala. Pemeriksaan
laparoskopi dan konfirmasi histologis yang dapat dijadikan baku emas untuk
memastikan diagnosis endometriosis. Pasien dengan dugaan endometriosis harus
dirujuk ke klinik spesialis yang sesuai. Rujukan dianjurkan jika pengobatan
dismenorea primer dengan kontrasepsi oral dan analgesia telah gagal, jika terdapat
nyeri persisten yang memerlukan hari libur kerja/sekolah atau untuk pemeriksaan
infertilitas.



25

DAFTAR PUSTAKA

1. Andhini NF. Endometriosis . J Chem Inf Model. 2017;53(9):1689–99.


2. Warzecha D, W Szymusik, M Wieglos. The Impact of Endometriosis on the
Quality of Life and the Incidence of Depression – A Cohort Study. Int J. Environ.
Res. Public Health. 2020; 17(3641).
3. Argawa SK. C Chapron. Clinical Diagnosis of Endometriosis: A Call to Action.
American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2019;(1): 0002-9
4. Nezhat C, N Vang, PP Tanaka. Optimal Management of Endometriosis and Pain.
Obstetrics and Gynecology. 2019;134(4): 834-40.
5. Vilasagar, S, O Bougie. A Practice Guide to The Clinical Evaluation of
Endometriosis Associated Pelvic Pain. Journal of Minimally Invasive Gynecology.
2019. Di akses https://doi.org/10.1016/j.jmig.2019.10.012.
6. Parasar, P, PO Censkoy. Endometriosis: Diagnosis and Clinical Management. Curr
Obstet Gynaecol Rep. 2017;(6):34-41.
7. Hogg, S, Vyas S. Endometriosis Update, Obstetrics, Gynaecology and
Reproductive Medicine. 2017;12(1): 1-8.
8. Ashrafi, M, SJ Sadatmahalleh. Evaluation of Risk Factors Associated with
Endometriosis in Infertile Women. Int J Fertil Steril. 2016;13(2):3-6
9. Stekly WW, CC Yng Kew. Endometriosis: A review of the diagnosis and pain
management. J. Gynecology and Minimally Invasive Therapy. 2015;(1): 106
10. Cunningham GF, BL Hoffman, JO Schorge. Endometriosis. In: Cunningham GF.
William Gynecology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2012.p. 281-289.
11. Almog B, Sheizaf B, Shalom-Paz E, et al: Effects of excision of ovarian
endometrioma on the antral follicle count and collected oocytes for in vitro
fertilization. Int J Fertil Steril 2010; 94(6):2340.



26

12. Jayaprakasan K, Becker C, Mittal M, on behalf of the Royal College of


Obstetricians and Gynaecologists. The effect of surgery for endometriomas on
fertility: Scientific Impact Paper 55. BJOG, 2017;(6):34-41.
13. Maggiore ULR, Gupta JK, Ferrero S. Treatment of endometrioma for improving
fertility. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2017; 209: 81e5.
14. Stochino-Loi E, Darwish B, Mircea O. Does pre-operative Anti- mullerian
hormone influence postoperative pregnancy rate in women undergoing surgery
for severe endometriosis. Fertil Steril 2017; 107(3): 1-5
15. Van Aken MAW, Oosterman JM, van Rijn CM. Pain cognition versus pain
intensity in patients with endometriosis: toward personalised treatment. Fertil
Steril 2017; 108(4): 1-6.
16. Zhu X, Chen L, Deng X, et al. A comparison between high intensity focused
ultrasound and surgical treatment for the management of abdominal wall
endometriosis. BJOG 2017; 124(3): 1-7.
17. Laganà, A.S.; Condemi, I.; Retto, G.; et al. Analysis of psychopathological
comorbidity behind the common symptoms and signs of endometriosis. Eur. J.
Obstet. Gynecol. Reprod. Biol. 2015: 194, 30–3.
18. Vercellini, P.; Viganò, P.; Somigliana, et al. Endometriosis: Pathogenesis and
treatment. Nat. Rev. Endocrinol. 2013;10:261–75.
19. Fox, C.; Morin, S.; Jeong, J.-W.; Scott, et al. Local and systemic factors and
implantation: What is the evidence? Fertil. Steril. 2016; 105, 873.
20. Schliep, K.C.; Mumford, S.L.; Peterson, C.; et al. Pain typology and incident
endometriosis. Hum. Reprod. 2015; 30, 2427–38
21. Kurman R.J, Ellenson L.H, Ronnett B.M, 2011. 'Endometrial Carcinoma. In:
Blaustein’s Pathology of the Female Genital Tract. 6th ed. New York: Springer.
p.393-452.
22. Board, Ed.; IARC Press: Lyon, France. WHO Endometriosis and derived
Tumours. 5th ed. Lyon: International Agency for Research on Cancer (IARC);
2019. p.170-71.


27

23. Maksem J.A, Stanley. J, Robboy, Bishop J.W, Meiers I, 2009. 'Endometrial
carcinoma', In: Ali S.Z, Clark D.P, Erozan Y.S, (ed.) Endometrial Cytology with
Tissue Correlations. New York: Springer. p. 231-256.

Anda mungkin juga menyukai