Anda di halaman 1dari 6

Sejarah timbulnya Ilmu Qira’at Al-Qur’an

Kapan dan dimana dimulai qira’at para ulama memiliki pandangan


berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Qira’at mulai
diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Alquran. Alasannya
adalah bahwa sebagian besar surat-surat Alquran adalah Makkiyah di
mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat
pada surat-surat Madaniyah ( perbedaan makkiyah dan madaniyah).
Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di
Makkah.

Sedang pendapat yang kedua, Qira’at mulai diturunkan di Madinah


sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah
banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab
tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu
dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah
Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis
tersebut- terletak di dekat kota Madinah.[4]

Kuatnya pendapat yang kedua tidak berarti menolak membaca surat-


surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis
yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-
Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam
surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Perbedaan pandangan diatas hanya berkisar seputar tempat, namun
keduanya sepakat tentang waktu bahwa awal munculnya qira’at terjadi
pada masa Nabi Muhammad saw. Walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan disiplin ilmu, hanya saja baru dipelajari pada masa sahabat
hingga saat ini.

Mengenai hal tersebut diperkuat beberapa riwayat yang menyebutkan


bahwa ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim dalam membaca ayat-ayat Alquran, Umar merasa tidak puas
ketika Hisyam membaca surat al-Furqan di dalam shalat. Menurut
Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepadanya, namun Hisyam
juga menegaskan bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat
Hisyam diajak Umar untuk menemui Nabi dan melaporkan peristiwa
tersebut, kemudian Nabi menyuruh Hisyam untuk mengulangi
bacaanya sewaktu shalat tadi.

Setelah Hisyam selasai membacanya, Nabi bersabda : artinya “memang


begitulah Alquran diturunkan, sesungguhnya Alquran itu diturunkan
tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah
dari tujuh huruf itu”.[5]

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia


berkata: “ketika aku berada di dalam masjid, tiba-tiba masuklah
seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu shalat dan membaca bacaan
yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi laki-laki lain yang bacaannya
berbeda dengan bacaan pertama. Seusai shalat kami masuk ke rumah
Rasulullah, lalu bercerita bahwa si laki-laki ini membaca bacaan yang
aku ingkari dan si laki-laki yang satunya lagi membaca bacaan yang
berbeda dengan si laki-laki pertama, kemudian Rasulullah saw.
memerintahkan keduanya untuk membaca, Rasulullah menanggapi
baik bacaan mereka.

Setelah menyaksikan hal tersebut, terhapuslah dalam diri saya untuk


mendustakan, tidak seperti halnya diriku semasa jahiliyah. Tatkala
beliau saw. melihat diriku kebingungan, maka beliau berkata; Hai Ubay
aku diutus untuk membaca Alquran dengan satu huruf pendek,
kemudian aku meminta Jibril untuk memudahkan umatku, dia
membacanya dengan huruf kedua, aku pun minta lagi untuk ketiga
kalinya. Kemudian Jibril berkata hai Muahammad, bacalah Alquran itu
dalam tujuh lahjah, dan terserah kepadamu Muhammad, adakah setiap
jawabanku kau susul dengan pertanyaan/permintaan lagi.[6]

Pada masa sahabat yakni masa Usman bin Affan, mushab ditulis sengaja
tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat
menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. sehingga mushaf
Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Disamping itu perbedaan-perbedaan dialek dalam melafazkan Alquran
sebenarnya bersifat alami dan tidak bisa dihindari.
Read more https://www.tongkronganislami.net/sejarah-ilmu-qiraat-al-
quran-hingga-qiraat-sabah/

1]M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Cet., II; Bandung: Mizan,


1998), h. 126.

[2]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum Alquran, diterjemahkan


oleh mudzakir A.S. dengan judul, Studi Ilmu-ilmu Alquran, (Cet. VII;
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 247.

[3]Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Cet. I: Bandung : Pustaka Setia,


2000), h.147

[4]Subhi al-Shalih, Mabahas fi al-Ulum Alquran, diterjemahkan oleh tim


Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet. VII;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),h.75.

[5]Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj dan Muslim al-Qusyairi an-Nisaiburi,


Shahih Muslim, Juz I, (Bairut: Dar alFikr. 1992), h. 560.

[6]Muhammad bin Ismail al-Buchari, Shahih Bukhari, Juz III, (Mesir:Dar


al-Ihya’al-kutub al-Arabiyah.t.th),h.227.

[7]Rosihan Anwar, op. cit. h. 150.


[8]Ibid.

[9]Ibid. h. 151.

[10]Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat Fil Alquran, (Kairo: Dar al-Ma’arif,


t.th.), h. 96

[11]Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasni, Zubdan al-atqan fi Ulum


Alquran, dialih bahasakan oleh Rosihan Anwar dengan judul, Mutiara
Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 47.

[12] Ibid. h. 48.

[13]Ibid. h. 48.

[14]Ramli Abd Wahid, Ulumul Quran, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 137.

[15]Dr. Mardan, M.Ag, Alquran Sebuah Pengantar Memahami Alquran


secara utuh, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Mapan, 2009). H. 143.

[16]Lihat Sahih Bukhari, h. 227. Shahih Muslim, h. 561


[17] Dr. Mardan, M.Ag, loc. Cit. h.142.

[18]Manna’ Khalil al-Qattan, loc.cit. h. 178.

[19]Sya’ban Muhammad Ismail, Alquran Ahkamuhu Wa Masdaruhu,


diterjemahkan oleh Agil Husain al-Munawar, et. All, dengan judul,
Mengenal Qira’at Alquran, (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993), h.60.

Read more https://www.tongkronganislami.net/sejarah-ilmu-qiraat-al-


quran-hingga-qiraat-sabah/

Anda mungkin juga menyukai