Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL TESIS

TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP


PENERAPAN AKAD IJARAH PADA PEMBIAYAAN
GADAI EMAS
(Studi Kasus Di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang)

Oleh:

TIUR MAITA APRIANA


NIM: 5012019001

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Penyusun Tesis Pada Program Magister (S2)
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Pascasarjana IAIN Langsa

PASCA SARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
LANGSA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6
1.4. Penjelasan Istilah ................................................................................ 7
1.5. Kajian Terdahulu ................................................................................ 8
1.6. Sistematika Penulisan ......................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Akad Rahn ........................................................................................... 11
2.1.1 Pengertian Rahn (Gadai) ........................................................... 11
2.1.2 Landasan Hukum Rahn (Gadai) ............................................... 13
2.1.3 Rukun dan Syarat Rahn (Gadai) .............................................. 17
2.1.4 Berakhirnya Akad Gadai ............................................................ 18
2.2. Akad Ijarah ........................................................................................ 19
2.2.1 Pengertian Akad Ijarah ........................................................... 19
2.2.2 Legalitas Akad Ijarah .............................................................. 21
2.2.3 Produk Hukum tentang Ijarah ................................................. 23
2.2.4 Rukun dan Syarat Ijarah .......................................................... 24
2.2.5 Jenis – Jenis Akad Ijarah .......................................................... 26
2.3. Akad Qard (Utang) ............................................................................ 29
2.3.1 Pengertian Qard ....................................................................... 27
2.3.2 Rukun dan Syarat Qard .......................................................... 28
2.3.3 Objek Qard ............................................................................... 30
2.4. Akad Ijarah Dan Skema Pembiayaan Gadai Emas Di Bank
Aceh Syariah....................................................................................... 32
2.4.1 Akad Ijarah .............................................................................. 32
2.4.2 Akad Qardh .............................................................................. 32
2.4.3 Akad Rahn ................................................................................ 33

i
2.4.4 Skema Pembiayaan Akad Ijarah Pada Gadai (Rahn)
Emas Di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang ...... 34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ......................................................... 36
3.2. Subjek dan Objek Penelitian............................................................... 37
3.3. Sumber Data ....................................................................................... 37
3.4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 38
3.5. Prosedur Analisis Data ....................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ijārah merupakan salah satu akad muamalah yang dijadikan sebagai basis

akad pada produk bank syari’ah. Ijārah dalam perspektif perbankan syari’ah

adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas

suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.

Dengan kata lain, ijārah berarti akad penyaluran dana untuk pemindahan hak

guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa

(ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’jir) dengan

penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.1

Dalam tataran implementasinya, ijārah ini dapat dipilih dalam dua bagian besar,

yaitu ijārah bi al-quwwah dan ijārah bi al-manfa’ah. Ijārah itu dikatakan sebagai

ijārah bi al-quwwah apabila yang disewakan berupa jasa atau tenaga manusia.

Sedangkan ijārah itu dikatakan sebagai ijārah bi al-manfa’ah apabila yang

disewakan berupa barang. Namun, kedua ijārah tersebut memiliki prinsip-prinsip

yang sama, yakni menyewa atau menyewakan sesuatu.2

Ijārah jika dibandingkan dengan bai’, hībah, ṣadaqah terdapat

kesamaan diantara mereka, yakni sebagai transaksi tukar menukar. Namun

demikian, terdapat pula perbedaannya, dalam ijārah yang dijual adalah

manfaat, sementara dalam jual beli, hibah, dan sadaqah adalah pengalihan

keseluruhan aset, tidak sekedar manfaatnya. Ijārah menjual manfaat, biasanya

1
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syari’ah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015). 94.
2
Ibid., 88.

1
2

untuk barang tahan lama (durable goods). Oleh sebab itu ijārah adalah varietas

lain dari jual-beli, dalam ijārah berlaku pula apa-apa yang berlaku pada jual

beli, kecuali manusia dan waqaf. Selanjutnya, karena ijārah adalah varietas

jual beli, apa-apa yang dapat ditetapkan harganya (paid as price) dalam jual

beli berlaku pula pada ijārah.3

Mekanisme operasional ijārah di perbankan syari’ah terdapat dua pihak

yang terlibat, yaitu mu’jir dan musta’jir. Dalam hal ini yang bertindak sebagai

mu’jir adalah bank syari’ah, sedangkan yang bertindak sebagai musta’jir

adalah nasabah penyewa. Dengan demikian, bank syari’ah menyediakan

fasilitas tertentu yang kemudian fasilitas itu disewa oleh nasabah.4 Kemudian

mu’jir menarik biaya sewa atas pemanfataan fasilitas tertentu yang telah

disewa oleh musta’jir.

Dari gambaran mekanisme akad ijārah di bank syari’ah di atas jelas bahwa

bank pada dasarnya menyediakan fasilitas tertentu yang kemudian fasilitas itu

disewa oleh nasabah yang kemudian mu’jir menarik biaya sewa atas pemanfataan

fasilitas tertentu yang telah disewa oleh musta’jir.

Sejatinya, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan

kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada

objeknya. Oleh karena itu, Islam menjelaskan bahwasannya segala apapun

dalam bermuamalat pada asalnya adalah boleh, sebagaimana dalam ayat al-

Qur’an surat al-Mulk (15), yang berbunyi:

3
Sugeng Widodo, Modal Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam Perspektif Aplikatif,
(Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 517.
4
Ibid, 94.
3

۟ ُKLُ ‫ َو‬MَNOLِ MَPF QِR ‫ا‬I


8ِ :ْ َ<ِ‫ ۖ َوإ‬8‫ِِۦ‬A‫ ر ْﱢز‬EFِ ‫ا‬I ۟ Sُ Fْ ‫َﭑ‬R VI َ ْ‫َر‬Y‫ى َ_ َ^ َ] َ< ُ\ ُ[ ْٱ‬aِ ‫ ٱ<ﱠ‬Iَ ُ‫ھ‬
ً ُ<‫ض َذ‬
ِ َ

‫ ُر‬ISُ P‫ٱ< ﱡ‬

Terjemahannya :
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan”.5

Ayat tersebut seumpama menggarisbawahi bahwa manusia sebaiknya

bukan menjalankan aktivitas baik sosial, budaya maupun ekonomi dengan cara-

cara yang tidak berguna, melainkan kerja sama atau tolong menolong,

membangun kemitraan untuk keuntungan yang dibenarkan oleh ajaran agama.

Kemitraan dibidang ekonomi atau menjual jasa terkadang dilakukan dengan hanya

mengejar target keuntungan. Sedangkan cara-cara yang sesuai dengan norma

agama diabaikan. Dalam satu dekade, perkembangan perbankan syariah melaju

pesat, kini bank syariah bertambah dengan banyaknya bank swasta, daerah dan

pemerintah yang membuka bank syariah.

Seperti halnya produk yang dimiliki oleh Bank Aceh Syariah yaitu

Gadai Emas. Produk gadai emas Bank Aceh Syariah adalah produk berupa

fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah

dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn).

Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa

penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan

akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas di Bank Aceh syariah merupakan

5
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 449.
4

penyerahan hak penguasaan secara fisik atas barang berharga berupa emas

(lantakan dan atau perhiasan beserta aksesorisnya) dari nasabah kepada bank

sebagai agunan atas pembiayaan yang diterima.6

Akad ijarah merupakan salah satu akad yang digunakan dalam kegiatan

muamalah terutama untuk pembiayaan yang bersifat sewa-menyewa. Berdasarkan

Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas

suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah,

tanpa diikuti pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.7 Akad ijarah diterapkan

di Lembaga Keuangan Syariah seperti Bank Syariah, BMT, dan lain sebagainya.

Begitupun dengan Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang, yang juga

menerapkannya dalam proses penyaluran dana kepada masyarakat. Yaitu dalam

produk gadai emas akad yang digunakan adalah akad qardh dalam rangka rahn

dan diiringi dengan akad ijarah. Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa

DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No. 26/DSN

MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No. 68/DSN-

MUI/III/2008 tentang rahn. Sejak itu marak berbagai jasa gadai syariah, baik di

Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah.

Produk Gadai emas di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang

menggunakan akad qard dan akad ijarah. Pertama Gadai emas adalah produk

bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang

(qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam

sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah,

6
https://www.bankaceh.co.id/?page_id=555. Diakses tanggal 18 Maret 2021.
7
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.
5

fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut

berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap

(uqud murakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Kedua

dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang.

Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa

hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian

utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Oleh

karena itu yang perlu digarisbawahi adalah apakah penerapan akad ijarah pada

produk gadai emas di Bank Aceh Syariah telah sesuai dengan hukum syariah

atau belum.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas dan mengingat betapa

pentingnya muamalat yang berlandaskan syariah, maka peneliti mengangkat

judul “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Penerapan Akad Ijarah

Pada Pembiayaan Gadai Emas” (Studi Kasus Di Bank Aceh Syariah Cabang

Kuala Simpang)”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti

merumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Bagaimana penerapan akad ijarah pada produk Gadai Emas di Bank Aceh

Syariah Cabang Kuala Simpang?

2. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap penerapan akad ijarah pada

produk gadai emas di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang?


6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan akad ijarah pada produk gadai emas

di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan akad ijarah pada produk gadai emas

di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala simpang.

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta

kontribusi bagi banyak pihak yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu pengetahuan dan

menambah wawasan tentang penerapan akad ijarah pada produk gadai emas

syariah.

2. Secara Praktis

a) Bagi Peneliti Berikutnya

Dapat dijadikan referensi sekaligus wahana untuk mengetahui secara

mendalam tentang penerapan akad ijarah pada produk gadai emas syariah

khususnya di Bank Aceh Syariah.

b) Bagi IAIN Langsa

Sebagai tambahan referensi bagi perpustakaan serta tambahan

informasi bagi mahasiswa di bidang Hukum Ekonomi Syariah, juga semua

pihak yang membutuhkannya.


7

c) Bagi Pembaca Pada Umumnya

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah

wawasan ilmu pengetahuan mengenai akad pembiayaan di bank syariah.

Selain itu, dapat digunakan masyarakat sebagai media informasi dan acuan

untuk mengetahui penerapan akad ijarah pada produk pembiayaan gadai

emas di Bank Aceh Syariah

1.5. Penjelasan Istilah

Agar judul penelitian ini dapat dipahami dan tidak meragukan pembaca,

maka peneliti perlu menjelaskan maksud dari judul penelitian ini agar sesuai

dengan topik kajian.

1. Gadai (rahn) adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada

pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan

akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan

lembaga gadai.8

2. Sewa (ijārah), secara bahasa berasal dari kata al-ajru artinya ganti, upah atau

menjual manfaat,7 yaitu imbalan terhadap suatu pekerjaan (al-jazāu ‘alā al-

‘amal) dan pahala (ṡawāb). Dalam bentuk lain, kata ijārah juga biasa

dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa. Selain itu

arti kebahasaan lain dari al-ajru tersebut adalah ganti (al-‘iwāḍ), baik ganti

itu diterima dengan didahului oleh akad atau tidak.9

8
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainny, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), 231.
9
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 150.
8

3. Qard adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya

dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.10

1.6. Kajian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran dari literatur yang ada, penulis telah menemukan

hasil penelitian yang relevan, hasil penelitian tersebut antara lain:

1. Penerapan Pembiayaan Ijarah di BNI Syariah Pekalongan7. Penelitian yang

dilakukan oleh Faozan menjelaskan tentang apa dan bagaimana proses atau

langkah pembiayaan Ijarah Bai Ut Takjiri di BNI Syariah Pekalongan, hasil

dari penelitian ini adalah Hasil penelitian menunjukkan bahwa BNI Syariah

cabang Pekalongan dalam memberikan pembiayaan ijarah kepada nasabah

harus melalui proses data-data dokumentasi. Dalam penerapan Ijarah Bai Ut

Takjiri sudah sesuai dengan kajian fikih karena tingkat imbalannya yang telah

ditentukan sebelumnya oleh kedua belah pihak. Sedangkan penulis meneliti

tentang mekanisme penerapan akad ijarah pada produk pembiayaan gadai

emas di Bank Mandiri Syariah Cabang Karangayu Kota Semarang

2. Penerapan Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) Pada Pembiayaan Di

BMT Bismillah Cabang Ngadirejo Temanggung6. Penelitian yang dilakukan

oleh Nadia Latifah (2013) Penelitian yang dilakukan oleh Nadia Latifah

menjelaskan tentang penerapan dan prosedur yang diterapkan pada

pembiayaan ijarah muntahiya bittamlik di BMT Bismillah Ngadirejo, Hasil

penelitian ini adalah bahwa keberadaan pembiayaan ijarah di BMT Syariah

10
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), 333.
9

Muamalat Mandiri Comal dari tahun 2003 sampai tahun 2005 mengalami

kenaikan dan di tahun 2006 mengalami penurunan. Hal yang menyebabkan

sedangkan penulis meneliti tentang mekanisme penerapan akad ijarah pada

produk pembiayaan gadai emas di Bank Mandiri Syariah Cabang Karangayu

kota Semarang.

3. Mekanisme Ijarah di BMT Syariah Muamalat Mandiri Comal.8 Penelitian

yang dilakukan oleh Evi Munafisah menjelaskan tentang keberadaan

pembiayaan ijarah di BMT Syariah Muamalat Mandiri Comal dan

mekanisme pembiayaan tersebut dan hasil dari penelitian ini adalah Hasil

penelitian ini adalah bahwa keberadaan pembiayaan ijarah di BMT Syariah

Muamalat Mandiri Comal dari tahun 2003 sampai tahun 2005 mengalami

kenaikan dan di tahun 2006 mengalami penurunan. Hal yang menyebabkan

menurunnya pembiayaan ijarah adalah nasabah bermasalah (kredit macet).

Namun di tahun 2007, pemimpin dan staff BMT Syariah Muamalat Mandiri

Comal berusaha untuk menangani pembiayaan agar meningkat seperti tahun

sebelumnya. Sedangkan penulis meneliti tentang mekanisme penerapan akad

ijarah pada produk pembiayaan gadai emas di Bank Mandiri Syariah Cabang

Karangayu Kota Semarang.

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk kejelasan dan ketetapan arah pembatasan dalam tesis ini penulis

menyusun sistematika sebagai berikut:


10

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan uraian dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup studi, sistematika

penulisan dan kerangka teori.

BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini berisikan kajian terhadap

beberapa teori dan referensi yang menjadi landasan dalam mendukung studi

penelitian ini.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bab ini berisikan mengenai

jenis penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, sumber data, teknik

pengumpulan data dan prosedur analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini

berisikan pembahasan dari berbagai hasil pengumpulan data dan analisa

mengenai hasil tersebut.

BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan temuan studi berupa kesimpulan

dari keseluruhan pembahasan dan saran rekomendasi dari hasil kesimpulan

tersebut.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Akad Rahn (Gadai)

2.1.1. Pengertian Rahn (Gadai)

Gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada

pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang akan

dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah

dengan lembaga gadai.11 Ketika seorang membutuhkan dana sebenarnya dapat

diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau

lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi karena prosedurnya yang rumit dan

memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian persyaratan yang lebih sulit

untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap. Begitu pula dengan

jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua

barang dapat dijadikan jaminan di bank, maka jasa gadai menjadi alternatif

bagi masyarakat untuk mendapatkan dana.

Secara umum, pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-

barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan

barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara

nasabah dengan lembaga gadai.12 Sedangkan dari segi ekonomi islam, konsep

rahn adalah menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang memungkinkan hak

itu bisa dipenuhi. Adapun sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan haruslah

memiliki nilai.
11
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015),262.
12
Ibid, ...., 263.

11
12

Gadai dalam kegiatan ekonomi membahas perilaku umat manusia yang

berkaitan secara langsungdengan usaha mendapatkkan uang.Kegiatan tersebut

dilakukan karena didorong oleh kebutuhan serta atas keinginan-keinginan.12

Sementara itu tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara individu

tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu manusia, manusia membutuhkan

kerja sama ekonomi. Untuk menjamin ketertiban kerja sama bisnis dimaksud,

diperlukan sumber ajaran islam yang pasti serta prinsip-prinsip yang kokoh.

Adapun pengertian rahn secara terminologi didefinisikan beberapa

ulama fiqih sebagai berikut:13

1. Ulama Malikiyah, “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan

utang yang bersifat mengikat.”

2. Ulama Hanafiyah, “Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak

(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik

seluruhnya maupun sebagainya.”

3. Ulama Syafi’iyah, “Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang

yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak

bisa membayar utangnya.”

4. Ulama Hanabilah, “Harta yang dijadikan jaminan utang dan dapat

dijadikan sebagai pembayar utang jika penghutang gagal membayar

utangnya kepada pemiutang.”

13
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),
279.
13

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi rahn adalah suatu

akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta,

sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang. Dan hal ini

memberikan peran penting dalam membangun ekonomi masyarakat Indonesia

dengan berpegang pada syariat agama islam.

2.1.2. Landasan Hukum Rahn (Gadai)

Landasan hukum gadai syariah (rahn) menurut islam sebagaimana

disyariatkan dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, Sebagai berikut :

1. QS. Al-Baqarah (2) 283:

‫ْ ُو َ ٌ ۖ َ ِنْ أَ َِن َ ْ ُ ُ م َ ْ ً َ ْ َُؤد‬ ۟ ‫ ُد‬$ِ !َ ‫َ ْم‬%‫ ُ! ْم َ* َ ٰ) َ( َ' ٍر َو‬+ ُ ‫۞ َوإِن‬


ٌ‫وا َ ِ! ً َ ِر ٰ َھن‬

۟ !ُ ْ !َ 5َ ‫ُۥ ۗ َو‬/ ‫َ َر‬7‫ َ ! ِق ٱ‬%ْ ‫ُۥ َو‬/!َ +َ َ ٰ َ‫ذِى ْٱؤ ُ! َِن أ‬%‫ٱ‬
ُ 7‫ُۥ ۗ َوٱ‬/ُ ْ =َ ‫ ٓۥ َءا ِ; ٌم‬/ُ +ِ َ 0َ ْ !ُ ْ َ ‫دَ َة ۚ َو َ ن‬0َ ٰ 3%‫ُوا ٱ‬

َ ُ َ ْ !َ َ ِ
‫ون َ* ِ ٌم‬

Terjemahannya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.14

Dari QS. Al-Baqarah ayat 283 di atas bisa diambil pemahaman bahwa

dalam suatu transaksi adanya ijab qobul sangat dibutuhkan guna untuk

menghindari adanya kesalahfahaman atau ketidaktransparansi. Hal ini juga


14
Departemen Agama RI. Al-qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2010), 49.
14

dikemukakan oleh M. Dawan Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-Quran:

Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, bahwasanya dalam ayat

tersebut, yang mengandung amanah bukan hanya kreditur, tetapi juga

debiturnya. Kedua belah pihak, dalam syariat muamalah harus menunaikan

amanah karena keduanya mengemban janji serta mengemban hak maupun

kewajiban masing-masing.15

2. Al-Hadist

Terjemahannya :

“Aisyah r.a berkata bahwa Rasul bersabda, Rasulullah membeli

makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju

besi beliau”.16

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn, dan juga

landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa Dewan Syariah Nasional

No.25/DSN-MUI/III/2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan

menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn

diperbolehkan.17

15
Muhammad Jawis Samak, “Amanah Dalam Al-Qur’an (Kajian Tematik Tafsir Al-
Qur’an Al-Azim Karya Ibnu Katsir), Skripsi Jurusan Ilmu Al-qur’an Dan Tafsir Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017, 2.
16
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,2016), 253.
17
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta : Prenadamedia Group,2010), 278.
15

3. Fatwa-fatwa DSN-MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga swadaya

masyarakat yang mewadahi para ulama, zu’ama dan cendekiawan islam di

Indonesia untuk membimbing, membina serta mengayomi kaum muslimin di

seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395

Hijriah, bertepatan dnegan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.18

Sejak berdirinya Dewan Syariah Nasional di tahun 1999, DSN telah

mengeluarkan sekitar 53 fatwa tentang ekonomi syaiah.Dua diantaranya

dijadikan dasar hukum di Indonesia tentang gadai syariah, yaitu fatwa DSN-

MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan mengenai Rahn Emas adalah

fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002.Fatwa ini memberikan ketentuan-

ketentuan sebagai berikut:19

1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun

(barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya,

Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin,

dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar

pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

Rahin, namun tidak dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan

pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

18
https://mui.or.id/sejarah-mui. (diakses tanggal 14 Maret 2021)
19
Sutan Ramy Sjahdeini, Perbankan Syariah,(Jakarta: Prenadamedia Group,2014), 365.
16

4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5) Penjualan Marhun

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk

segera melunasi utangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual

paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya

penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya

menjadi kewajiban Rahin.

6) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) setelah tidak

tercapai kesepakatan melalui musyawarah (sekarang bernama Badan

Arbitrase Syariah Nasional/BASYARNAS).20

Pada masa sekarang, lazimnya masyarakat menjadikan emas sebagai

objek rahn untuk jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Kemudian

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional

Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.21 Rahn Emas

diperbolehkan berdasarkan prinsip Rahn yang diatur pada Fatwa DSN-MUI

20
Abdul Ghofur Ansori, Gadai Syariah di Indonesia, 138.
21
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,2016), 266.
17

Nomor:25/DSN-MUI/111/2002 tentang Rahn. Kemudian, ongkos dan biaya

penyimpanan barang (marhun) pada gadai emas ditanggung oleh penggadai

(rahin) yang besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata.22

Fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas

menentukan hal-hal sebagai berikut:23

1) Rahn Emas diperbolehkan berdasarkan prinsip Rahn (Fatwa Dewan Syariah

Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn).

2) Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh

penggadai (rahin).

3) Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada

pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.

4) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.

Ketentuan dalam sistem ekonomi islam di Indonesia, posisi atau

kedudukan fatwa MUI itu disetarakan dengan landasan kegiatan. Sehingga

kedudukan fatwa dalam kehidupan umat islam bukan hanya sebagai landasan

atas sesuatu, melainkan bagian dari tinjauan ekonomi islam.

2.1.3. Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun

gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:24

1) Ar-rahin (orang yang menggadaikan), Orang yang telah dewasa, berakal, bisa

dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan.

22
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
23
Sutan Ramy Sjahdeini, Perbankan Syariah, 366.
24
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta : Ekosiana, 2013), 175.
18

2) Al-murtahin (orang yang menerima gadai), Orang, bank, atau lembaga yang

dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang

(gadai).

3) Al-marhun / rahn (barang yang digadaikan), Marhun atau al-marhun

merupakan barang yang digunakan sebagai agunan. Adapun rahn harus

memenuhi syarat sebagai berikut:25

a. Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan pembiayaan.

b. Agunan harus bernilai dan bermanfaat menurut ketentuan syariah.

c. Agunan harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik.

d. Agunan itu harus milik sendiri dan tidak terkait dengan pihak lain.

e. Agunan merupakan harta yang utuh dan tidak bertebaran di beberapa

tempat.

f. Agunan harus dapat diserahterimakan baik fisik maupun manfaatnya.

4) Al-marhun bih (utang), Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin

atas dasar besarnya tafsiran marhun.

5) Sighat, Ijab dan Qabul, Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam

melakukan transaksi gadai.

2.1.4. Berakhirnya Akad Gadai

Akad Rahn berakhir karena beberapa hal:26

1) Marhun diserahkan kembali kepada rahin sebagai pemilik barang. Rahn

merupakan akad penguat dari akad utang piutang. Bila marhun diserahkan

kembali kepada rahin, maka akad rahn berakhir.

25
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana Preniada Media Group, 2011), 211.
26
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, 268
19

2) Rahin melunasi utangnya. Apabila rahin melunasi utang kepada marhun bih

maka akad rahn berakhir.

3) Penjualan marhun. Apabila marhun dijual paksa (lelang) berdasarkan

keputusan hakim maka akad rahn berakhir.

4) Murtahin melakukan pengalihan utang rahin kepada pihak lain atau

hiwalah.

5) Rahin atau Murtahin meninggal dunia atau rahin bangkrut (pailit) sebelum

marhun diserahkan kepada rahin dan utang dilunasi.

6) Murtahin membatalkan akad rahn walaupun tanpa persetujuan rahin,

dikarenakan pembatalan itu adalah hak dari murtahin.

7) Marhun rusak atau binasa. Marhun hakikatnya adalah amanah yang diberikan

kepada murtahin bukan dhamanah kecuali kerusakan itu karena kesia-siaan,

demikian menurut jumhur ulama.

8) Marhun disewakan, dihibahkan, disedekahkan, atau dijual kepada orang lain

atas izin pemilik barang.

Apabila barang telah diambil sesuai dengan persyaratan yang telah

disetujui diawal maka transaksi gadai dapat dikatakan berakhir.

2.2. Akad Ijārah

2.2.1. Pengertian Akad Ijārah

Sewa (ijārah) secara bahasa berasal dari kata al-ajru artinya ganti, upah

atau menjual manfaat, yaitu imbalan terhadap suatu pekerjaan (al-jazāu ‘alā
20

al-‘amal) dan pahala (ṡawāb).27 Dalam bentuk lain, kata ijārah juga biasa

dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa. Selain itu

arti kebahasaan lain dari al-ajru tersebut adalah ganti (al-‘iwāḍ), baik ganti itu

diterima dengan didahului oleh akad atau tidak.

Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala.

Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang

diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang

telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.28

Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan

para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu

kemanfaatan dengan pengganti.29 Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah

akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui dan disengaja

dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.30 Sedangkan ulama Malikiyah dan

Hanabilah, ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah

dalam waktu tertentu dengan pengganti. Selain itu ada yang menerjemahkan

ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil mengambil

manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat dari barang.31

Menurut Syafi’i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas

barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan

atas barang itu sendiri.11

27
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 184.
28
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, Asy-syifa, Surabaya, 2010, .377.
29
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, 121.
30
Rahmat Syafei.., 122
31
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press,
Jakarta, 177.
21

Kata ijārah dalam perkembangan kebahasaan selanjutnya dipahami

sebagai bentuk akad, yaitu akad (pemilikan) terhadap berbagai manfaat dengan

imbalan (al-’aqdu ‘alal manāfi’ bi al-‘iwāḍ) atau akad pemilikan manfaat

dengan imbalan (tamlīk al-manfa’ah bi al-‘iwāḍ). Singkatnya secara bahasa,

ijārah didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh hak. Manfaat tersebut bisa

berupa jasa atau tenaga orang lain, dan bisa pula manfaat yang berasal dari

suatu barang/benda. Semua manfaat jasa dan barang tersebut dibayar dengan

sejumlah imbalan tertentu.32

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, ijārah adalah sewa

barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. 33 Dalam Fatwa

Dewan Syari’ah (DSN), akad ijārah yaitu akad pemindahan hak guna

(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa

(ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.34

Sedangkan menurut Bank Indonesia, ijārah adalah sewa-menyewa atas

manfaat suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa dengan

penyewa untuk mendapatkan imbalan berupa sewa atau upah bagi pemilik

objek sewa.35

2.2.2. Legalitas Akad Ijārah

Ulama fikih bersepakat atas legalnya akad ijārah kecuali Abu Bakar al-

Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan Basri, al-Qasyani, an-Nahrawani, dan Ibnu

Kaisan. Mereka melarang akad ini karena ijārah adalah menjual manfaat, padahal

32
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 150.
33
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pasal 20 ayat (9).
34
MUI, Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000.
35
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, 56.
22

manfaat-manfaat tersebut tidak pernah ada saat melakukan akad, hanya dengan

berjalannya waktu akan terpenuhi sedikit demi sedikit. Sesuatu yang tidak ada,

tidak dapat dilakukan jual beli atasnya. Sebagaimana pula tidak diperbolehkan

menggantungkan jual beli pada masa akan datang.36 Sewa (ijārah) dalam hukum

Islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1) Q.S. Al-Kahfi [18] ayat 77:

0َ ِ ‫ َدا‬$َ ‫ َ> َ َ ْو ۟ا أَن ُ َ 'ُو ُھ َ َ َو‬0َ َ ْ‫! ٰ ٓ) إِ َذ ٓا أَ َ! َ ٓ أَھْ َل َ=رْ َ ٍ ٱ(ْ َ! ْط َ َ ٓ أَھ‬Aَ َ َ ‫ َط‬+Bَ

َ ‫ ْذ‬Eَ !%َ ‫ت‬


‫ْ رً ا‬$َ‫ أ‬/ِ ْ َ *َ ‫ت‬ َ Fْ ِ3 ‫ ْو‬%َ ‫ُۥ ۖ َ= َل‬/ َ =َ َ >َ ‫ َ ض‬+ َ ‫ َدارً ا ُِر ُد أَن‬$ِ

Terjemahannya :
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri
itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir
roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau
kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.

2) Fatwa DSN MUI

Terjemahannya :
“Bayarkanlah upah buruh (kamu) sebelum kering keringatnya”

3) Hadis riwayat ‘Abd al-Razzāq dari Abu Hurairah R.A. dan Abū Sa’id al-

Khudrī. Nabi SAW bersabda:

Terjemahannya :
“barang siapa yang mempekerjakan buruh maka hendaklah

membayarkan upahnya”

36
MUI, Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000.
23

Landasan ijmā umat Islam pada masa sahabat telah sepakat

membolehkan akad ijārah sebelum keberadaan Asham, Ibn ‘Ulayyah, dan

lainnya. Hal itu didasarkan pada kebutuhan masyarakat terhadap manfaat

ijārah sebagaimana kebutuhan mereka terhadap barang yang riil. Dan selama

akad jual beli barang diperbolehkan maka akad ijārah manfaat harus

diperbolehkan.37

2.2.3. Produk Hukum tentang Ijārah

Dalam konteks hukum, di Indonesia telah ditemukan beberapa produk

yang berkaitan dengan ijārah. Undang-undang pertama yang menyebutkan istilah

ijārah adalah UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7

tahun 1992 tentang perbankan kemudian lebih terperinci dalam UU Nomor 21

tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

Produk hukum yang kedua tentang ijārah ini dalam Peraturan Bank

Indonesia (PBI), yakni PBI Nomor 7/24/PBI/2004 tentang bank umum yang

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah dan PBI Nomor 7/46/PBI/2005

tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.

Penggunaan ijārah tampak pula dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar

Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang

digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan syari’ah.

Produk hukum lain yang berbicara tentang ijārah adalah Fatwa Dewan

Syari’ah Nasional (DSN) MUI. Paling tidak, telah ada 8 (delapan) fatwa DSN

37
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
(Jakarta:Gema Insani, 2011), 385.
24

MUI yang berkaitan dengan ijārah. Fatwa pertama yang dikeluarkan MUI adalah

Fatwa Nomor 9 tentang pembiayaan ijārah. Fatwa berikutnya, yaitu Fatwa DSN

MUI Nomor 24 tentang Safe Deposit Box. Fatwa DSN MUI Nomor 27 tentang al-

Ijārah Muntahiyah bi al-Tamlīk. Fatwa DSN MUI Nomor 41 tentang Obligasi

Syari’ah ijārah yang ditetapkan pula dalam fatwa DSN MUI nomor 44 tentang

pembiayaan Multi-Jasa. Fatwa DSN MUI Nomor 56 tentang ketentuan review

ujrah pada LKS. Fatwa DSN MUI Nomor 71 tentang Sale and Lease Back. Fatwa

DSN MUI terakhir yang berkaitan dengan ijārah adalah Fatwa DSN MUI Nomor

72 tentang SBSN Ijārah Sale and Lease Back.38

2.2.4. Rukun dan Syarat Ijārah

Rukun ijārah menurut Hanafiyah adalah ījāb dan qabūl, yaitu dengan

lafal ijārah, isti’jār, iktirā’ dan ikrā’. Sedangkan rukun ijārah menurut

mayoritas ulama ada empat, yaitu dua pelaku akad (pemilik sewa dan

penyewa), ṣighat (ījāb dan qabūl), upah, dan manfaat barang.39 Sedangkan

syarat-syarat dari ijārah adalah sebagai berikut:

1) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk

melakukan akad ijārah;

2) Manfaat yang menjadi objek ijārah harus diketahui secara sempurna,

sehingga tidak muncul perselisihan;

3) Penyewa barang berhak memanfaatkan barang sewaan tersebut, baik untuk

diri sendiri maupun orang lain dengan cara menyewakan atau

meminjamkan;

38
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan…, 91
39
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī…, 387.
25

4) Objek ijārah dalam bentuk jasa atau tenaga orang lain (ijārah ‘ala al-

‘amal), bukan merupakan suatu kewajiban individual (farḍu ‘ain) bagi

orang tersebut seperti shalat atau puasa;

5) Objek ijārah dalam bentuk barang merupakan sesuatu yang dapat

disewakan.

6) Imbalan sewa atau upah harus jelas, tertentu, dan bernilai.40

Dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ijārah sebagai

bentuk pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus di penuhi agar hukum-

hukum syari’ah terpenuhi, dan yang pokok adalah:

1) Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut

harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak;

2) Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab

atas pemeliharaannya sehingga aset tersebut terus dapat memberi manfaat

kepada penyewa;

3) Akad ijārah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti

memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset terebut rusak dalam periode

kontrak, akad ijārah masih tetap berlaku; dan

4) Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan

sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya

akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

40
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum…, 154.
26

Syarat-syarat di atas mengisyaratkan bahwa pemilik dana atau pemilik aset

tidak memperoleh keuntungan tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Tingkat

keuntungan (rate of return) baru dapat diketahui setelahnya.

Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat keuntungan

dengan alasan pemilik aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset yang

berangkutan. Aset hanya akan memberikan pendapatan pada masa produktifnya.

Selain itu, harga aset tidak diketahui apabila akan dijual pada saat aset tersebut

masih produktif. Pemilik aset itu tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut dapat

terus disewakan selama masa produktifnya. Pada saat sewa pertama berakhir,

pemilik belum tentu langsung mendapatkan penyewa berikutnya. Apabila sewa

diperbaharui, harga sewa mungkin berubah mengingat kondisi produktivitas aset

yang mungkin telah berkurang.41

2.2.5. Jenis – Jenis Akad Ijarah

Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :

1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian

pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.

2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijarah bagian

kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.42

Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa

rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan

manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh

sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa. Al-ijarah yang


41
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 101.
42
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, 227.
27

bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk

melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya boleh apabila

jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik,

tukang salon, dan tukang sepatu. Alijarah seperti ini biasanya bersifat

pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat

serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk

kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang

jahit. Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh

hukumnya boleh.43

2.3. Akad Qard (Utang)

2.3.1. Pengertian Qard

Secara bahasa qard berarti al-qat’ yang artinya potongan karena harta

orang yang memberikan pinjaman (kreditur) diberikan kepada orang yang

meminjam (debitur).44 Secara istilah, menurut Hanafiah qard adalah harta

yang memiliki kesepadanan yang diberikan untuk ditagih kembali atau

dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta

yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang

sepadan dengan itu. Secara terminologis qard adalah memberikan harta

kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di

kemudian hari.45

43
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, 228
44
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 373.
45
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), 333.
28

Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan qard sebagai bentuk

pemberian harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan

ganti harta yang sepadan yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama

dengan harta yang di ambil, dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang yang

diberi saja.46

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah qard adalah penyediaan

dana atau tagihan antara lembaga keuangan Syari’ah dengan pihak peminjam

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai

atau cicilan dalam waktu tertentu.47 Definisi yang dikemukakan dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah di atas bersifat aplikatif dalam akad

pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga Keuangan Syari’ah.48 Dari

beberapa definisi di atas maka peneliti dapat menyimpulkan pengertian qard,

adalah memberikan harta kepada peminjam untuk dimanfaatkan dan

dikembalikan sesuai kesepakatan di lain waktu.

2.3.2. Rukun dan Syarat Qard

Rukun dan syarat qard dalam fiqh mu’amalah ada tiga yaitu :

1. Shighat

Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab qabul. Tidak ada

perbedaan diantara fuqaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafaz utang dan

dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata “aku

memberimu utang” atau “aku mengutangimu”. Demikian pula qabul sah

46
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah...., 334.
47
Pasal 20 ayat 36, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokusmedia,
2010),18.
48
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah...., 334.
29

dengan semua lafaz yang menunjukkan kerelaan, seperti “aku berutang”

atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.

2. Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan

transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat bagi

pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat

membedakan baik buruk).

3. Harta yang diutangkan

Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:

a) Harta berupa harta yang ada padannya, maksudnya harta yang satu sama

lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan

perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar,

ditimbang, ditanam, dan dihitung.

b) Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah

mengutangkan manfaat (jasa).

c) Harta yang diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan

diketahui sifatnya.49

Sedangkan syarat qardh dalam fiqh Islam ada empat yaitu:

a) Akad qard dilakukan dengan shighat ijab qabul atau bentuk lainnya

yang bisa menggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad

tanpa ijab qabul) dalam pandangan jumhur ulama, meskipun menurut

Syafi’iyah cara mu’athah tidaklah cukup.

49
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah...., 335.
30

b) Adanya kapabilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi

maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku

dewasa, berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan

tabarru’ (berderma), karena qard} adalah bentuk akad tabarru’, oleh

karena itu, tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang

bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta,

orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau

ada kebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang yang

diperbolehkan melakukan akad tabarru’.

c) Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli .

Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama boleh dengan harta apa saja

yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta

qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.

d) Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran,

timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah

dikembalikan, dan dari jenis yang belum tercampur dengan jenis

lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai (sejenis

padipadian) karena sukar mengembalikan gantinya. 50

2.3.3. Objek Qard

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad qard dibenarkan pada harta

mitsli yaitu harta yang satuan barangnya tidak berbeda yang mengakibatkan

perbedaan nilainya, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, dijual

50
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 378.
31

satuan dengan ukuran yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang

lain (seperti kelapa, telur, dan kertas satu ukuran) dan yang di ukur seperti

kain.51

Menurut ijtihad Imam Muhammad dan Madzhab selain Hanafiyah

berpendapat, boleh juga qard pada roti, baik di jual secara timbangan atau

satuan, karena roti merupakan kebutuhan.52 Berdalil pada hadis, Aisyah yang

mengatakan‚ “Wahai Rasulullah sesungguhnya para tetanggga

mengqiradhkan roti dan khamiir dan mereka mengembalikannya lebih dan

kurang”. Rasulullah menjawab “tidak mengapa. Sesungguhnya yang

demikian itu termasuk dalam (etika) berteman sesama manusia yang bukan

dimaksudkan riba fadhal.”

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa

diperbolehkan melakukan qard atas semua benda yang bisa dijadikan objek

akad salam, baik itu barang yang ditakar dan ditimbang seperti emas, perak

dan makanan, maupun dari harta qimiyyat (harta yang dihitung berdasarkan

nilainya) seperti barang-barang dagangan, binatang, dan juga barang-barang

yang dijual satuan. Dari sini dapat dipahami, menurut jumhur ulama, akad

qard sah dilangsungkan pada setiap benda yang boleh diperjualbelikan kecuali

budak wanita karena akan mengakibatkan adanya pinjam-meminjam

kehormatan.53

51
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 376
52
Ibid.
53
Rachmad Syafe’i, Fiqih Muamalah, 155.
32

2.4. Akad Ijarah Dan Skema Pembiayaan Gadai Emas Di Bank Aceh Syariah

2.4.1. Akad Ijārah

Pembiayaan ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang

dan atau jasa antara pemilik obyek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas

objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa

yang disewakan. Dalam penyaluran ijarah, Undang-Undang Perbankan

Syariah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Akad Ijarah

adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau

manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan traksaksi sewa, tanpa diikiuti

dengan pemnindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Ketika seseorang membutuhkan fasilitas tempat penyimpanan barang

(marhun), maka masuk dalam jenis akad ijarah. Ketentuan fee pada akad

ijarah ini rahin memberika fee kepada murtahin sebagai pengganti biaya

simpanan yang telak dikeluarkan oleh murtahin. Ketentuan jumlah pemberian

fee dari rahin kepada murtahin biasanya disepakati oleh pihak rahin dengan

pihak murtahin pada saat terjadi akad ijarah.54

2.4.2. Akad Qardh

Secara istilah, menurut Hanafiah qardh adalah harta yang memiliki

kesepadanan yang diberikan untuk ditagih kembali atau dengan kata lain, suatu

transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki

kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.

Secara terminologis qardh adalah memberikan harta kepada orang yang akan

54
Wawancara Dengan Bapak Abdi Kesuma, Petugas Gadai Emas Syari’ah Bank Aceh
Syariah Cabang Kuala Simpang, Tanggal 18 Maret 2021.
33

memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari. Dengan

adanya rukun dan syarat yaitu:

a) Peminjam (muqtaridh)

b) Pemberi pinjaman (muqridh)

c) Dana (qardh)

d) Ijab Qabul

Didalam praktik perbankan syariah, beberapa syarat dalam

pelaksanakan akad qardh antara lain:

a) Bank (pihak yang menyediakan pinjaman)

b) Nasabah (pihak yang meminjam uang)

c) Proyeksi usaha (tujuan dalam mengadakan perikatan Al-qardh)

2.4.3. Akad Rahn

Dalam istilah bahasa arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat

juga dinamai al-habsu, secara etimologi, arti rahn adalah tetap dan lama,

sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak

sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari pembayaran dari barang

tersebut, sedangkan menurut sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang

mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan hutan,

hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangatau ia bisa

mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Dengan adanya rukun dan

syarat yaitu:

a) Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi dua aspek:

1) Rahin, adalah orang yang menggadaikan barang.


34

2) Murtahin adalah orang yang berpiutang yang menerima barang gadai

sebagai imbalan uang kepada yang dipinjamkan (kreditur)

b) Ma’qud’alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal:

1) Marhun (barang yang digadaikan/barang gadai)

2) Dain Marhun Biih (hutang yang karenanya diadakan gadai)

c) Sighat (akad gadai), meliputi tiga hal yakni:

1) Orang yang menggadaikan

2) Akad gadai

3) Barang yang digadaikan

2.4.4. Skema Pembiayaan Akad Ijarah Pada Gadai (Rahn) Emas Di

Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang

Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Akad Ijarah Pada Gadai (Rahn) Emas
Di Bank Aceh Syariah Cabang Kuala Simpang
35

Dari gambar tersebut, maka dapat dipahami bahwa nasabah dan bank

syariah memiliki posisi bervariasi sesuai dengan akad yang digunakan. Pada

saat bersamaan, nasabah bisa berposisi sebagai muqtaridh, musta’jir, dan

sekaligus sebagai rahin. Sedangkan bank pada saat bersamaan dapat berposisi

sebagai muqaridh, mu’ajir, dan murtahin58. Hal lain yang bisa dipahami

bahwa mekanisme gadai syariah dan gadai konvensional memiliki perbedaan

yang signifikan. Bila dalam gadai konvensional, nasabah dipungut biaya dalam

bentuk bunga yang dapat berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan dalam

gadai syariah nasabah hanya dipungut biaya penitipan, pemeliharaan,

penjagaan, serta penaksiran (ujrah). Di dalam pembiayaan gadai emas di Bank

Aceh Syariah terdapat dua akad dalam satu transaksi yaitu akad rahn dan

ijarah.55

55
Wawancara Dengan Bapak Abdi Kesuma, Petugas Gadai Emas Syari’ah Bank Aceh
Syariah Cabang Kuala Simpang, Tanggal 18 Maret 2021.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah pendekatan

kualitatif. Karena dengan pendekatan ini peneliti bisa menyampaikan hasil

penelitian secara deskriptif berupa uraian kata-kata tertulis dari hasil

pengamatan Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang dilakukan

secara wajar dan natural sesuai dengan kondisi objektif di lapangan tanpa

adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan berupa data kualitatif.56

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkap

gejala secara holistik kontekstual (secara menyeluruh dan sesuaidengan

konteks apa adanya) melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber

langsung dengan instrument kunci penelitian itu sendiri.57 Sejalan dengan

pendapat di atas, Sugiyono dalam bukunya menjelaskan bahwa penelitian

kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat

postpositivisme yaitu digunakan untuk meneliti pada obyek yang alamiah,

dimana peneliti adalah instrumen kuncinya. 58

Adapun jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mendeskripsikan suatu

keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya. Dan disebut penelitian

kualitatif, karena sumber data utama penelitian ini adalah berupa ucapan atau

56
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), 140.
57
Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), 64
58
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung:
Alfabeta, 2013), 9.

36
37

tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.59 Penelitian deskriptif yang

dimaksud dalam konteks ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

sistem operasional praktik gadai emas yang dilakukan di Bank Aceh Syariah

Cabang Kuala Simpang.

3.2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan

dari hasil penelitian. Subjek penelitian adalah: sesuatu yang diteliti baik orang,

benda, ataupun lembaga (organisasi), di dalam subjek penelitian inilah terdapat

objek penelitian.60 Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Bank Aceh

Syariah Cabang Kuala Simpang. Objek penelitian adalah sifat keadaan dari

suatu benda, orang, atau yang menjadi pusat perhatian dan sasaran penelitian.

Dengan demikian, objek penelitian ini adalah akad Ijarah pada produk

pembiayaan gadai emas.

3.3. Sumber Data

1) Data primer

Data primer merupakan data yang diambil dari sumber data utama atau

sumber pertama di lapangan.61 Data primer yang diperoleh nantinya adalah

data hasil wawancara berupa informasi yang didapatkan dari informan

terpilih.

59
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif...., 10.
60
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, .., 32.
61
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial&Ekonomi Format-format Kuantitatif untuk
Studi Sosial, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran, (Jakarta: Kencana,
2013), hal. 19.
38

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dari sumber data kedua.62 Dalam

penelitian ini diperoleh dari jurnal maupun buku yang berhubungan dengan

penelitian.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan.63 Adapun teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara

langsung kepada objek yang akan diteliti. Hal ini bertujuan untuk

mendapatkan gambaran atau informasi secara langsung terhadap objek

penelitian.64

2. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah

tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan dimana dua orang atau lebih

berhadapan secara fisik. Menurut Imam Gunawan “Wawancara pada penelitian

kualitatif merupakan pembicaraan yang mempunyai tujuan dan didahului

beberapa pertanyaan informal”.65

62
Burhan Bungin, Metode Penelitian....., 20.
63
Sugiyono, Metode Penelitian…, 224
64
Sugiyono, Metode Penelitian…, 225
65
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), 160.
39

Dalam hal ini penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada

informan dengan cara terstruktur dan non struktur. Untuk berlangsungnya

wawancara dengan informan secara luwes dan kondusif, pewawancara telah

memperhatikan keadaan informan yang akan diwawancarai. Informan yang

diwawancarai ialah unsur pimpinan ataupun petugas yang berwenang sesuai

kebutuhan.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

agenda dan sebagainya. Dokumen yang dijelaskan sebagai sumber data

dalam penelitian ini meliputi semua hal yang terkait dengan kebutuhan

penelitian.

3.6. Prosedur Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan

cara mengorganisirkan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.66 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

analisis data secara kualitatif. Dengan menggunakan langkah-langkah sebagai

berikut :

66
Sugiyono, Metode Penelitian…, 244
40

a) Display data, peneliti menyajikan semua data yang diperolehnya dalam bentuk

uraian atau laporan terperinci.

b) Reduksi data, peneliti memotong data-data yang tidak perlu untuk dibuang,

laporan yang diambil hanya yang pokok saja difokuskan pada hal-hal penting.

c) Verivikasi data, peneliti berusaha untuk mencari data yang dikumpulkanya dan

kemudian disimpulkan untuk menjawab tujuan penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani
Press, Jakarta. 2012.

Arifin, Zainal Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2012.

Ascarya, dan Diana Yumanita. Bank Syariah: Gambaran Umum. Jakarta: PPSK
Bank Indonesia, 2011.

Aziz, Syaifullah. Fiqih Islam Lengkap, Asy-syifa, Surabaya, 2010.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Sosial&Ekonomi Format-format Kuantitatif


untuk Studi Sosial, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen dan
Pemasaran, Jakarta: Kencana, 2013.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit


Diponegoro, 2010.

Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di


Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan


Ijarah.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.

Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000.

Hasan, Ali, M. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.

Https://mui.or.id/sejarah-mui. (diakses tanggal 14 Maret 2021)

Https://www.bankaceh.co.id/?page_id=555. Diakses tanggal 18 Maret 2021.

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis
dan Praktis, Jakarta : Prenadamedia Group, 2010.

Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana Preniada Media Group, 2011.

41
42

Janwari, Yadi. Lembaga Keuangan Syari’ah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,


2015.

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2015.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana


Prenadamedia Group, 2013.

MUI, Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Riantol, Nur Al Arif. Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: CV Pustaka Setia,


2012.

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Samak, Muhammad Jawis. Amanah Dalam Al-Qur’an (Kajian Tematik Tafsir Al-
Qur’an Al-Azim Karya Ibnu Katsir), Skripsi Jurusan Ilmu Al-qur’an Dan
Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.

Sjahdeini, Sutan Ramy. Perbankan Syariah,Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekosiana, 2013.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung:


Alfabeta. 2013.

Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001.

Tanzeh, Ahmad. Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta: Teras, 2011.

Widodo, Sugeng. Modal Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam Perspektif


Aplikatif, Yogyakarta: Kaukaba, 2014.

Zuhaili, Wahbah al-.Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-


Kattani,dkk.Jakarta:Gema Insani, 2011.

Anda mungkin juga menyukai