Rumusan Masalah:
Tujuan penelitian
Tujuan umum:
Menilai pengaruh gherlin pada anak usia 12-18 bulan yang sudah melewati screening stunting
Tujuan khusus:
Manfaat Penelitian
Hipotesis:
Kadar gherlin pada anak dengan stunting lebih tinggi daripada anak tanpa stunting
Variabel:
Variable bebas:
Variable terkontrol:
Variable tergantung
Variable:
1.1 Latar Belakang
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%)
tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).5
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi
badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari
WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.5
Stunting adalah penanda risiko yang nampak dari perkembangan anak yang buruk.
Stunting sebelum usia 2 tahun memprediksi hasil kognitif dan pendidikan yang lebih buruk di
masa kanak-kanak dan remaja nanti, dan memiliki konsekuensi pendidikan dan ekonomi
yang signifikan pada tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Studi longitudinal baru-
baru ini terhadap anak-anak dari Brasil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan
menghubungkan stunting dengan penurunan pendidikan, di mana orang dewasa yang
stunting pada usia 2 tahun menyelesaikan sekolah hampir satu tahun lebih sedikit daripada
individu yang tidak stunting. Demikian pula, sebuah penelitian terhadap orang dewasa
Guatemala menemukan bahwa mereka yang mengalami stunting sebagai anak-anak
memiliki jumlah sekolah yang lebih sedikit, prestasi ujian yang lebih rendah, pengeluaran
rumah tangga per kapita yang lebih rendah dan kemungkinan yang lebih besar untuk hidup
dalam kemiskinan . Bagi wanita, stunting di awal kehidupan dikaitkan dengan usia yang
lebih rendah saat pertama lahir dan jumlah kehamilan dan anak yang lebih tinggi .6
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu
dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan
keamanan pangan yang diberikan.5
Stunting dikaitkan dengan target gizi global lainnya (anemia pada wanita usia subur,
BBLR, kelebihan berat badan pada masa kanak-kanak, ASI eksklusif, dan wasting). Wasting
disebabkan oleh faktor yang sama yang berkontribusi pada stunting. Tindakan yang
difokuskan pada pencegahan, seperti memastikan bahwa ibu hamil dan menyusui mendapat
gizi yang memadai, bahwa anak-anak menerima ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan, dan pemberian makanan pendamping ASI yang memadai selain pemberian ASI
untuk anak-anak berusia 6–23 bulan, dapat membantu mengatasi masalah stunting dan
wasting.6
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
terhambat termasuk kesehatan dan gizi ibu yang buruk, praktik pemberian makan bayi dan
anak yang tidak memadai, dan infeksi. Secara khusus, ini termasuk status gizi dan
kesehatan ibu sebelum, selama dan setelah kehamilan, yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan awal anak, dimulai dari dalam rahim. Misalnya, hambatan pertumbuhan
intrauterin karena kekurangan gizi pada ibu (diperkirakan dengan angka berat badan lahir
rendah) merupakan 20% dari stunting pada masa kanak-kanak. Kontributor ibu lain untuk
stunting termasuk perawakan pendek, jarak lahir pendek, dan kehamilan remaja, yang
mengganggu ketersediaan nutrisi untuk janin (karena tuntutan persaingan pertumbuhan ibu
yang sedang berlangsung). Praktik pemberian makan bayi dan balita yang berkontribusi
terhadap stunting termasuk pemberian ASI yang kurang optimal (khususnya, pemberian ASI
non-eksklusif) dan pemberian makanan pendamping yang terbatas dalam jumlah, kualitas
dan variasi. Penyakit menular yang parah menyebabkan wasting, yang mungkin memiliki
konsekuensi jangka panjang untuk pertumbuhan linier, tergantung pada tingkat keparahan,
durasi dan kekambuhan, terutama jika tidak ada makanan yang cukup untuk mendukung
pemulihan. Infeksi subklinis, akibat paparan lingkungan yang terkontaminasi dan kebersihan
yang buruk, dikaitkan dengan stunting, karena malabsorpsi nutrisi dan berkurangnya
kemampuan usus untuk berfungsi sebagai penghalang terhadap organisme penyebab
penyakit, Akibat dari kemiskinan rumah tangga, pengabaian pengasuh, praktik pemberian
makan yang tidak responsif, stimulasi anak yang tidak memadai dan kerawanan pangan
semuanya dapat berinteraksi untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan.6
Ada yang berpendapat bahwa stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk
adaptasi fisiologis pertumbuhan atau nonpatologis, karena dua penyebab utamanya adalah
asupan makanan yang tidak adekuat dan respon terhadap tingginya penyakit infeksi.
Dengan kata lain bila terjadi kekurangan pangan, maka suatu organisrne berusaha
beradaptasi sehingga jumlah pangan yang tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya. Pengertian beradaptasi di sini kurang lebih sama dengan mengurangi
atau memperlambat pertumbuhan. Apabila demikian, maka hanya sebagian dari prevalensi
stunting merupakan refleksi atau cerminan dari malgizi yang bersifat patologis dan yang
lainnya terhambat pertumbuhannya tetapi tidak harus atau tidak mesti patologis. Sebagai
ilustrasi, tanaman yang tumbuh pada lahan kering, tidak subur atau kekurangan zat gizi
serta unsur hara lain, maka pertumbuhannya melambat menyesuaikan dengan ketersediaan
zat gizi dan unsur hara pada lahan yang bersangkutan. Perlambatan penumbuhan tersebut
menunjukkan adanya proses adaptasi dengan menggunakan zat gizi dan unsur hara secara
hemat dan efisien. Sebaliknya bisa juga karena zat gizi dan unsur hara esensial tidak
tersedia cukup, maka beberapa proses metabolisme tidak dapat berjalan sebagaimma
mestinya atau terganggu, dan seterusnya mengganggu proses metabolisme lainnya dan
pada akhirnya beberapa proses dan fungsi sel dan/atau jaringan terganggu.7
Ghrelin adalah hormon turunan lambung yang terdiri dari 28 asam amino. Peptida ini
tidak hanya memiliki efek orexigenic tetapi juga terlibat dalam metabolisme lipid manusia.
Karena ghrelin dikaitkan dengan promosi makan dan adipositas, beberapa penelitian
menunjukkan tingkat protein ini dikaitkan dengan berat badan. Pada manusia, tingkat ghrelin
berkurang pada obesitas dan meningkat pada anoreksia nervosa. Ghrelin bekerja melalui
aktivasi reseptor sekretagog hormon pertumbuhan 1a (GHSR-1a). Ghrelin adalah salah satu
sinyal terkait makanan yang diproduksi secara perifer yang merangsang asupan makanan
dengan bertindak pada GHSR1-a yang diekspresikan di hipotalamus ketika diperlukan
peningkatan substrat metabolik (Wrenet al., 2001; Currieet al., 2012). Ghrelin telah
ditemukan sebagai peptida orexigenic yang paling kuat (Kojima dan Kangawa, 2005).
Tingkat peredarannya berfluktuasi dengan status makan dan berosilasi dalam waktu dengan
makanan yang dijadwalkan (Verbaeyset al., 2011). Konsisten dengan ini, ghrelin eksogen
menginduksi pemberian makan bila diberikan secara perifer atau sentral
Ghrelin adalah stimulator kuat sekresi GH dari hipofisis (Takayaet al., 2000;
Howicket al., 2017). Ia dapat bekerja baik secara langsung pada hipofisis untuk merangsang
pelepasan GH dengan mengikat GHSR1a dan secara tidak langsung dengan bekerja pada
hipotalamus dan saraf vagus.Reseptor ini banyak diekspresikan di daerah hipotalamus yang
mengatur homeostasis makan dan berat badan.Telah diteliti bahwa efek ghrelin adalah
melalui orexigenic neuropeptide agouti related protein (AGRP) dan neuropeptie (NPY)
dalam protein terkait sitoskeleton yang diatur aktivitas (ARC). Selain itu, ghrelin juga
memengaruhi lemak tubuh melalui regulasi dua jalur metabolisme lipid penting: lipogenesis
de novo dan oksidasi asam lemak. Peningkatan level ghrelin meningkatkan ekspresi mRNA
dari enzim yang terlibat dalam de novolipogenesis seperti lipoprotein lipase (LPL), fatty acid
synthase (FAS) dan stearoyl-CoA desaturase (SCD 1). Ghrelin juga menginduksi reduksi
ekspresi karnitin palmitoyltransferase 1 (CPT 1), protein penting yang terlibat dalam regulasi
oksidasi asam lemak. Proses akhir dari reaksi ini adalah tubuh cenderung menyimpan lemak
dan tidak menggunakannya untuk penggunaan energi25 dan karena kadar ghrelin
meningkat selama masa puasa, proses metabolisme ini memastikan bahwa metabolisme
kita berada dalam efisiensi energi yang lebih tinggi. Ini merupakan adaptasi manusia
terhadap ketersediaan pangan yang rendah untuk menurunkan keseimbangan energi
negative.8