Anda di halaman 1dari 6

Judul penelitian: Pengaruh hormon gherlin terhadap stunting pada anak usia 12-18 bulan

Rumusan Masalah:

1. Apakah Gherlin memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan?


2. Apakah gherlin dipengaruhi oleh pemberian suplementasi pertumbuhan?
3. Sejauh mana pengaruh gherlin pada stunting?

Tujuan penelitian

Tujuan umum:

Menilai pengaruh gherlin pada anak usia 12-18 bulan yang sudah melewati screening stunting

Tujuan khusus:

1. Menentukan kadar gherlin pada anak dengan Panjang badan ≥ -2sd


2. Menentukan kadar gherlin pada anak dengan Panjang badan ≤ -2sd
3. Membandingkan kadar gherlin pada anak dengan Panjang badan ≥-2sd dan ≤ -2sd

Manfaat Penelitian

1. Memberikan konfirmasi ilmiah tentang pengaruh gherlin terhadap stunting


2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut terutama dalam
mencegah terjadi stunting sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kejadian stunting

Hipotesis:

Kadar gherlin pada anak dengan stunting lebih tinggi daripada anak tanpa stunting

Variabel:

Variable bebas:

1. Pemberian suplementasi makanan tambahan

Variable terkontrol:

1. Anak dengan stunting usia 12-18 bulan

Variable tergantung

Variable:
1.1 Latar Belakang

Identifikasi stunting dilakukan dengan membandingkan tinggi anak dengan


standar tinggi anak pada populasi normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang
sama. Anak digolongkan stunting jika tingginya berada dibawah -2 SD dari standar
WHO. South East Asean Nutrition Survey (SEANUTS) pada tahun 2010-2011
melaporkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah balita stunting terbesar diatas
Malaysia, Thailand dan Vietnam (Trihono, 2015). Prevalensi stunting secara nasional
di Indonesia mengalami peningkatan dari 35,6% tahun 2010 menjadi 37,2% tahun
2013. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia terus meningkat, dari 18,0% tahun
2007 (Riskesdas, 2007), 17,1% di tahun 2010 (Riskesdas, 2010) dan naik menjadi
19,2% di tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir mencatat bahwa prevalensi stunting mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.1
Stunting dianggap menjadi masalah kesehatan masyarakat kategori kronis
bila prevalensinya sebesar ≥ 20%. Menurut data Riskesdas ada 14 propinsi di
Indonesia yang stunting tergolong masalah kesehatan masyarakat berat dan 15
propinsi tergolong serius dan salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara.
Prevalensi stunting di Sumatera Utara tahun 2017 (Data PSG) adalah 28,4%. Artinya
Sumatera Utara masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.Prevalensi
stunting tertinggi di Sumatera Utara tersebar di 4 Kabupaten/Kota yaitu Langkat,
Padang Lawas, Nias Utara dan Gunung Sitoli. Langkat adalah kabupaten dengan
prevalensi stunting tertinggi yaitu 54.961 jiwa pada tahun 2013 atau sekitar 55,48%
dibandingkan dengan Padang Lawas yang prevalensi stuntingnya 54,86%, Nias
Utara 54,83% dan Gunung Sitoli 52,32%.1
Sunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi
yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya
perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita,
diantaranya: Praktek pengasuhan yang kurang baik,termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan, masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk
layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas, Masih
kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan
harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal, Kurangnya akses ke air
bersih dan sanitasi.2
Ghrelin awalnya ditemukan sebagai ligan endogen dari reseptor sekretagog
GH (GHS) dan beberapa penelitian telah memberikan bukti bahwa ghrelin terlibat
dalam regulasi homeostasis energi. Ghrelin meningkat sebelum makan dan menurun
setelah makan, berpotensi memainkan peran dalam inisiasi makan dan rasa
kenyang dalam pola kebalikan dari insulin. Selain itu, ghrelin terlibat dalam regulasi
energi keseimbangan dengan meningkatkan asupan makanan dan mengurangi
pemanfaatan lemak. Selain itu, ghrelin mengatur metabolisme glukosa dan mungkin
terlibat dalam regulasi aktivitas insulin pada manusia. Demikian juga, ghrelin
tampaknya terkait dengan regulasi pengeluaran energi.3
Ghrelin adalah peptida yang sebagian besar diproduksi oleh lambung.
Gherlin juga menunjukkan aktivitas pelepasan Growth hormon yang kuat. Ini memiliki
aktivitas lain termasuk stimulasi fungsi laktotrof dan kortikotrof, penekanan sekresi
LH, stimulasi nafsu makan, kontrol keseimbangan energi, mempengaruhi pengaturan
tidur-bangun, stimulasim osmlitas lambung dan sekresi asam, penekanan fungsi
pankreatik oksokrin dan endokrin dan induksi hiperglikemia. Pada sistem
kardiovaskular, ghrelin memiliki peran fungsional pada pertumbuhan miokard yang
berhubungan dengan peningkatan fungsi jantung. Modulasi proliferasi sel neoplastik
dan sifat meningkatkan kekebalan adalah tindakan lain dari ghrelin.4
Pada manusia, kadar ghrelin yang bersirkulasi menurun pada keadaan
keseimbangan energi positif kronis (obesitas) dan akut (asupan kalori), sedangkan
kadar ghrelin plasma meningkat dengan puasa dan pada pasien cachectic dengan
anoreksia nervosa. Berbeda dengan efek anoreksigenik dari hormon peptida gastro-
intestinal lainnya, pemberian ghrelin perifer atau sentral meningkatkan asupan
makanan pada hewan pengerat, sedangkan pemberian antibodi terhadap ghrelin
menghambat makan.4
Ghrelin adalah salah satu pengontrol fisiologis nafsu makan dan berat badan.
Kami bahwa bayi dengan PEM akan memiliki tingkat ghrelin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kadar
ghrelin serum pada pasien stunting serta menunjukkan kemungkinan hubungan
dengan variabel yang berbeda dari pasien tersebut.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%)
tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).5
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi
badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari
WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.5
Stunting adalah penanda risiko yang nampak dari perkembangan anak yang buruk.
Stunting sebelum usia 2 tahun memprediksi hasil kognitif dan pendidikan yang lebih buruk di
masa kanak-kanak dan remaja nanti, dan memiliki konsekuensi pendidikan dan ekonomi
yang signifikan pada tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Studi longitudinal baru-
baru ini terhadap anak-anak dari Brasil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan
menghubungkan stunting dengan penurunan pendidikan, di mana orang dewasa yang
stunting pada usia 2 tahun menyelesaikan sekolah hampir satu tahun lebih sedikit daripada
individu yang tidak stunting. Demikian pula, sebuah penelitian terhadap orang dewasa
Guatemala menemukan bahwa mereka yang mengalami stunting sebagai anak-anak
memiliki jumlah sekolah yang lebih sedikit, prestasi ujian yang lebih rendah, pengeluaran
rumah tangga per kapita yang lebih rendah dan kemungkinan yang lebih besar untuk hidup
dalam kemiskinan . Bagi wanita, stunting di awal kehidupan dikaitkan dengan usia yang
lebih rendah saat pertama lahir dan jumlah kehamilan dan anak yang lebih tinggi .6
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu
dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan
keamanan pangan yang diberikan.5
Stunting dikaitkan dengan target gizi global lainnya (anemia pada wanita usia subur,
BBLR, kelebihan berat badan pada masa kanak-kanak, ASI eksklusif, dan wasting). Wasting
disebabkan oleh faktor yang sama yang berkontribusi pada stunting. Tindakan yang
difokuskan pada pencegahan, seperti memastikan bahwa ibu hamil dan menyusui mendapat
gizi yang memadai, bahwa anak-anak menerima ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan, dan pemberian makanan pendamping ASI yang memadai selain pemberian ASI
untuk anak-anak berusia 6–23 bulan, dapat membantu mengatasi masalah stunting dan
wasting.6
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
terhambat termasuk kesehatan dan gizi ibu yang buruk, praktik pemberian makan bayi dan
anak yang tidak memadai, dan infeksi. Secara khusus, ini termasuk status gizi dan
kesehatan ibu sebelum, selama dan setelah kehamilan, yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan awal anak, dimulai dari dalam rahim. Misalnya, hambatan pertumbuhan
intrauterin karena kekurangan gizi pada ibu (diperkirakan dengan angka berat badan lahir
rendah) merupakan 20% dari stunting pada masa kanak-kanak. Kontributor ibu lain untuk
stunting termasuk perawakan pendek, jarak lahir pendek, dan kehamilan remaja, yang
mengganggu ketersediaan nutrisi untuk janin (karena tuntutan persaingan pertumbuhan ibu
yang sedang berlangsung). Praktik pemberian makan bayi dan balita yang berkontribusi
terhadap stunting termasuk pemberian ASI yang kurang optimal (khususnya, pemberian ASI
non-eksklusif) dan pemberian makanan pendamping yang terbatas dalam jumlah, kualitas
dan variasi. Penyakit menular yang parah menyebabkan wasting, yang mungkin memiliki
konsekuensi jangka panjang untuk pertumbuhan linier, tergantung pada tingkat keparahan,
durasi dan kekambuhan, terutama jika tidak ada makanan yang cukup untuk mendukung
pemulihan. Infeksi subklinis, akibat paparan lingkungan yang terkontaminasi dan kebersihan
yang buruk, dikaitkan dengan stunting, karena malabsorpsi nutrisi dan berkurangnya
kemampuan usus untuk berfungsi sebagai penghalang terhadap organisme penyebab
penyakit, Akibat dari kemiskinan rumah tangga, pengabaian pengasuh, praktik pemberian
makan yang tidak responsif, stimulasi anak yang tidak memadai dan kerawanan pangan
semuanya dapat berinteraksi untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan.6
Ada yang berpendapat bahwa stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk
adaptasi fisiologis pertumbuhan atau nonpatologis, karena dua penyebab utamanya adalah
asupan makanan yang tidak adekuat dan respon terhadap tingginya penyakit infeksi.
Dengan kata lain bila terjadi kekurangan pangan, maka suatu organisrne berusaha
beradaptasi sehingga jumlah pangan yang tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya. Pengertian beradaptasi di sini kurang lebih sama dengan mengurangi
atau memperlambat pertumbuhan. Apabila demikian, maka hanya sebagian dari prevalensi
stunting merupakan refleksi atau cerminan dari malgizi yang bersifat patologis dan yang
lainnya terhambat pertumbuhannya tetapi tidak harus atau tidak mesti patologis. Sebagai
ilustrasi, tanaman yang tumbuh pada lahan kering, tidak subur atau kekurangan zat gizi
serta unsur hara lain, maka pertumbuhannya melambat menyesuaikan dengan ketersediaan
zat gizi dan unsur hara pada lahan yang bersangkutan. Perlambatan penumbuhan tersebut
menunjukkan adanya proses adaptasi dengan menggunakan zat gizi dan unsur hara secara
hemat dan efisien. Sebaliknya bisa juga karena zat gizi dan unsur hara esensial tidak
tersedia cukup, maka beberapa proses metabolisme tidak dapat berjalan sebagaimma
mestinya atau terganggu, dan seterusnya mengganggu proses metabolisme lainnya dan
pada akhirnya beberapa proses dan fungsi sel dan/atau jaringan terganggu.7
Ghrelin adalah hormon turunan lambung yang terdiri dari 28 asam amino. Peptida ini
tidak hanya memiliki efek orexigenic tetapi juga terlibat dalam metabolisme lipid manusia.
Karena ghrelin dikaitkan dengan promosi makan dan adipositas, beberapa penelitian
menunjukkan tingkat protein ini dikaitkan dengan berat badan. Pada manusia, tingkat ghrelin
berkurang pada obesitas dan meningkat pada anoreksia nervosa. Ghrelin bekerja melalui
aktivasi reseptor sekretagog hormon pertumbuhan 1a (GHSR-1a). Ghrelin adalah salah satu
sinyal terkait makanan yang diproduksi secara perifer yang merangsang asupan makanan
dengan bertindak pada GHSR1-a yang diekspresikan di hipotalamus ketika diperlukan
peningkatan substrat metabolik (Wrenet al., 2001; Currieet al., 2012). Ghrelin telah
ditemukan sebagai peptida orexigenic yang paling kuat (Kojima dan Kangawa, 2005).
Tingkat peredarannya berfluktuasi dengan status makan dan berosilasi dalam waktu dengan
makanan yang dijadwalkan (Verbaeyset al., 2011). Konsisten dengan ini, ghrelin eksogen
menginduksi pemberian makan bila diberikan secara perifer atau sentral
Ghrelin adalah stimulator kuat sekresi GH dari hipofisis (Takayaet al., 2000;
Howicket al., 2017). Ia dapat bekerja baik secara langsung pada hipofisis untuk merangsang
pelepasan GH dengan mengikat GHSR1a dan secara tidak langsung dengan bekerja pada
hipotalamus dan saraf vagus.Reseptor ini banyak diekspresikan di daerah hipotalamus yang
mengatur homeostasis makan dan berat badan.Telah diteliti bahwa efek ghrelin adalah
melalui orexigenic neuropeptide agouti related protein (AGRP) dan neuropeptie (NPY)
dalam protein terkait sitoskeleton yang diatur aktivitas (ARC). Selain itu, ghrelin juga
memengaruhi lemak tubuh melalui regulasi dua jalur metabolisme lipid penting: lipogenesis
de novo dan oksidasi asam lemak. Peningkatan level ghrelin meningkatkan ekspresi mRNA
dari enzim yang terlibat dalam de novolipogenesis seperti lipoprotein lipase (LPL), fatty acid
synthase (FAS) dan stearoyl-CoA desaturase (SCD 1). Ghrelin juga menginduksi reduksi
ekspresi karnitin palmitoyltransferase 1 (CPT 1), protein penting yang terlibat dalam regulasi
oksidasi asam lemak. Proses akhir dari reaksi ini adalah tubuh cenderung menyimpan lemak
dan tidak menggunakannya untuk penggunaan energi25 dan karena kadar ghrelin
meningkat selama masa puasa, proses metabolisme ini memastikan bahwa metabolisme
kita berada dalam efisiensi energi yang lebih tinggi. Ini merupakan adaptasi manusia
terhadap ketersediaan pangan yang rendah untuk menurunkan keseimbangan energi
negative.8

Anda mungkin juga menyukai