Anda di halaman 1dari 57

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN HIV/AIDS

“Prinsip Perawatan pada Bayi dan Anak Penderita HIV AIDS


atau dengan Orang Tua HIV AIDS ”

Disusun oleh:
Kelompok 5
1. Abdullah Ramli COVER
2. Al Della Noviana Asgar
3. Iis Sugiarti
4. Sandra Ekha Diergantara
5. Siti Julaikha
6. Syaiful Bahri Bakhran

Dosen Pembimbing:
Ns. Nilam Norma,S. kep., M. Kes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2018

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulisan makalah “Prinsip Perawatan pada Bayi dan Anak Penderita

HIV AIDS atau dengan Orang Tua HIV AIDS ”dapat kami selesaikan.

Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah saw,


keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga akhir
zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar Keperawatan
HIV/AIDS. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang berkaitan dengan
judul laporan, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan
hasil kegiatan yang telah dilakukan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama kepada


dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran dalam
penyelesaian makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran dan
kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.

Samarinda, Januari 2019

Kelompok 5

ii
Daftar Isi

Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................3
C. Tujuan..........................................................................................................................3
D. Sistematika Penulisan...................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................5
Telaah Pustaka.........................................................................................................................5
A. Konsep Dasar HIV/AIDS pada Anak...........................................................................9
1. Definisi.....................................................................................................................9
2. Etiologi.....................................................................................................................9
3. Tanda dan Gejala....................................................................................................10
4. Patofisiologi...........................................................................................................11
5. Pathogenesis...........................................................................................................15
6. Kategori Klinis HIV...............................................................................................18
7. Pendekatan Diagnosa.............................................................................................21
8. Penatalaksanaan Medis...........................................................................................28
9. Mengatasi Status Defisiensi Immun.......................................................................34
10. Mengatasi Neoplasma........................................................................................34
11. Pemberian Vaksinasi..........................................................................................34
12. Pencegahan.........................................................................................................35
B. Family Center Care Pada ODHA...............................................................................36
C. Prinsip Hidup Dengan ODHA....................................................................................38
BAB III..................................................................................................................................51

iii
PENUTUP.............................................................................................................................51
A. Kesimpulan................................................................................................................51
B. Saran..........................................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan

ODHA. Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi

Oportunistik atau IO. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena

menurunnya kekebalan tubuh seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini

umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut. Infeksi

Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan

gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan kebutuhan

oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial

spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri

kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan,

infeksi jamur, hingga distres dan depresi (Nursalam, 2011).

Penurunan imunitas membuat ODHA rentan terkena penyakit

penyerta, menurut hasil laporan Direktur Jenderal Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P tahun 2016 ada beberapa penyakit

penyerta yang biasa menyertai AIDS diantaranya, Tuberkulosis,

Taksoplasmosis, Diare, Kandidiasis, Dermatitis, PCP atau Pneumonia

1
Pneumocystis, Herpes Simplex, Herpes Zooster, Limfadenopati Generalisata

persisten.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), pola

penularan HIV pada pasangan seksual berubah pada saat ditemukan kasus

seorang ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi HIV. Bayi yang

dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal dari

penambahan pola penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya.

Hal serupa digambarkan dari hasil survey pada tahun 2000 dikalangan

ibu hamil di Provinsi Riau dan Papua yang memperoleh angka kejadian

infeksi HIV 0,35% dan 0,25%. Sedangkan hasil tes suka rela pada ibu hamil

di DKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai data tersebut

membuktikan bahwa epidemi AIDS telah masuk kedalam keluarga yang

selama ini dianggap tidak mungkin tertular infeksi. Pada tahun 2015,

diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu

yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak terkena HIV

dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak

yang terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan

terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus

menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih

sayang,dan sebagainya dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak (Nurs

dan Kurniawan, 2013). Hal tersebut menyebabkan beban negara bertambah

2
dikarenakan orang yang terinfeksi HIV telah masuk kedalam tahap AIDS,

yang ditularkan akibat hubungan Heteroseksual sebesar 36,23%.

Permasalahan bukan hanya sekedar pada pemberian terapi anti

retroviral (ART), tetapi juga harus memperhatikan permasalahan pencegahan

penularan walaupun sudah mendapat ART (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia 2006:7). Berdasarkan uraian masalah di atas maka, perlu dikakukan

pembahasan tentang penularan HIV/AIDS pada Anak, sehingga hal ini dapat

menjadi upaya promotif dan preventif

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu bagaimana prinsip perawatan pada bayi dan anak

penderita HIV/AIDS atau dengan orang tua HIV/AIDS?

C. Tujuan

Memahami dan mengetahui prinsip perawatan pada bayi dan anak

penderita HIV/AIDS atau dengan orang tua HIV/AIDS.

D. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika

penulisan.
Bab II : Berisi telaah pustaka yang terdiri dari pengkajian bio,

3
psiko, spiritual, dan kultural, pemeriksaan fisik dan

diagnostik, tanda dan gejala dan penatalaksanaan pasien

dengan HIV/AIDS
Bab III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

4
BAB II

Telaah Pustaka

A. Konsep Tumbuh Kembang

1. Definisi

Pertumbuhan (growth) adalah peningkatan jumlah dan besar sel di

seluruh bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri dan

mensintesis protein-protein baru, menghasilkan penambahan jumlah dan

berat secara keseluruhan atau sebagian. Dalam pertumbuhan manusia juga

terjadi perubahan ukuran, berat badan, tinggi badan, ukuran tulang dan

gigi, serta perubahan secara kuantitatif  dan perubahan fisik pada diri

manusia itu. Dalam pertumbuhan manusia terdapat peristiwa percepatan

dan perlambatan. Peristiwa ini merupakan kejadian yang ada dalam setiap

organ tubuh.

Pertumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi pada

individu,yaitu secara bertahap,berat dan tinggi anak semakin bertambah

dan secara simultan mengalami peningkatan untuk berfungsi baik secara

kognitif, psikososial maupun spiritual.

Perkembangan (development) adalah perubahan secara berangsur-

angsur dan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkatkan dan

meluasnya kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan atau

5
kedewasaan (maturation), dan pembelajaran (learning). Perkembangan

manusia berjalan secara progresif, sistematis dan berkesinambungan

dengan perkembangan di waktu yang lalu. Perkembangan terjadi

perubahan dalam bentuk dan fungsi kematangan organ mulai dari aspek

fisik, intelektual, dan emosional. Perkembangan secara fisik yang terjadi

adalah dengan bertambahnya sempurna fungsi organ. Perkembangan

intelektual ditunjukan dengan kemampuan secara simbol maupun abstrak

seperti berbicara, bermain, berhitung. Perkembangan emosional dapat

dilihat dari perilaku sosial lingkungan anak.

2. Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang

Setiap manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang

berbeda-beda antara satu dengan manusia lainnya, bisa dengan cepat

bahkan lambat, tergantung pada individu dan lingkungannya. Proses

tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor di antaranya :

a. Faktor herediter/ genetik

Faktor heriditer Pertumbuhan adalah suatu proses alamiah yang

terjadi pada individu, yaitu secara bertahap, berat dan tinggi anak

semakin bertambah dan secara simultan mengalami peningkatan

untuk berfungsi baik secara kognitif, psikososial maupun spiritual.

Merupakan faktor keturunan secara genetik dari orang tua kepada

anaknya. Faktor ini tidak dapat berubah sepanjang hidup manusia,

dapat menentukan beberapa karkteristik seperti jenis kelamin, ras,

6
rambut, warna mata,  pertumbuhan fisik, dan beberapa keunikan

sifat dan sikap tubuh seperti temperamen.

Faktor ini dapat ditentukan dengan adanya intensitas dan

kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat sensitifitas jaringan

terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan

tulang. Potensi genetik yang berkualitas hendaknya dapat

berinteraksi dengan lingkungan yang positif agar memperoleh

hasil yang optimal.

b. Faktor Lingkungan/ eksternal

Lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi individu setiap

hari mulai lahir sampai akhir hayatnya, dan sangat mempengaruhi

tercapainya atau tidak potensi yang sudah ada dalam diri manusia

tersebut sesuai dengan genetiknya. Faktor lingkungan ini secara

garis besar dibagi menjadi 2 yaitu :

- Lingkungan pranatal (faktor lingkungan ketika masih dalam

kandungan). Faktor prenatal yang berpengaruh antara lain gizi

ibu pada waktu hamil, faktor mekanis, toksin atau zat kimia,

endokrin, radiasi, infeksi, stress, imunitas, dan anoksia embrio.

- Lingkungan postnatal ( lingkungan setelah kelahiran )

Lingkungan postnatal dapat di golongkan menjadi :

Lingkungan biologis, meliputi ras, jenis kelamin, gizi,

perawatan kesehatan, penyakit kronis, dan fungsi metabolisme

7
Lingkungan fisik, meliputi sanitasi, cuaca, keadaan rumah, dan

radiasi.

Lingkungan psikososial, meliputi stimulasi, motivasi belajar,

teman sebaya, stress, sekolah, cinta kasih, interaksi anak

dengan orang tua.

Lingkungan keluarga dan adat istiadat, meliputi pekerjaan atau

pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, stabilitas rumah

tangga, kepribadian orang tua.

c. Faktor Status Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi dapat berpengaruh pada tumbuh kembang

anak. Anak yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan status

sosial yang tinggi cenderung lebih dapat tercukupi kebutuhan

gizinya dibandingkan dengan anak yang lahir dan dibesarkan

dalam status ekonomi yang rendah.

d. Faktor nutrisi

Nutrisi adalah salah satu komponen penting dalam menunjang

kelangsungan proses tumbuh kembang. Selama masa tumbuh

kembang, anak sangat membutuhkan zat gizi seperti protein,

karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air. Apabila kebutuhan

tersebut tidak dipenuhi maka proses tumbuh kembang selanjutnya

dapat terhambat.

8
e. Faktor kesehatan

Status kesehatan dapat berpengaruh pada pencapaian tumbuh

kembang. Pada anak dengan kondisi tubuh yang sehat, percepatan

untuk tumbuh kembang sangat mudah. Namun sebaliknya, apabila

kondisi status kesehatan kurang baik, akan terjadi perlambatan.

B. Konsep Dasar HIV/AIDS pada Anak

1. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang

menyebabkan sindrom defisiensi imun akuisita (AIDS ). Virus ini

merusak atau menghancurkan sel kekebalan tubuh, sehingga sel kekebalan

tubuh tidak mampu berperang melawan infeksi atau kanker. Sekitar 3,2

juta anak-anak di bawah 15 tahun hidup dengan AIDS pada akhir 2013,

menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

2. Etiologi

HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang

melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut

menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu

mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002).

Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human

Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

9
Kebanyakan infeksi HIV pada anak adalah diturunkan melalui ibu ke anak

selama kehamilan, persalinan, dan menyusui. Namun, rejimen pengobatan

bisa mencegahnya, sehingga insidensi penularan dari ibu ke anak untuk

HIV menurun.

3. Tanda dan Gejala

Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal

secara klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang

secara klinis tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV,

meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa

faktor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4

dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih

tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal  masa bayi, diikuti

penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan obat

ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat

membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini

peting untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung

CD4, dan bila mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari

observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.

Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa

bayi jarang terdiagnostik. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The

Centers For Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam,

10
kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati

generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang > 0,5 cm terdapat pada 2

atau lebih area tidak bilateral selama > 2 bulan), parotitis, dan diare.

Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90%

akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi

dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu

yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang

terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3

bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi.

Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik antara

bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,

limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitus, deman

yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada

bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.

4. Patofisiologi

HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen

permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini,

yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam

mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan

bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi

HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.

11
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen

permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini,

yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam

mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan

bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi

HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun

kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis

melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;

penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral

penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius

pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel

selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada

limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi

dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,

dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak.

Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel

kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada

jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak,

hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun

sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh

infeksi virus lokal atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.

12
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi

akut, sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode

penahanan imun pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas

gejala, dan periode akhir gangguan imun simtomatik progresif, dengan

peningkatan replikasi viral. Selama fase asimtomatik kedua-bertahap dan

dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral

lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun

simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV,

dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan

perubahan pada jenis viral, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan

dan infeksi oportunistik.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir,

meskipun “ periode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala

infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal

dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan

regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan

fungsi sel B; hipergamaglobulinemia dengan produksi antibody

nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari

pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak

mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi

imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen

sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang

13
lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering

merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status

simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki

jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS pediatrik

mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal.

Penjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita

imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan

perkembangan sistem saraf pusat menerangkan frekuensi relatif

ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

14
5. Pathogenesis

HIV-1

Ibu
Jarum suntik Transfusi Hub sexual

Transplasental Perinatal

Limfosit T Aliran darah / mukosa

Kel. Limfe
Sel Host

Hiperplasi Replikasi Kel. Getah


CD4+
folikel virus masif bening perifer

Internalisasi
Limfadenopati Viremia Lim B
Enzim RT-ase
Destruksi sel Inf. Akut
Kel. Sel. B
Transkripsi terbalik
CD4
Laten
Mengubah RNA Pe Ab Pe Ig
menjadi DNA spesifik
Krisis total
Integritas DNA Hiper gamma
provirus ke Host globulinemia

Transkripsi / translasi
& propagasi virus Respon IgM

me

Inf. Oportunistik

Keganasan sekunder

AIDS

Monosit Tahan sitopatik HIV Penyebaran patogenesis


makrofag
15
Gangguan fungsi monosit & makrofag SSP
SSP Cryptococcus Meningitis
Toxoplasma Ensepalopati
Encepalitis
Candida
Mycobacterium Dimensia
TB
Gangguan psikomotor
Mata Tumor
CMV Perivaskulitis

Toxoplasma Retinitis
Hidung Sinusitis

Mulut Jamur  oral thrush

Stomatitis herpes

Parotitis

Paru Pnemonia pneumocystis carinii (PPC)

Cytomegalovirus

Mycobacterium avium intracellare / M. TB

Jantung Kardiomiopati  DC

Limpa Splenomegali

pankrea Pankreatitis (trauma akibat pemberian pentamidin)


s
Hepar Hepatitis Salmonella

GI track Diare CMV

Malabsorbsi Kandida

Herpes simplex
Kel. limfe Limfodenopati

Ginjal Focal glomerulosclerosis Proteinuria

Kulit Mesangial
Dermatitis hyperplasia
(Ekzema s/d pyoderma gangrenosum & scabies

Darah Trombocytopenia, Neutropeni, Anemi

16
VIREMIA

SSP
Sal. napas Hepar & lien
Batang otak
Paru Hidung Hepatomegali Hipotalamus
Splenomegali
Menekan N. Vagus
Alveolar Sinusitis Pirogen
Nyeri
Simpatis
Pneumonitis Termostat
interstisiel
Jantung Lambung Usus
Hipertermi
Eksudasi
Takikardi peHCL pe
TD peristaltik
Vasodilatasi Kejang2
Akumulasi PD
sekret Mual,
Kardiomegali muntah, Mal
anorexia absorbsi
Vasodilatasi Resiko injuri
Batuk Kelj.
Kardiomiopati
Sebasea
spontan Tidak spontan Nutrisi
Keringat
DC
Obstruksi sel Akumulasi BB
napas sekret Erithema
Diare

Kerusakan Ronki / tridor Integritas Resiko G3 Eliminasi


pertukaran kulit integritas alvi Defisit /
Otak hipovolume
gas kulit
Bersihan
jalan napas
Ensefalitis Keseim- Dehidrasi
Meningitis bangan
Dispneu cairan
Ensefalopathy Peperfusi
Vasodilatasi PD
Perub. Pola napas G3 neuropati G3 neuro
psikiatrik Turgor Ginjal
Pe TIK Mata cowong
Suplai O2 G3 motorik Ubun-ubun cekung
Demensia Mukosa kering Oligouria
Pe fungsi Atralgia & / mialgia
Fatique Pe perfusi Immobilitas kognitif
fisik Eliminasi
17 Istirahat tidur Nyeri uri
Intoleran
aktifitas
6. Kategori Klinis HIV

a. Kategori N : Tidak bergejala

Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV

b. Kategori A : Gejala ringan

Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :

 Limfadenopati

 Hepatomegali

 Splenomegali

 Dermatitis

 Parotitis

 Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/persisten, sinusitis,

atau otitis media

c. Kategori B : Gejala sedang

Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau

menunjukkan kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari

kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut :

 Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari

 Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis

 Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6

bulan

 Kardiomiopati

18
 Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan

 Diare, kambuhan atau kronik

 Hepatitis

 Stomatitis herpes, kambuhan

 Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan

sebelum berusia 1 bulan

 Herpes zoster, dua atau lebih episode

 Leimiosarkoma

 Pneumonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid

pulmoner (LIP/PLH)

 Nefropati

 Nokardiosis

 Varisela zoster persisten

 Demam persisten >1 bulan

 Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulan

 Varisela diseminata ( cacar air berkomplikasi )

d. Kategori C : Gejala Hebat

Anak dengan kondisi berikut :

 Infeksi bakterial multipel atau kambuhan

 Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus

19
 Koksidioidomikosis, intestinal kronik

 Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai

pada umur > 1 bulan.

 Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).

 Ensefalopati HIV.

 Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau pneumonitis

atau esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.

 Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner.

 Isopsoriasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).

 Sarkoma kaposi.

 Limfoma, primer di otak.

 Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoma imunoblastik ).

 Kompleks Mycobacterium avium atau Mycobacterium kansasii,

diseminata atau ekstrapulmoner.

 Pneumonia Pneumocystis carinii.

 Leukoensefalopati multifokal progresif.

 Septikemia salmonella kambuhan.

 Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.

 Wasting Syndrome karena HIV. ( Cecily L. Betz, 2002 : 213 )

20
7. Pendekatan Diagnosa

Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih

sukar dari pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya

yang tidak / kurang meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang

harus dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya, juga karena pemeriksaan

serologisnya yang sering membingungkan. Adanya antibodi terhadap HIV

(IgG) pada darah bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari ibunya,

karena antibodi ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada

dalam darah si anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka

memerlukan pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran

terjadinya infeksi bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih

terdapatnya antibodi sampai lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya

infeksi HIV pada bayi. Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA,

mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi, dengan sensitifitas dan

spesifitas sampai 98%.

Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

a. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.

b. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa

keganasan

c. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti

menurunnya T4 (ratio T4:T8)

21
d. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari

defisiensi imun.

Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya

(IgG, IgM maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa

maupun Western Blot. Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24

dengan metoda Elisa, ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain

Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti diagnostik

yang lebih tinggi. Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP

(In vitro Antibody Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi

dari darah bayi.

WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai

berikut:

Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :

a. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-

kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-

gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak

berkaitan dengan infeksi HIV.

b. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala

minor dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan

disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan

infeksi HIV.

22
Gejala Mayor :

a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.

b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan)

c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)

d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap


Gejala Minor :

a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali

b) Kandidiasis mulut dan faring

c) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis

d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)

e) Dermatitis yang menyeluruh

f) Ensefalitis
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).

Metode ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas

“positive predictive value” nya yang rendah. Pada umumnya digunakan

hanya untuk melakukan surveillance epidemiologi.

Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance

epidemiologi, CDC telah membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak

sebagai berikut :

Klas Subklas / kategori

P-0 Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)

P1 Infeksi yang asimtomatik

23
Subklas A : Fungsi immun normal

Subklas B : Fungsi immun tak normal

Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa

P-2 Infeksi yang simtomatik

Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap

lebih 2 bulan)

Subklas B : Gejala neurologis yang progresif

Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis

Subklas D : Penyakit infeksi sekunder

Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana

tercantum dalam daftar definisi surveillance

CDC untuk AIDS

Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang

Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain

Subklas E : Kanker sekunder

Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam

daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS

Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan

karena infeksi AIDS

Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan

oleh infeksi HIV

24
Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut

Center for Disease Control (CDC)

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak

sesuai dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut “AIDS Related Complex

(ARC)”. Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati, pneumonitis

interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis mulut yang

menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi oportunistik atau

keganasan.

Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah

pula diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3

Kriteria Mayor :

- Pneumonitis interstitialis

- “Oral Thrush” yang menetap / berulang

- Pembesaran kelenjar parotis

Kriteria Minor :

- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)

- Pembesaran hepar dan lien

- Diare menahun / berulang

25
- Kegagalan pertumbuhan (“failure to thrive”)

- Ensefalopati idiopatik progresip

Kriteria Laboratorium :

- Peningkatan IgA / IgM dalam serum

- Perbandingan T4/T8 terbalik

- IVAP rendah

Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)

Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor.

Serta 2 kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.

1. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK

a) Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum)

mendeteksi antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk

skrining HIV pada individu yang berusia lebih dari 2 tahun).

b) Western blot adalah mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa

protein spesifik HIV.

c) Kultur HIV adalah standar emas untuk memastikan diagnosis pada

bayi.

d) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR])

mendeteksi asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini

bermanfaat untuk mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.

e) Uji antigen HIV – mendeteksi antigen HIV.

26
f) HIV, IgA, IgM – mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi

(secara eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).

Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV

tidak mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas,

diagnosis dapat ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum

berusia 6 bulan.

Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-

anak yang terinfeksi HIV :

a. Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.

b. Limfositopenia.

c. Anemia, trombositopenia.

d. Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).

e. Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).

f. Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili)

g. Haemophilus influenzae tipe B

h. Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.

i. Penurunan persentase CD4+.

Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18

bulan dan yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2

determinasi terpisah dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase – HIV, atau

antigen HIV, maka dia dapat dikatakan “terinfeksi HIV”. Bayi yang lahir

dari ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18 bulan, dan tidak positif

27
terhadap ketiga uji tersebut dikatakan “terpajan pada masa perinatal”. Bayi

yang lahir dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata antibodi HIV negatif dan

tidak ada bukti laboratorium lain yang menunjukkan bahwa ia terinfeksi

HIV, maka ia dikatakan “Seroreverter”( Cecily L. B, 2002, 212 )

8. Penatalaksanaan Medis

Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu

yang terbukti terinfeksi HIV.

Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang berasal

dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya segala tindakan

terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk tetap

memberikan ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang

menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa

memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga

sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang

menganjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas

terkena infeksi HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai

50%.

a. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular

1. Terhadap Etiologi

Diberikan obat-obatan antiretroviral

Golongan obat Nama generik Singkatan

28
Nucleoside-reserve Azidotimidin/zidovudin AZT

Transcriptase Didanosin DDI

Stavudin D4T

Zalbitabin DDC

Lamivudin 3TC
Protease Inhibitor (PI) Indinavir IDV

Ritonavir

Saquinavir
Non-Nucleoside-Reserve

Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin

Tabel 4. Macam-macam antiretroviral

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai

indikator pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah

CD4 serta menghitung beban viral (viral load).

Keadaan klinis penyakit Pedoman terapi


Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu PI + (1 atau 2 NRTI)

setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus Didanosin

< 10.000/ml Kombinasi 2 NRTI


Simtomatik / asimtomatik PI + (1 atau 2 NRTI)

Dengan beban virus > 10.000/ml


Berlanjutnya penyakit setelah terapi Pindah ke terapi PI – NRTI

29
dengan 2 NRTI
Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV

Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali

sehari peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan

tanpa memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak

menyusui bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV

positif, dapat diobati dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarnya

pada bayi / anak pengukuran viral-load penting karena rentang

jumlah CD4 yang sangat bervariasi selama masa

pertumbuhannya.

Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai

4 minggu. Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek

mempengaruhi proses replikasi virus.

Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m2,

diberikan secara intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti

peroral selama 1-2 bulan dengan dosis satu sampai satu setengah

kali dosis intravena.

Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya

segera membaik dengan pengurangan dosis, atau penghentian

pemberian obat. Dengan pemberian obat ini penderita PCP 73%

dapat bertahan sampai 44 minggu.

30
Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :

- Adanya peningkatan berat badan

- Pengecilan hepar dan lien

- Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)

- Peningkatan T4

- Perbaikan klinis / radiologis

- Peningkatan jumlah trombosit

2. Terhadap Infeksi Sekunder

a. Infeksi Protozoa

Yang terpenting terhadap : Pneumocystis carinii, Toxoplasma dan

Cryptosporidium.

1) Terhadap Pneumocystis Carinii, penyebab pneumonia

(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP) dapat diberikan:

- Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr,

selama 2 minggu, dosis tunggal. Efek samping berupa :

nausea, diare, hipotensi, hipoglikemia dan gangguan

fungsi ginjal

- Cotrimoxazole (IV/oral), 20

mg/kg/hr, dibagi dalam 4 dosis. Hati-hati bagi bayi kurang

dari 3 bulan. Pada infeksi yang berat dapat diberikan

kortikosteroid.

2) Terhadap Toxoplasma

31
Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral/space

occupying lesions, dapat diberikan:

- Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari

- Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari

3) Terhadap Cryptosporidium

Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine,

yang penting pengobatan suportif dan simtomatik terutama

rehidrasi.

b. Infeksi Jamur

Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya

memberikan respon yang baik dengan nystatin topikal amfoterisin

B. 0,3 – 0,5 mg/kg/hari, ketoconazole 5 mg/kg/hr.

c. Infeksi Virus

Virus herpes, cytomegalovirus (CMV), papovavirus (penyebab

progressive multifocal leucoencephalopaty / PML)

- Acyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV)

dibagi dalam 3 dosis diberikan selama 7 hari.

- Gancyclovir 7,5 – 15 mg/kg/hr (IV)

dibagi dalam 2 dosis baik untuk CM

Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :

32
- Vaksinasi dengan vaksin influenza A

dan influenza B, setiap tahun.

- Pemberian amantidin untuk

pencegahan infeksi virus influenza A.

- Immunoglobulin Varicella-Zoster

125 u/kg (maksimum 625 u). Diberikan dalam waktu 96 jam

setelah kontak dengan penderita.

- Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg

(maksimum 15 ml) dalam waktu 6 hari setelah kontak dengan

penderita

d. Infeksi Bakteria

Mycobacterium TBC, Mycobacterium avium intra cellulare,

streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi dengan pemberian

antibiotika yang spesifik. Kadang-kadang dipertimbangkan

pemberian immunoglobulin.

9. Mengatasi Status Defisiensi Immun

Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak

banyak memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :

a. Biological

respons modifier, misalnya alpha / gamma interferron, interleukin 2,

thymic hormon, transplantasi sumsum tulang, transplantasi timus.

33
b. Immunomo

dulator misalnya isoprinosine.

10. Mengatasi Neoplasma

Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih

bersifat lokal, diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah lanjut,

hanya radioterapi, dikombinasi dengan kemoterapi / interferron.

11. Pemberian Vaksinasi

Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV,

masih mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik

sampai berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia di

atas 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan menghilang pada umur 4

tahun. Karenanya vaksinasi rutin sesuai dengan “Program Pengembangan

Immunisasi yang ada di Indonesia dapat tetap diberikan, dengan

pertimbangan yang lebih terhadap pemberian vaksin hidup, terutama BCG

dan Polio.

Kelompok Usia :

Kategori Imun
Jumlah CD4 dan Persentase

0 – 11 bulan 1 – 5 tahun 6 – 12 tahun


1) Tidak ada tanda- >1500 >1000 >500

tanda supresi >25% >25% >25%

2) Tanda-tanda 750-1499 500-999 200-499

34
supresi sedang 15-25% 15-25% 15-25%

3) Tanda supresi <750 <500 <200

hebat <15% <15% <15%


Tabel 6 Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4

12. Pencegahan

Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan

resiko infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu

ke 14-34 kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki

limfosit CD4 yang jumlahnya lebih dari 200 sel/mm³tanpa gejala klinis

AIDS. Ibu mendapat terapi zidovudin oral ( 100 mg lima kali sehari )

selama sisa masa kehamilan.

Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2

mg/kg diberikan selama 1 jam dan disertai dengan infus sebanyak 1

mg/kg/jam hingga bersalin.

Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup

zidovudin dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir.

Hal ini mengakibatkan penurunan resiko relatif sebesar 67,5% .

C. Family Center Care Pada ODHA

1. Konsep dari Family Centered Care pada ODHA

35
a. Martabat dan kehormatan.

Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati pandangan dan

pilihan pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang budaya

pasien dan keluarga, bergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan

pada ODHA.

b. Berbagi informasi. Praktisi

keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang berguna

bagi pasien dan keluarga dengan benar dan tidak memihak kepada pasien

dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu,

lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan

pengambilan keputusan pada ODHA.

c. Partisipasi. Pasien pada

ODHA dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam perawatan dan

pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka

buat.

d. Kolaborasi. Pasien pada

ODHA dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi.

Perawat berkolaborasi dengan pasien pada ODHA dan keluarga dalam

pengambilan kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan

evaluasi, desain

2. Penyebab dilakukan Family-Centered Care pada ODHA

36
a. Membangun sistem

kolaborasi daripada kontrol atau penyembuhan pada ODHA (orang

dengan HIV AIDS).

b. Berfokus pada kekuatan dan

sumber keluarga daripada kelemahan keluarga.

c. Mengakui keahlian keluarga

dalam merawat ODHA ( orang dengan HIV AIDS) seperti

sebagaimana professional

d. Membangun pemberdayaan

daripada ketergantungan

e. Meningkatkan lebih banyak

sharing informasi dengan pasien ODHA (orang dengan HIV AIDS) ,

keluarga dan pemberi pelayanan daripada informasi hanya diketahui

oleh professional.

f. Menciptakan program yang

fleksibel dan tidak kaku.

3. Elemen Family-Centered Care pada ODHA

Sembilan element Family-Centered Care pada ODHA( orang dengan HIV

AIDS) yaitu :

a. Keluarga dipandang sebagai unsur yang konstan sementara kehadiran

profesi kesehatan fluktuatif

37
b. Memfasilitasi kolaborasi keluarga professional pada semua level

perawatan kesehatan.

c. Meningkatkan kekuatan keluarga, dan mempertimbangkan metode-

metode alternative dalam koping.

d. Memperjelas hal-hal yang kurang jelas dan informasi lebih komplit

oleh keluarga tentang perawatan pada ODHA ( orang dengan HIV

AIDS) yang tepat.

e. Menimbulkan kelompok support antara orang tua dengan ODHA

( orang dengan HIV AIDS).

f. Mengerti dan memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan dalam

memenuhi kebutuhan pelayanan pada ODHA (orang dengan HIV

AIDS)

g. Melaksanakan kebijakan dan program yang tepat, komprehensif

meliputi dukungan emosional dan finansial dalam memenuhi

kebutuhan kesehatan keluarganya.

h. Menunjukkan desain transportasi perawatan kesehatan fleksibel,

accessible, dan responsive ODHA ( orang dengan HIV AIDS)

terhadap kebutuhan pasien.

i. Implementasi kebijakan dan program yang tepat komprehensif

meliputi dukungan emosional dengan staff.

38
D. Prinsip Hidup Dengan ODHA

Individu yang positif terkena HIV/AIDS akan mengalami perubahan

dalam menjalani kehidupan. WHO mengatakan ketika individu pertama kali

dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan dalam

karakter psikososialnya seperti hidup dalam stres, depresi, merasa kurang adanya

dukungan sosial, dan perubahan dalam perilaku (dalam Nasronudin, 2007). Stres

juga dapat memperburuk keadaan dari individu, seperti yang dijelaskan Sodroski

et al (dalam Ogden, 2007) bahwa stres dapat meningkatkan proses replikasi virus

HIV. Untuk menghindari hal tersebut individu harus mampu mereduksi tingkat

stresnya dengan melakukan penyesuaian diri sehingga virus-virus tersebut tidak

mereplikasi terus menerus. Perubahan kondisi fisik dan psikis penderita

HIV/AIDS memberikan dampak negatif terhadap perkembangan psikologisnya

seperti rasa malu dan hilangnya kepercayaan dan harga diri. Perubahan tersebut

dapat menyebabkan stres fisik, psikologis dan sosial. Perubahan emosi yang

dialami penderita tersebut akan menimbulkan penolakan (denial) terhadap

diagnosis, kemarahan (anger), penawaran (bergaining), dan depresi (depression),

yang kemudian pada akhirnya pasien harus menerima kenyataan (acceptance).

Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk

memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap

atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan

diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan

39
pemenuhan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya

sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi

pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012).

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah kerangka legal

yang melindungi individu-individu atau kelompok-kelompok dari tindakan-

tindakan (atau kurangnya tindakan tertentu) yang mempengaruhi kemerdekaan

dan martabat kemanusiaannya.

1) Prinsip-prinsip HAM :

a. Tidak dapat dipisah-pisahkan dan saling tergantung antar satu hak dengan

hak yang lainnya. Kita tidak dapat hanya menerima satu atau beberapa

bagian dari hak tersebut saja, kita harus mengakui dan memenuhi hak-

hak yang lainnya.

b. HAM universal berlaku bagi semua manusia, tanpa diskriminasi,

mengesampingkan gender, status HIV, ras, agama, seksualitas, umur,

kemampuan, dan kelas

c. Pertanggungjawaban, negara dan masyarakat semuanya bertanggung

jawab untuk menghormati HAM. Kita memiliki tanggung jawab dalam

menghormati HAM sesama masyarakat sementara negara memiliki

kewajiban untuk memastikan bahwa semua hak warga negaranya telah

terpenuhi.

d. Partisipasi, untuk memenuhi hak, kita perlu untuk mengetahui tanggung

jawab dan peran yang harus kita mainkan untuk memenuhinya.

40
e. Diakui secara internasional dan dilindungi secara hukum, terdapat badan-

badan dunia dan nasional yang memang bertugas untuk mengawasi

apakah telah terjadi pelanggaran HAM dalam sebuah negara atau

konteks-konteks tertentu.

f. Melampaui kedaulatan negara, tak ada satu negara pun yang boleh

menolak untuk bekerja sama dalam penguatan warga negara memenuhi

HAM-nya. Negara yang melakukannya berisiko untuk menghadapi

sanksi internasional.

2) Sementara itu Hak Azasi Manusia Dalam Konteks HIV adalah :

a. Sebelum mengetahui terinfeksi atau tidak

- Informasi dan keterampilan untuk

melindungi diri dari penularan

- Konseling sebelum menjalani tes

HIV

- Memberikan persetujuan atau tidak

sebelum menjalani tes HIV dan hasilnya dirahasiakan

b. Hidup dengan HIV / AIDS

Hak untuk tidak dibedakan, serta persamaan di hadapan hukum.

Hukum HAM internasional menjamin perlindungan yang sama di

hadapan hukum dari diskriminasi atas dasar apapun, seperti ras,

warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat, asal-usul, dan

status yang lainnya termasuk status HIV.

41
c. Hak untuk hidup

d. Hak untuk mendapatkan standar kesehatan fisik dan mental tertinggi

yang bisa dicapai

e. Hak atas privasi

f. Hak untuk bekerja

g. Hak untuk bergerak atau berpindah tempat

h. Hak untuk menikah dan membangun keluarga

i. Hak untuk mengakses pendidikan

j. Hak untuk berkumpul

k. Hak untuk mengikuti program asuransi

l. Saat dan setelah meninggal

m. Hak untuk jenazahnya diperlakukan dengan bermartabat

n. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan penguburan yang layak

o. Hak untuk tidak dibocorkan identitasnya

p. Hak bagi keluarganya untuk tidak diganggu

q. Hak untuk mendapatkan santunan dan pensiun yang menjadi haknya

Berdasarkan uraian diatas mengenai masalah sosial yang dihadapi oleh

ODHA maka solusi dan pemecahannya adalah sebagai berikut :

a. Mengubah Persepsi Masyarakat

Seseorang yang terinfeksi HIV / AIDS bukan berarti hak hidupnya secara

layak dicabut. Secara asasi, mereka seperti halnya masyarakat pada umumnya

42
yang masih mempunyai hak dan kewajiban. Tidak ada klausul apapun yang

menyatakan bahwa sebuah virus dapat mencabut hak seseorang. Dalam

konteks itu maka, sikap-sikap diskriminatif dan mendiskreditkan kedudukan

mereka dalam masyarakat yang mengarah pada pengucilan hak asasi manusia

dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Begitu halnya

persoalan yang terjadi dengan ODHA. Berangkat dari sejumlah kasus yang

dialami oleh ODHA diatas, sangat jelas menunjukkan masalah sosial yang

ditimbulkan, lebih banyak dari pada masalah medisnya. Persoalan sosial inilah

yang justru menjadi persoalan utama bagi ODHA karena persoalan sosial ini

menyangkut interaksinya dengan lingkungan sosial dimana mereka harus

menjalani kehidupan mereka seperti sewajarnya.

Dalam kepentingan ini memang harus ada perubahan persepsi

masyarakat terhadap ODHA. Perubahan persepsi ini menjadi kunci utama

dalam mendukung kebutuhan-kebutuhan ODHA lainnya seperti perlindungan

hukum, peningkatan keterampilan, penanganan masalah kesehatan reproduksi,

meningkatkan ekonomi ODHA dan sebagainya. Masyarakat dapat membantu

menghilangkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi. Masyarakat dapat

menggerakkan diri untuk memperlihatkan dukungannya, seperti dengan

Malam Renungan AIDS, yang membantu upaya advokasi dan peningkatan

kepedulian terhadap orang dengan HIV. Masyarakat dapat melaksanakan

program perawatan tanpa menunggu bantuan dari luar, sehingga mengurangi

beban keluarga yang hidup dengan AIDS. Komunitas dapat memobilisasi

43
sumber daya mereka, sehingga lebih banyak kegiatan yang dapat dilaksanakan

tanpa harus bergantung pada hibah dari donor.

b. Melibatkan ODHA dalam penanggulangan HIV/AIDS

Upaya pencegahan penularan HIV tidak dapat perawatan yang baik.

Walaupun memakan waktu cukup lama, mata masyarakat mulai terbuka

mengenai hal ini. Kini disadari bahwa ODHA sesungguhnya mempunyai

peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan penularan.

Dukungan dan perawatan sangat erat kaitannya dengan pencegahan.

Melihat pengalaman di beberapa tempat / negara, meningkatkan dukungan

dan perawatan terbukti sangat menunjang keberhasilan upaya pencegahan

mereka. Dengan memberikan perhatian yang cukup pada dukungan dan

perawatan, ketakutan yang berlebihan dapat dikikis, dalam masyarakatnya

(baik yang terinfeksi maupun tidak) rasa aman dan nyaman timbul, dan

dengan demikian HIV / AIDS mulai mendapat perhatian serius sebagaimana

mestinya dari semua orang. Menghubungkan pencegahan dengan dukungan

dan perawatan adalah salah satu hal yang paling masuk akal yang pernah

tercetus dalam upaya penanggulangan HIV / AIDS.

ODHA menjadi bagian penting dalam upaya penanggulangan HIV /

AIDS karena mereka adalah orang-orang yang hidupnya tersentuh dan

terpengaruh secara langsung oleh virus ini. Mereka adalah sumber pengertian

yang paling tepat dan paling dalam mengenai HIV / AIDS. Pengertian ini

44
penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh mereka yang pekerjaannya

berhubungan dengan HIV / AIDS. (Murni, 2006)

c. Dukungan dan Pelayanan untuk Orang HIV+

Orang yang terinfeksi HIV+ / orang dengan HIV / AIDS / ODHA)

juga berhak atas kehidupan yang sehat. Tidak seorangpun yang

mengharapkan untuk menjadi sakit atau terinfeksi sesuatu yang belum ada

obatnya. Jika ada orang yang terkena juga penyakit ini, maka ini adalah bukti

bahwa upaya pencegahan yang dilaksanakan belum mencapai semua orang

atau belum tepat caranya. Oleh karena itu, upaya pencegahan HIV+ tidak bisa

berhenti pada pencegahan saja. Tetapi harus bahu membahu dengan upaya

memberikan dukungan dan layanan bagi yang sudah terinfeksi. Bahkan sudah

juga harus dipikirkan apa yang akan dilakukan jika dukungan dan layanan ini

tidak diberikan dengan semestinya, misalnya dengan melanggar kode etik,

secara diskriminatif, atau jika tidak diberikan sama sekali.

Apalagi jika kita lihat jauh, salah satu konsekuensi dari kampanye

pencegahan HIV / AIDS yang gencar mungkin banyak orang akan merasa

perlu untuk memeriksakan dirinya secara sukarela. Belum lagi mereka yang

diketahui statusnya karena sudah ada gejala klinis yang khas AIDS, atau

surveillance yang identitasnya bocor sampai ke orang yang bersangkutan.

Jadi jelas perlu ada program-program dukungan dan pelayanan bagi orang-

45
orang yang sudah di tes, baik yang hasilnya positif ataupun negatif. (Murni,

2006)

d. Dukungan Pertama Mulai dari Saat Menjalani Tes

Dukungan dan Pelayanan untuk orang HIV+ (orang dengan HIV /

AIDS atau ODHA) sebenarnya sudah dimulai sejak orang tersebut

mengetahui status HIVnya. Bentuknya sudah dijelaskan dalam prinsip-

prinsip tes HIV yang tercantum dalam Strategi Nasional Penanggulangan

AIDS. Disana disebutkan mengenai informed consent (dengan pengetahuan

dan kesadaran) orang yang bersangkutan, konseling yang harus diberikan

sebelum dan sesudah tes, serta kerahasiaan yang harus dijunjung tinggi.

Semua itu sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental orang itu

selanjutnya.

Ketiga prinsip ini sayangnya masih sering dilanggar di lapangan.

Masih ada orang yang di tes tanpa sepengetahuan dan seijinnya. Apakah

rasanya diberitahu bahwa kita terkena HIV (bahkan sering disebut “kena

AIDS” secara tidak tepat)? Juga penyediaan konseling pre dan pasca tidak

secara disiplin dijalankan. Konseling pre tes mempersiapkan orang yang akan

menjalani tes. Sedangkan konseling pasca tes adalah sangat vital, karena itu

adalah informasi dan pemahaman pertama yang dibawa pulang oleh seseorang

setelah ia mendapatkan diagnosanya. Pulang membawa hasil diagnosa sebuah

46
penyakit berat tanpa pemahaman yang cukup bisa berakibat buruk, mulai dari

depresi sampai yang fatal seperti berusaha bunuh diri. Begitu pula dengan

bocornya rahasia, yang dampaknya bisa mengganggu hubungan sosial sampai

terjadinya diskriminasi yang tidak perlu terjadi.

Dampak dari pelanggaran semua ini sifatnya bisa umum atau malah

sangat pribadi, termasuk pengaruh ke kesehatan fisik, kesehatan mental,

keuangan (misalnya menghabiskan seluruh dana untuk pengobatan

antiretroviral tanpa informasi yang cukup), hubungan keluarga, hubungan

seksual, perkawinan, anak, keamanan, kelangsungan hidup (tidak mengerti

Masa Tanpa Gejala dan produktifitasnya sendiri), sampai masalah pada saat

kematian (pemusnahan pakaian, sprei, penggunaan plastik berlebihan, dll ).

Termasuk disini adalah dampaknya bagi upaya pencegahan penularan. Orang

HIV+ yang berdaya, mendapatkan konseling, akan dapat menjaga orang lain

(pasangan seks, tenaga kesehatan, pemakai jarum suntik/tindik/tatto, dan

bayinya) dari penularan sebaik ia menjaga dirinya sendiri.

e. Perlakuan yang Etis dan Tidak Diskriminatif

Hubungan orang HIV+ yang pertama dan seringkali satu-satunya

adalah dengan tenaga kesehatan yang memeriksanya. Kemudian beberapa kali

di dalam hidupnya ia akan berhubungan lagi dengan tenaga-tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan pun menjadi role model bagi masyarakat dan penyedia

layanan yang lain tentang bagaimana bersikap terhadap orang HIV+ karena

47
dianggap lebih tahu. Kurangnya informasi dan pemahaman dari pihak tenaga

kesehatan memberi ruang untuk terjadinya ketakutan yang berlebihan dan

diskriminasi, mulai dari disepelekannya kerahasiaan sampai menolak untuk

merawat. Hal ini mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, Perlu ada

peningkatan di pihak tenaga kesehatan tentang praktek etika perawatan. Dari

pihak pasien pun perlu ada pemberdayaan, agar pasien paham akan adanya

etika ini. Dengan demikian dapat mengambil peran lebih aktif dalam proses

perawatan dirinya tanpa ketergantungan yang terlalu besar.

f. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Oportunistik

Pada orang HIV+ dimana daya tahan tubuh untuk melawan penyakit

rendah. Sehingga ada penyakit-penyakit yang mengambil kesempatan dalam

kesempitan, yang disebut penyakit oportunistik. Pada orang yang sudah

masuk tahap AIDS, penyakit inilah yang menyebabkan kematian.

5. Kelompok Dukungan Sebaya

Kelompok dukungan sebaya sebenarnya salah satu dari terapi non-medis.

Berbagi masalah dan berpikir serta mencari jalan keluar bersama sudah kita

kenal sejak lama, dan dapat membuat orang tertolong secara emosional dan

secara praktis. Kelompok dukungan sering disebut support group, self-help

group, peer support group, atau PWA group. Semua ini artinya sama, yaitu

kelompok dukungan yang dikelola oleh dan untuk orang-orang HIV+. Ada

kelompok yang khusus bagi orang HIV+ saja, ada pula yang melibatkan

orang-orang dekat seperti keluarga, teman, ataupun juga melibatkan relawan.

48
Yang agak khusus dengan HIV / AIDS, stigma dan diskriminasi yang

menyertai ODHA menjadi faktor penting di belakang bermunculannya

kelompok dukungan. Bagi banyak orang HIV+ di banyak tempat di dunia :

1) Kelompok dukungan adalah tempat satu-satunya dimana mereka merasa

nyaman, bisa keluar dari isolasi, terjaga kerahasiaannya, aman, dan

terdukung. Terutama di negara berkembang, dimana pelayanan untuk

orang HIV+ masih lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, kelompok

dukungan memiliki peran besar dalam upaya penanggulangan HIV / AIDS

secara keseluruhan.

2) Kelompok dukungan menjadi badan dimana dukungan diberikan dan

perawatan disediakan.

3) Kelompok dukungan menjadi tempat dimana pendidikan dan

penyebarluasan informasi mengenai HIV / AIDS terjadi.

4) Kelompok dukungan menutupi kurangnya layanan konseling yang

mestinya ada menyertai semua tes HIV tetapi sering tidak dilaksanakan.

5) Kelompok-kelompok dukungan ini ada yang berkembang menjadi bahan

advokasi yang menyuarakan keprihatinan tentang hidup dengan HIV /

AIDS, berusaha mempengaruhi pembuatan kebijakan, dan berperan dalam

proses pengambilan keputusan.

Tak ada rumus khusus untuk membentuk kelompok dukungan, namun ada

satu prinsip yang sudah dibuktikan berkali-kali. Cara yang sudah terbukti

49
dapat menjawab kebutuhan orang-orang HIV+ di dalam kelompok itu dan

memastikan efektifitas keberadaan kelompok ini adalah mendesain program

dan struktur kelompok yang berpusat pada klien, yaitu orang-orang HIV+

yang menjadi anggotanya. Rancang program, kegiatan, dan bentuknya dengan

memperhitungkan kapasitas dan keterbatasan serta realita kelompok itu

sendiri.

Terakhir, ada dua area yang menuntut perhatian seorang HIV+

sekaligus menolong diri sendiri dan menjadikan diri aktifis untuk mengangkat

keprihatinan orang HIV+ lainnya.

50
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), pola

penularan HIV pada pasangan seksual berubah pada saat ditemukan kasus

seorang ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi HIV. Bayi yang

dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal dari penambahan

pola penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya.

Pertumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi pada individu,yaitu

secara bertahap,berat dan tinggi anak semakin bertambah dan secara simultan

mengalami peningkatan untuk berfungsi baik secara kognitif, psikososial maupun

spiritual.

Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi

jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For

Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan

berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata

(didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak

bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang

terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini.

51
B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang prinsip

perawatan anak dengan HIV/AIDS. Sehingga dapat dijadikan referensi bagi

mahasiswa dan update ilmu pengetahuan.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Penatalaksanaan perawatan yang efektif dan efisien pada pasien bayi atau anak

Dengan prinsip-prinsip yang benar untuk anak dan bayi dengan HIV/AIDS.

3. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui prinsip perawatan pada bayi atau

anak dengan HIV/AIDS. Sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik

keperawatan di kemudian hari.

52
DAFTAR PUSTAKA
Arriza, Beta Kurnia., dkk. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip.

Bararah dan Jauhar.M, 2103. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Bulechek,Gloria M, Dkk (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). United


kingdom: ELSEVIER

Desima,Dkk. (2013). Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit


Umum HKBP Balige Tahun 2008-2012.
http://download.portalgaruda.org/article.
Behrman, dkk (1999) Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC
Betz, Cecily L (2002) Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E (2001) Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2.
Jakarta : EGC
Rampengan & Laurentz (1997) Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins, dkk (1998) Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR (2000), Instalasi Rawat Inap Anak, Surabaya.
Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Wartono, JH (1999) AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga
Pengembangan Informasi Indonesia

53

Anda mungkin juga menyukai