Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Klinis Pada Pasien Dengan Benjolan di Leher Bagian Depan

Harry Sondrio Wibowo 102015109, Bryan Reyes Stephen 102016026, Donna Patandianan
102016225, Angela Christine Virginia 102014080, Feby Christifani Tonapa 102016054,
Regina Pongtuluran 102016104, Denara Natalia Djou 102016140, Aprilia Rahmawati
102016201, Nur Umira Binti Mohd Yatim 102016263
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6, Jakarta Barat, 11470

Pendahuluan

Penyakit Graves adalah penyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan jumlah


yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang dikenal
sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit.
Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi
pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri dari
satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus),
dermopathy (pretibial myxedema).1

Penyakit Graves adalah nama dari Robert J. Graves untuk dokter yang pertama kali
menggambarkannya di Irlandia. Dia yang pertama mengidentifikasi gejala-gejala goiter,
palpitasi dan exopthalmus pada tahun 1835. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit
Basedow yang dinamai oleh Adolph Jerman Karl van Basedow, pada tahun 1840. Dia tidak
tahu bahwa Graves telah menggambarkan penyakit yang sama beberapa tahun sebelumnya.
Istilah penyakit Basedow ini lebih sering digunakan di benua Eropa, jika di Amerika, ini
disebut penyakit Graves.1

Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada
penderita Graves’ hipertiroidisme yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada
sel tiroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Ada yang mengatakan
bahwa penyakit ini disebabkan oleh multifactor antara genetik, endogen dan factor
lingkungan.1

Anamnesis

Hal pertama-tama yang harus kita lakukan ketika seorang pasien datang kepada kita adalah
melakukan anamnesis, didalam anamnesis berisikan pertanyaan-pertanyaan penting terkait
kasus, pemeriksaan fisik, penunjang, working diagnosis kita serta different diagnosis kita.

1
 Identitas pasien
Nama, alamat, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
status social ekonomi keluarga. Keadaan social ekonomi. Termasuk anamnesis
mengenai factor resiko dan mengenai adanya gangguang aktivitas.
 Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang merupakan tujuan utama pasien datang mencari
seorang dokter. Dalam kasus yang akan saya bahas berisikan
seorang wanita 55 tahun datang ke klinik dengan keluhan terdapat benjolan dileher
bagian depan. Benjolan mulai dirasakan 3 tahun lalu dan semakin hari semakin
membesar.
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasa kesulitan menelan, kadang merasa berdebar penglihatan ganda dan
mudah berkeringat. Di terangkan lagi bahwa pasien merasa berat badannya semakin
lama menurun.
 Riwayat penyakit dahulu : -
 Riwayat penyakit keluarga : -
 Riwayat makanan : -
 Riwayat pribadi : -
 Riwayat pengobatan : -

Pemeriksaan fisik

1. Kesadaran : compos mentis


2. Keadaan umum : tampak sakit sedang
3. Tanda-tanda vital : Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 82x/menit
Nafas 26x/menit
Suhu 36,8˚C
4. Mata
a. Exopthalmus : (+)
b. Von Stelwag Sign
c. Joffroy Sign
d. Rossenbach Sign
e. Moebius Sign

2
f. Von Grave Sign

Pemeriksaan fisik tiroid

 Inspeksi
Posisi pasien agak kebelakang dan perhatikan pergerakan tiroid ketika menelan,
simetris atau tidak ?
 Palpasi
Lakukan palpasi di sekitar daerah tiroid, raba dan perhatikan apakah ada perbesaran
atau tidak. Perhatikan bentuk dan konsistensi dari kelenjar tiroid itu sendiri.
 Auskultasi
Pada kelenjar tiroid yang membesar, dapat terdengar bruit yang sinkron dengan
murmur sistolik, diastolik ataupun continuous murmur. Bruit terdengar pada
hipertiroid.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan kadar serum dalam darah

Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah FT4 dan
TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs, maka diagnosis hipertiroid
dapat ditegakkan.

Apabila FT4 dan TShs keduanya meningkat, maka dicurigai adatanya tumor pituitary yang
memproduksi TSH.2

Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah, maka FT3 harus diperiksa juga, diagnosis
Graves disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat ditegakkan apabila FT3
meningkat. Apabila FT3 rendah pada euthyroid sick syndrome atau pada penderita yang
mendapatkan terapi dopamine atau kortikosteroid.2

Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus harus
dilakukan radioiodine uptake. Bila didapatkan peningkatan uptake, maka diagnosis Graves
disease dan toxic nodulas goiter dapat ditegakkan. Radioiodine uptake yang rendah
didapatkan pada hipertiroidisme yang baik, tiroiditis Hashimoto fase akut, pengobatan
dengan levotyroxin, dan jarang pada struma ovarii.2

3
Dan juga dapat dilakukan tes immunoglobulin thyroid-stimulating, karena antibody tiroid
harus diukur (hampir semua pasien dengan hipertiroidisme Graves memiliki terdeteksi
TSHR-AB atau Tes Antibodi TSH). Pengukuran thyroid stimulating immunoglobulin (TSI)
adalah yang paling akurat ukuran antibody tiroid. Mereka yang menjadi positif dalam 60-
90% anak dengan penyakit Graves. Jika TSI tidak tinggi, maka penyerapan yodium radioaktif
harus dilakukan; hasil tinggi dengan pola menyebar khas dari penyakit Graves.2

Hasil tes fungsi hati harus diperoleh untuk memantau toksisitas hati yang disebabkan oleh
thioamides (obat antitiroid).

Penyakit Graves dapat berhubungan dengan anemia normositik, rendah-normal untuk sedikit
tertekan jumlah WBC (white blood cell) total dengan limfositosis relative dan monocytosis,
rendah normal untuk jumlah trombosit sedikit tertekan. Thionamides jarang dapat
menyebabkan efek samping hematologi yang parah, tapi rutin skrining untuk peristiwa langka
tidak hemat biaya.2

Investigasi ginekomastia yang terkait dengan penyakit Graves dapat mengungkapkan seks
meningkat pengikat hormone tingkat globulin dan penurunan tingkat testosterone bebas.2

Penyakit Graves dapat memperburuk control diabetes dan dapat tercermin oleh peningkatan
hemoglobin A1C pada pasien diabetes. Sebuah progil lipid puasa mungkin menunjukkan
penurunan kadarkolesterol total dan penurunan tingkat trigliserida.2

Indeks Wayne

Indeks Wayne merupakan table yang sengaja di buat untuk mengerahui bahwa pasien
mengalami hipertiroid, tentunya pada pemeriksaan penunjang untuk kasus ini tidak
bergantung kepada pemeriksaan ini saja melainkan tetap membutuhkan pemeriksaan
penunjang dari berbagai alat.3

4
Gambar 1 : indeks wayne3

USG

Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan apakah massa yang ada merupakan massa
yang solid atau kistik, namun tidak dapat membedakan massa jinak atau ganas. Pemeriksaan
ini juga dilakukan untuk guiding saat biopsy.3

Thyroid needle biopsy

Tes ini untuk dilakukan untuk membedakan apakah nodul tersebut merupakan cold nodule
(tumor jinak) atau hot nodule (bukan tumor).

Working diagnosis

Penyakit graves timbul pada usia 20-30 tahun dan lebih sering timbul pada perempuan
daripada laki-laki. Pada graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Dan keduanya berkemungkinan tidak tampak.

Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid dan hipermetabolisme akibat
sekresi hormone tiroid yang berlebihan. Gejala hipermetabolisme tersebut merupakan gejala
aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien akan mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringatan semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, kelemahan otot dan atrofi otot.4

Manifestasi ekstratiroidal adalah oftalmopati dan infiltrasi kulit local yang biasanya terbatas
pada tungkai bawah.

Penyakit graves timbul dari mekanisme autoimun. Dalam serum pasien ini ditemukan
antibody IgG. Antibody IgG ini berinteraksi dengan thyroglobulin, thyroid peroxidase,
sodium iodide symporter dan reseptor TSH. Efek hipertiroid yang ditimbulkan disebabkan
terutama oleh karena interaksi antibody dengan reseptor TSH. Sebagai akibat interaksi ini
antibody tersebut dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH.
Immunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI) mungkin disebabkan suatu kelainan
imunitas yang bersifat herediter yang memungkinkan kelompokan limfosit tertentu dapat
bertahan, berkembangbiak dan mensekresi immunoglobulin stimulator sebagai respon
terhadap beberapa factor perangsang. Respon imun yang sama ini juga berperan untuk
oftalmopati yang ditemukan pada pasien-pasien tersebut. Penyakit graves dikaitkan dengan

5
anemia pernisiosa, vitiligo, DM tipe 1, insufisiensi adrenal autoimun, scleroderma,
myasthenia gravis, sindrom Sjögren, rheumatoid arthritis, dan SLE.

Differential diagnosis

Subakut Tiroiditis

Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas infeksi
bacterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab nya antara lain staphylococcus
aureus, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung
dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang terjadi dapat disertai abses atau tanpa
abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan
takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid
membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meningkat.4

Toxic Multinodular Goiter

Gejala klinis pada penyakit ini adalah pasien dengan toxic multinodular goiter biasanya
merupakan orang lansia dan mempunya beberapa gelaja otot seperti otot melemah, berat
badan turun dan di sertai dengan aritmia.

Temuan pada pemeriksaan laboratorium nya adalah serum TSH terjadi penekanan, FT4
sedikit meningkat, dan FT3 sangat meningkat. Pada penyakit ini tidak ditemukan
autoantibodi terhadap tiroid dan gejala opththalmopathy.4

Epidemiologi

Penyakit Graves adalah penyebab paling utama dari hipertiroid (60-90% dari semua kasus),
kurang lebih dari 15% penderita mempunyai predisposisi genetic, dengan kurang dari 50%
dari penderita mempunyai autoantibodi tiroid dalam sirkulasi darah. Angka kejadian pada
wanita sebanyak 5x lipat daripada laki-laki dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun
(perempuan : laki-laki dari kejadian 5:1 – 10:1). Graves juga merupakan penyebab paling
umum dari hipertiroid berat, serta yang disertai dengan tanda-tanda lebih dan gejala klinis
dan kelainan laboratorium dibandingkan dengan bentuk ringan dari hipertiroidisme. 30-50%
orang dengan penyakit Graves juga akan menderita ophthalmopathy Graves (tonjolan dari
salah satu atau kedua mata), yang disebabkan oleh paradangan pada otot mata yang
menyerang autoantibody.5

6
Etiologi dan Faktor predisposisi

Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibody
yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul
secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh
autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga
merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan
gondok membesar difus). Keadaan yang dihasilkan dari hipertiroidisme bisa menyebabkan
konstelasi dramatis tanda neuropsikologis fisik dan gejala.

Saat ini diidentifikasi adanya antibody IgG sebagai thyroid stimulating antibodies pada
penderita Graves’ hipertiroidisme yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada
sel tiroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormone tiroid.

Terdapat beberapa faktor predisposisi :

1. Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15x lebih besar dibandingkan populasi umum untuk terkena
Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3) ekspresinya
mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama kelas II
yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor
limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang
aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau factor
supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang rendah pada
penyakit autoimun kadang tidak dapat membedakan mana T helper mana yang disupresi
sehingga T helper yang membentuk antibody yang melawan sel induk akan eksis dan
meningkatkan proses autoimun.5

2. Wanita

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen. Hal
ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen pada
reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH

3. Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya
penyakit autoantibodi tiroid.

7
4. Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
5. Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.
6. Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocoliticayang mempunyai protein
antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid
diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves’ terutama pada penderita yang
mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau
perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid karena mutasi
atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi penyebab
timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini.5
7. Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.
8. Pada sindroma defisiensi imun (HIV), penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly
active antiretroviral theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan
meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.
9. Multipel sklerosis yang mendapat terapi Campath-1H monoclonal antibodi secara
langsung, mempengaruhi sel T yang sering disertai kejadian hipertiroid.
10. Terapi dengan interferon α

Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis
antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor
TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai
korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas
merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan
dermopati pada penyakit Graves.

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin
(Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula
suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel
orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan
kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.

8
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang
oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada
limfosit T.

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin
atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk
dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans.

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti


takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama
epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot
jantung.6

Gambar 2: pathogenesis penyakit graves’

9
Gejala klinis

Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous, mudah capek,
hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap udara panas dan lebih suka
udara dingin.7

Pada penderita di atas 60 tahun yang menonjol adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati
dengan keluhan utama adalah palpitasi, sesak waktu melakukan aktivitas, tremor, nervous,
dan penurunan berat badan.

Gejala lain didapatkan juga penurunan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu makan,
kelenjar tiroid membesar, didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exopthalmus) dan
umumnya terjadi takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama pada
kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi tanpa bantuan.

Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah sebagai akibat
dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema). Keadaan ini sangat jarang, hanya
terjadi pada 2-3 % penderita.

Penatalaksanaan

Walaupun yang mendasari penyakit Graves ini adalah suatu proses autoimun, namun ada
beberapa penatalaksanaan ditujukan untuk mengendalikan hipertiroidnya, yaitu :

Obat anti tiroid

 PTU (Propyl thiouracyl) pada umumnya dosis awal adalah 100-150 mg setiap 6 jam,
setelah 4-8 minggu dosis diturunkan menjadi 50-200 mg sekali atau dua kali dalam
sehari. Keuntungan PTU dibandingkan dengan methimazole adalah bahwa PTU dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga lebih efektif dalam menurunkan
hormone tiroid secara cepat.
 Methimazole mempunyai duration of action yang lebih panjang sehingga lebih
banyak digunakan sebagai single dose. Dosis awal dimulai dengan 40 mg setiap pagi
selama 1-2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5-20 mg setiap pagi
sebagai dosis rumatan. Terapi diberikan sampai mengalami remisi spontan, pada
sekitar 20-40% mengalami perbaikan dalam 6 bulan sampai 15 tahun. Observasi
diperlukan dalam jangka panjang oleh karena angka kekambuhan sangat tinggi yaitu
sekitar 50% - 60% penderita.9

10
Terapi pembedahan

Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan goiter multinoduler
maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan. Operasi baru bisa dikerjakan setelah euthyroid
dan dua minggu sebelum operasi penderita diberikan solutio lugol dengan dosis 5 tetes dua
kali sehari. Pemberian solutio lugol bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar
sehingga akan mempermudah jalannya operasi. Pada sebagian penderita Graves’ disease
membutuhkan suplemen hormone tiroid setelah dilakukan tiroidektomi. Komplikasi
pembedahan adalah hipoparatiroidisme dan terjadi kerusakan pada nervus recurrent
laryngeal.9

Indikasi operasi adalah :

1. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan Obat Anti
Tiroid.
2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan Obat Anti Tiroid dosis   tinggi.
3. Alergi terhadap Obat Anti Tiroid, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.
4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

Terapi Radioaktif Iodine

Setelah menggunakan iodine radioaktif, kelenjar akan mengecil dan menjadi eutiroid
setelah 6-12 minggu. Pada orang tua dan mempunyai penyakit dasar jantung, tirotoksikosis
yang berat atau ukuran kelenjar yang besar (>100 gr) harus diterapi dengan methimazole
sampai eutiroid dulu kemudian methimazole di stop selama 5-7 hari.9

Komplikasi

Komplikasi Graves’ disease adalah krisis tiroid (thyroid storm). Krisis tiroid adalah kondisi
hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem
kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang
merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan
atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan,
terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan
keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya
terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang

11
dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma. Gambaran klinisnya ialah distress
berat, sesak napas, takikardia, hiperpireksia, lemah, bingung, delirium,muntah, diare.
Pengobatan terdiri dari suportif dan obat antitiroid-karbimasol 15-20 mg tiap 6 jam atau PTU
150-250 mg tiap 6 jam. Lugol 10 tetes tiap 8 jam. Pengaruh adrenergik diobati dengan
memasukkan hati-hati propanolol 1-2 mg IV. Dosis ini dapat diulang tiap setengah jam
dengan monitor EKG. Kemudian dapat diteruskan dengan Propanolol 40 mg tiap 8 jam.
Pengobatan suportif berupa rehidrasi dengan cairan infuse, kompres dingin, oksigen.10

Prognosis

Pada umumnya penyakit Graves mengalami periode remisi dan eksaserbasi, namun pada
beberapa penderita setelah terapi tetap pada kondisi eutiroid dalam jangka lama, beberapa
penderita dapat berlanjut ke hipotiroid. Follow up jangka panjang diperlukan untuk penderita
dengan penyakit Graves.10

Kesimpulan

Pada skenario, pasien mengalami grave’s disease. Grave’s disease merupakan salah satu
penyakit auto imun yang menyebabkan terjadinya gangguan kelenjar tiroid yang disertai
dengan keadaan hipertiroidisme. Adanya auto-imun menyebabkan kelenjar tiroid yang
menghasilkan hormon tiroid terus menerus. Gejala grave’s disease adalah tanda – tanda
hipertiroidisme disertai optalmopati dan dermopati.

Daftar Pustaka

1. Schteingart DE. Gangguan kelenjar tiroid. Dalam Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit. Price, SA. Wilson LM. Edisi 6. Volume 2. 2006. Jakarta:Penerbit
buku kedokteran EGC. p 1225-1236.
2. Bauer DC. McPhee SJ. Thyroid disease. Dalam Lange pathophysiology of disease.
McPhee SJ. Ganong WF. Edisi 5. 2006. New York:Lange medical book. p 567-588.
3. Hipertiroid. Dalam Kapita selekta kedokteran. Mansjoer A. Triyanti K. Savitri R.
Wardhani WK. Setiowulan W. Edisi 3. Jilid 1. 2000. Jakarta:Media aescapularis. h
594-595.
4. Santoso M. Endokrin metabolic. Dalam Standar pelayanan medis penyakit dalam.
2003. Jakarta: Bidang penerbitan yayasan diabetes Indonesia. h. 29-32.
5. Wartofsky L. Penyakit tiroid. Dalam Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi 13. Volume 5. Editor: Asdie AH. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
6. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265

12
7. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
8. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,
Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
9. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
10. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778

13

Anda mungkin juga menyukai