Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Insindensi gangguan ginjal akut (GGA) atau Acute Kidney Injury (AKI)
semakin meningkat beberapa tahun terakhir, baik di masyarakat secara umum
maupun di dalam unit perawatan rumah sakit. Insidensi kejadian GGA kurang
lebih 2-3 per 1000 orang. Tujuh persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah
sakit mendapatkan GGA, yang biasanya merupakan bagian dari sindorm disfungsi
organ multiple. 1,2,3

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat


diartikansebagai penurunan cepat dan tibatiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal
. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatankonsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. Selain
itu, peningkatan nilai BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal,
seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid,
pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang teliti dan hati-hati
dalam menentukan apakah seseorang mengamalami kerusakan ginjal atau tidak.4

Angka kematian dari GGA berkisar antara 25 sampai dengan 80 persen


tergantung penyebab dan keadaan klinis dari pasien. Dilaporkan, bahwa angka
kematian akibat gagal ginjal akut di Amerika Serikat berkisar antara 20-90%.,
dimana yang terjadi di rumah sakit sebesar 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%.
Maka dari itu, pengenalan dan diagnosis GGA dini serta penanganan yang baik
perlu dilakukan untuk menghindari dan menurunkan angka kejadian dan kematian
akibat GGA.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan


kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50%
(1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam. 6 Kriteria untuk diagnosis
dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute Dialysis Quantitative Initiative
(ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI,
dan untuk pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on
Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003.7

Tabel 2.l Kriteria RIFLE Menurut ADQI 8

Kriteria LFG Kriteria Urine Output


(UO)

Risk Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)

Injury Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)

Failure Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)

atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4
minggu)

2
ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan

*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan


istilah AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu
proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan
sebagai peningkatan kreatinin serum (≥ 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau
penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam).
Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2
dibawah ini.9,10

Tabel 2.2 Kriteria AKI Menurut AKIN9

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah


Urine

1 (RIFLE – R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL < 0,5 ml/kg/jam
atau selama 6 jam

peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2


kali dari keadaan normal

2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 < 0,5 ml/kg/jam


kali dari keadaan normal
selama 12 jam

3 (RIFLE – F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam
normal atau selama 24 jam atau

kreatinin serum > 4 mg/dL dengan anuria selama 12 jam


peningkatan akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria


RIFLE. Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan
3. Pada kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap

3
sebagai prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria
laju filtrasi glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa
kenaikan serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian
4 kali lebih banyak, serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan
fungsi ginjal, terutama jika pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di
ruang intensif.9
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan
kriteria tersebut, yaitu :9
❖ Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
❖ Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
❖ Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
❖ Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
❖ Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan


tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas
sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan
digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka
kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi
yang terjadi di populasi umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit
(hospital based).7
Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan komplikasi
yang terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30% pasien yang
dirawat di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup sekitar 55%,
AKI intrinsik sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup 5% kasus.10

4
Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan angka
kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta
penduduk dan acute on CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk.11 Angka kejadian
AKI yang terjadi di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus dari 1000
pasien yang dirawat.12

2.3 ETIOLOGI

Etiologi AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran


AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat
pada Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI
yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit.
Etiologi AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh
diare, muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada
AKI prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh
sepsis dan gagal jantung.7
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi
intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah renal.
Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit atau
merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit
dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut menjadi tubular
nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis (50%), nefrotoksik
(35%) dan keadaan iskemia (15%).7
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran
kemih yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada
keadaan obstruksi terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan
penurunan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI
post renal lebih sering terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan adanya
pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu saluran kemih. Pada wanita,
obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan yang menimbulkan obstruksi
pada saluran kemih.7

5
Tabel 2.3 Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI13
AKI Pre Renal :

1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
tacrolimus, amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase
inhibitor, ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia
AKI Intrinsik :

1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)


a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma,
vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis
radiasi, SLE dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output,
vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta,
perdarahan post partum)
b. Toksin
❖ Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida),
kemoterapi (misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol),
asetaminofen.
❖ Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus,
jamur kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis

6
4.ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamid
6. Renal allograft rejection

AKI Post Renal :

1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi


ekstemal (misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan
darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

2.4 PATOFISIOLOGI

Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi


gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan
sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI.
Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi
penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal.13

2.4.1 Patofisiologi AKI Prerenal

Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada
struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara
dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan
menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar
angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal.
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.13
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

7
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG14

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga


terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin
yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen
distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi
ini dapat terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi
ginjal menjadi lebih berat atau berlangsung lama.13

2.4.2 Patofisiologi AKI Intra Renal

Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses
iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi
multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi,

8
atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan
penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan
setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra
renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal Proses kerusakan diawali
dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu
diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.7
Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI
prerenal (azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau
berlanjut sehingga terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan
pada fungsi ginjal. Proses iskemia ini terjadi melalui beberapa tahapan seperti
terlihat pada Gambar 2 berikut.15

Gambar 2 Beberapa Tahapan Terjadinya AKI 15

Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses
kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan
hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel.

9
Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan secara
sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis dan
nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan pada
lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar 3
berikut.15

Gambar 3 Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah


Terjadinya Iskemia16

Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel


tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara
progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya
ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran
nukleus sel. Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi
kromatin inti dan fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi
pembengkakan dan pembesaran sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria.

10
Integritas plasma sel akan menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol
termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada
jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.17
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan
prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan
vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra renal.
Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan
hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat
peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel
endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.7,13
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan
kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini menyebabkan
gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi penurunan reabsorbsi
natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat sumbatan mikrovili yang
terlepas bersama sel-sel debris juga akan diikuti pembentukan silinder cast dari
matriks ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran
kembali (backleak) cairan intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular.
Keseluruhan mekanisme di atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan
LFG dan terjadinya oliguria. Keseluruhan proses tersebut dapat terlihat pada
Gambar 4 berikut.7,13

11
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14
2.4.3 Patofisiologi AKI post renal
Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari
sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra.
Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran
prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein
( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate)
dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli
dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi.
7, 18

2.5 Manifestasi Klinis

12
Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,
dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang
tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala,
berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat
badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari),
anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal
(non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI. 5,19

Tabel 2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik GGA berdasarkan Etiologi20

Tipe AKI Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisik


Pre-Renal Riwayat kehilangan cairan (cth: Penurunan BB, hipotensi
riwayat muntah, diare, penggunaan ortostatik, dan takikardi
diuretik berlebih, perdarahan, luka
bakar)
Rasa haus dan penurunan intake cairan Turgor kulit buruk
Kelainan Jantung S3 jantung, edema perifer, dll
Kelainan Hepar Asites, caput medusae, spider
nevi
Renalis

Glomerurlar Lupus, sistemik sklerosis, ruam, Edema peri-orbital, sacral,


artritis, uveitis, penurunan BB, fatigue, dan ekstremita bawah; ruam;
HIV, hematuria, batuk, sinusitis ulkus di daerah oral/nasal

Interstisial Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: Demam, ruam akibat


antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, penggunaan obat-obatan
demam, penyakit infeksi

Vascular Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, Pemeriksaan funduskopi


flank pain, riwayat oprasi vaskular (ditemukan hipertensi
maligna), abdominal bruits

Post- Renal Urgency atau Hesistancy, gross Distensi vesica urinaria,


Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat- pembesaran prostat
obatan, kanker

2.6 Diagnosis

13
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-
renal, GGA renal, dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan
ginjal akut perlu dilakukan pemeriksaan6 :

1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GGA
seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan GGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar
ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA
yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi
kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga
dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup dapat
dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang
spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai
biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa

14
bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria
(<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria. GGA
post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan
perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60%
dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun,
mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat
berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti:21
 Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical
necrosis
 Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
 Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut,
Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin.5
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan GGA.
FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari
1 persen menunjukkan GGA akibat pre-renal, dimana FNEa > 2%
menunjukkan GGA akibat gangguan renal. Pada pasien yang
menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh proses
natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang dapat
diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus,
fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil
kurang dari 35% yang menunjukkan GGA akibat pre-renal. FENa
kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk GGA pre-renal karena hasil
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast
nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi
saluran kemih.
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan

15
kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari
pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin. Beberapa biomarkers
mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-zat yang
dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim tubular, dll.

2.7 Tatalaksana dan Komplikasi

2.7.1 Terapi Konservatif (Suportif)


Terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-obatan atau
cairan dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas,
morbiditas, dan mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bilamana
terapi konservatif tidak dapat memperbaiki kondisi klinik pasien, maka
harus diputuskan untuk melakukan Terapi Pengganti Ginjal (TPG).

Tujuan terapi konservatif adalah :22


❖ Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal.
❖ Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
❖ Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
❖ Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.

Beberapa prinsip terapi konservatif adalah sebagai berikut :22


❖ Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
❖ Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi
❖ Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
❖ Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi
medis yang kuat
❖ Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi
medis yang kuat
❖ Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.

16
❖ Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
❖ Diet protein yang proporsional.
❖ Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga


homeostasis tubuh dengan rnengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI.
Beberapa terapi suportif beserta dosis obat yang dianjurkan dapat terlihat pada
tabel di bawah.22

Tabel 2.5 Terapi Konservatif (Suportif) pada AKI22

Komplikasi Terapi

Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)
Intravaskuler Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)
Batasi cairan (<1 liter/hari)
Hiponatremia Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk
dekstrosa 5%)
Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)
Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat
kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange
Hiperkalemia (kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
Asidosis metabolik
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri >
7,2)
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Hiperfosfatemia Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)
Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%
Hipokalsemia
(10-20 cc)

17
Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

Komplikasi AKI yang esensial dapat menyebabkan kematian dengan


segera. Mengingat bahwa AKI dapat disebabkan oleh etiologi yang berbeda, maka
sukar mencari patofisiologi yang seragam terhadap komplikasi yang terjadi.
Sebagian kasus AKI terjadi akibat hipoperfusi, sebagian lain terjadi akibat
iskemia, dan tidak jarang keduanya terjadi secara bersamaan. Pada pasien AKI
dengan penyakit kritis harus pula diperhatikan kegagalan multi-organ akibat
penyakit etiologinya. Dapat dimengerti bahwa tidak dapat dibuat suatu panduan
yang seragam mengenai pengelolaan komplikasi AKI, bahkan sering terjadi
kontroversi mengenai cara pengelolaannya.23

Berikut dibahas mengenai beberapa kornplikasi AKI yang dapat


menyebabkan kematian dengan segera dan memerlukan pengelolaan dengan cepat
dan tepat, antara lain:7

1. Kelebihan cairan intravaskuler (volume overload)


Pada pasien AKI terutama yang disertai oliguri atau anuria sering sekali
terjadi kelebihan cairan intravaskuler (volume overload), sehingga tindakan
yang harus dilakukan adalah :24
❖ Membatasi intake garam menjadi 1-2 gram/hari
❖ Membatasi intake cairan dengan menyesuaikan dengan jumlah urine dan
IWL (insensible water loss). Contoh rumus yang dapat digunakan adalah :

Jumlah intake/jam = jumlah urine jam sebelumnya + 25 cc.

Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi menjadi
< 1000 cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti muntah
atau diare.24

2. Hiperkalemia

18
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang dapat
menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia pada AKI
secara bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan hiperkalemia dengan
kelainan EKG.7
Hiperkalemia sedang (5,5 – 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran EKG
dapat dikelola secara konservatif dengan cara :7
❖ Mengurangi intake kalium dalam diet
❖ Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium (antagonis
aldosteron, ACE inhibitor, heparin, β blocker non selektif)
❖ Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis 15-
30 gram (3-4 kali per hari) atau digabung dengan pemberian sorbitol
20% per oral.
❖ Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan
furosemide oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan emergensi
yang perlu dilakukan segera untuk menghindari terjadinya gangguan irama
jantung atau henti jantung (cardiac arrest) Pengelolaan yang dapat
dilakukan adalah :7
 Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit), dapat
diulang setelah 15 menit jika gambaran EKG belum membaik. Obat
ini onset kerjanya cepat (3-5 menit), tetapi hanya bertahan sekitar 30-
60 menit. Fungsinya menstabilkan sel jantung (miosit membran
jantung), tetapi tidak menurunkan kadar kalium darah.

 Berikan obat-obat yang dapat menyebabkan translokasi K+ dari


ekstraseluler ke intraseluler, seperti insulin, bikarbonat, dan β agonis.

o Insulin

 Pemberian insulin akan meningkatkan Na+/K+-ATPase,


sehingga translokasi K+ dari ekstraseluler ke
intraseluler meningkat, tetapi tidak menyebabkan

19
ekskresi kalium keluar tubuh. Onset obat ini 15-30
menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Untuk
menghindari hipoglikemia, insulin biasanya diberikan
dalam infus glukosa dengan dosis 10-20 unit insulin
reaksi cepat (Actrapid atau Humulin) diberikan dalam
50 cc glukosa 50% selama 10-20 menit. Bila pasien
menderita hiperglikemia (GDS > 360 mg), insulin
dapat diberikan tanpa dekstrosa, tetapi dengan
monitoring gula darah.

o Bikarbonat

 Bikarbonat dapat diberikan secara bolus 1 ampul (50%


mEq natrium bikarbonat) atau diberikan secara infus.
Pengaruh bikarbonat dalam penurunan kadar kalium
darah baru bermakna jika pasien juga mengalami
asidosis metabolik

o β-agonis

 Salbutamol dapat diberikan secara infus (0,5 mg) atau


nebulisasi (10-20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9%). Onset
obat ini 1-2 menit dan berlangsung selama 4-6 jam.
Efek samping obat ini adalah takikardia, rasa cemas,
dan flushing. Harus diberikan secara hati-hati jika
pasien menderita komplikasi jantung. Lebih sering
digunakan pada anak-anak.

❖ Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar tubuh


Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih
responsif terhadap diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau
intravena yang akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urine.

20
Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan dengan pemberian resin
penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium dalam saluran
cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium polystyrene) atau
kalsium (calcium polystyrene) kemudian diekskresi lewat feses. Dosis
yang diberikan 15-30 gram per oral, untuk meningkatkan ekskresi
lewat feses dapat diberikan bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100
cc). Onset obat ini lambat (> 2 jam) dan berlangsung selama 4-6 jam

Bila semua usaha di atas tidak berhasil, atau keadaan hiperkalemia


mengancam nyawa maka kadar kalium harus diturunkan dengan melakukan
terapi pengganti ginjal.7

3. Asidosis metabolik

Penurunan kadar bikarbonat serum < 24 mEq/liter (normal = 24-28


mEq/liter) dengan diikuti penurunan pH darah (normal = 7,35-7,45)
merupakan salah satu komplikasi esensial AKI. Seringkali komplikasi ini
disertai dengan hiperkalemía. Keadaan asidosis metabolik berat (pH < 7,2 dan
kadar bikarbonat < 13 mEq/liter) merupakan kondisi gawat darurat karena
dapat menimbulkan komplikasi pada sistem saraf, sistem gastrointestinal,
gagal napas, dan gagal jantung.7
Pada asidosis metabolik ringan, pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan penyebab terjadinya komplikasi ini dan pemberian cairan
isotonis (NaCl 0,9%) untuk rehidrasi. Pada asidosis metabolik berat atau
mengancam nyawa dapat diberikan natrium bikarbonat (NaHCO 3), dengan
cara sebagai berikut :7
❖ Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai dicapai
pH > 7,2 dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq) dengan infus
lambat.
❖ Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :

21
o Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat diharapkan
− kadar bikarbonat terukur) × 40% BB (kg)
o atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan
bikarbonat (mEq/L) = 0,3 × BB(kg) × SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal, volume
overload, atau edema paru.7

Beberapa komplikasi AKI lain berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak
segera menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.7

1. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, terutama pada pasien dengan


hiperkatabolik. Untuk mengatasi hal ini, intake fosfat harus dibatasi dan
diberikan obat pengikat fosfat (fosfobinder), misalnya kalsium karbonat 3 ×
500 mg/oral. Bila dengan diet dan terapi konservatif tidak berhasil, dapat
dipikirkan untuk melakukan dialisis. Hipokalsemia, hipermagnesemia, dan
hiperurisemia sering terjadi pada AKI, tetapi biasanya tidak memerlukan
pengobatan kecuali jika ada gejala-gejala klinik seperti kejang-kejang (pada
hipokalsemia), hiporefleksia, dan depresi pernapasan (pada
hipermagnesemia).7

2. Komplikasi hematologi

Pada AKI biasanya terjadi anemia ringan akibat proses inflamasi.


Transfusi hanya diperlukan jika terjadi perdarahan aktif atau anemia
menimbulkan gangguan hemodinamik. Pada kasus AKI pemberian
eritropoieitin tidak bermanfaat. Pada AKI yang berat terutama yang disertai
dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus semacam ini
dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera dilakukan dialisis.7

3. Komplikasi gastro-intestinal

22
Akibat azotemia dapat terjadi perdarahan gastrointestinal karena ulkus
uremik atau ulkus stress. Untuk pengobatan atau pencegahan dapat diberikan
H2 antagonis atau inhibitor pompa proton. Jangan diberikan antasida yang
berbasis magnesium atau alumunium karena dapat berakumulasi dan menjadi
toksik.7

4. lnfeksi

Akibat berbagai sebab sering terjadi infeksi pada AKI. Harus


dimonitor kemungkinan terjadinya infeksi, termasuk perawatan aseptik yang
baik terhadap saluran infus kateter, saluran CVP, saluran nasogastrik, dll. Bila
dicurigai adanya infeksi segera diatasi dengan pemberian antibiotik spektrum
luas sambil menunggu hasil kultur.7

2.7.2 Terapi Pengganti Ginjal pada AKI

Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT)


adalah usaha untuk menggambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi.
Pada TPG seperti dialisis atau hemofiltrasi, yang dapat digantikan hanya fungsi
ekskresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa
metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan
tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang
tidak dapat digantikan oleh terapi jenis ini.25
Pasien AKI dalam kondisi kritis (critically ill) yang dirawat di ruang rawat
intensif (lCU) sangat bervariasi. Mereka merupakan kelompok pasien yang
heterogen, baík dalam diagnosis penyakit etiologi, umur, penyakit lain yang
menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat masuk. Kondisi
klinik pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan penyakit dapat berganti
dengan cepat, yang tidak hanya disebabkan oleh satu mekanisme patofisiologis
tubuh yang tunggal, melainkan berbagai faktor yang saling memperburuk dan
terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan berbagai gangguan organ (multiple

23
organ failure) di mana keadaan hemodinamiknya sangat tidak stabil. Oleh karena
itu, strategi TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan dapat mencapai
tujuan berikut :25
❖ Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
❖ Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan
fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
❖ Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak
memerlukan cairan, misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan
obat-obatan.

Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi
bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya
supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan,
obat-obatan, maupun nutrisi dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat
dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh
untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan
tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal
terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih
fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki
keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival
dan kualitas hidup.25
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik
yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi
dialisis pada AKI adalah gejala klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda
biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia,
azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat
bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi pasien
untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih
fisiologis.25

24
Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU
:25
1. Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
2. Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
3. Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
4. Asidosis berat (pH < 7,1)
5. Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6. Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7. Ensefalopati uremik
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati/miopati uremik
10. Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
11. Hipertermia/hipotermia
12. Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl

Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk
inisiasi dialisis, dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi
dialisis, dan lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis
walaupun kadarnya belum mencapai yang tertulis.

2.8 Prognosis
Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya
berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki
resiko tinggi menjadi end-stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga,
pasien AKI harus terus di monitor terutama terhadap perkembangan penyakitnya
atau perburukan menjadi gangguan ginjal kronis.26,27

BAB III

KESIMPULAN

25
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara
akut, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan
50%) atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari
AKI dapat dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana
untuk membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.

Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-


obatan yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal,
atau apakah terdapat tanda-tanda obstruski, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik
juga dapat dilakukan untuk menilai kelainan yang juga berfungsi untuk
menegakkan diagnosis penyebab AKI.

Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju
filtrasi glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan
kemungkinan komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga
dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat
berupa terapi konservatif dan juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal
dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis
segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat emergency sehingga
dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat
mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang
diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Hsu CY, McCulloch CE, Fan D, Ordoñez JD,Chertow GM, Go AS.
Community-based incidence of acute renal failure. Kidney Int.
2007;72(2):208-212.
2. Nash K,Hafeez A,Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J
Kidney Dis. 2002;39(5):930-936.
3. Hoste EA,Schurgers M. Epidemiology of acute kidney injury: how big is
the problem? Crit Care Med. 2008;36(4 suppl):S146-S151.
4. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 2004 Jul. 114(1):5-14
5. R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to
Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-
639.
6. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7. Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008.
Jakarta: Puspa Swara.
8. Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative
II.The Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
9. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network
(AKIN): Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney
Injury. Critical Care 2007;11:R31.
10. Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal
Medicine. 17th ed. 2008: New York: McGraw-Hill.
11. Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute
Kidney Injury: A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc
Nephrol 2007;18:1292-1298
12. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of
the RIFLE Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot
Care Med 2006;34:1913-1917

27
13. Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
15. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury
and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int
2002;62:1539-49.
16. Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J
Am Soc Nephrol. 2006;17 :1503-20.
17. Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal
Failure. Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic
Strategies. New York. Churcill Livingstone.1995;l-23.
18. Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
19. Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-
1325.
20. Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In:
Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed.
Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
21. Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
22. Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of
Acute Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive
Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
23. Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest
2007;131:300-308.
24. Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med
J. 2006;82:106-116.
25. Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal
Replacement Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int
198;53(66):S106-S109.

28
26. Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv
Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
27. Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of
mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a
systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-
973.

29
6
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku Ajar: Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta: Puspa Swara.
8
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The Vicenza Conference.
Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
9
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report of an
Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care 2007;11:R31.
10
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. 2008: New
York: McGraw-Hill.
11
Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury: A
Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
12
Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE Criteria
for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med 2006;34:1913-1917
13
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4.
2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14
Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med 2007;357:797-805.
15
Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and Dysfunction during
Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
16
Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc Nephrol.
2006;17 :1503-20.
17
Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure. Dalam: Acute
Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York. Churcill
Livingstone.1995;l-23.
18
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
19
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
20
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A, Cheung AK,
eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
21
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
22
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal Failure In:
Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
23
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest 2007;131:300-308.
24
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J. 2006;82:106-116.
25
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement Therapy in the
Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
26
Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney Dis.
2008;15(3):297-307.

27
Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of mortality and other adverse
outcomes after acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis.
2009;53(6):961-973.

Anda mungkin juga menyukai