Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan objek studi sarjana barat, bahkan Islam sudah menjadi
karir sarjana barat yang melahirkan orientalis dan Islamolog barat dalam jumlah yang
besar. Sarjana barat menaruh perhatian yang besar dalam studi Islam karena mereka
mamandang Islam bukan sekedar agama tetapi juga merupakan sumber peradaban dan
kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut diperhitungkan.
Sementara kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu
pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan hitrogenitas kebudayaan dan peradaban.
Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam
muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini
mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi
yang logis yang tak terhindarkan.
Tradisi akedemis Islamologi Barat dalam Studi al-Qur’an ini terus berlangsung pada
abad pertengahan, terutama masa renaissance dan aufklarung, hingga abad modern
atau bahkan hingga era postmodernisme. Sebagai fakta historisnya adalah sejumlah
teks mengenai berbagai dimensi al-Qur’an yang lahir dari para Islamolog terkemuka.
Teks-teks itulah yang menunjukkan dan membuktikan antusias, intensitas,
dinamisme, paradigma, dan orientasi wacana Islamologi Barat dalam studi al-Qur’an
dari masa kemasa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan studi agama,problem studi agama,dan objek studi
Islam
2. Defenisi studi agama
3. Apa yang dimaksud dengan studi islam sebagai disiplin ilmu
4. Apa yang dimaksud dengan studi islam dan sains islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Studi Agama,Problem,Objek Studi Islam,dan Defenisi
a. Studi Agama
1. Dari segi kebahasaan studi agama berasal dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam
kajian Islam di Barat disebut Islamic Studies secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal
yang berkaitan dengan keislaman.
2. Dari segi Istilah, studi agama adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk
mengetahui, memakai dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan
agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaannya
dalam kehidupan.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia. Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Qur'an dan
Hadits. Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran
dan membumikan praktik penghambaan kepada Tuhan.
b. Problematika Pendidikan Islam
Problematika Ontologi Pendidikan Islam Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam
menyangkut seluruh komponen yang termasuk dalam pendidikan Islam. Sedangkan secara
makro, objek formal Ilmu Pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai dengan ajaran
dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan kauniyah) keterkaitan
pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik dalam skala
kedaerahan, nasional maupun internasional.2Objek kajian pendidikan Islam senantiasa
bersumber dari landasan normatif Islam yaitu al-Qur’an (qauliyah) melalui pengalaman
batin Nabi Muhammad SAW yang kemudian kita kenal dengan wahyu, kemudian
disampaikan kepada seluruh umat dan alam semesta (kauniyah). Dari kedua landasan
inilah kemudian digali dan dikaji sehingga melahirkan konsep dan teori pendidikan yang
bersifat universal. Kemudian, teori dan konsep yang bersifat universal tersebut dikaji melalui
kegiatan eksprimen dan penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan melahirkan teori-teori
atau Ilmu Pendidikan Islam dan diuraikan secara operasional untuk kemudian
dikembangkan menjadi metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam. Kajian pendidikan
Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya, kesenjangan antara fakta dan
realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka dari itulah, wilayah kajian pendidikan
Islam bermuara pada tiga problem pokok, antara lain: a.Foundational problems, yang terdiri
dari atas religious foundationand philosophic foundational problems, empiric fondational
problems (masalah dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofis-empiris)yang
didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep pendidikan yang
bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat, akhlak, hidup, ilmu pengetahuan,
iman, ulul albab dan lain sebagainya. Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena
qauliyah dan fenomena kauniyah yang membutuhkan pendekatan filosofis. b.Structural
problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur demografis dan geografis bisa
dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan desa terpencil. Dari struktur
perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa
dan manula. Dari struktur ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan
miskin. Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari
struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. c.Operational problem (masalah
operasional). Secara mikro akan berhubungan dengan berbagai komponen pendidikan
Islam, misalnya hubungan interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan, pendidik
dan tenaga kependidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam (kurikulum,
metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan
lingkungan atau konteks pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan
output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem
sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat Nasional dan Internasional.
c. Objek Studi Islam
Studi Islam adalah sebuah upaya sistematis, logis dan terencana dalamrangka mengkaji
Islam secara integral; baik dari sisi norma-norma utama (kajian normatif) maupun dari aspek
praktis yang merupakan perwujudan dari praktek keislaman di tengah realitas masyarakat,
yang mencakup ibadah, muamalat dan ahlak. Bahkan studi Islam juga membahas referensi
Islam secara utuh, beserta hasil pemahaman dan pemikiran kaum muslimin dalam rentang
sejarah yang panjang, dalam bidang kalam, hukum fikih, filsafat, tasawuf, sejarah
kebudayaan dan pertumbuhan serta perkembangan historis segala aspek keislaman dll.
Artinya, studi Islam mempelajari secara konprehensif segala bentuk fenomena keIslam an;
baik yang bersifat ajaran ideal (norma-norma langit) maupun ajaran realitas (bumi) yang
praktis yang mencakup ilmu-ilmu alam (sains) maupun ilmu-ilmu sosial, teramsuk di
dalamnya kajian historis (sejarah).
Ada sejumlah pertanyaan yang lahir dari sikap ragu mengenai kemungkinan Islam dipelajari
secara ilmiah. Sementara studi Islam, terutama aspek akidahnya, tidak bisa ditundukkan
dalam wilayah empiris-indrawi. Lalu mungkinkah Islam dipelajari secara ilmiah? Jawaban
dari pertanyaan ini adalah: pertama, perlu dijelaskan dulu makna ilmiah yang dimaksud sang
penanya; kedua, menjelaskan kemungkinan studi ilmiah Islam berdasarkan maksud sang
penanya secara sederhana. Secara umum dijelaskan bahwa jika yang dimaksud ilmiah adalah
berdasarkan pada kajian sumber referensi eksternal (Qur’an dan Sunnah) dan sarana internal
berupa; telinga, mata, akal dan hati yang dimiliki manusia, maka jawabannya adalah objek
studi Islam sangat ilmiah untuk didekati dengan metodologi dan pendekatan transmisi-
empiris, logis-supralogis,
Yang dimaksud transmisi-empiris adalah prosedur studi yang mengandalkan riwayat sebagai
standar ukuran dan timbangan dalam menilai hakikat ontologis, terutama pada wilayah
akidah dan ibadah. Lalu pada bidang ilmu alam dan ilmu sosial, ukuran-ukuran yang bersifat
empiris dapat dijadikan sebagai pedoman dan standarisasi ilmiah.[11] Islam tidak pernah
kaku berhadapan dengan prosedur ilmiah, karena hakikat-hakikat yang diajarkan sangat
konprehensif. Berbeda dengan kajian ilmiah peradaban lain yang membatasi objek kajian
hanya pada seputar wilayah material, tanpa memberi ruang pada aspek spiritual dan nilai-
nilai etika dan moral pada setiap prosedur ilmiah yang dikembangkan.
Singkatnya, jika wilayah kajian Islam mau dipetakan secara ringkas, maka dikatakan bahwa
ada 5 objek kajian yang ditawarakan Islam . Pertama, kajian teologis terkait hubungan
manusia dengan penciptanya (ibadah); kedua, kajian akhirat (tanggungjawab); ketiga kajian
seputar hakikat hidup (ujian); keempat, kajian terkait relasi manusia dengan sesama mahluk
(adil dan ihsan); dan kelima, hubungan manusia dengan alam (eskplorasi). Yang terakhir
mencakup alam (sains) dan wilayah masyarakat (sosial). Artinya, secara ilmiah, Islam
mempelajari kelima objek studi tersebut di atas secara menyeluruh. Tetapi peradaban lain
(terutama Barat Sekuler) hanya membatasinya pada 2 kajian: pertama, kajian terkait
hubungan sesama manusia dan kedua, kajian seputar alam (sains dan sosial). Di bidang
pertama, mereka berhasil mencapai tingkat profesional (ihsan) sekali pun hanya sebatas
wilayah materi tanpa terkait dengan nilai-nilai spiritual (moral). Akhirnya, mereka tetap
standar ganda dan sangat berat untuk bisa berlaku adil (apalagi profesional dan sportif)
terhadap budaya dan peradaban lain.
Tiga wilayah kajian sama sekali tidak dianggap oleh Barat sekuler sehingga mereka hanya
unggul di bidang material saja, namun sepi nilai-nilai ahlak dan spiritual yang menjadi kunci
utama kebahagiaan manusia. Pantaslah kalau perabadan Barat yang dianggap ilmiah tersebut
dipandang oleh sejumlah peneliti sebagai peradaban yang sukses besar mempersembahkan
kemudahan secara material bagi manusia, namun menghancurkan nilai-nilai moral
(kemanusiaan) secara membabi buta. Inilah alasan di balik lahirnya karya-karya ulasan dari
cendekiawan muslim yang intinya menegaskan kerugian ummat manusia akibat dari
kemunduran peradaban Islam.[12] Karena, di masa lalu peradaban Islam telah
mempersembahkan kemudahan material kepada manusia sekaligus kesuksesan spiritual
secara bersamaan.
Bahkan terdapat beberapa keunggulan lain peradan Islam dibanding peradaban lain dari sisi
ilmiah, seperti adanya metode transmisi (riwayat) yang berpadu dengan metode penulisan
dalamrangka menjaga warisan keilmuan dari dulu hingga sekarang. Hingga terkenallah
sebuah idiom yang berbunyi, “Ilmu itu intinya ada di dalam jiwa (shudur/hafalan dan
pemahaman), bukan sekedar tertulis dalam buku-buku catatan (sutur)”. Selain hafalan dan
catatan, peradaban Islam juga unggul dari sisi silsilah keilmuan (sanad) yang menjadi
keistimewaan ilmu hadits, silsilah keturunan (nasab) yang menjadi basis utama ilmu sosial
(sejarah) dan analisis kedudukan kata dalam kalimat (i’irab) yang memberikan keluasan
pemaknaan terhadap sebuah analisa ilmiah kebahasaan. Al-Khatib al-Bagdadi berkata, “Ada
informasi penting yang sampai kepadaku bahwa ummat (Islam ) ini diberikan keistimewaan
melampaui peradaban sebelumnya dengan tiga hal; isnad, nasab, dan i’rab”.

B. Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu


Munculnya istilah Studi Islam, yang di dunia Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies,
dalam dunia Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului oleh
adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada abad ke sembilan
belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang
keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari
Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920)
yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-
1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan
sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal
melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan
Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah
sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya dapat
penulis sebutkan di sini.
Tidak hanya di Barat, di Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J.
Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas
dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India mempunyai S
Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam,
Religious Truth an relation between Religions (1950), dan P. D. Devanadan, penulis The
Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis.
Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah lama
muncul. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam
bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, dan
Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti Al-Thabary, Ibn Katsir,
Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad kedua dan keempat hijriyah. Dan akhirnya
muncul tokoh-tokoh abad kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan
Abad kedua puluh seperti Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam
pun muncul tokh-tokoh besar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah,
dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan
Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh seperti
al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-
Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab
Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy,
dan sebagainya.
Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak
terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan
apakah ia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat
sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar
permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah
misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam,
atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya
dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku
sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan
pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada
kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan
histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin
ilmu, sedangkan untuk dataran histories nampaknya relevan.
Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan
guru juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak
mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga
banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka pelajari, sungguh
ironis.
Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan
yang bersifat memihak , romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis,
metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah produk
sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu
yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi
normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih
merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu – ilmu
pengetahuan yaitu paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai
agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika
dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah
disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam
merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan
akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana
yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic
Studies).
Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa
yang disebut sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed
Husen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad kedua hijriyah,
seperti kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas
arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari
ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan
pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah
dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti ajaran tentang akidah,
ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak.
Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu
tersendiri sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yang akan dipakai
dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik utama dalam kajian
makalah ini.
Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim
Indonesia sekitar tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah baru dengan nama Metodologi
Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.
c.Studi Islam dan Sains Islam
Sains Islam adalah segala disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan orisinal dengan sumber
utama agama Islam, yaitu kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits. Sains Islam meliputi ilmu
umum dan islamic studies. Sains Islam meliputi natural science dan socio-humanity sciences.
Sains Islam meliputi ilmu yang berbasis teks dan ilmu yang berbasis empiris. Pengikatnya,
sebagaimana diungkapkan Osman Bakar dalam buku Islam dan Science, adalah tauhid.
Sepanjang ilmu pengetahuan itu memiliki keterkaitan dengan prinsip tauhid, maka dia adalah
sains Islam.
Dengan demikian, bila suatu konsep atau teori yang berkembang dalam disiplin ilmu itu
memiliki keterkaitan dengan prinsip tauhid, maka dia dapat disebut sebagai sains Islam.
Sebagai contoh, dalam tradisi psikologi Barat sebagaimana diungkapkan oleh Watkins dkk,
kebersyukuran (gratitude) hanya berkaitan dengan perasaan keberlimpahan atas karunia yang
diterima dan tidak terkait dengan Tuhan sebagai pemberi. Dalam psikologi Islam,
kebersyukuran berkaitan dengan kesadaran dan perilaku atas keberlimpahan yang bersumber
dari Tuhan. Dalam tradisi psikologi Barat sebagaimana diungkapkan oleh Petersen dan
Seligman dalam buku Character Strengths and Virtues, rendah hati (humility) berkaitan
dengan ketiadaan anggapan diri sebagai lebih spesial dari orang lain. Dalam psikologi Islam,
rendah hati (tawadhu’) berkaitan dengan kesediaan untuk menerima kebenaran –dari
siapapun dan kapan pun—dan tidak menganggap diri lebih dari orang lain.
Dari apa yang sudah dihasilkan oleh para ahli hukum, ahli ekonomi, ahli psikologi, dan ahli-
ahli dari beragam disiplin ilmu yang melakukan kajian sains Islam, dapat diketahui bahwa
sains Islam itu eksis. Sains Islam itu nyata adanya.
Ciri khas Islamic sciences berikutnya adalah amaliah. Apa yang diketahui haruslah berkaitan
dengan perilaku. Di samping pastinya apa yang dilakukan juga didasari oleh pengetahuannya.
Oleh karena itu, tidak mungkin seorang ilmuwan muslim itu sangat tinggi ilmunya tapi tidak
mengamalkannya.
Upaya Mewujudkan Sains Islam
Ada banyak jalan menuju Roma, ungkap sastrawan Idrus. Ada banyak jalan untuk
mewujudkan sains Islam. Kuntowijoyo dalam buku Paradigma Islam pernah menawarkan
apa yang disebut sebagai objektivikasi. Objektivikasi adalah usaha untuk mentransformasikan
kebenaran mutlak yang ada dalam kitab suci yang bersifat normatif menjadi kebenaran yang
objektif yang dapat diukur. Kalau dalam al-Qur’an diungkapkan berbagai konsep seperti
keikhlasan keimanan, kebersyukuran, kesabaran, pemaafan, dan seterusnya, maka konsep
tersebut harus dapat diungkap secara jelas indikator dan bagaimana pengukurannya. Upaya
ini diakui memang tidak mudah, dikarenakan ilmuwan perlu memiliki pemahaman yang
memadai tentang isi al-Qur’an dan al-Hadits. Kalaupun kemampuan mengakses langsung al-
Qur’an itu tidak dimiliki, ilmuwan Muslim tidak harus berputus asa. Ilmuwan Muslim dapat
menjalin kerjasama dengan ahli-ahli tafsir al-Qur’an dan ahli al-Hadits. Bisa pula dilakukan
dengan mengacu kepada pendapat para ulama dan ilmuwan Muslim sebagaimana tertuang
dalam berbagai kitab tafsir al-Qu’an dan al-hadis serta berbagai pemikiran Islam lainnya.
Selain itu, saya –dalam buku Agenda Psikologi Islami— pernah menawarkan rekonstruksi
teori. Rekonstruksi teori ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai pemikiran dan
temuan sains moderen masa kini untuk dimasukkan dalam kerangka Islam tentang suatu hal.
Asumsi yang dibangun adalah kebenaran dapat ditemukan di mana-mana dana dapat
ditemukan dalam kitab berbagai agama. Namun, ilmu tertinggi adalah yang bersumber
langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Dalam psikologi, upaya rekonstruksi ini dilakukan dengan
mengintegrasikan pemikiran dan temuan dari ilmu kontemporer sekuler. Misalnya
mengintegrasikan teknik relaksasi dan zikir, sehingga jadilah relaksasi zikir.
Selain rekonstruksi teori, para ilmuwan juga menawarkan komparasi, komplementasi,
verifikasi, kritik Islam, pararelisasi, bahkan similarisasi.
Tujuan Studi Islam
Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan
mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah,
bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan studi Islam adalah
sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka
dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan
dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan dalam konteks pemaknaan
yang sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai
hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan
studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang
dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan
kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmentis, teologis. Tetapi ada
aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal betul-betul
mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang
berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Anda mungkin juga menyukai