Anda di halaman 1dari 5

PERFORMA ASSURANCE LAYANAN HUKUM INKLUSIF

Stigma disabilitas yang melekat di masyarakat lebih cenderung kepada penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang kemudian
dilekatkan kepada yang dianggap tidak normal, lalu memberikan sikap yang berbeda seperti
prejudice dan diskriminasi. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia pada
tahun 2012 terdapat lebih dari 6 (enam) juta penyandang disabilitas di Indonesia yang
menunjukkan jumlah potensi masalah hukum yang menjadi tugas penegak hokum.
Insiden dan prevalensi penyandang disabilitas serta isu yang dihadapi penyandang disabilitas
dalam memperjuangkan hak-haknya masih belum banyak terpetakan. Penyandang disabilitas
mengalami diskriminasi pada berbagai konteks dan juga menghadapi tantangan yang
signifikan dalam mengakses mekanisme penyelesaian sengketa dan layanan hukum lainnya.
Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(Convention on The Rights of Person with Disabilities/CRPD) melalui Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011, sehingga akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas dapat
menjadi rujukan partisipasi dalam aspek sistem peradilan tanpa diskriminasi berdasarkan
keterbatasan fisik, mental, dan/atau sensorik yang disandang oleh seseorang.
HAMBATAN
Upaya meningkatkan kemudahan akses akan melibatkan fokus terhadap anak, perempuan dan
penyandang disabilitas yang menghadapi hambatan dalam mengakses keadilan, salah satunya
justeru disebabkan oleh belum adanya kesadaran atas hak-hak mereka sendiri dan cara-cara
menuntut hak tersebut, dan/atau ketidakmampuan memenuhi biaya pengadilan dan
transportasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa melalui sistem hukum formal.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terjadi disebabkan oleh ketidaktahuan penegak
hukum tentang hak-hak hukum penyandang disabilitas. Interaksi antara penegak hukum
dengan penyandang disabilitas terkendala karena tidak semua penegak hukum memahami
keperluan khusus penyandang disabilitas.
Ditambah lagi, terjadinya diskriminasi, eksploitasi, pengurangan bahkan penghilangan hak
para penyandang disabilitas di lapangan seringkali disebabkan karena belum terintegrasinya
peraturan perundang-undangan dan pengertiannya secara eksplisit atas disabilitas. Banyak
petugas dan penegak hukum yang belum memiliki perspektif disabilitas, serta tidak adanya
panduan bagi petugas bagaimana memberikan pelayanan bagi disabilitas, belum memahami
siapa itu penyandang disabilitas, apa yang dihadapi, bagaimana etikanya dan apa yang
menjadi kebutuhan dasar ketika proses beracara di pengadilan.

1|Page
Problematika mendasar juga muncul dari pemahaman bahwa disabilitas dungu, gila atau mata
gelap haruslah dibawah pengampuan dan dianggap tidak cakap hukum. Demikian juga dalam
sahnya perjanjian yang mensyaratkan sahnya perjanjian adalah kecakapan untuk membuat
suatu perikatan.
Banyak sekali peraturan yang mempengaruhi pola pikir masyarakat yang menempatkan
keadaan penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang harus dicegah atau dikendalikan,
namun belum dipahami sebagai kondisi yang harus diakomodir sehingga tidak mengalami
diskriminasi.
Hal ini terkait dengan hak akses bagi mereka yang sedang berhadapan dengan hukum, baik
sebagai korban, saksi, atau tersangka/terdakwa, maupun narapidana. Fasilitas yang aksesibel
dibutuhkan selama proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan.
Dalam hal ini Organisasi Advokat sebagai lembaga lain yang terkait proses peradilan tentu
mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum pada disabilitas sesuai peraturan,
membuat dan mengembangkan standar pemberian jasa hukum yang diawasi oleh
organisasinya. Pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan selama proses peradilan.
ASPEK SOSIOPOLITIK DISABILITAS
Penyandang disabilitas memiliki aspek sosiopolitik, yang harus dilihat sebagai sesuatu yang
normal dan memiliki self-controlled, sehingga memiliki kemandirian untuk mendukung dan
mencapai kedudukan sosiopolitiknya. Paradigma terhadap kelompok ini harus berubah, dari
melihat “perbedaannya” beralih melihat kemampuan lain yang dimilikinya sebagai landasan
filosofis setiap aturan perundang-undangan, dan ditanamkan dalam pikiran para penegak
hukum dan SDM pengadilan, sehingga dapat mengubah cara berpikir dan perilaku, disertai
substansi hukum yang disesuaikan dengan perkembangan cara pandang dunia terhadap
disabilitas.
Penafsiran Pasal 1 angka 26 KUHAP sudah diluruskan dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyebutkan bahwa orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana tidak selalu pihak yang ia dengar
sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri. Menurut Majelis Hakim MK, konteks pembuktian
bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan
tindak pidana, melainkan untuk membuktikan apakah perbuatan pidana benar-benar terjadi.
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VII/2010, Hal. 92]
Keterangan Saksi ‘yang dapat diandalkan’ seringkali bergantung pada memori dan ingatan
yang jernih, perilaku Saksi yang konsisten di persidangan, cara berkomunikasi yang langsung

2|Page
dan mudah dimengerti. Bagi penyandang disabilitas yang menjadi Saksi dari suatu perbuatan
seringkali menyampaikan keterangannya dengan cara-cara yang tidak dikenal dan tidak
mudah dimengerti oleh banyak orang.
Sama dengan manusia lainnya, seorang penyandang disabilitas pun tak terlepas dari
kemungkinan untuk melakukan tindak pidana, terjadi karena baik penyandang disabilitas
mental ataupun intelektual tidak mampu memahami dan membedakan antara perbuatan baik
atau buruk, serta cenderung memiliki keinginan untuk diterima dalam lingkungan pergaulan.
Kondisi ini mendorong peyandang disabilitas mental dan intelektual seringkali setuju untuk
melakukan suatu perbuatan agar mendapatkan pertemanan.
LAYANAN DAN FASILITAS
Fasilitas fisik dan non-fisik di kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, bahkan kantor
pemerintahan selama ini masih belum dapat diakses dengan baik oleh penyandang disabilitas,
selain itu, belum ada dokumen yang mudah diakses, khususnya bagi disabilitas netra,
penerjemah, pendamping dan fasilitas lain yang berdampak pada kelambanan penyandang
disabilitas mendapatkan hak-haknya.
Pada dasarnya, perspektif disabilitas tidak hanya harus dimiliki oleh Hakim namun juga oleh
para penegak hukum dan elemen di lingkungan pengadilan dan peradilan mengenai
kebutuhan disabilitas berhadapan dengan hukum, antara lain:
1. Penegak Hukum dengan perspektif disabilitas;
2. Penterjemah atau juru Bahasa isyarat;
3. Ahli disabilitas seperti psikiater, psikolog, dokter syaraf, dan ahli sensorik motorik yang
memahami dan mengerti disabilitas;
4. Standar sarana dan pra-sarana layanan fisik dan non-fisik yang menciptakan lingkungan
yang accessible termasuk akses informasi hukum.
Menarik sekali ketika Ade Firman Fathony (Hakim Pengadilan Agama Gunung Sugih) dan
M. Natsir Asnawi (Hakim Pengadilan Agama Gedong Tataan) melalui tulisannya tentang
“Standarisasi Pelayanan Disabilitas Di Peradilan Agama” melakukan elaborasi bahasan
terhadap Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menetapkan prinsip-prinsip dasar layanan Pengadilan sebagai Lembaga resmi negara dalam
bidang penegakan hukum, pada pokok relevansinya memberikan garis besar mengenai
penyelenggaraan peradilan yang bebas dari segala bentuk intervensi pihak luar (independen),
kesetaraan di muka hukum, dan kewajiban untuk menghilangkan segala bentuk hambatan dan
rintangan dalam mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

3|Page
Sungguh membanggakan bahwa Mahkamah Agung malah telah mendorong dilakukannya
akreditasi terhadap pengadilan-pengadilan di bawahnya. Sampai Juli 2017, sudah ada 17
Pengadilan Tinggi dan 100 PN yang mendapatkan akreditasi. Salah satu poin akreditasi
adalah ketersediaan layanan ramah penyandang disabilitas. [Ardian Fanani, “MA Beri
Sertifikat Penjamin Mutu kepada PN dan PT di Indonesia,” di
https://news.detik.com/berita/d-3572223/ma-beri-sertifikat-penjamin-mutu-kepada-pn-danpt-
di-indonesia pada tanggal 25 Mei 2021]
Keberadaan UU No. 8 Tahun 2016 tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam ketentuan perlindungan hukum dan
keadilan, maka ketentuan hak-hak hukum penyandang disabilitas berkaitan dengan banyak
aspek yang oleh karenanya perlu dipahami hubungan antar ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut agar benar-benar saling mendukung dan tidak terjadi
ambiguitas maupun antinomi dalam penafsiran yang mempengaruhi implementasinya.
PERMA No. 3 Tahun 2017 memang belum secara eksplisit menyebutkan terminologi
penyandang disabilitas melainkan tentang bagaimana hakim mengadili perkara perempuan
berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku, korban, saksi maupun para pihak yang dapat
menjadi rujukan untuk diterapkan bagi penyandang disabilitas, yang pada intinya diatur juga
tentang identifikasi ketidaksetaraan status sosial, ketidaksetaraan perlindungan hukum,
diskriminasi, dampak psikis korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa
dan riwayat kekerasan, kebutuhan akan pendampingan persidangan, dan pemeriksaan dengan
komunikasi audio visual jarak jauh dalam keadaan tidak sehat karena takut atau trauma
berdasarkan penilaian dokter atau psikolog.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang
Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan akhirnya lahir yang menyoal
tentang pengertian bantuan hukum, advokat, penyidik, penuntut umum, hakim, petugas
permasyarakatan, pemerintah pusat. Pemerintah daerah, organisasi disabilitas, serta
pembimbing kemasyarakatan. Istilah-istilah yang digunakan dalam proses peradilan dibahas
dalam bab pertama dengan jelas.
Perlu kita bangun bersama suatu sistem peradilan tanpa membedakan kondisi-kondisi tertentu
(inklusi) dan tentunya dapat mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas baik dalam
sarana-prasarana, prosedur hukum, sumber daya dan paradigma kesetaraan sehingga
penyandang disabilitas dapat terhindar dari hambatan dan diskriminasi hukum, dan
meningkatkan performa assurance layanan hukum dengan pengadilan inklusif atau

4|Page
memberikan keyakinan yang memadai bagi penyandang disabilitas dalam mengakses
pelayanan hukum yang memberikan pengertian bahwa diskriminasi telah diatasi.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Demikianlah pemandangan singkat dari sudut pandang Advokat ini secara objektif
berdasarkan praktek di lapangan, untuk berkontribusi saran bagi sistem peradilan inklusif,
sebagai berikut:
1. Pembinaan sumber daya manusia dalam lingkungan pengadilan dan proses peradilan
dalam perspektif dan pemahaman terhadap pemenuhan dan perlindungan bagi disabilitas,
termasuk untuk penyediaan pranata dan tatalaksana proses di lingkungan peradilan yang
ramah dan mengatasi hambatan aksesibilitas fisik dan non fisik penyandang disabilitas;
2. Khusus Advokat adalah mengenai bagaimana mindset access to justice dalam perspektif
disabilitas dapat tercakup dalam Undang-Undangnya sesuai perkembangan paradigma dan
pemahaman;
3. Membangun sistem yang berbasis kebijakan peradilan yang inklusif, pembangunan
infrastruktur dan kerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas, organisasi
masyarakat dan akademisi yang dapat menyediakan pendamping, penerjemah, atau saksi
ahli;
4. Dukungan peraturan perundang-undangan serta kebijakan yang sinkron untutk
merelatifisir terjadinya ambiguitas maupun antinomi dalam penafsiran yang
mempengaruhi implementasinya

5|Page

Anda mungkin juga menyukai