Anda di halaman 1dari 16

XV.

KEBUDAYAAN JAWA DAN SUNDA


(Pertemuan ke-15)

Sub Pokok Bahasan


 Kebudayaan Jawa dan Sunda

Sasaran Pembelajaran : Mahasiswa memahami tentang kebudayaan Jawa dan


Sunda.

A. KEBUDAYAAN SUNDA

Tatar Sunda mulai mengenal aksara pada abad ke-5 Masehi, di era kerajaan

Tarumanagara. Sejumlah bukti yang ditemukan pada prasasti Kebon Kopi, Ciarunteun, Tugu,

dan Jambu yang dituliskan kira-kira pada 450 Masehi, menunjukkan bahwa ciri-ciri tipe Pallawa

awal yang dipergunakan di tanah Sunda memiliki hubungan dengan aksara-aksara pada prasasti-

prasasti yang ditemukan di India Selatan dan Sri Lanka pada abad ke-3 hingga abad ke-5 Masehi.

Sebagai perbandingan, banyak literatur sejarah Tanah Air menyebutkan bahwa aksara

pertama kali ditemukan di wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-4 sampai ke-5 Masehi,

berdasarkan prasasti yang ditemukan pada zaman Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur).

Dari dua temuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa awal perkembangan

peradaban di Tanah Sunda berlangsung nyaris berbarengan dengan perkembangan peradaban di

wilayah Nusantara. Aksara dalam konteks sejarah ditempatkan sebagai lambang kemajuan adab

dan media yang memacu perkembangan peradaban. Selain itu, aksara digunakan sebagai satu

dari sejumlah indikator yang membedakan pembagian zaman prasejarah (manusia belum

mengenal aksara) dengan zaman sejarah (telah mengenal aksara).


Semangat untuk mengukuhkan kompetensi kebudayaan Sunda dalam sejarah Nusantara

itu dipaparkan oleh Dra. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.Hum, di buku Sejarah Kebudayaan

Sunda. Tepatnya pada Bab 4 yang berjudul Sejarah Perkembangan Aksara dan Bahasa Sunda.

Elis mengemukakan hasil penelusurannya --baik yang berasal dari sumber-sumber prasasti dan

naskah kuno maupun dari jelujuran sumber-sumber sekunder hasil penelitian tentang aksara

sunda sebelumnya-- mengenai sejarah dan perkembangan aksara di Tatar Sunda pada era

Tarumanagara, hingga perkembangan bahasa Sunda di zaman kiwari (terhitung tahun 1900

hingga kini).

Elis adalah dosen pada Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran,

Bandung. Ia seorang leksikograf (bidang perkamusan) dan filolog (yang mempelajari naskah-

naskah kuno). Dari persinggungannya dengan naskah-naskah Sunda Kuno, Elis dalam tulisannya

di buku ini hendak menegaskan kembali kesimpulan-kesimpulan yang pernah dikemukakan

Profesor Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan

Kesusastraan Sunda Abad ke-19 (2005).

Dalam buku yang merupakan materi disertasi doktoralnya di Universitas Leiden,

Moriyama, yang kini menjadi profesor di Jurusan Studi Asia Universitas Nanzan, Nagoya,

Jepang, memaparkan bahwa orang Sunda bukanlah masyarakat kelas dua setelah etnis Jawa.

Moriyama juga memberikan gambaran faktual tentang asal-muasal bahasa dan kesusteraan

Sunda yang juga menjadi acuan Elis untuk menjelaskan -dalam Sejarah Kebudayaan Sunda--

bahwa bahasa yang sekarang dikenal sebagai bahasa Sunda Kuno sudah digunakan di daerah

Sunda sebelum pengaruh Mataram-Jawa menyebar di wilayah Sunda pada abad ke-17.

Meski ditaruh di bab IV, uraian tentang Kebudayaan Sunda dari aspek keaksaraan merupakan
petilan yang menarik (sebagai pengisi ruang perdebatan) dari sejumlah informasi sejarah lainnya

dalam buku Sejarah Kebudayaan Sunda.

Buku ini dikemas sebagai -semacam-- bunga rampai yang memuat esai, laporan hasil

penelitian dan penelusuran-penelurusan lainnya seputar sejarah kebudayaan Sunda. Bertindak

sebagai ketua tim penulis buku ini adalah Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, MS. Sedangkan anggota

tim penulisnya adalah Elis Suryani, Miftahul Falah, Undang Ahmad Darsa, Etty Saringendyanti,

Awaludin Nugraha, Een Herdiani, serta dua budayawan dan sastrawan Sunda yang namanya

telah dikenal dalam konstelasi kesusatraan Indonesia, Herry Dim dan Soni Farid Maulana.

Dalam menjelaskan ruang lingkup sejarah kebudayaan Sunda, buku ini mengetengahkan

pelbagai pokok bahasan ke dalam tujuh bab. Masing-masing bab (kecuali bab I yang berisi

pendahuluan dan bab II yang memuat paparan sejarah ) merupakan deskripsi dari unsur-unsur

kebudayaan Sunda yang ditulis berdasarkan hasil penelitian oleh peneliti di bidang bahasa,seni,

filologi, dan arkeologi. Hasil penelitian tersebut lantas --secara metodologis-- diberi sentuhan

historiografis oleh sejarawan "pendamping".

Secara sederhana, pendekatan metodologis kesejarahan dalam buku ini dapat ditandai

dengan pembagian keterangan waktu dalam pembahasan hasil-hasil penelitian pada sebagian

besar bab. Terentang dari masa prasejarah, era sejarah ketika manusia Sunda telah mengenal

kebudayaan, hingga masa kontemporer.

Dalam bab pendahuluan, Nina Herlina Lubis menuliskan bahwa dari tujuh unsur

kebudayaan yang bersifat universal, buku ini memilih untuk mendeskripsikan enam unsur yang

mewakili --sebut saja--definisi kontemporer kebudayaan. Enam unsur tersebut adalah: Ingatan
Kolektif dan Sejarah (bab II); Sistem Pengetahuan dan Kesadaran Nilai Kultural (bab III);

Bahasa (bab IV); Benda Budaya (bab V), Adat Istiadat (bab VI); dan Kesenian (bab VII).

Berpijak pada unsur-unsur tersebut, cukup terbuka kemungkinan pengulangan

pembahasan dalam satu bab dengan bab lainnya. Sebut saja, kemungkinan itu lahir sebagai

implikasi upaya "menggabungkan" penelitian bidang kebudayaan oleh peneliti-peneliti berbeda.

Namun dalam buku Sejarah Kebudayaan Sunda ini, irisan-irisan itu tidak memakan bidang yang

luas dan tidak terlalu mengganggu alur pembahasan.

Sebagai contoh, materi tentang naskah-naskah Sunda Kuno dalam paparan mengenai

perkembangan aksara dan bahasa Sunda (bab IV), memiliki materi irisan dengan paparan benda

budaya (bab V) seputar materi naskah dan tradisi tulis Sunda Kuno. Atau irisan dalam

pemaparan unsur kesadaran nilai kultural (bab III) dengan unsur perkembangan kesenian (bab

VII), yang entah kebetulan atau tidak memiliki irisan juga pada penulisnya, yakni Herry Dim.

Memiuh dari informasi-informasi teknis tersebut, buku Sejarah Kebudayaan Sunda dapat

ditempatkan sebagai inisiatif penggabungan aneka pembahasan tentang penelitian kebudayaan

Sunda dalam struktur historiografis tertentu. Seperti diketahui, penelitian mengenai pelbagai

unsur kebudayaan Sunda (secara parsial) telah banyak diungkap dalam bentuk buku, esai, dan

tulisan lainnya, meski ragam telaahnya --meminjam pernyataan Ajip Rosidi dalam buku Manusia

Sunda (1984)-- tidaklah banyak.

Contohnya, sebagai buru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis

telah menuliskan sejumlah buku terkait penelitian sejarah tentang kebudayaan Sunda.

Pembahasan Nina pada bab II buku ini, yang mengambil judul Tatar Sunda dalam Lintasan
Sejarah (ditulis bersama dengan Miftahul Falah), relatif terhubung dengan buku Sejarah Tatar

Sunda Volume 2 yang ia susun dan diterbitkan pada 2003.

 KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang memiliki sumber kekayaan

bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaan-

kebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

a. Sistem Kepercayaan

Hampir semua orang Sunda beragama Islam hanya sebagian kecil yang tidak beragama

Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten. Tetapi ada juga yang beragama

Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Praktek-praktek sinkritisme dan mistik masih dilakukan namun

pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam

semesta.

Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan

keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong-royong). Hal yang

menari dalam kepercayaan Sunda adalah lakon pantun Lutung Kasarung yang merupakan salah

satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang tunggal (Guriang Tunggal) yang

menitiskan sebagian kecil diriNya ke dalam untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah

ini disebut Dewata). Ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan kabar baik

kepada mereka.

b. Mata Pencaharian
Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam dan tidak suka merantau atau hidup

berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal

meningkatkan taraf hidup, menurut data dari Bappenas (kliping Desember 1933) di Jawa Barat

terdapat 75% desa miskin. Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan

sumber daya manusia untuk itu perlunya pengembangan sumber daya manusia yang berupa

pendidika, pembinaan dan lain sebagainya untuk mengatasi kemiskinan tersebut.

c. Kesenian

1. Tari Jaipong

Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipong

adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. jaipongan atau Tari Jaipong

sebetulnya merupakan tarian yang sudah modern karena merupakan modifikasi atau

pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan

dengan iringan musik yang khas pula yaitu Degung yang di dalamnya merupakan kumpulan

beragam alat musik seperti Kendang, Go‟ong, Saron, Kecapi, dan sebagainya. Degung bisa

diibaratkan „Orkestra‟ dalam musik Eropa/Amerika, yang merupakan ciri khas dari Tari Jaipong

adalah musiknya yang menghentak dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol

selama mengiringi tarian dan tarian ini dibawakan berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian

yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta

perkawinan.

2. Wayang Golek

Jepang boleh terkenal dengan „Boneka Jepangnya‟, maka tanah Sunda terkenal dengan

kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat
dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki

keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang

Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan

pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu

pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai dari pukul 20.00 atau pukul 21.00 hingga

pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan

(tokoh baik melawan tokoh jahat) ceritanya biasanya diilhami oleh budaya Hindu dari India,

seperti Ramayana atau Perang Baratayuda. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama

dari tanah India, dalam Wayang Golek ada tokoh yang sangat dinantikan pementasannya yaitu

kelompok yang dinamakan dengan Purnakawan seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini

digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak)

dan sering memancing gelak tawa penonton karena dalam memainkan tokoh tersebut seorang

Dalang memainkannya dengan variasi yang sangat menarik.

d. Bahasa

Bahasa yaag digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda, Bahasa Sunda adalah bahasa

yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku Sunda, dan sebagai alat

pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu, Bahasa Sunda

merupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas Suku Sunda

yang merupakan alah satu Suku dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.

 MASALAH SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUNDA

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang

berusia sangat tua dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun. Kebudayaan Sunda
sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua setidaknya dalam hal pengenalan

terhadap budaya tulis. “Kegemilangan” kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa

Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya seringkali digunakan

sebagai acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Dalam perkembangannya kebudayaan Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya

kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta

kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda terutama dalam merespons

berbagai tantangan yang muncul baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan

memperlihatkan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak

memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar akibatnya tidaklah

mengherankan bilan semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh

kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas yaitu Bahasa Sunda yang merupakan bahasa

komunitas orang Sunda tampak semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya

para generasi muda Sunda. Yang lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam

komunikasi sehari-hari terkadang diidentikan dengan “keterbelakangan” , untuk tidak

mengatakan primitif. Akibatnya, timbulah rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan

bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan

pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda termasuk untuk

sekedar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa

Sunda.

Adanya kondisi yang menunjukan lemahnya daya dan mutu hidup kebudayaan Sunda

karena ketidak jelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda hal ini tampak dari

tidak adanya pegangan bersama yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-
prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara berkualitas kebudayaan

Sunda. Apalagi jika kita menengok sekarang ini kebudayaan Sunda dihadapkan pada pengaruh

budaya luar sehingga jika kita tidak pandai-pandai dalam memanajemen masuknyabudaya luar

maka kebudayaan Sunda ini lama kelamaan akan luntur bersama waktu.

Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk

dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional hingga kini belum mendapat

sentuhan yang memadai. Ambilah contoh berbagai makanan tradisional yang dimiliki oleh Sunda

mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, klontong, ranginang, opak hingga

ubi cilembu apakah ada dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab

agar bisa diterima oleh komunitas luas.

Lemahnya budaya baca, tulis dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya

hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara

tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia.

Fakta yang paling menonjol dari ini adalah minimnya karya-karya tulis kebudayaan Sunda atau

karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda.

 SISTEM INTERAKSI DALAM SUKU SUNDA

Jalinan hunbungan antara individu-individu dalam masyarakat Suku Sunda dalam

kehidupan sehari-hari berjalan relatif positif. Apalagi masyarakat Sunda memiliki sifat “someah

hade ka semah” ini terbukti banyak pendatang atau tamu tidak pernah surut berada ke Tatar

Sunda termasuk yang enggan kembali ke tanah airnya. Lebih jauh lagi banyak sekali sektor

kegiatan strategis yang didominasi kaum pendatang dan inilah fakta yang menunjukan bahwa

orang Sunda mempunyai sifat ramah dan baik hati kepada kaum pendatang atau tamu.
Diakui pula oleh etnik lainnya di negeri ini bahwa sebagian besar masyarakat Sunda

memang telah menjalin hubungan yang harmonis dan bermakna dengan kaum pendatang dan

mukimin. Hal ini ditandai oleh hubungan mendalam penuh empati dan persahabatan. Tidaklah

mengherankan, bahwa persahabatan, saling pengertian dan bahkan persaudaraan kerap terjadi

dalam kehidupan sehari-hari antara warga Sunda dan kaum pendatang.

Perkenalan pribadi, pembicaraan dar hati ke hati, gaya dan ragam bahasa(termasuk logat

bicara), cara bicara(paralinguistik), bahasa tubuh, ekspresi wajah, cara menyapa, cara duduk dan

aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan akan turut mempengaruhi berhasil tidaknya komunikasi

antarbudaya dengan orang Sunda. Pada akhirnya, di balik kearifan, sifat ramah, dan baik hati

orang Sunda, sebenarnya masih sangat kental sehingga hal ini menjadi penunjang di dalam

terjalinnya sistem interaksi yang berjalan dengam harmonis.

B. KEBUDAYAAN JAWA

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dan merupakan terluas ke-13 di dunia. Dengan

penduduk sekitar 154 juta, pulau ini berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu

tempat terpadat di dunia. Meskipun hanya menempati urutan terluas ke-5, Pulau Jawa dihuni

oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat laut

(tepatnya di ujung paling barat Jalur Pantura).

Jawa adalah pulau yang relatif muda dan sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik.

Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat

pulau ini, dengan dataran endapan aluvial sungai di bagian utara.

Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa

kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat


pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial,

politik, dan ekonomi Indonesia.

Sebagian besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa merupakan

bahasa ibu dari 100 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau

Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa

pertama maupun kedua. Dua bahasa penting lainnya adalah bahasa Sunda dan bahasa Betawi.

Sebagian besar penduduk Jawa adalah muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan,

agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.

Pulau ini secara administratif terbagi menjadi enam provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI

Yogyakarta.

 BAHASA
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan

bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi bahasa Betawi (suatu dialek

lokal bahasa Melayu di wilayah Jakarta), bahasa Osing dan bahasa Tengger (erat hubungannya

dengan bahasa Jawa), bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda), bahasa Kangean

(erat hubungannya dengan bahasa Madura), bahasa Bali, dan bahasa Banyumasan. Sebagian

besar besar penduduk mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan

bahasa kedua mereka.

 Agama dan kepercayaa

Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India

adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara

mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa. Para brahmana

kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan
kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka. Meskipun kemudian agama Islam menjadi

agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat

populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama di sekitar

kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota besar,

terutama dari kalangan Tionghoa-Indonesia.

Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa

Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur.

Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan

mungkin para bangsawan. M.C. Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang

berpaham sufi-mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang

menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek

mistis agama Hindu dan Buddha. Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik

Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir

Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu

dari sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti

tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.

Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan sebaran nuansa

keyakinan antara abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih ortodoks). Dalam sebuah pondok

pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi di masa

Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan

kebutuhan-kebutuhannya. Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam

sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang berkelompok dengan
tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh keagamaan, yang menggabungkan

pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam.

Agama Katolik Roma tiba di Indonesia pada saat kedatangan Portugis dengan perdagangan

rempah-rempah. Agama Katolik mulai menyebar di Jawa Tengah ketika Frans van Lith, seorang

imam dari Belanda, datang ke Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1896. Kristen Protestan tiba di

Indonesia saat dimulainya kolonialisasi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada abad ke-

16. Kebijakan VOC yang melarang penyebaran agama Katolik secara signifikan meningkatkan

persentase jumlah penganut Protestan di Indonesia. Komunitas Kristen terutama terdapat di kota-

kota besar, meskipun di beberapa daerah di Jawa tengah bagian selatan terdapat pedesaan yang

penduduknya memeluk Katolik. Terdapat kasus-kasus intoleransi bernuansa agama yang

menimpa umat Katolik dan kelompok Kristen lainnya.

Tahun 1956, Kantor Departemen Agama di Yogyakarta melaporkan bahwa terdapat 63

sekte aliran kepercayaan di Jawa yang tidak termasuk dalam agama-agama resmi di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, 35 berada di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat dan 6 di Jawa Timur. Berbagai

aliran kepercayaan (juga disebut kejawen atau kebatinan) tersebut, di antaranya yang terkenal

adalah Subud, memiliki jumlah anggota yang sulit diperkirakan karena banyak pengikutnya

mengidentifikasi diri dengan salah satu agama resmi pula.

 Ekonomi dan Mata pencaharian


Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno

di Jawa, seperti Tarumanagara, Mataram, dan Majapahit, sangat bergantung pada panen padi dan

pajaknya. Jawa terkenal sebagai pengekspor beras sejak zaman dahulu, yang berkontribusi

terhadap pertumbuhan penduduk pulau ini. Perdagangan dengan negara Asia lainnya seperti

India dan Cina sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya keramik Cina

dari periode tersebut. Jawa juga terlibat dalam perdagangan rempah-rempah Maluku semenjak
era Majapahit hingga era Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut

mendirikan pusat administrasinya di Batavia pada abad ke-17, yang kemudian terus

dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sejak abad ke-18. Selama masa penjajahan,

Belanda memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial, seperti tebu, kopi, karet, teh,

kina, dan lain-lain. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal ke-19 dan abad

ke-20, sehingga nama Java telah menjadi sinonim untuk kopi.

Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era Hindia-Belanda hingga

saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada sejak zaman kuno dipertautkan dan

disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19.

Kebutuhan transportasi produk-produk komersial dari perkebunan di pedalaman menuju

pelabuhan di pantai, telah memacu pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri,

bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta,

Surabaya, Semarang, dan Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti

Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni,

budaya dan pariwisata. Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara

Jawa, terutama di sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik, dan Sidoarjo.

Jaringan jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan Soeharto hingga

sekarang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-

kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Selain jalan tol tersebut,

di pulau ini juga terdapat 16 jalan raya nasional.

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk sekitar 136 juta. Pulau ini

berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia. Jawa

dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat.
Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan

Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan

kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan

ekonomi Indonesia.

Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau

ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi

membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa

utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa

merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam

di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai

bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat

beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.

Tugas

Menjelaskan pola-pola kebudayaan yang ada di Jawa dan Sunda

Bahan Bacaan:

Koentjaraningrat.1993. Manusia Dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Geertz, H. 1985. Aneka Budaya Dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Sangkala

Mattulada. 1975. Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
Jakarta: Universitas Indonesia.

Rahman, A. rahim.1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: LEPHAS.

Spradley, James P. 1997 Metode Etnografi. Yoyakarta: tiara Wacana Yogya

Anda mungkin juga menyukai