Anda di halaman 1dari 27

JOURNAL READING

ERUPSI OBAT

Oleh:
Jessica Permatasari 115070101111001
Hanestya Oky H 115070101111006
M. Irfan Allan 115070100111110

Pembimbing:
dr. Nurul Hidayah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
LABORATORIUM / SMF KULIT DAN KELAMIN
2016
ERUPSI OBAT

I. PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat
menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat
disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug
Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis 2

II. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,
uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan. 3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling
muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6)

2
Kajian dari Noegrohowati (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%),
sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi
dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%). 1
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada
bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. 3 Di internasional, drug
eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap.4
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi
simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat
jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang
serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.5

III. ETIOLOGI
Untuk dapat mengetahui obat yang menyebabkan erupsi perlu dilakukan
anamnesis yang cermat. Namun, hal ini sulit dilakukan karena satu obat dapat
menimbulkan berbagai macam erupsi, dan sebaliknya, satu erupsi dapat disebabkan
oleh berbagai macam obat. Selain itu, erupsi obat obat pada anak-anak memiliki
manifestasi klinis yang mirip seperti gangguan kulit yang disebabkan oleh virus atau
bakteri.2
Suatu obat dikatakan definitif sebagai agen kausatif erupsi obat apabila
memenuhi beberapa kriteria, yakni: terdapat urutan temporal yang wajar
ditemukannya kadar obat di dalam cairan tubuh, diikuti suatu respon terhadap obat
tersebut, terjadi perbaikan setelah penghentian obat, dan reaksi muncul kembali
setelah pajanan ulang.2

3
3
Tabel 1. Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka
Tabel 1.
Eksantema Erupsi Linchenoid :
Ampisilin, Penisilin Anti malaria
Phenilbutazone Beta blockers
Sulfonamid Chlorpropamide
Phenitoin Methyl dopa
Karbamazepin Penisilamin
Gold Phenilbutazone
Allopurinol Streptomisin.
Eritema multiforme and  
Steven
Johnson Syndrome:
Trimetoprim
Penisilin
Griseofulvin
Tetrasiklin
NSAID
Anticonvulsant
Tokxicepidermal necrolysis Acneform eruptions :
Allopurinol Corticosteroids
Aspirin Anabolic steroids
Penicillin Androgens (in female)
Phenytoin Oral contraceptives
Sulfasalazine Iodides and bromides
Lithium
Isoniazid

IV. PATOGENESIS
Erupsi obat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme imunologis dan
mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat
berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat

4
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat,
over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. 3,4,5

Tabel 2. Reaksi imunologis dan non imunologis 3,4,5

Tipe Contoh

Imunologis
Reaksi tipe I (IgE-mediated) Anafilaksis akibat antibiotik ß-laktam
Reaksi tipe II (sitotoksik) Anemia hemolitik akibat penisilin
Reaksi tipe III (kompleks imun) Serum sickness akibat globulin anti-
timosit
Reaksi tipe IV (delayed, cell- Dermatitis kontak akibat antihistamin
mediated) topikal
Morbiliform rash akibat sulfonamid
Aktivasi sel T spesifik Steven-Johnson syndrome
Fas/fas ligand-induced apoptosis Toxic epidermal necrolysis
Drug-induced lupus like syndrome
Lain-lain Sindrom hipersensitivitas
antikonvulsan

Non imunologis
Dapat diprediksi
Efek samping farmakologis Mulut kering karena antihistamin
Efek samping farmakologis Thrush akibat antibiotik
sekunder
Toksisitas obat Hepatotoksik akibat metotreksat
Interaksi obat Kejang akibat teofilin ketika
mengkonsumsi eritromisin
Overdosis obat Kejang akibat overdosis lidokain
Tidak dapat diprediksi
Pseudo alergi Reaksi anafilaksis akibat radiokontras
Idiosinkrasi Anemia hemolitik pada pasien
dengan defisiensi G6PD setelah
terapi primakuin

5
Intoleran Tinitus setelah pemberian aspirin
dosis rendah

A. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,
heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-
macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah
timbulnya syok.2,6
Tipe II (Reaksi Autotoksik)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.2,6,7
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.6,7
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan terhadap antigen.6,7

B. Mekanisme Non Imunologis


Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang

6
terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.2
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan
kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun
di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain
seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.2

c. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum
dapat dijelaskan.2

V.GAMBARAN KLINIS
Erupsi obat dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan
renal, tetapi yang tersering mengenai kulit. 3,4 Manifestasi yang tersering (erupsi
morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang terberat
(sindroma Stevens – Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta beberapa
manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura,
vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan eritema nodosum. 3,4
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi
eksantematosa merupakan erupsi obatyang paling sering dijumpai dan
dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan
simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens,
dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran
mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2 minggu setelah
inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan.
Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema
fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang
dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat
hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi.
Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau

7
dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi. 1-4

Gambar 1. Erupsi Eksantematosa.2

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata


akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak
diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul,
dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang
terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular. 1-4
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum
diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme,
yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah
beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis
pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi
terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru
ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi
obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi
obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif.
Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara
kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T
CD8+.1-4
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,
NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis,

8
fenobarbital, dan bahkan retinoid. Penyebab utama adalah antibiotika β
laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem
morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu
khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan
dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan
dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin. 3,4
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.
Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema
setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak
dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa
jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang
baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa
milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti
demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala. 3,4

Gambar 2. Urtikaria.2

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan


jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya
berkembang pada lokasi tertentu saja. 1 Edema biasanya simetris. Daerah
predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung
tangan dan kaki.3,4 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi
edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat
menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah
penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.3,4

9
Gambar 3. Angiooedema.2
Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian
dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan
juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria
adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian
mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam (melalui mekanisme alergi)
bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme
pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi
urtikaria yang diinduksi obat.3,4

c. Fixed Drug Eruption (FDE)


FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA
yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. 1-4 Tidak ada faktor
etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering
dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk
bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat
timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan
daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin
karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan
rasa panas setempat.1 Lesi kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap.
Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. 3,4

10
Gambar 4. Fixed drug eruption.2
Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,
trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter
hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat
terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya
pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain. 1,3,4

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide. 2

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor.
Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit
yang nekrotik.2,3,4,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam
memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang

11
sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan
peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan
limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi
limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid,
tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik. 2,3,4

d. Dermatitis Eksfoliativa (Eritroderma)


DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu
atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa
eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan
dan kaki.3,4 Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah
penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema
tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. 3,4

Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh. 2

Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe


IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih
dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan
penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau
berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya. 3,4
Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering
adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin,
fenilbutason, allopurinol, dan garam emas.3,4
e. Purpura

12
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa
bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila
ditekan.1,2 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi
obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk
pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas.
Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna
merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa
gatal.3,4 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm,
merah, kemudian coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula
kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam;
kemudian menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura
berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit /
mukosa. Berjumlah cukup banyak pembengkakkan & fluktuasi). 3,4

Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah.2

Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh


trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan
pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit.
Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa
mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik
atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non
trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan deposit

13
kompleks imun di dinding venula.3,4
Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam
asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin,
penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin,
sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura
non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim,
sulfonamid, asam asetilsalisilat. 3,4,5

f. Vaskulitis
Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa
palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan
adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah. 3 Bentuk tersering adalah
vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul . Vaskulitis dapat hanya
terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar,
ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi
simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya
disertai demam, malaise, myalgia dan anoreksia. 3,5 Vaskulitis clapat terjadi
pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima.
Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme
reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat
hanya salah satu penyebab vaskulitis. 2 Obat-obatan yang dianggap
sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida,
alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia. 3,4

g. Reaksi fotoalergik
Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik,
atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada
obat, respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian
besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat
topikal atau sisternik.2
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis
kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan
sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari. 3
Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang

14
dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan. 3,4

Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik.2

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi


hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik.
Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode
sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat
yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil. 2 sebagaian besar
reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid,
fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik,
misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin
dapat menimbulkan reaksi fotoalergik. 3,4

h. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)


Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute
generalized exanthematous pustulosis(AGEP) jarang terjadi, diduga
disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas
terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.2,3
Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul
pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai
lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>38 0C), dan
pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian
diikuti deskuamasi selama beberapa hari. 2,3
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate

15
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-
sel keratinosit.2,3
Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa
yaitu PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA
pustule-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat
menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda. 2

i. Eritema nodosum (EN)


EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema
yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala
umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang
diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di
daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan
lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula
disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi
streptokokus, dan leprae.2,3

16
Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah.2

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan


EN. Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan
deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi
imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan
mungkin mencetuskan lesi.3,4
Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah
sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral. 1 Obat-obatan lain seperti
penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN. 3,4

j. Eritema Multiforme (EM)


Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis
dan eritema eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan
rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan
gambaran bermacam-macam spectrum (polimorfik) dan gambaran khas
bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi
vesikel. Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab
EM pada 10-20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi
dan penyakit lain.3
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan
selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang
dapat menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula
eritema dan tipe vesikobulosa.3

17
Gambar 11. Eritema Multiformis.2

Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di


punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan
selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi
serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk
iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa
vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran
konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah. 3
Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika
yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat
juga mengenai selaput lendir. 3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak
ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan
proteinuria ringan.3

k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)


Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor
merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan
paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. 1,2
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab
lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma
dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang
tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID
dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ.

18
Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab
tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung kepada sel
sasaran (target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah pada kulit
berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T,
termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain.
CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada sel epidermis.
Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel
Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF  di epidermis meningkat.2
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum
begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan
sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala
prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan
nyeri tenggorokan.2

Gambar 12. A) Erupsi awal. Makula eritema dan epidermal detachment. B)


Presentasi awal dengan vesikula dan bula, warna keabuan pada atap bula menunjukkan
nekrosis epidermis. C) Erupsi tahap lanjut. Bula dan pelepasan epidermis menghasilkan
erosi konfluen. D) Nekrolisis epidermis full blown dikarakteristik dengan area erosi yang
luas.2

Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput
lender di orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema,
vesikel dan bula.2,3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang
tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh

19
kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan
anus jarang(masing-masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah sehingga terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan
krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran.
Di bibir kelainan yang sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang
tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan
pasien sulit/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80%
diantara semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis.
Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah
bronkopneumonia, selain itu dapat pula terjadi kehilangan darah/cairan,
gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan ebutaan karena gangguan
lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. 2,3

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme,


bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang
menyeluruh. Kelainan berupa:3
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah
dermis superficial
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subdermal
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk
parah dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka
diangnosanya adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk. 3
Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk
jamu dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien
baik dan lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 30-40mg sehari.
Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi menyeluruh pasien harus

20
dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-saving, dapat
digunakan injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi,
keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak
mengalami involusi maka dosis diturunkan 5 mg setiap harinya dan
setelah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid.
Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. Selain deksametason dapat pula
digunakan metilprednisolon degan dosis setara. Kelebihan
metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan
dengan dengan deksametason namun harganya lebih mahal. Dengan
dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang
sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya
bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang
biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x
600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi
protein karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa
pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat
diberikan KCl 3 x 500 mg.3,4
Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan
sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl
9% dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang
diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak
perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak
300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood)
adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya
menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi
meninggikan daya tahan. Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET
adalah :3
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat
setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30
mg deksametason sehari dan NET 40mg sehari.

21
2. Bila terdapat purpura generalis
3. Jika terdapat leukopenia
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C
500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi
sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim
sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase
dan betadine gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta
tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim urea 10%. 4

l. Nekrosis Epidermal Toksik (NET)


NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih
berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat
menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah
epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis),
dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. 3,4,5
Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang
berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat
dan sering menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit
atau karena sepsis. NET disertai periode prodromal berupa demam,
rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang
dapat disertai dengan penurunan kesadaran (spoor-komatosa),
selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya,
pasien merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema
generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula dan dapat disertai
dengan purpura. Bula dan pengelupasan kulit(epidermolisis) pada area
yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan
terkelupas.7,8

22
Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik.7
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis
tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama
dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ,
Dermatitis kontak iritan dan Staphylococcus Scalded Skin
Syndrome(SSSS).7,8

VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu
memastikan penyebab erupsi obat alergik :7
a. Pemeriksaan in vivo :
1. uji tempel (patch test)
2. uji tusuk (prick/scratch test)
3. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.

b.Perneriksaan in vitro :
1. Yang diperantarai antibodi :
a) Hemaglutinasi pasif
b) Radio immunoassay
c) Degranulasi basofil
d) Tes fiksasi komplemen
2. Yang diperantarai sel :
a) Tes transformasi limfosit

23
b) Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang
teliti.7

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis erupsi obat berdasarkan : 7
a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan
obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang
timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat
disertai demam yang biasanya subfebril.
b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis
sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan
oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris
atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema,
papul, eritroderma, eritema nodusum).
c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan
dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

VIII. PENGOBATAN
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:1,2
a. Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka
(apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk
rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka
(satu golongan).
b. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe
reaksi yang mendasarinya :
1. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan
epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena.

24
Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan
pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15
– 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam
berikutnya untuk mencegah komplikasi.
2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka
umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-
ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari)
dan antihistamin dapat dipertimbangkan.

Pengobatan dapat diberikan secara : 1,2,7


1. Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet
prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema
fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma
dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.
b) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau
dibandingkan dengan kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau
urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2%
ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol ½ - 1% untuk
mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis
medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam
salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak
diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan
membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim

25
kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-
sebagian.

IX.PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan
sindrom Steven-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas
kulit yang terkena.1,2,7

X. KESIMPULAN
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat
memicu timbulnya erupsi obat. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat,
harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari
terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi
klinis dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat
menurunkan morbiditas erupsi obat.
Apabila terjadi erupsi obat dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah
dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa
kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut
dapat ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah pajanan ulang
yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ;
2008. h 154-8.
2. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam : Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi 8. New York : McGraw-Hill, 2012
3. Ahmed AM, Pritchard S, Reichenberg J. A review of Cutaneous Drug Eruptions.
Clin Geriatr Med 29 (2013) 527–545.
4. Marzano AV, Borghi A, Cugno M. Adverse Drug Reactions and Organ Damage :
The Skin. European Journal of Internal Medicine 28 (2016) 12-24
5. Cutaneous drug reactions case reports : from the world literature. Am J Clin
Dermatol. 2003;4:511-521
6. Alissa R, Segal, Kevin M, et al. Cutaneous reactions to drugs in Children. Official
Journal of The American Academy of Pediatrics. 2007:120;e1082.
7. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.
2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-
352
8. Roujeu JC, Stern R. Medical progress: severe cutaneous reactions to drugs. N
Engl J Med. 2008;6:115-127.

27

Anda mungkin juga menyukai