Anda di halaman 1dari 26

Tinjauan Pustaka

Sentral Serous Retinopati

Oleh:

Satrio Bagas Suryonegoro, S.Ked

NIM. 2030912310136

Pembimbing:

Dr. dr. M. Ali Faisal, M.Sc, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Agustus, 2021
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... . 2
A. Definisi ................................................................................ 12
B. Epidemiologi ....................................................................... 12
C. Etiologi ................................................................................ 12
D. Klasifikasi ....................................................................... 13
E. Patofisiologi........................................................................... 14
F. Manifestasi Klinis................................................................. 15
G. Diagnosis................................................................. 16
H. Tatalaksana............................................................................. 19
I. Komplikasi .......................................................................... 20
J. Prognosis ............................................................................. 21
BAB III PENUTUP ................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Central Serous Retionopathy (CSR) adalah penyakit dimana terjadi gangguan di

wilayah lapisan neurosensorik retina. Kemungkinan etiologinya ialah seperti neovaskularisasi

choroidal akibat peradangan atau tumor.1 Penyakit ini jarang ditemukan, bersifat unilateral,

self limited desease, dan ditandai oleh pelepasan serosa sensorik sebagai akibat dari

kebocoran setempat cairan dari koriokapilaris melalui defek di epitel pigmen retina. Penyakit

ini biasanya mengenai pria berusia muda sampai pertengahan dan mungkin berkaitan dengan

kejadian-kejadian stress kehidupan. 2,3,4

Secara epidemiologis, penyakit ini umumnya ditemukan lebih banyak enam kali lipat

pada laki – laki dengan insidensi 10 per 100.000 populasi, ras Asian dan Hispanik, serta usia

produktif (20 – 55 tahun), dengan faktor predisposisi stres dan penggunaan kortikosteroid.1,3

Penjelasan mengenai hal ini adalah karena pria cenderung mempunyai kehidupan yang

lebih stress, paparan terhadap kejahatan lebih tinggi, jam kerja yang lebih panjang, tanggung

jawab keuangan yang lebih besar dan pekerjaan yang lebih berbahaya. 5

Melalui peneletian retrospektif, Haimovici mendapatkan bahwa steroid sistemik dan

kehamilan merupakan faktor sistemik yang berhubungan dengan pembentukan CSR. Faktor

1
resiko lainnya adalah pemakaian antibiotik, konsumsi alkohol, hipertensi yang tidak

terkontrol, dan penyakit saluran nafas alergik.5

Dalam hal ini, produktivitas adalah salah satu komponen vital fungsi manusia.

Mengingat 83% input sensoris berasal dari organ penglihatan, kelainan pada makula yang

dapat cukup mengganggu fungsi ini sudah seharusnya dapat ditangani dengan baik oleh para

praktisi kesehatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Retina

2.1.1. Anatomi

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang

menerima rangsangan cahaya.1Retina terdiri atas sepuluh lapisan dan berisi sel batang dan

kerucut, yang merupakan reseptor visual, ditambah empat jenis neuron: sel bipolar, sel

ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin.2 Retina terbentuk dari evaginasi vesikel sefalik

anterior atau proensefalon. Sewaktu vesikel optik ini berkontak dengan ektoderm permukaan,

secara berangsur bagian pusatnya mengalami invaginasi, yang membentuk mangkuk optik

berdinding ganda. Pada orang dewasa, dinding luar menjadi membran tipis yang disebut

epitel pigmen; bagian optik atau fungsional dari retina—retina neural—berkembang dari

lapisan dalam.3

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan retina4


Retina pars optika—yakni bagian posterior atau bagian fotosensitif—merupakan

struktur kompleks dengan sekurang-kurangnya 15 jenis neuron dan sel-sel ini membentuk

sekurang-kurangnya 38 jenis sinaps yang berbeda satu sama lain. Retina pars optika terdiri

atas lapisan luar sel-sel fotosensitif, yaitu sel batang dan sel kerucut; lapisan tengah neuron

bipolar, yang menghubungkan sel batang dan sel kerucut dengan sel-sel ganglion; dan lapisan

dalam sel-sel ganglion, yang berhubungan dengan sel-sel bipolar melalui dendritnya dan

mengirimkan akson ke susunan saraf pusat. Akson-akson ini berkumpul pada papilla optikus

dan membentuk nervus optikus.3,4

Di antara lapisan batang dan kerucut dan sel-sel bipolar, terdapat daerah yang disebut

lapisan pleksiform luar atau lapisan sinaptik, tempat terbentuknya sinaps antara kedua jenis

sel tersebut (fotoreseptor dan bipolar). Daerah tempat terbentuknya sinaps antara sel bipolar

dan sel ganglion disebut lapisan pleksiform dalam. Retina memiliki struktur terbalik karena

cahaya mula-mula melintasi lapisan ganglion dan kemudian lapisan bipolar sebelum

mencapai lapisan batang dan kerucut.3,4,5

Sel batang dan kerucut, yang diberi nama sesuai bentuknya, adalah neuron yang

terpolarisasi;pada satu kutub terdapat satu dendrit fotosensitif, dan pada kutub yang lain

terdapat sinaps dengan sel lapisan bipolar. Sel batang dan kerucut dapat dibagi menjadi

segmen luar dan segmen dalam, daerah inti, dan daerah sinaps. Segmen luar merupakan

modifikasi silia dan mengandung tumpukan kantung-kantung berlapis membran berbentuk

cakram gepeng. Pigmen fotosensitif retina terdapat di dalam membran kantung-kantung ini.

Sel batang dan sel kerucut menembus lapisan tipis, yakni membrane limitans eksterna, yang

merupakan sederetan kompleks pertautan antara sel fotoreseptor dan sel glia retina (sel
Muller). Inti sel kerucut biasanya terletak di dekat membran limitans, sedangkan inti sel

batang berada dekat dengan pusat segmen dalam.2,3,5

Sel batang adalah sel tipis yang memanjang (50x3 µm) dan terdiri atas 2 bagian.

Bagian fotosensitif luar berbentuk batang, dan terutama terdiri atas banyak (600-1000)

cakram gepeng bermembran yang bertumpuk seperti uang logam. Cakram dalam batang

tidak berhubungan dengan membrane plasma; segmen luar dipisahkan dari segmen dalam

oleh suatu penyempitan. Cakram gepeng di sel batang mengandung pigmen yang disebut

rhodopsin, yang memutih oleh cahaya dan menginisiasi rangsangan visual. Diperkirakan

bahwa retina manusia memiliki sekitar 120 juta sel batang. Sel-sel ini sangat sensitif terhadap

cahaya dan dipandang sebagai reseptor yang terpakai bila intensitas cahaya rendah, seperti

pada waktu senja atau pada malam hari.3,4,6

Sel kerucut juga merupakan neuron berukuran panjang (60x1,5 µm). setiap retina

manusia memiliki sekitar 6 juta sel kerucut. Strukturnya serupa dengan struktur sel batang,

tetapi berbeda dalam hal bentuk dan struktur segmen luarnya. Sekurang-kurangnya terdapat 3

jenis kerucut fungsional, yang tak dapat dibedakan dari morfologinya. Setiap jenis

mengandung fotopigmen kerucut yang disebut iodopsin, dan sensitivitas maksimumnya

terdapat di daerah merah, hijau, atau biru dari spektrum cahaya yang terlihat. Sel kerucut,

yang hanya peka terhadap cahaya dengan intensitas yang lebih tinggi daripada intesitas yang

diperlukan untuk menstimulasi sel batang, diyakini menimbulkan ketajaman penglihatan yang

lebih baik daripada sel batang. 2,3,4,5

Sel batang dan kerucut, yang terdapat setelah koroid, bersinaps dengan sel bipolar, dan

sel bipolar bersinaps dengan sel ganglion. Akson dari sel ganglion berkumpul dan

meninggalkan mata sebagai saraf optik. Sel horisontal menghubungkan sel-sel reseptor pada
sel-sel reseptor lainnya di lapisan pleksiform luar. Sel amakrin menghubungkan sel ganglion

satu sama lain di lapisan pleksiform dalam. Sel amakrin tidak memiliki akson, dan proses ini

membuat kedua koneksi pre- dan postsinaptik dengan elemen saraf tetangga. Gap junction

juga menghubungkan neuron retina satu sama lain.2,3,4,5

Karena lapisan reseptor retina terletak pada epitel pigmen tepat di sebelah koroid, sinar

cahaya harus melewati sel ganglion dan lapisan sel bipolar untuk mencapai batang dan

kerucut. Epitel pigmen menyerap sinar cahaya, mencegah pantulan sinar kembali melalui

retina. Refleksi seperti itu akan menghasilkan kekaburan dari gambar visual. Unsur-unsur

saraf retina terikat bersama oleh sel glial disebut sel Muller. Proses sel-sel ini membentuk

membran pembatas internal pada permukaan dalam retina dan membran pembatas eksternal

pada lapisan reseptor. Saraf optik meninggalkan mata dan pembuluh darah retina masuk ke

mata pada titik 3 mm medial dan sedikit di atas kutub posterior bola mata. Wilayah ini dapat

dilihat denganoptalmoskop sebagai diskus optik us. Tidak ada reseptor visual yang melapisi

diskus, dan akibatnya tempat ini buta (blind spot). 2,3,4

Di dekat kutub posterior mata, ada suatu titik berpigmen kekuningan, disebut makula

lutea. Ini menandai lokasi fovea sentralis, suatu lekukan dangkal pada retina yang mana tidak

terdapat sel batang pada tempat itu. Di dalamnya terdapat banyak sel kerucut, dan setiap sel

bersinaps sebuah sel bipolar yang pada gilirannya bersinaps pada sebuah sel ganglion, dan

membuat jalur langsung ke otak. Di daerah ini tidak ada pembuluh darah yang melintasi sel

fotosensitif. Akibatnya, fovea adalah titik di mana ketajaman visual terbesar. Ketika

perhatian tertarik atau terfiksasi pada suatu objek, kedua bola mata biasanya berpindah

sehingga sinar yang memantul dari objek tepat jatuh pada fovea. 2,3,4,5
Pembuluh darah yang memperdarahi lapisan internal retina berasal dari arteri retinal

sentralis, yang memasuki bola mata melalui pusat nervus optikus dan kemudian terbagi

untuk memperdarahi keseluruhan permukaan retina bagian dalam. Dengan demikian, lapisan

dalam retina memiliki pembuluh darah sendiri yang terpisah dari struktur mata yang lain.

Namun, lapisan terluar retina melekat pada koroid, yang juga adalah jaringan kaya pembuluh

darah yang terdapat antara retina dan sklera. 5,6,7

Arteri, arteriola, dan vena di lapisan permukaan retina dekat permukaan vitreous dapat

dilihat melalui optalmoskop Karena ini adalah satu-satunya tempat di tubuh dimana arteriol

dapat segera terlihat, pemeriksaan optalmoskopi sangat berharga dalam diagnosis dan

evaluasi diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit lain yang mempengaruhi pembuluh darah.

Pembuluh retina memberi makan ke selbipolar dan sel ganglion, tetapi sebagian besar

reseptor dipelihara oleh pleksus kapiler di koroid. Inilah sebabnya mengapa ablasi retina

sangat merusak sel-sel reseptor. 2, 5,6,7

Lapisan pigmen retina terdiri dari melanin, yang mencegah pemantulan cahaya oada

keseluruhan bola mata; pigmen ini sangat penting untuk ketajaman penglihatan. Lapisan ini

memiliki fungsi yang sama dengan bagian yang berwarna hitam di bawah sebuah kamera.

Bagian neural retina kadangkala lepas dari epitel pigmen. Dalam beberapa kasus, penyebab

pelepasan tersebut adalah cedera pada bola mata yang memungkinkan cairan atau darah

berkumpul antara neural retina dan epitel pigmen. Pelepasan ini kadang-kadang disebabkan

oleh kontraktur dari fibril kolagen halus di vitreous humor, yang menarik dari daerah retina

ke bagian dalam bola mata.5,6,7,8

2.1.2. Fisiologi
Perubahan potensial yang memulai potensial aksi di retina dihasilkan oleh adanya

cahaya pada senyawa fotosensitif dalam sel batang dan kerucut. Ketika cahaya diserap oleh

zat ini, perubahan struktur, dan perubahan ini memicu urutan kejadian yang memulai aktivitas

saraf.3,8,9

Saluran Na+ di segmen luar dari sel batang dan kerucut terbuka dalam gelap, sehingga

Na+ mengalir dari segmen dalam ke segmen luar. Na+ juga mengalir ke akhir sinaptik dari

fotoreseptor. Na +-K + ATPase pada segmen dalam mempertahankan keseimbangan ion.

Pelepasan neurotransmiter sinaptik stabil dalam gelap. Ketika cahaya menyerang segmen

luar, reaksi yang diinisiasi menutup beberapa saluran Na2, dan hasilnya adalah potensial

reseptor yang terhiperpolarisasi. Hiperpolarisasi ini mengurangi pelepasan neurotransmiter

sinaptik, dan ini menghasilkan sinyal yang pada akhirnya menyebabkan potensial aksi pada

sel ganglion. Potensial aksi ditransmisikan ke otak. 3,8,9

Senyawa fotosensitif di mata manusia dan mamalia kebanyakan terdiri dari protein

yang disebut opsin, dan retinen 1, aldehid vitamin A1. Istilah retinen1 digunakan untuk

membedakan senyawa ini dari retinen 2, yang ditemukan di mata beberapa spesies hewan.

Karena retinen adalah senyawa aldehida, senyawa ini juga disebut retinal. Dalam gelap,

retinen1 di rhodopsin ada dalam konfigurasi 11-cis. Tugas dari cahaya adalah hanya untuk

mengubah bentuk retinen, mengubahnya menjadi semua isomer all-trans. Hal ini pada

gilirannya mengubah konfigurasi opsin, dan perubahan opsin mengaktifkan protein G

heterotrimerik terkait, yang dalam hal ini disebut transdusin atau G t1. Protein G mengubah

GDP menjadi GTP, dan subunit α terpisah. Subunit ini tetap aktif hingga aktivitas GTPase

menghidrolisis GTP. Pemutusan aktivitas transdusin juga dipercepat oleh ikatannya dari β-

arrestin. Subunit α mengaktifkan cGMP fosfodiesterase, yang mengubah cGMP menjadi 5'-

GMP. cGMP biasanya bekerja langsung pada saluran Na+ untuk mempertahankannya dalam
posisi terbuka, sehingga penurunan konsentrasi cGMP sitoplasma menyebabkan beberapa

saluran Na+ menutup. Ini menghasilkan hiperpolarisasi potensial. 2,4,5,6,7

Gambar 2.2 Rhodopsin Cycle7

Setelah retinen1 dikonversi ke konfigurasi all-trans, retinen1 terpisah dari opsin

(bleaching). Beberapa rhodopsin dibuat ulang secara langsung, sementara beberapa retinen 1

berkurang oleh enzim alkohol dehidrogenase dengan adanya NADH menjadi vitamin A 1, dan

ini pada gilirannya bereaksi dengan scotopsin untuk membentuk rhodopsin. Semua reaksi ini

kecuali pembentukan isomer all-trans dari retinen1 independen terhadap intensitas cahaya,

berjalan sama baiknya dalam cahaya atau gelap. Jumlah rhodopsin dalam reseptor karena itu

berbanding terbalik dengan tingkat cahaya yang ada. 2,4,5,6,9

Cahaya mengurangi konsentrasi Ca2+ seperti juga jumlah Na +


dalam fotoreseptor.

Penurunan konsentrasi Ca2+ mengaktifkan guanilil siklase, yang menghasilkan lebih banyak

cGMP. Hal ini juga menghambat fosfodiesterase yang teraktivasi cahaya. Kedua aksi

pemulihan ini memulihkan saluran Na + ke posisi terbuka. 2,4,5,6,7


Banyak neurotransmiter sinaptik yang berbeda ditemukan di retina, termasuk

asetilkolin, glutamat, dopamin, serotonin, GABA, glisin, substansi P, somatostatin, TRH,

GnRH, enkephalins, β-endorphin, CCK, VIP, neurotensin, dan. Reseptor kainate memediasi

respon sinaptik antara sel kerucut dan satu jenis sel bipolar. Sel amakrin adalah satu-satunya

sel yang mengeluarkan asetilkolin di retina. 2,4,5,6,8,9

Informasi visual pada retina melibatkan pembentukan tiga gambar. Gambar pertama,

dibentuk oleh aksi cahaya pada fotoreseptor, diubah menjadi gambar kedua dalam sel bipolar,

dan ini pada gilirannya diubah menjadi gambar ketiga dalam sel ganglion. Dalam

pembentukan gambar kedua, sinyal diubah oleh sel-sel horizontal, dan dalam pembentukan

ketiga, diubah oleh sel-sel amakrine. Ada sedikit perubahan pola impuls dalam tubuh

genikulatum lateralis, sehingga gambar ketiga mencapai korteks oksipital. 2,4,5,6,7

Karakteristik dari sel ganglion dan bipolar (serta sel-sel genikulatum lateralis dan sel-

sel dalam lapisan 4 dari korteks visual) adalah bahwa mereka berespon paling baik terhadap

stimulus sirkular yang kecil dan bahwa, dalam bidang reseptif, suatu anulus cahaya sekitar

pusat menghambat respon ke tempat pusat. Pusat ini dapat tereksitasi dengan neuroinhibitor.
2,4,5,6,7
Gambar 2.3 Rod Cell Hyperpolarization7

Penghambatan respon pusat mungkin adalah karena umpan balik inhibisi dari satu

fotoreseptor ke fotoreseptor lain dimediasi melalui sel horisontal. Dengan demikian, aktivasi

fotoreseptor terdekat dengan penambahan anulus memicu hiperpolarisasi sel horizontal, yang

pada gilirannya menghambat respon dari fotoreseptor diaktifkan secara sentral.

Penghambatan respon terhadap pencahayaan sentral dengan peningkatan pencahayaan

sekitarnya adalah contoh dari inhibisi lateral atau aferen—membentuk inhibisi dari aktivasi

unit saraf tertentu yang terkait dengan penghambatan aktivitas unit di dekatnya. Ini adalah

fenomena umum dalam sistem sensorik mamalia dan membantu untuk mempertajam stimulus

dan meningkatkan kemampuan membedakan sesuatu. 2,4,5,6,7


2.2. Sentral Serous Retinopati

2.2.1. Definisi

Retinopati serosa sentral ( CSR ) merupakan kelainan pada makula lutea berupa

penimbunan cairan yang mengakibatkan edema makula. Retinopati serosa sentral terutama

terdapat pada dewasa muda. Laki-laki lebih banyak terkena dibanding wanita terutama yang

sedang menderita stress berat, dimana tajam penglihatan akan turun secara mendadak dengan

5
terdapatnya skotoma sentral dengan metamorfopsia.

CSR adalah suatu penyakit dimana lepasnya lapisan serosa dari retina neurosensorik

5
kemudian terjadi kebocoran yang luas dari koriokapilaris melalui epitel pigmen retina.

Retinopati
serosa sentral atau korioretinopati serosa sentral adalah sebuah penyakit

dimana terdapat ablasio serosa retina neurosensorik sebagai akibat dari kebocoran cairan

1
setempat dari koriokapilaris melalui suatu defek di epitel pigmen retina.

2.2.2. Epidemiologi

Penyakit
ini umumnya ditemukan leih banyak enam kali lipat pada laki – laki dengan

insidensi 10 per 100.000 populasi, ras Asian dan Hispanik, serta usia produktif (20 – 55

tahun), dengan faktor predisposisi stres dan penggunaan kortikosteroid.3,4

2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Retinopati serosa sentral sering disebut retinopati serosa sentral idiopatik yang artinya

5
penyebabnya tidak diketahui. Kemungkinan berkaitan dengan kejadian-kejadian stress

2
kehidupan.

Retinopati serosa sentral juga dihubungkan dengan kortisol dan kortikosteroid, dan

orang dengan tingkat kortisol lebih tinggi daripada normal juga memiliki kecenderungan

2
untuk menderita retinopati serosa sentral.

Kepribadian
tipe A dan hipertensi sistemik dapat berhubungan dengan CSR,

diperkirakan karena peningkatan sirkulasi kortisol dan epinefrin, yang mempengaruhi

2
autoregulasi dari choroidal sirkulasi.

Faktor risiko yang diketahui berperan pada CSR adalah usia muda / pertengahan (20-

40 tahun), ras Kaukasia, jenis kelamin (laki-laki lebih banyak 6 kali lipat, wanita umumnya

pada usia lebih tua), stres fisiologis, kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, Obstructive

Sleep Apnea (OSA), penggunaan steroid jangka panjang, Cushing syndrome, penyakit lupus,

serta kehamilan pada trimester ke tiga.3,4 Faktor resiko lainnya adalah pemakaian antibiotik,

2
konsumsi alkohol, hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit saluran nafas alergik.

2.2.4. Patofisiologi

Adapun
patofisiologi yang mendasari kejadian ini sampai saat ini masih belum terlalu

dimengerti (idiopatik), namun diperkirakan terjadi sebagai akibat dari gangguan pompa ionik
dari Retinal Pigmented Epithelial cells (RPE) maupun vaskulopati yang menyebabkan

kebocoran / peningkatan permeabilitas dari khoriokapiler.4

Kebocoran (leakage) pada lapisan epitel pigmen diduga disebabkan oleh kelainan

hormonal dan infeksi oleh virus. Lubang kebocoran ini merupakan suatu pintu masuk untuk

mengalirnya cairan dari bawah lapisan epitel pigmen ke ruangan dibawah retina sehingga

terjadi pengumpulan cairan dibawah retina. Pengumpulan cairan dibawah retina didaerah

1
macula retina ini menyebabkan penglihatan penderita sangat terganggu.

Baru sejak ditemukannya ICGA pada tahun 1993, patogenesis CSR telah diketahui

dengan pasti. Kelainan ini disebabkan oleh abnormalitas sirkulasi koroid yang selanjutnya

menyebabkan iskemia koroid, hiperpermeabilitas vascular koroid, RPE (retinal pigment

epithelium) detachment, dan ablasio retina sensorik. Abnormalitas sirkulasi koroid ini

dihubungkan dengan kondisi hiperkortisolisme seperti kehamilan, stress dan kepribadian tipe-

2
A, sindrom Cushing, dan pemakaian glukokortikoid.

Pada
awalnya glukokortikoid merupakan obat pertama yang digunakan secara luas

sebagai terapi CSR. Namun dengan beberapa penelitian didapatkan fakta bahwa

glukokortikoid merupakan suatu factor resiko yang bermakna dalam timbulnya CSR.

Mekanisme patofisiologinya belum diketahui. Penjelasan yang diterima saat ini adalah

pengaruh glukokortikoid terhadap sirkulasi koroid. Aliran darah koroid diketahui diatur oleh

system simpatis dan secara antagonis dengan system parasimpatik untuk menghambat

produksi nitric oxide synthase, suatu modulator vascular. Interaksi ini menyebabkan spasme

4
pembuluh darah koroid dan iskemia koroid.

Secara garis besar, perjalanan penyakit CSR dapat dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu:6
  Tahap 1, akut, belum terdapat kebocoran, namun telah terjadi perubahan pada area

multifokal taut ketat.

  Tahap 2, subakut, tahap perkembangan dari tahap 1, dimana mulai terjadi kebocoran

fokal pada taut ketat, umumnya masih tetap asimtomatik namun dapat pula mulai

dirasakan adanya keluhan penglihatan, misalnya penurunan visus dan metamorfopsia.

Umumnya, tahapan ini mengalami regresi spontan.

  Tipe 3, kronik, dimana tahap 2 berlangsung kronik, biasanya akan ditemukan defek

pada lapang pandang dan penurunan visus akan terjadi secara lebih nyata. Umumnya CSR

baru terdeteksi pada tahapan ini dan harus ditatalaksana dengan fotokoagulasi.

  Tipe 4, inaktif, yaitu tahapan yang ditemukan pada kasus CSR yang mengenai satu

mata. Mata lain dapat saja telah menunjukkan adanya defek RPE pada FA, akan tetapi

tidak terdapat gejala.

  Tipe 5, tahapan komplikasi, misalnya dekompensasi RPE, umumnya muncul 5-10

tahun setelah onset CSR.

  Tipe 6, komplikasi neovaskularisasi subretinal.

CSR dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 6

  Berdasarkan tipenya:

o Tipikal, yaitu ditemukan satu atau dua area kebocoran pada FA. o Atipikal, yaitu

kebocoran multipel.

  Berdasarkan keadaan edema yang ditemukan:

o Tipe 1, koleksi cairan terjadi pada ruang subretinal (94% kasus). o Tipe 2, koleksi
cairan terjadi di bawah ruang RPE (3% kasus).

o Tipe 3, campuran tipe 1 dan tipe 2.

2.2.5 Manifestasi Klinis

2.2.5.a Anamnesis

   Pasien biasanya datang dengan gejala akut berupa kehilangan penglihatan dan

metamorphopsia (khususnya micropsia). Gejala lain yang biasanya menyertai adalah

penurunan penglihatan sentral dan dengan skotoma positif.

   Penurunan penglihatan biasanya dapat dikoreksi dengan hiperopic kecil.

   Gejala klinis lain termasuk terhambatnya waktu perbaikan retina akibat fotostress

2
dan kehilangan kontras warna, dan sensitifitas kontras.

2.2.5.b Pemeriksaan Fisik

   Pemeriksaan klinis menunjukkan lepasnya serosa retina tanpa perdarahan

subretina. Lepasnya lapisan neurosensorik retina mungkin hanya sedikit,

membutuhkan pemeriksaan dengan lensa kontak untuk mendeteksinya.

   Lepasnya pigmen epitel, terdapat bintik-bintik dan atrofi pada epitel pigmen

2
retina, dan sangan jarang ditemukan adanya lemak di subretina.

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan :

1. Visus: Penglihatan kabur, turun menjadi 6/9 sampai 6/12, dengan


koreksi lensa positif akan lebih terang atau mendekati normal

(hipermetrop).

2. Pemeriksaan eksterna: Konjungtiva, kornea, iris, lensa tampak normal.

3. Tekanan bola mata: Normal.

Pemeriksaan lainnya adalah :

untuk menunjang diagnosis CSR, dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang, di

antaranya:

 Tes Amsler grid. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula, yaitu dengan cara

pasien melihat dengan satu mata ke titik sentral dari suatu gambaran dengan kisi-kisi yang

tersusun atas garis horizontal dan vertikal, umumnya dengan warna putih dan latar belakang

hitam. Saat pemeriksaan, ditanyakan pada pasien apakah dengan satu mata keempat sudut

terlihat, apakah terdapat garis yang berbentuk iregular, atau tidak terlihat dengan acuan suatu

titik tengah. Bentuk iregular ini dapat dilaporkan adanya gambaran bergelombang

(metamorfopsia), terlihat kelabu, kabur, maupun tidak terlihat / skotoma.2

Pada CSR, biasanya ditemukan metamorfopsia yang bersesuaian dengan daerah yang terkena

defek.3
Gambar 4. Tes Amsler Grid: Normal, Skotoma dan Metamorfopsia. Sumber:

www.amslergrid.org

  OCT, dapat menunjukkan adanya elevasi bagian neurosensoris dari retina serta

ablasi, maupun defisit dari RPE.3

o Gambar 5. OCT pada CSR.3

  FA (Fluorescein Angiography), umumnya menunjukkan gambaran smokestack

ataupun ink blot. Gambaran smokestack diperlihatkan sebagai titik yang mengalami

hiperfluoresensi kemudian dilanjutkan dengan difusi melalui area yang mengalami

elevasi / ablasi. Gambaran ink blot adalah temuan yang cukup sering diperoleh, yaitu

titik dengan hiperfluoresensi yang kemudian membesar.3


Gambar
6. FA pada CSR.3

 ICGA (Indo Cyanine Green Angiography). Pada pemeriksaan ini, terdapat fase

arterial, dimana ditemukan angiogram normal, fase pengisian vena awal / fase awal,

fase pengisian vena akhir / fase tengah, dan fase akhir.6

Fase awal menunjukkan hipoflouresensi dengan pembuluh darah koroid yang

terdilatasi pada kutub posterior dan lokasi kebocoran mulai dapat ditemukan. Fase

tengah menunjukkan area dengan hiperfloresensi karena hiperpermeabilitas koroid

serta tipe kebocoran yang terjadi.3 Fase akhir umumnya masih ditandai dengan

hiperfloresensi karena adanya pengumpulan cairan pada ruang subretinal.

2.2.7 c

Untuk mata tenang visus turun perlahan, perlu dipikirkan beberapa etiologi, di

antaranya katarak, retinopati diabetik maupun hipertensif, glaukoma kronik, kelainan

refraksi, retinitis pigmentosa, degenerasi makula, maupun kelainan makula lainnya.

Di samping CSR, kebocoran dari RPE dapat pula disebabkan oleh penyebab

lain misalnya neovaskularisasi koroid, inflamasi, maupun tumor.

Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan

penunjang, diagnosis banding tersebut satu per satu dapat disingkirkan.


2.2.8 Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan kasus CSR adalah observasi selama 3 - 6 bulan pada

kebanyakan kasus karena perjalanannya yang menunjukkan resolusi spontan. 3,4,7 Di

samping itu, dilakukan pula modifikasi pada beberapa faktor risiko yang dapat diubah,

terutama pemakaian steroid jangka panjang ataupun gaya hidup, terutama terkait

dengan stres, misalnya berupa terapi meditasi / yoga.4,5

Tatalaksana secara medikamentosa umumnya jarang dilakukan, akan tetapi

apabila muncul komplikasi misalnya neurovaskularisasi koroid, berdasarkan

penelitian, diperoleh bahwa administasi agen intravitreal, misalnya bevicizumab dapat

digunakan.5

Tatalaksana lain yang perlu dipertimbangkan adalah fokoagulasi laser pada

RPE yang mengalami kebocoran apabila setelah observasi tidak ditemukan regresi

spontan.3,4 Indikasi umum untuk terapi ini adalah:4,7

  Persistensi CSR lebih dari 4 bulan.

  Munculnya rekurensi.

  Keberadaan defek lapang pandang pada mata yang awalnya sehat.

  Permintaan pasien dengan alasan tuntutan pekerjaan untuk visus baik.

Di samping itu, dapat pula dilakukan Photo Dynamic Therapy (PDT), terutama

pada kasus CSR kronik. Tatalaksana ini dapat berefek langsung pada sirkulasi koroid
melalui percepatan resorpsi cairan, akan tetapi berisiko untuk menimbulkan iskemia

pada makula, sehingga seringkali tidak dikerjakan.4

2.2.9 Komplikasi

1. Sebagian kecil pasien mengalami neovaskularisasi koroid pada tempat

kebocoran dan bekas laser. Pengamatan retrospektif kasus ini menunjukkan

bahwa setengah dari pasien-pasien tersebut mungkin memiliki tanda-tanda

neovaskularisasi koroid semu pada saat pengobatan. Pada pasien yang lain,

2
resiko neovaskularisasi koroid mungkin meningkat dengan pengobatan laser.

2. Ablasio retina bulosa akut dapat muncul sebaliknya pada pasien sehat dengan

retinopati serosa sentral. Gambarannya dapat menyerupai penyakit Vogt-

Koyanagi-Harada, ablasio retina regmatogenus, atau efusi uvea. Sebuah

laporan kasus telah melibatkan penggunaan kortikosteroid pada retinopati

serosa sentral sebagai faktor yang meningkatkan kemungkinan pembentukan

fibrin subretina. Mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap akan

2
menghasilkan perbaikan pada ablasio retina serosa.

3. Dekompensasi epitel pigmen retina akibat serangan berulang akan berakibat

atrofi epitel pigmen retina dan berikutnya atrofi retina. Dekompensasi epitel

pigmen retina adalah manifestasi retinopati serosa sentral namun dapat juga

2
dianggap sebagai komplikasi jangka panjang.

2.2.9 Prognosis
Pada umumnya, penyakit ini akan mengalami resolusi spontan pada mayoritas pasien

dalam waktu 3-6 bulan diikuti dengan perbaikan visus pada 80% pasien, walaupun dapat pula

ditemukan kasus tanpa perbaikan tajam penglihatan. Akan tetapi, rekurensi seringkali terjadi

(50% kasus).

Kasus
ini dapat pula berlangsung secara kronik, yaitu lebih dari 12 bulan, namun

umumnya hanya terjadi pada minoritas pasien maupun usia yang lebih tua.3

BAB III

PENUTUP

Retinopati serosa sentral ( CSR ) merupakan kelainan pada makula lutea berupa

penimbunan cairan yang mengakibatkan edema makula. Retinopati serosa sentral terutama

terdapat pada dewasa muda. Laki-laki lebih banyak terkena dibanding wanita terutama yang

sedang menderita stress berat, dimana tajam penglihatan akan turun secara mendadak dengan

terdapatnya skotoma sentral dengan metamorfopsia.

Pasien biasanya mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, melihat benda

serasa menjadi lebih kecil, penurunan penglihatan warna dan kontras dll.

Karena penyebab pasti belum diketahui, dan diduga berhubungan dengan stress dalam

kehidupan, maka edukasi pada pasien Central Serous Retinopathy adalah jika

memungkinkan, pasien harus menghindari situasi yang menekan. Pasien berpartisipasi dalam

kegiatan mengurangi stres (misalnya, olahraga, meditasi, yoga) sangat dianjurkan. Walaupun

harus diwaspadai juga penyebab lainnya seperti penggunaan kortikosteroid dalam waktu
lama, hipertensi sistemik, kehamilan, kepribadian tipe A, pemakaian antibiotik, konsumsi

alkohol, hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit saluran nafas alergik.

Adapun penatalaksanaannya meliputi non medikamentosa dan medikamentosa.

Karena CSR ini merupakan self limited desease, maka tanpa pengobatan pun akan sembuh

sendiri. Obat yang diberikan pun hanya obat yang dapat mempercepat menutupnya lubang

kebocoran dilapisan epitel pigmen. Obat yang diberikan adalah vitamin dalam dosis yang

cukup. Juga Asetazolamide efektif untuk mengurangi edema macula yang disebabkan oleh

tindakan operasi dan berbagai kelainan intraocular lainnya.

Untuk terapi non medikamentosa adalah koagulasi sinar laser yang bertujuan untuk

menutup lobang kebocoran dilapisan epitel pigmen. Serta memanajemen stress serta faktor

penyebab lain dari penyakit ini.

Prognosis dari Central Serous Retinopathy adalah sekitar 80 % mata dengan CSR

mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal

dalam waktu 6 bulan setelah awitan gejala . Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal,

banyak pasien mengalami defek penglihatan permanent,misalnya penurunan ketajaman

kepekaan terhadap warna, mikropsia, dan skotoma relative. 20% – 30 % akan mengalami

sekali atau lebih kekambuhan penyakit, dan pernah dilaporkan adanya penyulit termasuk

neovaskularisasi subretina dan edema macula sistoid kronik pada pasien yang sering dan

berkepanjangan mengalami pelepasan serosa.


DAFTAR PUSTAKA

1. Theng K. Central Serous Chorioretionopathy. In : Medscape Miscellaneus

Ophtalmology Article. 2013

2. Hardy R A. Retina dan Tumor Intraokular. Dalam : Vaughan OftalmologiUmum,ed

14. Penerbit Widya Medika : Jakarta. 2000 : 197-219

3. Kanski J J. MIscellaneus Acquired Maculopathies. In : Clinical Ophtalmology A

Systematic Approach. 7th ed. Saunders Elsevier : Philadelphia. 2011 : 398-399

4. Ilyas S. Mata Tidak Merah Visus Turun Mendadak. Dalam : Ilmu penyakit Mata.

Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2004 : 197-198

5. Sengdy, Chauhari C, Elvoiza. Karakteristik Penderita dan Efektivitas Terapi

Medikamentosa CSR. Dalam : Ophtalmologica Indonesia Jurnal Of The

Indonesian Ophtalmologist Association Volume 32. 2005 : 133-139

6. Bruce J. Retina dan Koroid. Dalam : Lecture Notes Oftalmologi ed 9. Penerbit

Erlangga : Jakarta. 2003 : 114

7. Shah S P, Desai C K, Desai M K, Dikshit R. Steroid-Induced Central Serous

Retionpathy. In : Indian J Pharmacol. 2011 Sep-Oct; 43(5): 607-8

Anda mungkin juga menyukai