Anda di halaman 1dari 24

Makalah

CENTRAL SEROUS CHORIORETINOPATHY

Disusun oleh :
ESTER A. J. PANGGABEAN
070100110

Supervisor
dr. MARINA YUSNITA ALBAR Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Marina Yusnita Albar, Sp.M selaku
pembimbing dan dr. Musda selaku PPDS pembimbing sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Karya tulis ini berjudul “Central Serous Chorioretinopathy”. Karya tulis ini
disusun sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga karya tulis ini bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya.

Medan, Juni 2012

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................2


2.1. Retina...........................................................................................................................2
2.1.1. Anatomi.........................................................................................................................2
2.1.2. Fisiologi.................................................................................................................6
2.2. Central Serous Chorioretinopathy.............................................................................10
2.2.1. Definisi.........................................................................................................................10
2.2.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko.........................................................................11
2.2.3. Etiologi.........................................................................................................................11
2.2.4. Patofisiologi................................................................................................................12
2.2.5. Gejala Klinis................................................................................................................13
2.2.6. Diagnosis.....................................................................................................................13
2.2.7. Diagnosis Banding......................................................................................................15
2.2.8. Penatalaksanaan..........................................................................................................16
2.2.8. Prognosis.....................................................................................................................17

BAB III KESIMPULAN................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) ditandai oleh pelepasan serosa


retina sensorik sebagai akibat dari kebocoran setempat cairan dari koriokapilaris
melalui sauatu defek di epitel pigmen retina. Penyakit ini biasanya mngenai pria
berusia muda sampai pertengahan dan mungkin berkaitan dengan kejadian-
kejadian stress kehidupan. Sebagian besar pasien dating dengan penglihatan
kabur, mikropsia, metamorfosia, dan skotoma sentralis yang timbul mendadak. 9

Penyebab Central Serous Chorioretinopathy tidak diketahui. Sekitar 80%


mata dengan Central Serous Chorioretinopathy mengalami resorpsi spontan
cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan
setelah awitan gejala. Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak
pasien mengalami defek penglihatan permanen. Dua puluh sampai 30 persen
akan mengalami sekali atau lebih kekambuhan penyakit, dan pernah dilaporkan
adanya penyulit, termasuk neovaskularisasi subretina dan edema macula sistoid
kronik.9,10

Untuk itulah penulis ingin mengupas lebih dalam mengenai Central Serous
Chorioretinopathy, selain sebagai tugas telaah ilmiah sebagai syarat untuk
menjalani kegiatan kepanitraan senior (KKS) di departemen Ilmu Penyakit Mata
RSUP Haji Adam Malik Medan, telaah ilmiah ini juga diharapkan dapat
digunakan pembaca untuk menambah ilmu, khususnya mengenai Central Serous
Chorioretinopathy .

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Retina
2.1.1. Anatomi
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya.1Retina terdiri atas sepuluh lapisan dan berisi
sel batang dan kerucut, yang merupakan reseptor visual, ditambah empat jenis
neuron: sel bipolar, sel ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin. 2 Retina terbentuk
dari evaginasi vesikel sefalik anterior atau proensefalon. Sewaktu vesikel optik
ini berkontak dengan ektoderm permukaan, secara berangsur bagian pusatnya
mengalami invaginasi, yang membentuk mangkuk optik berdinding ganda. Pada
orang dewasa, dinding luar menjadi membran tipis yang disebut epitel pigmen;
bagian optik atau fungsional dari retina—retina neural—berkembang dari lapisan
dalam.3

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan retina4

Retina pars optika—yakni bagian posterior atau bagian fotosensitif—


merupakan struktur kompleks dengan sekurang-kurangnya 15 jenis neuron dan

2
sel-sel ini membentuk sekurang-kurangnya 38 jenis sinaps yang berbeda satu
sama lain. Retina pars optika terdiri atas lapisan luar sel-sel fotosensitif, yaitu sel
batang dan sel kerucut; lapisan tengah neuron bipolar, yang menghubungkan sel
batang dan sel kerucut dengan sel-sel ganglion; dan lapisan dalam sel-sel
ganglion, yang berhubungan dengan sel-sel bipolar melalui dendritnya dan
mengirimkan akson ke susunan saraf pusat. Akson-akson ini berkumpul pada
papilla optikus dan membentuk nervus optikus.3,4

Di antara lapisan batang dan kerucut dan sel-sel bipolar, terdapat daerah
yang disebut lapisan pleksiform luar atau lapisan sinaptik, tempat terbentuknya
sinaps antara kedua jenis sel tersebut (fotoreseptor dan bipolar). Daerah tempat
terbentuknya sinaps antara sel bipolar dan sel ganglion disebut lapisan pleksiform
dalam. Retina memiliki struktur terbalik karena cahaya mula-mula melintasi
lapisan ganglion dan kemudian lapisan bipolar sebelum mencapai lapisan batang
dan kerucut.3,4,5

Sel batang dan kerucut, yang diberi nama sesuai bentuknya, adalah neuron
yang terpolarisasi;pada satu kutub terdapat satu dendrit fotosensitif, dan pada
kutub yang lain terdapat sinaps dengan sel lapisan bipolar. Sel batang dan kerucut
dapat dibagi menjadi segmen luar dan segmen dalam, daerah inti, dan daerah
sinaps. Segmen luar merupakan modifikasi silia dan mengandung tumpukan
kantung-kantung berlapis membran berbentuk cakram gepeng. Pigmen
fotosensitif retina terdapat di dalam membran kantung-kantung ini. Sel batang
dan sel kerucut menembus lapisan tipis, yakni membrane limitans eksterna, yang
merupakan sederetan kompleks pertautan antara sel fotoreseptor dan sel glia retina
(sel Muller). Inti sel kerucut biasanya terletak di dekat membran limitans,
sedangkan inti sel batang berada dekat dengan pusat segmen dalam.2,3,5

Sel batang adalah sel tipis yang memanjang (50x3 µm) dan terdiri atas 2
bagian. Bagian fotosensitif luar berbentuk batang, dan terutama terdiri atas banyak
(600-1000) cakram gepeng bermembran yang bertumpuk seperti uang logam.

3
Cakram dalam batang tidak berhubungan dengan membrane plasma; segmen luar
dipisahkan dari segmen dalam oleh suatu penyempitan. Cakram gepeng di sel
batang mengandung pigmen yang disebut rhodopsin, yang memutih oleh cahaya
dan menginisiasi rangsangan visual. Diperkirakan bahwa retina manusia memiliki
sekitar 120 juta sel batang. Sel-sel ini sangat sensitif terhadap cahaya dan
dipandang sebagai reseptor yang terpakai bila intensitas cahaya rendah, seperti
pada waktu senja atau pada malam hari.3,4,6

Sel kerucut juga merupakan neuron berukuran panjang (60x1,5 µm).


setiap retina manusia memiliki sekitar 6 juta sel kerucut. Strukturnya serupa
dengan struktur sel batang, tetapi berbeda dalam hal bentuk dan struktur segmen
luarnya. Sekurang-kurangnya terdapat 3 jenis kerucut fungsional, yang tak dapat
dibedakan dari morfologinya. Setiap jenis mengandung fotopigmen kerucut yang
disebut iodopsin, dan sensitivitas maksimumnya terdapat di daerah merah, hijau,
atau biru dari spektrum cahaya yang terlihat. Sel kerucut, yang hanya peka
terhadap cahaya dengan intensitas yang lebih tinggi daripada intesitas yang
diperlukan untuk menstimulasi sel batang, diyakini menimbulkan ketajaman
penglihatan yang lebih baik daripada sel batang. 2,3,4,5

Sel batang dan kerucut, yang terdapat setelah koroid, bersinaps dengan sel
bipolar, dan sel bipolar bersinaps dengan sel ganglion. Akson dari sel ganglion
berkumpul dan meninggalkan mata sebagai saraf optik. Sel horisontal
menghubungkan sel-sel reseptor pada sel-sel reseptor lainnya di lapisan
pleksiform luar. Sel amakrin menghubungkan sel ganglion satu sama lain di
lapisan pleksiform dalam. Sel amakrin tidak memiliki akson, dan proses ini
membuat kedua koneksi pre- dan postsinaptik dengan elemen saraf tetangga. Gap
junction juga menghubungkan neuron retina satu sama lain.2,3,4,5

Karena lapisan reseptor retina terletak pada epitel pigmen tepat di sebelah
koroid, sinar cahaya harus melewati sel ganglion dan lapisan sel bipolar untuk
mencapai batang dan kerucut. Epitel pigmen menyerap sinar cahaya, mencegah

4
pantulan sinar kembali melalui retina. Refleksi seperti itu akan menghasilkan
kekaburan dari gambar visual. Unsur-unsur saraf retina terikat bersama oleh sel
glial disebut sel Muller. Proses sel-sel ini membentuk membran pembatas internal
pada permukaan dalam retina dan membran pembatas eksternal pada lapisan
reseptor. Saraf optik meninggalkan mata dan pembuluh darah retina masuk ke
mata pada titik 3 mm medial dan sedikit di atas kutub posterior bola mata.
Wilayah ini dapat dilihat denganoptalmoskop sebagai diskus optik us. Tidak ada
reseptor visual yang melapisi diskus, dan akibatnya tempat ini buta (blind spot).
2,3,4

Di dekat kutub posterior mata, ada suatu titik berpigmen kekuningan,


disebut makula lutea. Ini menandai lokasi fovea sentralis, suatu lekukan dangkal
pada retina yang mana tidak terdapat sel batang pada tempat itu. Di dalamnya
terdapat banyak sel kerucut, dan setiap sel bersinaps sebuah sel bipolar yang pada
gilirannya bersinaps pada sebuah sel ganglion, dan membuat jalur langsung ke
otak. Di daerah ini tidak ada pembuluh darah yang melintasi sel fotosensitif.
Akibatnya, fovea adalah titik di mana ketajaman visual terbesar. Ketika perhatian
tertarik atau terfiksasi pada suatu objek, kedua bola mata biasanya berpindah
sehingga sinar yang memantul dari objek tepat jatuh pada fovea. 2,3,4,5

Pembuluh darah yang memperdarahi lapisan internal retina berasal dari


arteri retinal sentralis, yang memasuki bola mata melalui pusat nervus optikus
dan kemudian terbagi untuk memperdarahi keseluruhan permukaan retina bagian
dalam. Dengan demikian, lapisan dalam retina memiliki pembuluh darah sendiri
yang terpisah dari struktur mata yang lain. Namun, lapisan terluar retina melekat
pada koroid, yang juga adalah jaringan kaya pembuluh darah yang terdapat antara
retina dan sklera. 5,6,7

Arteri, arteriola, dan vena di lapisan permukaan retina dekat permukaan


vitreous dapat dilihat melalui optalmoskop Karena ini adalah satu-satunya tempat
di tubuh dimana arteriol dapat segera terlihat, pemeriksaan optalmoskopi sangat

5
berharga dalam diagnosis dan evaluasi diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit
lain yang mempengaruhi pembuluh darah. Pembuluh retina memberi makan ke
selbipolar dan sel ganglion, tetapi sebagian besar reseptor dipelihara oleh pleksus
kapiler di koroid. Inilah sebabnya mengapa ablasi retina sangat merusak sel-sel
reseptor. 2, 5,6,7

Lapisan pigmen retina terdiri dari melanin, yang mencegah pemantulan


cahaya oada keseluruhan bola mata; pigmen ini sangat penting untuk ketajaman
penglihatan. Lapisan ini memiliki fungsi yang sama dengan bagian yang
berwarna hitam di bawah sebuah kamera. Bagian neural retina kadangkala lepas
dari epitel pigmen. Dalam beberapa kasus, penyebab pelepasan tersebut adalah
cedera pada bola mata yang memungkinkan cairan atau darah berkumpul antara
neural retina dan epitel pigmen. Pelepasan ini kadang-kadang disebabkan oleh
kontraktur dari fibril kolagen halus di vitreous humor, yang menarik dari daerah
retina ke bagian dalam bola mata.5,6,7,8

2.1.2. Fisiologi
Perubahan potensial yang memulai potensial aksi di retina dihasilkan oleh
adanya cahaya pada senyawa fotosensitif dalam sel batang dan kerucut. Ketika
cahaya diserap oleh zat ini, perubahan struktur, dan perubahan ini memicu urutan
kejadian yang memulai aktivitas saraf.3,8,9

Saluran Na+ di segmen luar dari sel batang dan kerucut terbuka dalam gelap,
sehingga Na+ mengalir dari segmen dalam ke segmen luar. Na+ juga mengalir ke
akhir sinaptik dari fotoreseptor. Na +-K + ATPase pada segmen dalam
mempertahankan keseimbangan ion. Pelepasan neurotransmiter sinaptik stabil
dalam gelap. Ketika cahaya menyerang segmen luar, reaksi yang diinisiasi
menutup beberapa saluran Na2, dan hasilnya adalah potensial reseptor yang
terhiperpolarisasi. Hiperpolarisasi ini mengurangi pelepasan neurotransmiter
sinaptik, dan ini menghasilkan sinyal yang pada akhirnya menyebabkan potensial
aksi pada sel ganglion. Potensial aksi ditransmisikan ke otak. 3,8,9

6
Senyawa fotosensitif di mata manusia dan mamalia kebanyakan terdiri dari
protein yang disebut opsin, dan retinen1, aldehid vitamin A1. Istilah retinen1
digunakan untuk membedakan senyawa ini dari retinen 2, yang ditemukan di mata
beberapa spesies hewan. Karena retinen adalah senyawa aldehida, senyawa ini
juga disebut retinal. Dalam gelap, retinen1 di rhodopsin ada dalam konfigurasi 11-
cis. Tugas dari cahaya adalah hanya untuk mengubah bentuk retinen,
mengubahnya menjadi semua isomer all-trans. Hal ini pada gilirannya mengubah
konfigurasi opsin, dan perubahan opsin mengaktifkan protein G heterotrimerik
terkait, yang dalam hal ini disebut transdusin atau G t1. Protein G mengubah GDP
menjadi GTP, dan subunit α terpisah. Subunit ini tetap aktif hingga aktivitas
GTPase menghidrolisis GTP. Pemutusan aktivitas transdusin juga dipercepat oleh
ikatannya dari β-arrestin. Subunit α mengaktifkan cGMP fosfodiesterase, yang
mengubah cGMP menjadi 5'-GMP. cGMP biasanya bekerja langsung pada
saluran Na+ untuk mempertahankannya dalam posisi terbuka, sehingga penurunan
konsentrasi cGMP sitoplasma menyebabkan beberapa saluran Na + menutup. Ini
menghasilkan hiperpolarisasi potensial. 2,4,5,6,7

Gambar 2.2 Rhodopsin Cycle7

7
Setelah retinen1 dikonversi ke konfigurasi all-trans, retinen1 terpisah dari
opsin (bleaching). Beberapa rhodopsin dibuat ulang secara langsung, sementara
beberapa retinen1 berkurang oleh enzim alkohol dehidrogenase dengan adanya
NADH menjadi vitamin A1, dan ini pada gilirannya bereaksi dengan scotopsin
untuk membentuk rhodopsin. Semua reaksi ini kecuali pembentukan isomer all-
trans dari retinen1 independen terhadap intensitas cahaya, berjalan sama baiknya
dalam cahaya atau gelap. Jumlah rhodopsin dalam reseptor karena itu berbanding
terbalik dengan tingkat cahaya yang ada. 2,4,5,6,9

Cahaya mengurangi konsentrasi Ca2+ seperti juga jumlah Na +


dalam
fotoreseptor. Penurunan konsentrasi Ca2+ mengaktifkan guanilil siklase, yang
menghasilkan lebih banyak cGMP. Hal ini juga menghambat fosfodiesterase yang
teraktivasi cahaya. Kedua aksi pemulihan ini memulihkan saluran Na + ke posisi
terbuka. 2,4,5,6,7

Banyak neurotransmiter sinaptik yang berbeda ditemukan di retina,


termasuk asetilkolin, glutamat, dopamin, serotonin, GABA, glisin, substansi P,
somatostatin, TRH, GnRH, enkephalins, β-endorphin, CCK, VIP, neurotensin,
dan. Reseptor kainate memediasi respon sinaptik antara sel kerucut dan satu jenis
sel bipolar. Sel amakrin adalah satu-satunya sel yang mengeluarkan asetilkolin di
retina. 2,4,5,6,8,9

Informasi visual pada retina melibatkan pembentukan tiga gambar. Gambar


pertama, dibentuk oleh aksi cahaya pada fotoreseptor, diubah menjadi gambar
kedua dalam sel bipolar, dan ini pada gilirannya diubah menjadi gambar ketiga
dalam sel ganglion. Dalam pembentukan gambar kedua, sinyal diubah oleh sel-sel
horizontal, dan dalam pembentukan ketiga, diubah oleh sel-sel amakrine. Ada
sedikit perubahan pola impuls dalam tubuh genikulatum lateralis, sehingga
gambar ketiga mencapai korteks oksipital. 2,4,5,6,7

8
Karakteristik dari sel ganglion dan bipolar (serta sel-sel genikulatum
lateralis dan sel-sel dalam lapisan 4 dari korteks visual) adalah bahwa mereka
berespon paling baik terhadap stimulus sirkular yang kecil dan bahwa, dalam
bidang reseptif, suatu anulus cahaya sekitar pusat menghambat respon ke tempat
pusat. Pusat ini dapat tereksitasi dengan neuroinhibitor. 2,4,5,6,7

Gambar 2.3 Rod Cell Hyperpolarization7

Penghambatan respon pusat mungkin adalah karena umpan balik inhibisi


dari satu fotoreseptor ke fotoreseptor lain dimediasi melalui sel horisontal.
Dengan demikian, aktivasi fotoreseptor terdekat dengan penambahan anulus
memicu hiperpolarisasi sel horizontal, yang pada gilirannya menghambat respon

9
dari fotoreseptor diaktifkan secara sentral. Penghambatan respon terhadap
pencahayaan sentral dengan peningkatan pencahayaan sekitarnya adalah contoh
dari inhibisi lateral atau aferen—membentuk inhibisi dari aktivasi unit saraf
tertentu yang terkait dengan penghambatan aktivitas unit di dekatnya. Ini adalah
fenomena umum dalam sistem sensorik mamalia dan membantu untuk
mempertajam stimulus dan meningkatkan kemampuan membedakan sesuatu.
2,4,5,6,7

2.2. Central Serous Chorioretinopathy


2.2.1. Definisi
Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai
suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat
masuknya cairan melalui membrane Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten
(pelepasan bagian neurosensori dari retina terjadi sebagai akibat dari kebocoran
cairan koriokapilaris setempat melalui suatu defek di epitel pigmen retina. )1,10

Gambar 2.4 CSCR jika dilihat menggunakan fundus perimetry12

10
2.2.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Biasanya, CSCR dialami pria berusia 20 sampai 50 tahun. Tidak ada kasus
dilaporkan terjadi pada orang yang lebih muda dari 20 tahun. Pada pasien yang
lebih tua dari 50 tahun, CSCR dapat terjadi, tetapi bisa menjadi sulit dibedakan
dengan usia degenerasi terkait makula.10 Meningkatnya frekuensi dialami oleh
individu yang terlibat dalam pekerjaan yang menuntut kemampuan visual yang
menampilkan ciri kepribadian tipe A atau yang sedang mengalami ketegangan
fisik atau stres emosional.10,11

Riwayat sakit kepala migrain dapat dipikirkan. CSC juga telah dikaitkan dengan
agen vasokonstriksi, hiperkortisol endogen, merokok, dan penggunaan
kortikosteroid sistemik (oral, intranasal, dan inhalasi), agen psikofarmakologi
alkohol, antibiotik (oral), dan antihistamin (oral).10,11,13 Sebuah penelitian
menunjukkan terjadi CSCR setelah dilakukan Keratektomi Fotorefraktif dan
LASIK, tapi angka kejadian sangat rendah sehingga dianggap tidak ada
hubungannya dengan CSCR itu sendiri.14

2.2.3. Etiologi
Penyebab CSCR tidak diketahui; tidak terdapat bukti yang meyakinkan
bahwa penyakit bersifat infeksiosa atau disebabkan oleh distrofi epitel pigmen
retina.1 Pemahaman akan akumulasi patogenik dari cairan retina subneural di
daerah makula masih sangat terbatas. Sudah diketahui bahwa cairan retina
subneural berasal dari koroid. Kebocoran pewarna melalui defek fokal abnormal
pada level RPE dan akumulasi dalam ruang retina subneural terlihat jelas pada
angiografi floresens. 10,11,15

Penyebab kebocoran RPE fokal tidak jelas. Awalnya diyakini bahwa


gangguan sederhana dari blood-retinal barrier pada tingkat RPE bertanggung
jawab atas kebocoran yang terjadi. Namun, teori ini tidak menjelaskan efek
menguntungkan dari kerusakan barrier RPE permanen yang dihasilkan selama
10,11
laser fotokoagulasi. Munculnya angiografi ICG telah menyoroti pentingnya
sirkulasi koroidal pada patogenesis CSCR. 10,11,15

11
2.2.4. Patofisiologi
Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini
antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina
(RPE/ retinal pigment epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal.  Penemuan
angiografi Indocyanine Green (ICG) telah menyoroti pentingnya sirkulasi koroid
dalam patogenesis CSCR. Angiografi ICG telah menunjukkan hipermeabilitas
multifokal dari koroid dan area-area hipofloresen yang diduga terjadi vaskulopati
koroid fokal yang lebih besar. Beberapa studi yang menggunakan
elektroretinografi multifokal menunjukkan disfungsi retina bilateral difus bahkan
ketika CSCR aktif hanya pada satu mata.  Studi ini mendukung keyakinan akan
efek sistemik difus pada pembuluh darah koroid. 10,11,15

Semakin banyak bukti bahwa penyebab CSCR adalah sirkulasi koroidal


yang abnormal. Dengan menggunakan ICG, terlihat bahwa terjadi penundaan
pengisian kapiler lobular koroidal pada area hipermeabel. Mereka menduga
kemacetan kapiler dan vena lokal pada lobulus yang terkena mengganggu
sirkulasi, memproduksi iskemia, dan terjadi peningkatan eksudasi koroidal dan
koroid yang hiperpermeabel secara fokal. Hal ini memungkinkan cairan koroidal
yang berlebih untuk menumpuk dan menghasilkan pelepasan epitel pigmen retina.
Sejalan dengan pelepasan itu, target junctions antara sel RPE rusak, dan defek
fokal dari blood-retinal barrier berkembang. Cairan koroidal melewatinya dan
menghasilkan ablasi retina saraf. 10,11,15

Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, dan obstructive sleep apnea


dianggap memiliki rhubungan dengan CSCR.  Patogenesisnya keemungkinan
adalah kortisol yang beredar dalam darah meningkat serta epinefrin, yang
mempengaruhi autoregulasi dari sirkulasi koroid.Selain itu, pasien dengan CSCR
menunjukkan respon otonom terganggu dengan penurunan aktivitas parasimpatis
secara signifikan dan aktivitas simpatik yang juga meningkat secara
signifikan.10,11,15

12
Kortikosteroid memiliki pengaruh langsung terhadap ekspresi gen reseptor
adrenergik dan, dengan demikian, memberikan kontribusi pada efek keseluruhan
dari katekolamin pada patogenesis CSCR.2  Studi terbaru mengungkapkan bahwa
kortikosteroid dapat mempengaruhi produksi oksida nitrat, prostaglandin, dan
radikal bebas dalam sirkulasi koroidal, yang mana ketiga produk itu berpartisipasi
dalam autoregulasi dari aliran darah di koroid. 10,11,15

2.2.5. Gejala Klinis


Meskipun metamorfosia sepihak adalah gejala klasik dari CSCR, pasien
dapat datang dengan penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi
gelap, desaturasi warna, waktu pemulihan retinayang tertunda terhadap cahaya
terang, dan skotoma relatif. Rentang ketajaman visual dari 20/15 (6/5) hingga
20/200 (6/60) tetapi rata-rata 20/30 (6/9). Ketajaman visual dapat meningkat
dengan koreksi hiperopik. Gejala biasanya sembuh setelah beberapa bulan tetapi
dapat terjadi lebih lama bahkan setelah cairannya hilang, hanya jarang sekali
gejala tersebut betul-betul hilang dan tidak kambuh lagi. Tetap ada gejala sisa
yang sifatnya permanen termasuk metamorfsia, penurunan persepsi kecerahan,
dan penglihatan warna yang berubah. 10,11,15

Pemeriksaan klinis menunjukkan ablasi retina serosa tapi tidak ada darah
subretinal.  Ablasi retina neurosensorik mungkin sangat halus, dan membutuhkan
pemeriksaan lensa kontak untuk mendeteksinya. Pelepasan pigmen epitel , bintik
dan atrofi RPE, fibrin subretinal, dan, jarang, lipid subretinal atau bintik-bintik
juga lipofuscinoid dapat dilihat. 10,11,15

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fundus dengan slitlamp; adanya
pelepasan serosa retina sensorik tanpa peradangan mata, neovaskularisasi retina,
suatu lubang kecil optik, atau tumor koroid bersifat diagnostik. Lesi epitel
pigmen retina tampak sebagai bercak abu-abu kekuningan, bundar atau oval,

13
kecil yang ukurannya bervariasi dan mungkin sulit dideteksi tanpa bantuan
angiografi fluoresens. Zat warna fluoresens yang bocor dari koriokapilaris dapat
tertimbun di bawah epitel pigmen atau retina sensorik, sehingga menimbulkan
10,11,15,16
bermacam-macam pola termasuk konfigurasi cerobong asap. Angiografi
fluoresens dari epiteliopati pigmen yang difus memperlihatkan hiperfloresens
granular fokal yang berhubungan dengan defek dan penyumbatan yang
disebabkan atrofi dan gumpalan RPE dengan satu atau lebih area yang terus
mengalami kebocoran halus.9,17,18,19

Gambar 2.5 Angiografi floresens pada fase resirkulasi awal dari pasien dengan
pelepasan makula meurosensori terlokalisir11

Optical Coherence Tomography (OCT) dapat digunakan uktuk


mengidentifikasi pelepasan makula bahkan yang sangat halus (subklinik). OCT
menunjukkan akumulasi material lipofuscinoid pada permukaan luar retina yang
mengalami pelepasan neurosensori.9,15

14
Angiografi ICR menunjukkan area hiperfloresens lebih dini pada
angiogram dengan adanya hiperfloresens dan kebocoran pada pembuluh darah
koroidal. Sering, area kebocoran multiple dapat dilihat melalui angiografi ICG
bahkan ketika di angigragi floresens belum terlihat apapun.9,15,17

2.2.7. Diagnosis Banding


Peningkatan serosa dari retina neurosensorik di wilayah makula dapat
terjadi oleh berbagai penyakit yang berasal dari koroid, RPE, dan retina.
Termasuk di dalamnya adalah neovaskularisasi koroidal, lubang cakram optik,
vaskulopati koroidal polipoidal, melanoma koroidal, metastasis koroidal, dan
kerusakan retina perifer. Hemangioma koroidal, uveitis, penyakit Harada, neuritis
optik, papilledema, traksi vitreous, lubang makula, dan hipertensi sistemik juga
dapat mengakibatkan ablasio retina saraf . 10,11,14

Secara khusus, CSCR harus dibedakan dari ablasi retina saraf yang terjadi
secara sekunder karena neovaskularisasi koroidal subretinal, vasculopati koroidal
polipoidal, atau lubang cakram optik. Ketiga penyakit ini meniru CSCR dengan
menghasilkan gejala klinis yang sama, termasuk ablasi retina saraf, perubahan
RPE, RPED, dan eksudat subretinal, tetapi mereka memiliki patofisiologi,
prognosis, dan pengobatan yang berbeda secara signifikan. Akibatnya, penyakit
ini harus dieksklusikan dengan angiografi floresens dalam semua kasus dugaan
CSCR. Jika tidak yakin dengan angiografi floresens, seseorang dapat melakukan
angiografi ICR. Angiografi ICR dari neovaskularisasi koroidal subretinal
biasanya mengungkapkan hanya satu bidang hiperfloresens yang semakin melebar
selama penelitian. Angiografi ICG dari vasculopati koroidal polipoidal
menunjukkan kaliber kecil, lesi vaskular koroidal polipoidal dan tidak ada bidang
hipermiabilitas; bijaksana untuk mengamati pasien dan mengulang angiografi 2
minggu kemudian. Suatu area kebocoran CSCR harus tetap konstan atau
kemunduran dengan waktu, sedangkan membran neovaskular koroidal
kemungkinan akan tumbuh. 10,11,14

2.2.8. Penatalaksanaan

15
Pengobatan dari CSC adalah fotokoagulasi laser pada lokasi kebocoran
floresens. Meskipun hal ini telah terbukti mengurangi durasi pelepasan serosa, itu
tidak berpengaruh pada prognosis akhir dari visual sehingga hanya pasien terpilih
yang dapat menjalaninya. Ini adalah satu-satunya terapi terbukti bermanfaat oleh
uji klinis yang besar.11

Teknik fotokoagulasi laser melibatkan penggunaan laser dengan panjang


gelombang hijau untuk menghasilkan bekas luka ringan selama kebocoran RPE
fokal. Biasanya, 6-12 luka bakar laser yang berukuran 50-200?µm dalam durasi
0,1-detik dan digunakan 75-200 mW. Perubahan RPE permanen diinduksi pada
tempat bekas luka laser. Telah dikemukakan bahwa sementara bekas luka
memfasilitasi penyerapan cairan subretinal melalui koroid, hal ini juga
menghancurkan area abnormal sel RPE yang hipersekresi. Tidak adanya efek
menguntungkan bila bekas luka laser tidak menimpa kebocoran koroidal fokal
menunjukkan adanya abnormalitas RPE fokal. 11

Satu-satunya keuntungan yang pasti dari terapi laser adalah kemampuannya


untuk mengurangi durasi pelepasan neurosensorik. Komplikasi dari fotokoagulasi
laser termasuk neovaskularisasi koroidal dan scotoma sentral. Komplikasi dapat
dikurangi dengan menggunakan bintik-bintik ukuran yang lebih besar,
menggunakan intensitas rendah, dan menghindari zona kapiler bebas . Pesatnya
perkembangan membran neovaskular koroidal setelah fotokoagulasi laser
menunjukkan kemungkinan kesalahan diagnosis awal. neovaskularisasi koroidal
subfoveal terkait dengan CSCR dapat diobati dengan pembedahan submakular.11

Karena sebagian episode CSCR sembuh secara spontan, perawatan laser


diindikasikan untuk pasien yang gagal sembuh setelah 4-6 bulan, menunjukkan
perubahan permanen dari CSCR di mata yang lain, beberapa kali kambuh, atau
memerlukan peningkatan kemampuan visual dalam pekerjaan. Pengobatan harus
dihindari jika kebocoran terjadi dalam jarak 200 m dari pusat dari zona avaskular

16
foveal. Mata dengan CSCR kronis dan tidak responsif terhadap perawatan laser
dapat melakukan dari terapi fotodinamik. 11

Sebuah penelitian menunjukkan hasil bahwa pengobatan dengan aspirin


dosis rendah dapat mempercepat rehabilitasi visual dengan angka kekambuhan
yang lebih sedikit pada pasien CSCR dibanndingkan dengan kelompok control
yang tidak mendapat pengobatan. Hal ini mendukung adanya hipotesis bahwa
terjadi gangguan fibrinolisis dan peningkatan agregasi platelet di koriokapilaris
pada penderita CSCR.20 Penelitian lain menunjukkan bahwa injeksi bavacizumab
intravitreal diasosiasikan dengan peningkatan ketajaman visual dan penurunan
pelepasan neurosensori.21

2.2.9. Prognosis
Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan
subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah
awitan gejala. Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak pasien
mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan
terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami
kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali, dan pernah
dilaporkan adanya penyulit--termasuk neovaskularisasi subretina dan edema
macula sistoid kronik—pada pasien yang sering dan berkepanjangan mengalami
pelepasan serosa.9,11

BAB III
KESIMPULAN

Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai


suatu penyakit dimana pelepasan bagian neurosensori dari retina terjadi sebagai

17
akibat dari kebocoran setempat dari cairan koriokapilaris melalui suatu defek di
epitel pigmen retina.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini
antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina
(RPE/ retinal pigment epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal. Kepribadian
tipe A, hipertensi sistemik, dan obstructive sleep apnea dianggap memiliki
rhubungan dengan CSCR.  Kortikosteroid memiliki pengaruh langsung terhadap
ekspresi gen reseptor adrenergik dan, dengan demikian, memberikan kontribusi
pada efek keseluruhan dari katekolamin pada patogenesis CSCR.
Manajemen komprehensif pasien-pasien dengan low vision mencakup
anamnesa lengkap mengenai metamorfosia sepihak yang merupakan gejala klasik
dari CSCR, penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi gelap,
desaturasi warna, waktu pemulihan retina yang tertunda terhadap cahaya terang,
dan skotoma relatif. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan fundus dengan
slitlamp. Pengobatan dari CSC adalah fotokoagulasi laser pada lokasi kebocoran
floresens. Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan
subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah
awitan gejala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta, 2008.

18
2. Ganong, W. F. Vision. Pada: Ganong, W. F., Review of Medical Physiology.
21st Ed. The McGraw-Hill Companies. New York, 2003.

3. Junqueira, L. C., Carneiro, J. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Pada :


Junqueira, L. C., Carneiro, J . Alih bahasa: Tambayong, J. Editor: Dany, F.
Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Penerbit EGC. Jakarta, 2007: 458-
462.

4. Hansen, J.T., Koeppen, B.M. Neurophysiology: Visual System. Pada: Hansen,


J.T., Koeppen, B.M. (Eds.). Netter’s Atlas of Human Physiology. Lippincott,
Williams & Wilkins, New York. 2000: 43-44.

5. Guyton, A.C., Hall, J. E. The Eye: II. Receptor and Neural Function of the
Retina. Pada: Guyton, A.C., Hall, J. E. Textbook of Medical Physiology, 11th
Ed .Elsevier Inc. Pennsylvania. 2006: 626-639.

6. Scanlon, V.C., Sanders, T. The Senses: The Eye. Pada: Scanlon, V.C.,
Sanders, T. Essentials of Anatomy and Physiology, 5th Ed. F. A. Davis
Company, Philadelphia. 2007: 202-210

7. Seeley, T. H., et al. The Special Senses. Pada: Seeley, T. H., et al. (Eds).
Gabbe: Seeley-Stephens-Tate: Anatomy and Physiology, 6th Ed. The McGraw-
Hill Companies. New York, 2004: 511-522.

8. Sherwood, L. Mata: Penglihatan. Pada : Sherwood, L., Pendit, B. U. (Ed.).


Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi kedua. Penerbit EGC. Jakarta,
2001: 160-175.

9. Hardy, R. A. Retina dan Tumor Intraokular. Pada: Vaughan, D. G., Asbury,


T., Riordan-Eva, P., Suryono, Y. J. (Ed.). Oftalmologi Umum, Edisi 14.
Penerbit Widya Medika. Jakarta, 2000: 197-219.

19
10. Oh, K. T., 2011. Central Serous Chorioretinopathy. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1227025 [Accessed: June 20th, 2012]

11. Wirostko, W. J., Pulido, J. S. Central Serous Chorioretinopathy. Pada:


Yanoff, M., Duker, J. S., Augsburger, J. J. (Eds.). Ophthalmology Second
Edition. Mosby, Inc, Spain. 2004: 2245-2254.

12. Rohrschneider, K. Micropertimetry in Macular Disease. Pada: Holz, F. G.,


Spaide, R. F. Essentials In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc.,
Germany. 2007. 14-15.

13. Wynn, P. A., 2001. Idiopathic central serous chorioretinopathy—a physical


complication of stress?. Occupational Medicine, Vol. 51 No. 2. Diperoleh dari:
http://occmed.oxfordjournals.org/content/51/2/139.full.pdf+html [Diakses 20
Juni 2012]

14. Moshirfar, M., et al., 2011. Clinical Study: The Incidence of Central Serous
Chorioretinopathy after Photorefractive Keratectomy and Laser In Situ
Keratomileusis. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology
Volume 2012. Diperoleh dari:
http://www.hindawi.com/journals/jop/2012/904215/ [Diakses 20 Juni 2012]

15. Lang, G. E., Lang, G. K. Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Lang, G. K.


Ophthalmology: a Short Textbook. Thieme, Inc, New York. 2000:335-337.

16. Spaide R. F. Autofluorescence from the Outer Retina and Subretinal Space.
Pada: Holz, F. G., Schmitz-Valckenberg, S., Spaide, R. F. , Bird, A. C. (Eds).
Atlas of Fundus Autofluorescence Imaging. Springer Inc., Germany. 2007.:
241-247.

17. Staurenghi, G., Levi, G., Pedenovi, S., Veronese, C. New Developments in
cSLO Fundus Imaging: Fundus Autofluorescence in Acute and Chronic

20
Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Holz, F. G., Spaide, R. F. Essentials
In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc., Germany. 2007. p27.

18. Johnson, D., 2009. Atypical Central Serous Chorioretinopathy With


Peripapillary Subretinal Fluid Suggesting an Optic Neuropathy. Journal of
Neuro-Ophthalmology, Vol. 29, No. 2. Diperoleh dari:
http://journals.lww.com/jneuro-
ophthalmology/Fulltext/2009/06000/Atypical_Central_Serous_Chorioretinopa
thy_With.16.aspx [Diakses 20 Juni 2012]

19. Jumper, J. M., 2003. Central serous chorioretinopathy. British Journal of


Ophthalmology;87:663. Diperoleh dari:
http://bjo.bmj.com/content/87/6/663.1.full.pdf+html [Diakses 20 Juni 2012]

20. Caccavale, A., et al., 2010. Low-Dose Aspirin As Treatment For Central
Serous Chorioretinopathy. Dove Press Journal: Clinical Ophthalmology,
Vol.4. Diperoleh dari: http://www.dovepress.com/low-dose-aspirin-as-
treatment-for-central-serous-chorioretinopathy-peer-reviewed-article-OPTH-
recommendation [Diakses 20 Juni 2012]

21. Jamil, A. Z., et al., 2012. Intravitreal Bevacizumab in Central Serous


Chorioretinopathy. Journal of the College of Physicians and Surgeons
Pakistan 2012, Vol. 22 No. 6. Diperoleh dari:
www.jcpsp.pk/archive/2012/Jun2012/06.pdf [Diakses 20 Juni 2012]

21

Anda mungkin juga menyukai