Anda di halaman 1dari 22

Berikut isi lengkapnya:

Menegaskan Kembali Komitmen Kebangsaan dan Kenegaraan Majelis Ulama Indonesia

Bismillahirrahmanirrahim,

A. Komitmen Kebangsaan

Mencermati perkembangan situasi kebangsaan akhir-akhir ini yang mengarah pada instabilitas
nasional, keretakan bangsa dan suasana saling curiga yang dapat menimbulkan kesalahpahaman di
antara sesama keluarga bangsa, maka MUI menegaskan kembali komitmen kebangsaan serta ke-
Indonesiaan sebagai berikut:

1. MUI menegaskan kembali bahwa eksistensi NKRI tidak lepas dari perjuangan ulama dan umat
Islam Indonesia. Dengan demikian komitmen terhadap Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
bagi MUI adalah final dan mengikat.

2. MUI mengaskan kembali kalau umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa Indonesia memiliki
tanggung jawab yang lebih besar, dalam memelihara keutuhan NKRI, dan menjaga kebhinekaan dari
segala bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun luar.

3. MUI menegaskan kembali bahwa kesepakatan bangsa Indonesia membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah mengikat seluruh elemen bangsa. Bagi MUI
kesepakatan tersebut merupakan tanggung jawab keagamaan (mas'uliyyah diniyyah), sekaligus
sebagai tanggung jawab kebangsaan (mas'uhyyah wathaniyyah) yang bertujuan untuk memelihara
keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama (hirasat ad din wa siyasat ad
dunya).

4. MUI menegaskan kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik suku, ras,
budaya maupun agama dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. MUI berpandangan bahwa umat
beragama sebagai sesama bagian warga bangsa terikat oleh komitmen kebangsaan, sehingga harus
hidup berdampingan dengan prinsip kesepakatan (mu'ahadah atau muwatsaqah), bukan posisi
saling memerangi (muqatalah atau muharabah).

5. MUI mengingatkan kepada seluruh penyelenggara negara bahwa tujuan dibentuknya NKRI adalah
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan yang luhur
tersebut belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Indonesia, khususnys umat Islam. Untuk itu MUI
meminta pemerintah agar lebih berpihak kepada kepentingan rakyat kecil (mustadh'afin), sehingga
tidak terus terjadi kesenjangan dan ketidakadilan yang semakin melebar.

B. Komitmen Terhadap Pemerintahan yang Konstitusional

1. Kekuasaan adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada pemerintah untuk memelihara
agama dan mengatur urusan dunia (hirasat ad din wa siyasat ad dunya).
2. Setiap umat Islam wajib menaati pemerintah yang sah menurut konstitusi dan peraturan
perundangan yang berlaku dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kebijakan dan tindakan pemerintah tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah.
b. Kebijakan dan tindakan yang dilakukannya adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
umum dan sejalan dengan maqashid al syari'ah.
c. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan substansi ajaran agama telah dimusyawarahkan
dengan institusi keagamaan yang berkompeten.
d. Kebijakan pemerintah dalam menyikapi permasalahan kebangsaan secara profesional,
proporsional dan berkeadilan.

3. MUI berpandangan bahwa pergantian kekuasaan yang tidak sesuai dengan konstitusi akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar sehingga harus dicegah (dar'ul masafid).

C. Rekomendasi Penyelenggaraan Dialog Nasional

1. MUI berkewajiban untuk menjaga dan mengawal keutuhan bangsa dan negara sebagai wujud
tanggung jawab untuk mengimplementasikan sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia.
2. MUI sebagai elemen bangsa bertanggung jawab untuk ikut mengambil bagian dalam ikhtiar
menjaga, mengawal, merawat keutuhan bangsa dengan semangat merajut persaudaraan
kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), oleh karena itu MUI dengan memohon ridha Allah SWT
berketetapan hati untuk dilakukannya gerakan dialog nasional yang akan dilaksanakan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 24 Shafar 1438H/24 November 2016

Tim Perumus
1. Drs H Zainut Tauhid Sa'adi MSi
2. Dr H Noor Achmad MA
3. Drs H Sholahuddin Al-Aiyub MSi
4. Buya Gusrizal Gazahar Lc MAg
5. Dr Samlan Ahmad
6. Prof Dr Rahmat Syafei
7. KH Ainul Yaqin SSi MSi
8. Arif Fahrudin MA

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia

Ditandatangani:

Ketua Umum MUI Dr KH Ma'ruf Amin


Sekretaris Jenderal MUI Dr H Anwar Abbas MM MAg
(hri/imk)
Kita tidak bisa membantah bahwa peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan sangat besar, baik
melalui perjuangan bersenjata maupun pergerakan politik. Tentu saja tanpa mengabaikan peran umat lain.
Banyak laskar-laskar Islam ambil bagian dalam perang kemerdekaan, berperang mengusir penjajah. Berbagai
organisasi Islam berjuang pula untuk kemerdekaan Indonesia. Bagi sebagian orang Islam yang berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia, proklamasi adalah antiklimaks. Indonesia yang merdeka ternyata adalah sebuah
republik sekuler, bukan negara berdasar agama Islam seperti yang mereka inginkan. Meski sempat ada
muatan yang menunjukkan Indonesia adalah negara Islam seperti tertuang dalam Piagam Jakarta, Indonesia
akhirnya adalah negara sekuler. Artinya, meski agama diakui sebagai komponen penting bangsa ini, negara
tetap tidak diatur berdasarkan hukum agama. Tentu saja keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam tidak padam begitu saja. Perjuangan selanjutnya dilakukan dalam sejumlah perdebatan di
Konstituante. Akhirnya perjuangan ini pun mentok, terkubur oleh Dekrit yang dikeluarkan oleh Soekarno. Suka
atau tidak, mereka kembali ke “kesepakatan” awal, yaitu UUD 1945, yang sekuler tadi. Kesempatan untuk
memperjuangkan kembali Indonesia sebagai negara Islam baru benar-benar terbuka pada proses
amandemen konstitusi pasca tumbangnya Orde Baru. Usul untuk kembali ke Piagam Jakarta dibahas secara
terbuka dan bebas. Hasilnya, sebagian besar komponen bangsa, termasuk di antaranya dari partai-partai
berbasis massa Islam, tetap menginginkan Indonesia yang sekuler, tidak diatur dengan hukum agama. Negara
memberikan pelayanan kepada rakyat dalam urusan ibadah mereka, tapi terbatas hanya menyangkut hal-hal
yang tidak beririsan dengan kepentingan umat lain. Dalam hal yang beririsan, negara berada dalam posisi
netral. Pada titik ini sebenarnya Indonesia adalah rumah yang sangat ramah bagi umat Islam. Meski bukan
negara agama, negara ini menyediakan berbagai fasilitas khusus bagi umat Islam. Kementerian agama itu
boleh dibilang 80% keberadaannya untuk melayani kebutuhan umat Islam. Ada sekolah-sekolah, pengadilan,
penyelenggaraan haji, zakat, dan sebagainya. Karena itu sebagian besar umat menyatakan bahwa Indonesia
ini adalah bentuk final yang bisa diterima, sebagaimana sudah dinyatakan oleh NU dan Muhammadiyah.
Persoalannya masih ada umat Islam yang tidak sepenuhnya puas terhadap keadaan ini. Sebagian karena
tidak paham. Mereka tidak paham bahwa negara ini bukan negara Islam. Atau lebih tepatnya, mereka tidak
mau tahu. Orang-orang menuntut adanya berbagai regulasi sesuai syariat Islam. Alasannya, karena Islam
adalah mayoritas. Ada pula orang-orang yang menolak pemimpin, baik di tingkat nasional maupun daerah,
kalau ia bukan muslim. Padahal konstitusi kita menegaskan kesetaraan hak dan kewajiban setiap warga
negara, tanpa memandang latar belakang suku maupun agama. Bahkan, lebih parah lagi, masih ada saja di
kalangan umat Islam yang menganggap pemerintah Indonesia ini bukan sesuatu yang perlu dipatuhi. Kenapa?
Karena ini bukan pemerintah Islam, tidak menjalankan syariat Islam. Orang-orang seperti ini adalah benalu
bagi bangsa dan negara Indonesia. Mereka hidup dan mencari makan di negeri ini. Tidak hanya itu. Mereka
menikmati berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Mulai dari berbagai infrastruktur yang bisa dinikmati
semua orang, juga berbagai jenis layanan yang disediakan pemerintah. Termasuk layanan khusus bagi umat
Islam sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, alih-alih berkontribusi untuk kekuatan dan keutuhan bangsa,
mereka justru menginginkan sesuatu yang lain, yang bukan NKRI yang sekarang mereka nikmati. Mereka juga
membangun sikap antipati terhadap umat lain. Menganggap mereka musuh yang tidak layak berada di negeri
ini. Atau setidaknya, mereka tidak menghormati keberadaan mereka. Orang-orang itu mengklaim bahwa umat
Islam lah yang paling berhak atas Indonesia. Mereka melupakan fakta bahwa Indonesia ini sejak dulu hingga
kini ditegakkan bersama oleh berbagai komponen bangsa. Selain menjadi benalu, mereka adalah rongrongan
bagi persatuan Indonesia. Tidak sedikit yang secara tajam menyampaikan pesan-pesan kebencian terhadap
umat lain, atau etnis tertentu yang dianggap bukan bagian dari Indonesia. Pertanyaan penting dalam soal ini
adalah, seberapa banyakkah mereka? Significant kah? Kalau kita merujuk pada sikap NU dan
Muhammadiyah, sebagai payung yang sangat besar bagi umat Islam Indonesia, jumlah orang-orang yang
saya sebut di atas mungkin bisa dianggap minor saja. Tapi di tingkat akar rumput, faktanya sebagian dari
mereka secara formal berada di bawah kedua organisasi tadi. Artinya, meski kedua organisasi itu menegaskan
komitmen kebangsaan, itu tidak otomatis dianut setiap warganya di tingkat akar rumput. Bahkan boleh dibilang
bahwa pada tingkat elit organisasi pun masih ada pandangan-pandangan yang bertentangan dengan
komitmen itu. Di luar itu, golongan ini berasal dari kelompok-kelompok garis keras yang memang jauh dari
kelompok-kelompok arus utama dalam tubuh umat Islam. Sekali lagi, berapa besarkah kekuatan mereka?
Tidak terlalu besar. Tapi kekacauan dan penyakit tidak memerlukan jumlah pengacau yang teramat besar
untuk membuat letupan. Gangguan teroris yang belakangan ini sering muncul secara global berasal dari
kelompok yang sangat minor dari umat Islam, mungkin hanya kurang dari 1% dari populasi umat Islam global.
Tapi yang sangat minor itu pun sudah sangat mengganggu, bukan? Terhadap soal ini, kita semua, anggota
masyarakat dan pemerintah, tidak boleh pernah berhenti membangun kesadaran soal hal-hal yang saya bahas
di awal. Bahwa negara ini bukan negara Islam, tapi sudah memberikan sangat banyak bagi umat Islam.
Karena itu mereka patut berterima kasih dan berkontribusi. Kedua, umat lain juga bagian penting dari bangsa
ini, yang tidak boleh diabaikan, juga tidak boleh dirampas hak-haknya. *) Opini kolumnis ini adalah
tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Baca selengkapnya di artikel "Komitmen Kebangsaan Umat Islam Indonesia", https://tirto.id/bCQj


Salah satu wujud moderasi beragama, lanjut Rumadi, adalah komitmen berbangsa dan bernegara yang
harus ada pada setiap anak bangsa. Komitmen bernegara yang dimaksud dia adalah komitmen bangsa
Indonesia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Pernyataan itu disampaikan  Rumadi Ahmad
saat menjadi pembicara Focus Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan
Maarif NU Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Kamis (27/6). 
Menurut dia, dewasa kini masih ditemukan anak bangsa yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar
negara. Bahkan anak bangsa itu terdapat di tubuh militer dan aparatur sipil negara. Berdasarkan,
penelitian sejumlah lembaga survei, ujar dia, komitmen bernegara bangsa Indonesia turun hampir 10
persen, dari angka 85 persen ke 75 persen.  Untuk memperkuat visi moderasi beragama tersebut kata dia
harus diterapkan pada masalah pendidikan yakni penguatan karakter. Selain itu, semua elemen harus
memunculkan konten moderasi beragama sebagai bagian dari visi yang tengah diupayakan pemerintah.  
“Dan itu harus diangkat menjadi sesuatu yang harus konsen,” katanya. Ia mengungkapkan, jika membaca
visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih terdapat program revitalisasi revolusi mental. Hal itu kata dia
sangat tepat untuk memperkuat karakter anak bangsa agar komitmen bernegara semakin meningkat. 
“Fokusnya tiga isu, kalau dulu kan hanya maenstream, maenstream itu ya hanya menempel saja, nah
kedepan akan menjadi prioritas nasional daya nendangnya berbeda,”ucapnya.  Isu yang pertama dalam
revitalisasi revolusi mental pemerintahan mendatang yakni terkait isu pendidikan dalam hal ini adalah
integritas, etos, gotong royong, budi pekerti dan pembelajaran. Kesemuanya akan tentu akan tertuang
dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) untuk lima tahun mendatang.  “Ini juga
sesuai dengan integritas NU, makanya kami kebetulan kerjasama dengan KPK, ketika ditana apa
integritas NU, kami jawab NU punya Mabadi Khairu Ummah, yakni Assidqu, jujur. Attawun, membuka diri
untk bergotong royong dan kemampuan untuk berkolaborasi dan nilai-nilai ini yang kami tawarkan
ternyata tidak beda beda amat,” tuturnya.  Isu kedua, kata Rumadi yakni isu pemerintahan dan terkahir
isu revitalisasi sistem sosial dan pembudayaan nilai-nilai luhur bangsa dan antar keluarga. (Abdul
Rahman Ahdori/Fathoni)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/107943/moderasi-beragama-bagian-dari-komitmen-berbangsa-
dan-bernegara
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Wawancara khusus Wapres Ma'ruf Amin:
Tentang radikalisme, ekonomi syariah, kaum
minoritas dan Ahok
 5 November 2019  Bagikan artikel ini dengan Facebook
 
 Bagikan artikel ini dengan Messenger
 
 Bagikan artikel ini dengan Twitter
 
 Bagikan artikel ini dengan Email
 
 Kirim

Hak atas fotoBBC INDONESIA

Radikalisme dan pengembangan ekonomi syariah menjadi prioritas tugas Ma'ruf Amin, yang baru saja dilantik pada
20 Oktober lalu, untuk mendampingi Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Presiden.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin berjanji untuk menangani deradikalisasi terhadap perempuan dan anak-anak, setelah kelompok
teroris Jamaat Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS, mengerahkan perempuan dan anak-anak untuk melakukan
serangan teror dalam dua tahun terakhir.

"Kita tidak boleh membiarkan potensi berkembangnya radikalisasi, walaupun kecil, termasuk penggunaan anak-anak,
penggunaan perempuan. Karena itu, langkah-langkah [deradikalisasi] yang dilakukan menyangkut itu," ujar Ma'ruf Amin dalam
wawancara khusus dengan Ayomi Amindoni, Endang Nurdin, Dwiki Marta dan Anindita Pradana dari BBC News Indonesia di
kantornya, Rabu (30/11).
 Mungkinkah untuk memisahkan agama dan politik?
 HUT RI ke-73: Jokowi di Istana, Maruf Amin di Jeddah, Prabowo dan Sandiaga di UBK
 Poin Ma'ruf Amin dalam gugatan hasil pilpres 'tak menambah bobot' gugatan

Di usianya yang menginjak 76 tahun, Ma'ruf Amin menjadi wakil presiden tertua dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Namun, kiprah ulama ini dalam dunia politik tak perlu diragukan lagi.

Sebelum menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia pada 2015, Ma'ruf yang lahir di Kresek, Tangerang, pada 11 Maret 1943
sempat menjadi dosen dan menjabat sebagai anggota legislatif selama beberapa periode.

Pria yang sering kali terlihat mengenakan sarung ini juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres)
selama dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hak atas fotoANTON RAHARJO/NURPHOTO VIA GETTY IMAGESImage captionPresiden Joko Widodo (kiri) dan Wakil
Presiden Ma'ruf Amin (tengah) bersama dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada saat pelantikan 20 Oktober 2019.

Sebagai tokoh ulama Indonesia, Ma'ruf Amin telah aktif di Nahdlatul Ulama sejak lama. Di organisasi tersebut, Ma'ruf Amin
telah menduduki berbagai jabatan strategis.

Di usia yang tak lagi muda, Ma'ruf amin berjibaku dengan jadwal yang sangat padat sebagai wakil presiden, termasuk harus
mengikuti cara kerja Presiden Joko Widodo yang terkenal kerja cepat.
Dia mengatakan, kini bukan saatnya lagi 'alon-alon asal kelakon' dan menganggap tugas barunya ini "sebagai suatu tanggung
jawab, bukan beban".
Hak atas fotoANTON RAHARJO/ANADOLU AGENCY VIA GETTY IMAGESImage captionMa'ruf Amin mengatakan
kini bukan saatnya lagi 'alon-alon asal kelakon' dan menganggap tugas barunya sebagai tanggung jawab, bukan beban.

"Saya tidak merasa kelelahan karena merasa seperti tidak ada beban," ujarnya.

"Saya tentu menjaga stamina saya. Makan harus teratur, tidak boleh makan yang tidak menyehatkan, kemudian harus olahraga,
juga jalan pagi. Dengan begitu diharapkan bisa menjaga kondisi sehingga bisa bekerja dengan baik," jawabnya ketika menjawab
pertanyaan tentang trik menjaga stamina ditengah jadwal yang padat.
Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionMa'ruf Amin memperlihatkan ruang kerjanya kepada BBC News Indonesia di
Istana Wakil Presiden, Rabu (30/100

Dalam wawancara yang berlangsung selama hampir satu jam itu, Ma'ruf Amin membeberkan pandangannya tentang
radikalisme, ekonomi syariah, kalangan minoritas dan hubungannya dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama. Berikut petikan wawancaranya:
Bapak sudah menjadi orang nomor dua di Indonesia selama sepuluh hari, mungkin bapak bisa menceritakan apa saja
agendanya selama sepuluh hari menjabat?

Yang pertama, tentu kita berada di lingkungan yang berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya saya kan lingkungan kiai, sebagai
Rois PBNU dan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Nah sekarang kita berada di birokrasi dan begitu dilantik, saya langsung ke
Jepang mewakili Presiden untuk hadir di penobatan kaisar Jepang.

Satu hari di sana langsung pulang terus mengikuti pengumuman dan pelantikan para menteri dan langsung berikutnya sidang
kabinet, berikutnya lagi [pengumuman dan pelantikan] wamen (wakil menteri) dan terus menerima tamu, dan terus bekerja, dan
sidang kabinet, kemudian tadi juga sidang kabinet
Hak atas fotoADEK BERRY/AFP VIA GETTY IMAGESImage captionUsai pelantikan, Ma'ruf Amin langsung disibukkan
dengan jadwal padat, termasuk mendampini Presiden Joko Widodo mengumumkan dan melantik menteri kabinet baru
Artinya jadwalnya sendiri kan sangat padat, bagaimana trik untuk mengatur jadwal yang begitu padat?

Ya kita jalankan saja sesuai dengan aturan, sesuai dengan jadwal dan saya merasa semua itu tidak menjadi beban. Jadi kita
semua menjalankan tugas dengan baik, dengan riang gembira, dengan suasana yang nyaman. Saya tidak merasa seperti punya
beban yang berat.
Pak Ma'ruf sekarang menjadi orang kedua Pak Jokowi sebagai wakil presiden, bagaimana pembagian tugasnya?

Sebenarnya pembagian tugas itu kami melanjutkan seperti yang dilakukan Pak Jokowi di periode pertama. Sistem yang
dilakukan Pak Jokowi itu, wakil presiden secara keseluruhan membantu presiden dalam semua aspek, prioritas dan sasaran yang
ingin dicapai, kita membantu Presiden.

Hanya wapres diberikan tugas-tugas khusus dalam beberapa aspek, dalam beberapa sektor, seperti tentang radikalisme,
kemiskinan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kesehatan menyangkut stunting, dan lain-lain, yang diberikan berdasar Perpres
dari presiden itu sebagai tugas-tugas khusus yang harus ditangani langsung, termasuk bencana.
Hak atas fotoJEVAYONA DELITA / BARCROFT MEDIA VIA GETTY IMAGESImage captionOleh Presiden Joko
Widodo, Ma'ruf Amin ditugasi untuk menangani beberapa sektor, antara lain radikalisme, kemiskinan, pemberdayaan ekonomi
kerakyatan, kesehatan
Bapak tadi menyebut radikalisme sebagai salah satu tugas bapak. Terkait dengan deradikalisasi, apa yang paling mendesak
untuk dilakukan?

Menurut saya, penanggulangan radikalisme itu harus dilakukan secara komprehensif, dari hulu ke hilir, dan juga struktural
maupun kultural. Karena itu tidak hanya menangani dari hilir, yaitu deradikalisasi, tapi juga harus merupakan penangkalan.
Kontra-radikalisme untuk mencegah orang-orang supaya tidak terpapar, jadi pencegahan.

Kemudian, bagi mereka yang terpapar dilakukan deradikalisasi supaya mereka kembali kepada jalan benar, kepada cara berpikir
yang benar, kepada komitmen kebangsaan yang benar, yang kita ingin bangun seperti itu.
Langkah kongkrit untuk deradikalisasi sendiri bagaimana pak?

Itu menyangkut semua aspek. Misalnya, aspek pendidikan. Itu dari mulai kita sudah harus [lakukan], sebab pendidikan
merupakan jalur yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Dari mulai sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
bahkan sampai ke perguruan tinggi. Radikalisme di perguruan tinggi kan sudah dijelaskan, banyak perguruan tinggi yang
banyak terpapar radikalisme.

Kemudian juga jalur keagamaan, supaya kita luruskan pemahaman keagamaannya, supaya tidak salah memahami.
 Temuan BNPT tentang paparan radikalisme di sejumlah universitas dipertanyakan
 Rektor UIN: Larangan bercadar untuk cegah radikalisme dan fundamentalisme
 Bagaimana ulama perempuan mencegah penyebaran radikalisme?
Kemudian, jalur kepegawaian, ASN (aparatur sipil negara). Mereka yang masuk ASN harus steril dari radikalisme, jadi tidak
begitu saja bisa masuk.

Kemudian juga, jalur yang menyangkut pihak-pihak yang bergerak di bidang kemasyarakatan, apa itu dakwah, komunitas
politik, komunitas sosial, itu menjadi bagian yang harus kita tangkal supaya mereka tidak terpapar radikalisme. Jadi jalur-jalur
itu harus kita lakukan. Maka dari itu pemerintah harus menjadikan radikalisme sebagai arus utama penanganannya.
Bapak tadi menyebut pendidikan menjadi salah satu bidang yang menjadi fokus dari deradikalisme. Di perguruan tinggi sudah
banyak yang terpapar radikalisme. Tapi kita juga tahu ada anggapan bahwa madrasah dan pesantren dikhawatirkan menjadi
tempat radikalisasi. Khusus dua tempat tersebut, apa yang dilakukan untuk menangkal radikalisme?

Pertama, tentu pemahaman kebangsaaan kita. Bahwa sebagai bangsa kita punya komitmen, kesepakatan. Sehingga seluruhnya,
baik sistem kenegaraan, landasan falsafah negara itu harus sejak dini mereka memahami. Sehingga mereka tidak terprovokasi
oleh ideologi lain.

Hak atas fotoBBC NEWS INDONESIAImage caption"Kita sebagai muslim juga sebagai orang Indonesia, muslimun
Indonesiun, yang mana ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an tidak boleh terpisah, itu menjadi satu kesatuan," ujar Ma'ruf Amin.
Di dalam pendidikan kemadrasahan, kepesantrenan, itu yang harus kita lakukan adalah membentengi atau memberikan arahan
supaya pemahaman agamanya lurus, tidak terkena pemahaman-pemahaman radikal dan intoleran. Bahwa kita sebagai muslim
juga sebagai orang Indonesia, muslimun Indonesiun, yang mana ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an tidak boleh terpisah, itu
menjadi satu kesatuan.

Ke-Islam-an kita harus menyatu dengan ke-Indonesia-an. Kita tidak boleh memahami Islam itu menjadi tidak konteks dengan
ke-Indonesia-an. Ini menjadi bagian yang selama ini dilakukan di pesantren.

Umumnya sudah tidak menjadi masalah, kecuali pesantren-pesantren tertentu yang terkena virus radikalisme.
Itu yang kemudian menjadi pusat perhatian pemerintah?
Ya, saya kira begitu.

Hak atas fotoULET IFANSASTI/GETTY IMAGESImage captionYang terpenting dalam pendidikan di pesantren dan
madrasah, ujar Ma'ruf Amin, adalah membentengi mereka agar tidak terkena pemahaman-pemahaman radikal dan intoleran
Terkait dengan deradikalisme, Presiden menugaskan menteri agama yang baru saja dipilih, deradikalisme menjadi salah satu
tugas utamanya. Tapi latar belakang Pak Fachrul Razi dari bidang militer, sempat menuai polemik. Bahkan, muncul
penentangan dari kalangan Nahdlatul Ulama. Bagaimana tanggapan bapak soal polemik ini?

Menteri kan hak prerogeratif Presiden, karena dia sudah ditunjuk oleh presiden maka kita ingin agar semua menteri itu bekerja
sesuai dengan visi dan misi presiden. Karena itu dalam menghadapi radikalisme, kita akan melakukan koordinasi dengan semua
pihak terkait, balik kementerian, kepolisian, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), kemudian badan-badan
seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Ini menjadi bagian yang saya katakan harus dilakukan secara paripurna, secara struktural, sehingga terkoordinasi dan dari hulu
ke hilir. Jadi tidak hanya ujung-ujungnya, atau hilirnya saja, tapi betul-betul kita lakukan dan penangannya sejak dini, melalui
semua sektor. Menteri pendidikan terlibat, Menteri Agama juga terlibat, kepolisian juga terlibat.
Artinya latar belakangnya tidak akan menjadi masalah?

Tidak menjadi masalah. Sudah jadi menteri, sudah ditunjuk Presiden. Dia menteri yang sah. Saya kira sebaiknya kita tidak lagi
harus mempermasalahkan, tapi mari kita bekerja sesuai dengan tugas yang dibebankan di masing-masing menteri.
Hak atas fotoANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARIImage captionPresiden Joko Widodo (kiri) bersama Wakil Presiden
Maruf Amin berbincang dengan Menteri Agama Fachrul Razi (tengah) sebelum rapat terbatas penyampaian program dan
kegiatan bidang pembangunan manusia dan kebudayaan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10)
Berkaitan dengan radikalisme, terorisme juga menjadi ancaman. Menurut bapak, apa yang menjadi akar dari terorisme?

Ada yang karena memang merasa diperlakukan tidak adil. 'Merasa' ya, jadi dia rasa diperlakukan tidak adil. Tapi ada juga yang
salah memahami keagamaan. Paham keagamaannya salah. Terutama misalnya salah memahami arti jihad. Maka dari itu
penanganannya juga sesuai dengan sebabnya. Ketika sebabnya ketidakadilan, kita berusaha menegakkan keadilan. Sehinga
mereka menjadi sadar. Kalau karena paham keagamaan (yang salah), ya kita luruskan. Maka dari itu perlu ada upaya-upaya
meluruskan paham keagamaannya, kemudian juga meluruskan paham pengertian tentang jihadnya, sehingga pemahamannya
menjadi benar.
Karena itu kita mengusung di dalam Islam, namanya Islam wasatiyyah, Islam moderat yang bukan radikal dan intoleran.
Pemahaman-pemahaman yang benar ini yang akan kita terus bangun.
Setelah Jamaah Islamiyah, di Indonesia sendiri berkembang ada jaringan JAD yang terafiliasi dengan ISIS. Kita tahu bahwa
pemimpin ISIS baru saja ditemukan tewas. Hal ini dikhawatirkan justru akan semakin membuat serangan teroris semakin
sporadis. Bagaimana tanggapan tentang hal ini dan bagaimana untuk menangkalnya?
Kita akan menangkalnya dari dua sisi. Pendekatan yang pertama menggunakan pendekatan soft approach. Pendekatan
penyadaran mengembalikan mereka yang sduah terpapar ke jalan yang benar, kepada Islam yang benar. Itu cara-cara kita dalam
rangka, baik dalam rangka kontra-radikalisme maupun deradikalisasi.
Tapi kita juga menggunakan pendekatan keamanan, security approach, untuk menangkal jangan sampai mereka melakukan
tindakan-tindakan seperti itu. Dan juga tidak memberikan ruang untuk berkembangnya kembali komunitas-komunitas seperti itu
yang sudah ada, seperti misalnya JAD. Jangan ada lagi.
Hak atas fotoJUNI KRISWANTO/AFP VIA GETTY IMAGESImage captionPendekatan keamanan, menurut Ma'ruf Amin,
dilakukan agar tidak ada lagi ruang bagi jaringan kelompok teroris seperti JAD berkembang lagi.

Kita berupaya supaya tidak tumbuh lagi organisasi yang seperti itu. Bagaimana memperkecil, meminimalisir, dan bisa
menghilangkan kelompok-kelompok komunitas seperti itu. Itu kerjasama pemerintah, birokrasi, keamanan, tokoh-tokoh
masyarakat, kita melakukan kerjasama secara bersama-sama untuk menanggulanginya.
JAD sendiri sering kali menggunakan perempuan dan anak-anak dalam melakukan aksinya. Menurut bapak, apakah ada
langkah khusus dalam program deradikalisasi untuk ibu dan anak?

Saya kira kita tidak boleh membiarkan potensi berkembangnya radikalisasi, walaupun kecil, termasuk penggunaan anak-anak,
penggunaan perempuan, karena itu langkah-langkah [deradikalisasi] yang dilakukan menyangkut itu.

Termasuk juga media sosial. Ada juga orang yang tidak berkomunikasi dengan pihak lain, tidak ada kontak komunikasi dalam
arti fisik tapi dia bisa jadi radikal melalui medsos (media sosial), melalui online, melalui SMS. Itu juga menjadi perhatian.

Jadi semua jalur jaringan yang memungkinkan terjadinya upaya menyebarkan radikalisme itu harus kita antisipasi.
Hak atas fotoOKA BUDHI/AFP VIA GETTY IMAGESImage captionDua perempuan menutupi wajah mereka dengan potret
Abu Bakar Baashir, imam Jamaah Islamiyah yang kini menjalani hukumannya atas kasus terorisme di penjara
Tapi bagaimana terkait dengan program deradikalisasi khusus anak dan perempuan tadi?

Sebenarnya sudah ada, dilakukan oleh BNPT. Misalnya tentang bagaimana penanganan deradikalisasi. Tapi kita akan
kembangkan lebih luas lagi dengan melibatkan organisasi perempuan, melibatkan Komnas Anak, sehingga kita lebih
memahami lagi karakter dari objek ini supaya kita lebih mudah mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, kepada
pemahaman kebangsaan yang benar.
Beralih ke topik lain, pada saat pelantikan Pak Jokowi menyebut bahwa beliau menargetkan tahun 2045 Indonesia menjadi
negara maju dengan penduduk berpendapatan sekitar Rp 27 juta per bulan. Menurut Pak Ma'ruf, langkah-langkah apa saja
yang bisa dilakukan untuk mengejar target itu?

Yang pertama itu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor. Makanya kita menggenjot investasi dan
ekspor. Kemudian melakukan industrialiasi, tidak hanya dari hulu, tapi dari hulu sampai ke hilir. Sehingga kita nanti menjual
barang yang sudah jadi, sehingga tenaga kerja kita bisa terserap.
Kemudian kita juga mengembangkan atau melakukan penguatan sumber daya manusianya, melalui pendidikan formal sehingga
pendidikan kita harus kita reformasi untuk supaya tamatannya, output-nya itu memang seperti yang dibutuhkan oleh pasar kerja,
untuk itu perlu direformasi. Kita akan melibatkan, selain pemerintah, akademisi, juga saya menyebutnya DUDI, dunia usaha
dan dunia industri.

Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionMa'ruf Amin mengatakan ntuk mencapai target Indonesia menjadi negara maju
pada tahun 2045, pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor.
Yang kedua, melalui pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi ini yang kemudian kita lakukan melalui skilling, re-skilling,
upskilling, supaya mereka memiliki keterampilan, membangun BLK-BLK di mana-mana sehingga akan terjadi peningkatan
kualitas sumber daya manusia kita. Kita harapkan dengan begitu kita tidak lagi menjadi negara yang middle income trap, tapi
kita naik menjadi high income country.
Makanya sumber daya manusia yang ingin kita bangun adalah sumber manusia yang sehat, cerdas, produktif, berakhlak mulia
dan memiliki semangat berkompetisi, fighting spirit yang tinggi sehingga dia bisa memacu dirinya untujk lebih maju dan
melakukan inovasi-inovasi. Ini yang saya kira apa yang akan kita lakukan.

Tantangan kita tentu, ekonomi global yang tidak menentu. Pengaruh global, perang dagang Amerika dan Tiongkok itu juga
menjadi kendala dan adanya resesi [ekonomi] di berbagai negara.

Dalam negeri kita sendiri, sumber daya manusia kita yang lemah, yang harus kita tingkatkan. Ini tantangan kita ke dalam.
Kemudian juga ekspor kita yang kurang memiliki daya saing, akan kita pacu. Oleh karena itu perlu adanya penguatan ekspor
melalui peningkatan kualitas, melalui investas-investasi yang besar. Sehingga ini menjadi bagian yang harus ditangani, baik
hambatan dari eksternal, maupun hambatan dari dalam.

Hak atas fotoED WRAY/GETTY IMAGESImage captionSelain reformasi pendidikan, pendidikan vokasi menjadi prioritas
pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia, kata Ma'ruf Amin.
Bapak dikenal sebagai ahli ekonomi syariah. Kalau kita berbicara mengenai ekonomi syariah, bagaimana peran serta ekonomi
syariah dalam mengembangkan perekonomian di Indonesia adan bagaimana itu bisa berkontribusi menjadikan Indonesia
sebagai negara maju?

Ekonomi syariah itu berkontribusi yang optimal terhadap perekonomian nasional. Ada beberapa sektor yang ingin kita
kembangkan, misalnya industri halal. Kita ingin supaya indonesia tidak hanya tukang memberi sertifikat halal dan menjadi
konsumen [produk] halal, tapi menjadi produsen produk halal.

Karena itu perlu dikembangkan halal industrial estate, halal trading centre, sehingga indonesia ini menjadi produsen produk
halal yang kita ekspor ke luar. Ini akan memperkuat ekonomi nasional kita.
Begitu juga di sektor keuangan, misalnya soal perbankan, asuransi dan pasar modal. Sukuk kita kan sekarang menjadi yang
terbesar di seluruh dunia. Karena itu kita dorong yang lain berkontribusi dalam mendorong ekonomi nasional.
Ada lagi sektor yang sangat penting, yaitu  social fund, artinya dana sosial. Ada namanya wakaf, ada namanya zakat, itu kita
optimalkan. Zakat itu sekarang baru Rp 8 triliun, itu baru 5% dari target. Kalau itu kita kembangkan itu akan jadi dana besar
yang bisa menstimuli masyarakat untuk berkembang dalam hal perekonomian, seperti membantu [masyarakat] ekonomi lemah.

Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionMa'ruf Amin menguungkapkan, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak
di dunia, ekonomi syariah memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan

Kemudian, wakaf itu dana abadi yang bisa kita kembangkan dan dia akan terus menjadi seperti bola salju yang semakin besar.
Dan itu dana murah yang bisa kita kembangkan. Kemudian juga bisnis syariah di berbagai sektor bisnis yang bisa
dikembangkan secara lebih luas karena pangsa pasar kita dan juga pelaku usaha kita cukup besar sebagai negara muslim
terbesar di dunia. Ini sebenarnya potensi untuk dikembangkan besar sekali.
Ketika berbicara mengenai ekonomi syariah, sebenarnya kan potensinya sangat besar, dan pasarnya sendiri luar biasa besar
karena kita adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Namun menurut bapak, apa yang menjadi kendala dalam
pengembangan ekonomi syariah di Indonesia?

Kendalanya itu ada yang sifatnya kelembagaan yang masih lemah. Ada yang sifatnya sumber daya manusia, sehingga sumber
daya manusianya harus ditingkatkan sebab banyak sumber daya manusianya. Kemudian juga jaringannya, produknya, sehingga
perlu adanya perngembangan produk yang market friendly. Jadi banyak hal yang menjadi kendala.
Kemudian tentu kebijakan pemerintah yang pro-ekonomi syariah, artinya yang memberikan dorongan yang kuat, political
will pemerintah. Seperti Malaysia itu punya  political will yang tinggi. Kita akan dorong ke sana. Jadi ada political will, ada
infrastrukturnya, ada sumber daya manusianya yang harus kita tingkatkan, kemudian juga permodalannya. Kita akan pikirkan
supaya bank-bank kita itu bisa jadi bank besar, minimal buku II, buku III, buku IV, artinya bisa bertransaksi cukup besar lah.
Sekarang ini sduah diikut-sertakan tapi volumenya masih kecil. Karena itu masih menggunakan konsorsium. Tapi kalau sudah
besar nanti bisa berperan lebih besar lagi, baik di usaha-usaha perdagangan maupun pembangunan infrastruktur.
Hak atas fotoJUNI KRISWANTO / AFPImage captionKurangnya kebijakan pemerintah yang pro-ekonomi syariah, menurut
Ma'ruf Amin, menjadi kendala pengembangan ekonomi syariah selama ini.
Kita baru saja melewati pemilu. Berkaitan dengan pemilu, itu menyebabkan masyarakat terpolarisasi. Dan pandangan bapak
sebelumnya dianggap tidak memihak kelompok minoritas. Apa langkah bapak selanjutnya untuk merangkul kalangan minoritas
ini?

Saya dari dulu selalu mengembangkan apa yang namanya kerukunan. Say dulu juga menjadi wantimpres bidang hubungan antar
agama karena itu saya mengembangkan bagaimana kita mengembangkan kerukunan itu.

Saya membuat semacam pandangan untuk membangun kerukunan itu ada empat bingkai. Bingkai politis, jadi semua agama
harus berkomitmen terhadap empat pilar ini, apapun agamanya. Bingkai yuridis, yaitu kita harus taat pada aturan-aturan yang
ada. Kemudian bingkai sosiologis, itu kita membangun kearifan lokal. Biasanya di mana-mana itu ada kearifan lokal untuk
menyatukan itu. Yang keempat, bingkai teologi. Teologi yang harus kita bangun adalah teologi kerukunan.

Saya mempopulerkan ini ke seluruh provinsi, sampai ke 34 provinsi. Teologi kerukunan yang kita bangun itu bukan hanya kita
bisa hidup berdampingan secara damai, tapi juga lebih dari itu, saling mencintai, saling menyayangi, saling membantu, saling
menolong, sehingga kita menjadi satu kesatuan dalam pengertian apa yang kita populerkan sebagai ukhuwah wataniyyah,
persaudaraan sesama bangsa dan negara. Ini dari dulu saya kembangkan itu.

Jadi tidak benar kalau saya itu kurang merangkul minoritas. Makanya majelis-majelis agama itu tetap merindukan seperti apa
yang pernah saya dulu pernah lakukan, sering berdiskusi dan juga saya mensporosi lembanga FKUB, yaitu Forum Kerukunan
Umat Beragama. FKUB itu lembaga yang sifatnya antisipatif, sehingga kalau terjadi sesuatu yang bisa merusak, mencederai
kerukunan, forum ini yang mencegah terjadinya itu. Ini membangun pranata kerukunan itu.
Hak atas fotoEKO SISWONO TOYUDHO/ANADOLU AGENCY/GETTY IMAGESImage captionPolitik identitas dalam
pemilu beberapa waktu lalu sempat membuat masyarakat terpolarisasi.

Jadi saya akan terus kembangkan, dan akan terus merangkul semua kelompok minoritas. Makanya waktu kampanye saya datang
ke Sumatra Utara, ke Tapanuli Utara, ke Tarutung. Saya berkomunikasi dengan mereka.
Satu hal yang menjadi perhatian publik adalah hubungan bapak dengan Pak Ahok, terkait kasus yang melibatkanya pada
Pilkada Gubernur DKI Jakarta silam.. Bagaimana hubungan bapak sekarang dengan Pak Ahok?

Sebenarnya, masalah dengan Ahok itu bukan masalah agama, bukan masalah etnis, bukan masalah politik, tapi soal penegakan
hukum, itu saja.

Ada pandangan bahwa beliau melakukan penistaan agama. Karena itu maka kemudian ada tuntutan supaya diproses lewat
pengadilan, nah yang memutuskan pengadilan.

Jadi bukan majelis ulama waktu itu, majelis ulama punya penilaian ini, coba diproses melalui hukum. Jadi tidak memberi vonis,
karena yang memutuskan adalah pengadilan. Jadi penegakan hukum.

Oleh karena itu kalau ada diskriminasi, baik itu agama, baik itu etnis, atau soal-soal politik. Itu tidak betul. Karena itu sudah
selesai, tidak boleh diteruskan karena persoalannya sudah selesai.

Dan kita tetap bersatu sebagai satu kesatuan bangsa, kita jangan hanya karena berbeda agama kita bermusuhan. Berbeda warna
politik, berbeda etnis, itu tidak boleh menjadi sumber perpecahan dan konflik, itu yang harus kita hindari.
Tapi kalau soal penegakan hukum, siapa saja, misalnya ada kelompok Islam yang melanggar hukum, ya ditegakkan hukumnya.
Bukan karena dia kelompok sana dan dia kelompok sin

Anda mungkin juga menyukai