Anda di halaman 1dari 16

perpustakaan.uns.ac.

id 5
digilib.uns.ac.id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Mata
a. Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata


(Rehman, Mahabadi dan Patel, 2019)

Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm dan hanya


seperenam bagian yang terpapar lingkungan luar. Secara anatomis,
dinding bola mata tersusun atas tiga lapisan: tunika fibrosa , tunika
vaskulosa, dan retina. Tunika fibrosa sebagai lapisan terluar terdiri
dari kornea anterior dan sklera posterior. Kornea bersifat transparan
dan menutupi iris. Permukaan luar kornea tersusun oleh epitel
skuamosa kompleks non-kornifikasi. Lapisan tengah kornea tersusun
oleh serat kolagen dan fibroblas, sedangkan permukaan dalam kornea
dilapisi oleh epitel skuamosa simpleks. Bagian tengah kornea
mendapatkan oksigen dari udara luar, sehingga lensa kontak harus
bersifat permeabel terhadap oksigen. Sklera merupakan bagian putih
dari mata yang menutupi seluruh bagian mata, kecuali kornea. Sklera
commitbagian
berperan dalam melindungi to userdalam mata, memberi bentuk pada

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

bola mata, dan membuatnya menjadi lebih kaku (Rehman, Mahabadi


dan Patel, 2019).
Tunika vaskulosa, disebut juga uvea, adalah lapisan tengah dari
bola mata. Tersusun atas tiga bagian, yaitu koroid, badan siliaris, dan
iris. Koroid merupakan bagian posterior dari tunika vaskulosa yang
melapisi permukaan internal sklera. Terdapat banyak pembuluh darah
yang menutrisi retina. Koroid juga mengandung melanosit yang
mengandung pigmen melanin. Melanin pada koroid berperan dalam
menyerap cahaya berlebih, sehingga mencegah terjadinya pantulan
dan hamburan cahaya dalam bola mata. Orang albino mengalami
kekurangan melanin pada seluruh bagian tubuh mereka, oleh karena
itu mereka seringkali perlu memakai kacamata hitam agar tidak silau.
Pada bagian anterior dari tunika vaskulosa, koroid menjadi badan
siliaris yang terdiri atas prosesus siliaris dan otot siliaris. Prosesus
siliaris mengandung kapiler darah yang menyekresikan aqueous
humor. Terdapat serat zonular yang memanjang dari prosesus siliaris
dan menempel pada lensa. Kontraksi dan relaksai otot siliaris akan
mengubah ketegangan serat zonular sehingga bentuk lensa akan
berubah, menyesuaikan untuk penglihatan jarak dekat maupun jauh.
Iris merupakan bagian yang memberi warna pada mata. Terletak di
antara kornea dan lensa dan melekat pada prosesus siliaris. Jumlah
melanin pada iris akan menentukan warna mata. Fungsi utama iris
adalah mengatur banyaknya cahaya yang melewati pupil, yaitu lubang
di tengah iris (Rehman, Mahabadi dan Patel, 2019).
Lapisan ketiga sekaligus lapisan terdalam dari bola mata adalah
retina. Terdiri dari lapisan berpigmen dan lapisan saraf. Lapisan
berpigmen merupakan sel-sel epitel yang mengandung melanin,
terletak di antara koroid dan bagian saraf pada retina. Lapisan saraf
merupakan terusan dari otak yang memproses data visual secara luas
sebelum mengirim impuls listrik ke akson saraf optik. Neuron pada
retina terdiri dari tigacommit
lapisanto userberbeda, yaitu lapisan sel ganglion,
yang
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

lapisan sel bipolar, dan lapisan fotoreseptor. Cahaya akan melewati


lapisan sel ganglion dan bipolar sebelum akhirnya sampai ke lapisan
fotoreseptor. Fotoreseptor merupakan sel khusus yang mampu
mengubah berkas cahaya menjadi impuls saraf. Terdapat dua tipe sel
fotoreseptor, yaitu kerucut dan batang. Setiap retina mengandung
sekitar 6 juta sel kerucut dan lebih dari 100 juta sel batang. Sel kerucut
berperan dalam membedakan warna, sedangkan sel batang
memungkinkan kita untuk melihat dalam kondisi redup. Persepsi
warna dihasilkan dari stimulasi berbagai kombinasi sel kerucut biru,
hijau, dan merah. Kemudian informasi visual sampai ke diskus
optikus atau disebut juga blind spot karena tidak mengandung sel
batang maupun kerucut. Makula lutea adalah area datar yang terletak
tepat di tengah bagian posterior retina. Di tengah makula lutea
terdapat fovea sentralis yang hanya berisi sel kerucut, sehingga area
ini memiliki ketajaman atau resolusi visual tertinggi dan digunakan
untuk memfokuskan penglihatan (Rehman, Mahabadi dan Patel,
2019).
Lensa terletak di belakang pupil dan iris. Lensa membagi bagian
dalam bola mata menjadi dua bagian, yaitu kompartemen anterior dan
kompartemen posterior (vitreous). Kompartemen anterior dibagi
menjadi Camera Oculi Anterior (COA) dan Camera Oculi Posterior
(COP). COA terletak di antara kornea dan iris semetara COP
merupakan ruang antara iris dan lensa. Baik COA maupun COP terisi
oleh aqueous humor, yaitu cairan yang menutrisi kornea dan lensa.
Aqueous humor diganti setiap 90 menit. Kompartemen posterior
terletak di antara lensa dan retina. Di dalam kompartemen posterior
terdapat badan vitreous, yaitu zat transparan seperti jeli yang menahan
retina terhadap koroid. Berbeda dengan aqueous humor, badan
vitreous tidak mengalami pergantian yang cepat. Badan vitreous berisi
sel fagosit yang berfungsi untuk mengeliminasi debris agar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

penglihatan tetap terjaga dan tidak terhalang (Rehman, Mahabadi dan


Patel, 2019).
b. Mekanisme Akomodasi
Akomodasi adalah proses di mana mata manusia menyesuaikan
fokus untuk melihat objek pada jarak tertentu. Terdapat berbagai teori
dan bukti pendukung mengenai mekanisme akomodasi. Teori-teori
tersebut akan terus dikembangkan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, Teori Helmholtz
mungkin merupakan mekanisme akomodasi yang paling banyak
diterima, walaupun teori tersebut tidak menjelaskan mengenai kondisi
patologis terkait akomodasi (Ovenseri-Ogbomo dan Oduntan, 2015).
Helmholtz mengusulkan teori relaksasi akomodasi dengan
memanfaatkan perubahan ukuran dari gambar Purkinje pada
permukaan anterior lensa kristalina, untuk mendukung bahwa lensa
kristalina memang berperan dalam proses akomodasi. Dia mengamati
bahwa ketika mata dalam keadaan tidak berakomodasi dan melihat
jarak jauh, muskulus siliaris berelaksasi dan serat-serat zonular
berkontraksi, sehingga lensa kristalina tertarik ke arah luar dan
mendatar. Lebih lanjut dia mengamati bahwa selama akomodasi
muskulus siliaris berkontraksi, menyebabkan menurunnya tegangan
serat-serat zonular sehingga kelengkungan lensa kristalina meningkat
dan ketebalan lensa meningkat. Dalam proses akomodasi juga terjadi
peningkatan kelengkungan permukaan anterior lensa kristalina
disertai sedikit perubahan pada kelengkungan permukaan
posteriornya, permukaan anterior lensa kristalina akan menonjol
sementara permukaan posterior tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, dan terjadi peningkatan sebanyak 0,5 mm pada ketebalan
aksial lensa selama akomodasi (Ovenseri-Ogbomo dan Oduntan,
2015).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

2. Kelainan Refraksi
Berbagai aspek penglihatan akan terus berkembang selama awal dan
pertengahan masa kanak-kanak, termasuk perkembangan fokus dan
kedalaman penglihatan. Kemampuan kedua mata untuk fokus pada suatu
objek secara bersamaan, atau yang disebut konvergensi, akan sepenuhnya
berkembang pada usia tujuh tahun. Hal ini menjadi salah satu alasan
mengapa seorang anak dengan masalah kesejajaran bola mata atau
strabismus harus ditangani sebelum usia tersebut. Seorang anak pada
umumnya agak hiperopia, tetapi dapat melihat dengan baik pada jarak lain.
Miopia dan astigmatisma yang lebih menonjol pada seorang anak
dianggap sebagai hal yang diturunkan (Turbert, 2017).
Kelainan refraksi mengacu pada cacat penglihatan di mana sistem
optik tidak mampu memfokuskan sinar paralalel tepat pada retina dalam
keadaan mata tidak berakomodasi (Althomali, 2018). Kelaianan refraksi
yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah miopia atau rabun jauh,
hiperopia atau rabun dekat, dan astigmatisma atau distorsi penglihatan.
Seseorang dapat menderita dua jenis atau lebih kelainan refraksi dalam
waktu yang sama (American Academy of Ophthalmology, 2014).
a. Miopia (Rabun Jauh)
Pada miopia mata tidak mampu untuk memfokuskan objek yang
jauh. Hal ini disebabkan oleh daya refraksi sistem optik yang terlalu
tinggi berhubungan dengan panjang bola mata. Seperti ditunjukkan
dalam gambar, fokus dari objek yang jauh terbentuk di depan retina
sehingga objek kabur di fovea. Sebaliknya, objek yang dekat dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

pengamat dapat difokuskan pada retina tanpa perlu akomodasi (Ulrich


et al., 2017).

Gambar 2.2 Miopia (Turbert, 2019)

Dikatakan sebagai miopia jika kekuatan lensa sferis setara


dengan ≥ −0.50 Dioptri (D) (secara matematis). Lebih lanjut
dikategorikan sebagai (Althomali, 2018):
1) Ringan, ≥ −0.50 D dan < −3.00 D
2) Sedang, ≥ −3.00 D dan < −6.00 D
3) Berat, ≥ −6.00 D

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan seseorang berisiko


menderita miopia, yaitu:
1) Faktor herediter
Penelitian yang dilakukan pada saudara kembar
memberikan bukti yang kuat terkait peran gen terhadap
perkembangan miopia. Hal ini dikarenakan kembar dizigot
berbagi 50% gen dan kembar monozigot berbagi 100% gen jika
dibandingkan dengan gen yang sangat bervariasi pada saudara
kandung yang bukan kembar. Semua penerlitian yang dilakukan
pada saudara kembar menunjukkan korelasi antara refraksi,
komponen okuler, dan keturunan. Korelasi ini lebih kuat pada
kembar monozigot dibanding kembar dizigot. Kemajuan dalam
pengurutan genetik memungkinkan para peneliti untuk
menyelidiki gen yang terkait dengan pengembangan miopia,
tidak sekadar mengandalkan penelitian observasional pada
commit to user
saudara kembar. Sebagian besar gen berkaitan dengan miopia
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

tinggi dan beberapa dihubungkan dengan miopia sedang


(Gammoh, 2018).
2) Pekerjaan jarak dekat dan pendidikan
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara pekerjaan jarak dekat, tingkat pendidikan, dan
miopia. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan
antara pekerjaan jarak dekat dan miopia, konsep "diopter-hours"
digunakan pada beberapa penelitian yang dilakukan pada anak-
anak dengan mempertimbangkan lamanya waktu untuk
melakukan berbagai kegiatan jarak dekat. Temuan yang paling
penting adalah lamanya waktu membaca dari media cetak dapat
dianggap sebagai faktor risiko untuk miopia, terlepas dari faktor
keturunan dan waktu untuk kegiatan jarak dekat lainnya. Terdapat
bukti yang kuat mengenai hubungan antara tingkat pendidikan
dan miopia. Mahasiswa menunjukkan prevalensi miopia yang
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Lebih jauh
lagi, prevalensi miopia semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya tahun studi mereka. Beberapa siswa yang emetrop
mulai menderita miopia setelah melalui beberapa tahun di
universitas (Gammoh, 2018).
3) Aktivitas di luar ruangan
Baik faktor keturunan maupun aktivitas jarak dekat
termasuk dalam faktor risiko untuk timbul dan berkembangnya
miopia. Namun, bukti baru menunjukkan bahwa aktivitas di luar
ruangan berperan dalam mencegah perkembangan miopia.
Miopia telah terbukti berbanding terbalik dengan durasi anak-
anak saat melakukan permainan olahraga, seperti sepak bola dan
lain-lain. Beberapa penelitian membuktikan bahwa durasi
aktivitas di luar ruangan berhubungan dengan berkurangnya
risiko perkembangan miopia. Hal ini diduga karena terjadi
commit tofokus
peningkatan kedalaman user melalui restriksi pupil, terpapar
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

sinar ultraviolet, dan meningkatnya pengeluaran dopamin.


Mekanisme yang paling memungkinkan adalah meningkatnya
pengeluaran dopamin yang menyebabkan berkurangnya
pemanjangan aksial. Namun, masih belum ada bukti konkret
mengenai mekanisme penurunan onset dan perkembangan
miopia melalui aktivitas di luar ruangan.
b. Hiperopia (Rabun Dekat)
Pada hiperopia atau rabun dekat melihat dalam kondisi rileks
(tanpa akomodasi) akan tampak kabur. Hal ini disebabkan oleh daya
refraksi yang terlalu lemah sehingga fokus dari objek yang jauh jatuh
di belakang retina (Ulrich et al., 2017). Individu dengan hiperopia
mengalaminya secara berbeda-beda. Beberapa orang mungkin tidak
merasakan masalah pada penglihatannya, terutama jika mereka masih
berusia muda (Boyd, 2014).

Gambar 2.3 Hiperopia (Boyd, 2014)

Pada usia muda kondisi ini dapat dikompensasi secara otomatis/


tidak sadar, dengan cara mengurangi jari-jari kelengkungan
(akomodasi) sehingga daya refraksi lensa okuler berubah. Bayangan
akan dipindahkan tepat pada retina dan objek akan tampak fokus.
Hiperopia pada usia muda masih memungkinkan untuk melihat
dengan jelas, tetapi harus meningkatkan akomodasi (hiperopia laten).
Apabila objek yang dilihat terletak dekat dengan pengamat, maka
derajat akomodasi yang diperlukan akan jauh lebih besar agar dapat
commitHal
memfokuskan bayangan. to user
ini meningkatkan risiko terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

gejala asthenopia atau kelelahan mata (gejala yang relatif tidak


spesifik seperti nyeri pada mata, mata merah, mata kering, terkadang
penglihatan ganda, penglihatan kabur sesaat, atau sakit kepala).
Gejala-gejala tersebut terutama terjadi pada malam hari, dalam
pencahayaan yang buruk, dan setelah berkonsentrasi lama pada objek
yang dekat (Ulrich et al., 2017).
Dikatakan sebagai hiperopia jika kekuatan lensa sferis setara
dengan ≥ +0.50 Dioptri (D) secara matematis (Althomali, 2018).
Lebih lanjut dikategorikan sebagai (Alemu et al, 2019):
1) Ringan, ≤ +2.75 D
2) Sedang, +3.00 D hingga + 5.00 D
3) Berat, ≥ 5.00 D

Sementara kategori hipermetropia menurut American Optometric


Association (2010) adalah sebagai berikut:

1) Ringan, ≤ +2.00 D
2) Sedang, +2.25 D hingga + 5.00 D
3) Berat, ≥ 5.00 D

Seperti halnya miopia, hiperopia biasanya diturunkan. Sebagian


besar anak mengalami hiperopia, tetapi tidak mengalami penglihatan
kabur. Melalui akomodasi, mata anak dapat membelokkan berkas
cahaya dan menempatkannya tepat pada retina. Selama hiperopia
yang dialami tidak terlalu parah, anak dengan hiperopia akan memiliki
penglihatan yang jelas baik saat melihat jauh maupun dekat.
Hiperopia akan berkurang seiring dengan pertumbuhan dan
memanjangnya bola mata (Boyd, 2014).
c. Astigmatisma
Astigmatisma merupakan suatu kondisi mata di mana
kelengkungan pada satu atau lebih permukaan refraksi tidak sama
sehingga menghambat pembentukan gambar yang jelas pada retina
commit to user
(McKean-Cowdin et al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4 Astigmatisma (Ulrich et al., 2017)

Klasifikasi dan efek dari astigmatisma tergantung dari garis


fokus yang terletak lebih anterior (Ulrich et al., 2017):
1) Astigmatisma with-the-rule
Kelengkungan meridian vertikal merupakan bagian yang
paling datar, sehingga kornea berbentuk seperti bola rugby, yaitu
pada sudut 0°–30° atau 150°–180° (Ulrich et al., 2017).
2) Astigmatisma against-the-rule
Astigmatisma jenis ini memiliki kelengkungan meridian
horizontal yang paling datar, yaitu pada sudut 60°–120° (Ulrich
et al., 2017).
3) Astigmatisma oblik
Lengkungan paling datar berada di antara sudut 30°- 60°
atau 120° - 150° (Ulrich et al., 2017).

Astigmatisma didefinisikan sebagai kesalahan silinder ≥ 0.50


DC (nilai absolut) pada sumbu mana pun. Lebih lanjut dikategorikan
sebagai (Althomali, 2018):
1) Ringan – sedang, ≥ 0.50 DC dan < 3.00 DC
2) Berat, ≥ 3.00 DC

Mengidentifikasi astigmatisma pada anak sangatlah penting


karena berpotensi untuk mempengaruhi perkembangan normal
penglihatan. Derajat astigmatisma yang tinggi berhubungan dengan
perkembangan ambliopia
commitdan
tomiopia.
user Walaupun penyebab pasti dari
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

astigmatisma masih belum jelas, akan tetapi faktor-faktor seperti


keturunan, tekanan kelopak mata, tekanan otot ekstraokuler, usia
kehamilan, berat badan lahir, dan kondisi medis tertentu kemungkinan
juga dapat berperan (McKean-Cowdin et al., 2011).

Kelainan refraksi disebut anisometropia apabila daya refraksi kedua


mata berbeda. Sebesar 2-3% anisometropia memiliki selisih 3 dioptri atau
lebih. Anisometropia kemungkinan dapat disertai dengan perbedaan
persepsi gambar (anisekonia). Anak-anak dengan anisometropia tinggi
memiliki prevalensi dan keparahan yang lebih tinggi terhadap ambliopia
jika dibandingkan dengan selisih daya refraksi kedua mata yang hanya
sedikit. Disebut ambliopia apabila terjadi penurunan ketajaman visual
tanpa adanya korelasi morfologi, sebagai akibat dari gangguan
perkembangan kapasitas visual. Walaupun deteksi dini pada anak usia
prasekolah sangat dianjurkan, akan tetapi hal tersebut tetap tidak dapat
mendeteksi semua penyebab ambliopia (Ulrich et al., 2017).
3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah seseorang melakukan
pengindraan pada suatu objek. Pengindraan dilakukan melalui panca indra
manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan
peraba. Informasi yang didapat dari pengindraan tersebut harus dapat
diserap, diolah, dan dipahami. Pengetahuan dapat berasal dari berbagai
sumber, diantaranya dari media cetak, elektronik, seminar atau
penyuluhan, dan pengalaman pribadi atau orang lain (Hutauruk, 2009).
Pengetahuan seseorang dapat diukur melalui wawancara atau angket
yang berisi pertanyaan mengenai materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian. Terdapat beberapa tigkatan kedalaman pengetahuan, yaitu tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Oleh sebab itu,
pengetahuan menjadi domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behavior). Karena pengalaman dan penelitian
menunjukkan bahwa perilaku didasari oleh pengetahuan (Sarindra, 2015).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

Bersekolah atau pendidikan memengaruhi tigkat kesehatan.


Seseorang yang terpelajar akan lebih sehat dibandingkan dengan yang
kurang terpelajar (Mocan dan Altindag, 2012). Rendahnya status
kesehatan ini meliputi pengetahuan tentang suatu penyakit, tanda dan
gejalanya, morbiditasnya, status kesehatan umum, dan penggunaan
pelayanan kesehatan. Seseorang yang kurang terpelajar biasanya 1,5-3 kali
lebih mudah mengalami suatu penyakit (Camerini, Schulz dan Nakamoto,
2012). Sebagai contoh, ada beberapa orang yang menganggap jika
kebutaan merupakan kondisi alami dari proses penuaan, sehingga tidak
ada yang perlu dilakukan mengenai hal tersebut. Selain itu, peningkatan
pendidikan dan kesehatan juga akan berdampak pada tingkat pendidikan
dan kesehatan generasi selanjutnya (Mocan dan Altindag, 2012).
4. Sikap
Istilah sikap (attitude) pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer
pada tahun 1862 yang diartikan sebagai status mental seseorang.
Kemudian pada tahun 1888 istilah sikap digunakan oleh Lange dalam
bidang eksperimen tentang respon untuk menggambarkan kesiapan
seseorang dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba. Kesiapan
(set) untuk memberikan respon itu disebut aufgabe atau task attitude. Jadi,
menurut Lange sikap tidak semata-mata merupakan aspek mental saja
melainkan mencakup pula aspek respon fisik. Terdapat berbagai faktor
yang memengaruhi pembentukan sikap, diantaranya adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, dan
faktor emosi dalam diri individu (Saifuddin, 2016)
Seperti halnya pengetahuan, terdapat beberapa tingkatan dari sikap,
yaitu (Sarindra, 2015) :
a. Menerima
Artinya seseorang (subjek) mau dan memperhatikan rangsangan
yang diberikan (objek).
b. Merespon
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan


menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari
sikap. Karena dengan adanya usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, artinya seseorang telah menerima ide tersebut.
c. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah merupakan indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab
Bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilih
dengan berbagai risiko merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi.

Sikap dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Secara


langsung dapat melalui petanyaan terkait pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan menanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak
setuju, sangat tidak setuju) terkait pernyataan-pernyataan hipotesis yang
diberikan (Sarindra, 2015).
5. Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap
Pengetahuan sangat diperlukan untuk membentuk suatu sikap dan
tindakan, walaupun tindakan tidak harus selalu didasari oleh pengetahuan.
Pengetahuan baru pada individu akan memicu timbulnya respon batin
dalam bentuk sikap individu terhadap objek yang diketahui tersebut
(Hutauruk, 2009).
Sikap yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama
dibandingkan dengan yang tidak didasari oleh pengetahuan (misalnya
karena paksaan). Pengetahuan dan sikap berhubungan secara konsisten.
Apabila komponen kognitif (pengetahuan) berubah maka akan diikuti oleh
perubahan sikap (Hutauruk, 2009).
Pendidikan akan memperluas dasar pengetahuan seseorang
mengenai kesehatan. Peningkatan pengetahuan tentang kesehatan ini akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

mengubah perilaku kesehatan seseorang, yang lebih lanjut akan


memengaruhi kondisi kesehatannya (Mocan dan Altindag, 2012).
6. Pengetahuan dan Sikap Orangtua terhadap Kelainan Refraksi pada Anak
a. Pengetahuan Orangtua tentang Kelainan Refraksi pada Anak
Mayoritas penduduk di negara berkembang buta huruf dan
kurang berpendidikan dalam hal kesehatan mata. Penjelasan dan
informasi yang berkualitas mengenai kesehatan mata masih belum
tersebar luas kepada publik (Jaggernath et al., 2014). Kurangnya
pengetahuan dan informasi mengenai faktor resiko dan kesehatan
mata dapat menghambat perawatan yang diterima (McClure et al.,
2017). Pengetahuan dan pendidikan mengenai kesehatan mata dan
pilihan pengobatan yang tersedia serta mengklarifikasi mitos yang ada
sangatlah penting. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang telah
dididik tentang kesehatan mata dan layanan yang tersedia cenderung
mau untuk melakukan operasi atau tindakan koreksi penglihatan
lainnya dibandingkan dengan mereka yang belum pernah menerima
pendidikan (Jaggernath et al., 2014).
Memahami pengetahuan tentang kesehatan mata merupakan
kunci untuk meningkatkan kesehatan mata, karena pengetahuan
mengenai kesehatan berhubungan dengan perilaku dan hasil
kesehatan (McClure et al., 2017). Orangtua, sebagai pengasuh utama,
berperan untuk mencari pelayanan kesehatan bagi anaknya.
Kurangnya kesadaran terhadap kondisi mata dapat menyebabkan
gangguan penglihatan dan bahkan kebutaan. Oleh karena itu, dengan
memahami kesadaran dan pengetahuan orangtua mengenai kondisi
mata dapat membantu untuk mengetahui alasan adanya kebutaan yang
sebenarnya dapat dihindari pada anak (Senthilkumar et al., 2016).
b. Sikap Orangtua terhadap Kelainan Refraksi pada Anak
Apabila telah memahami bahwa kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi dapat mengakibatkan penurunan penglihatan atau bahkan
commit to
kebutaan, maka orangtua usercenderung bersikap mendukung
akan
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

deteksi dini, tindakan koreksi pada kelainan refraksi, dan tindakan


preventif terhadap kelainan refraksi pada anaknya. Sikap mendukung
tersebut dinyatakan dalam bentuk kesetujuan untuk melakukan
deteksi dini, kesetujuan untuk melakukan tindakan koreksi jika anak
mengalami kelainan refraksi, dan kesetujuan untuk melakukan
tindakan preventif terhadap kelainan refraksi pada anak (Sarindra,
2015).
Kebiasaan untuk memeriksakan mata bervariasi di antara
masyarakat, termasuk para orangtua. Jenis perawatan yang dicari (ke
dokter spesialis mata atau ke pengobatan alternatif) dapat
memengaruhi prognosis dari suatu penyakit mata. Hal ini terutama
pada anak-anak yang masih tergantung pada orangtua dalam hal
memeriksakan atau mengobatkan kondisi mata mereka (Ayanniyi et
al., 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

B. KERANGKA PEMIKIRAN

Pertumbuhan dan
perkembangan
mata anak

Normal Temuan
kelainan refraksi

Berkacamata Tidak
berkacamata

Faktor yang memengaruhi:


 Pengalaman pribadi
 Riwayat penyuluhan Pengetahuan dan sikap
kesehatan mata orangtua yang baik/kurang
 Orang lain/lingkungan
 Media massa
 Institusi/lembaga
pendidikan dan agama

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran

Keterangan
: faktor yang diteliti
: faktor yang tidak diteliti

C. HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara temuan kelainan refraksi dengan
pengetahuan dan sikap orangtua untuk memeriksakan mata anaknya pada siswa
sekolah dasar. Kelainan refraksi anak yang sudah banyak terkoreksi
mencerminkan pengetahuan dan sikap orangtua yang baik. Sebaliknya,
banyaknya kelainan refraksi anak yang belum terkoreksi mencerminkan
commit
pengetahuan dan sikap orangtua yangtokurang.
user

Anda mungkin juga menyukai