Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH PENGAWETAN KULIT IKAN BUNTAL (Arothon

reticularis) TERHADAP SUHU KERUT DITINJAU MELALUI


ANALISIS DIFFERENTIAL SCANNING CALORIMETER (DSC)

THE EFFECT OF PRESERVATION METHODS ON SHRINKAGE


TEMPERATURE OF PUFFER FISH SKIN USING DIFFERENTIAL
SCANNING CALORIMETER (DSC) ANALYSIS

RLM. Satrio Ari Wibowo*, Muh. Wahyu Sya’bani


Politeknik ATK Yogyakarta, Jln Ring Road Selatan, Panggungharjo, Sewon, Bantul 55188, Indonesia
*Penulis korespondensi. Telp./Fax.: +62 274 383727
E-mail: alexius_wibowo@yahoo.com

Diterima: 30 Agustus 2015 Direvisi: 10 Oktober 2015 Disetujui: 23 November 2015

ABSTRACT
The aim of this study was to determine the effect of the skin preservation type against shrinkage temperature
of leather. The material used in this study was the skin of pufferfish (Arothon reticularis) that have been preserved
by salting, formaldehyde and pickling and also raw skin as a reference. The method used to measure the shrinkage
temperature was thermal analysis using differential scanning calorimeter (DSC) that operated from 4°C up to
440°C with nitrogen stream. DSC measurement results showed that shrinkage temperature of puffer fish preserved
with formaldehyde was higher than salting and pickling, which is 63.64°C; 47.95°C; 57.37oC respectively. The
advantage of using formaldehyde compared to others preservation technique was not only can protect the skin from
damage by microorganisms, but also can create a bond with the collagen.

Keyword: Puffer fish, differential scanning calorimeter, skin preservation.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pengawetan kulit terhadap indikator penting
kualitas kulit yaitu shrinkage temperature. Material yang digunakan adalah kulit ikan buntal (Arothon reticularis)
yang sudah diawetkan dengan penggaraman, formaldehid dan pengasaman serta kulit mentah sebagai blangko.
Metode yang digunakan untuk mengukur shrinkage temperature adalah analisis thermal menggunakan differential
scanning calorimeter (DSC) yang dioperasikan mulai suhu 4oC sampai dengan 440oC dengan aliran gas nitrogen.
Hasil pengukuran DSC menunjukkan shrinkage temperature kulit ikan buntal awetan formaldehid lebih tinggi
dibandingkan awetan penggaraman dan pengasaman, yaitu berturut-turut 63,64 oC; 47,95 oC; 57,37 oC. Kelebihan
dari formaldehid selain dapat melindungi kulit dari kerusakan oleh mikroorganisme, juga dapat membuat ikatan
dengan kolagen kulit.

Kata kunci: Ikan buntal, differential scanning calorimeter, pengawetan kulit.

PENDAHULUAN ±26,9%. Protein ini sangat mudah sekali diserang


Kulit mentah adalah merupakan bahan baku oleh bakteri pembusuk. Oleh karena itu kulit
industri penyamakan kulit. Untuk mendapatkan mentah baik dalam keadaan basah maupun dalam
produk industri penyamakan kulit yang bermutu keadaan kering bila tanpa diawetkan maka akan
baik (kulit jadi yang baik), selain dipengaruhi mudah membusuk bila disimpan lama. Oleh karena
proses penyamakan yang baik, juga dipengaruhi itu agar tahan disimpan lama, maka perlu dilakukan
oleh kulit mentah yang bermutu baik pula, atau usaha pengawetan terhadap kulit mentah segar,
dengan kata lain berkualitas baik. Seperti halnya karena tujuan dari pengawetan adalah melindungi
dengan kulit-kulit hewan lainnya, kulit dari suatu kulit terhadap serangan bakteri, jamur dan serangga
ikan juga mengandung protein yang jumlahnya yang menyebabkan terjadinya pembusukan dan

PENGARUH PENGAWETAN KULIT ............................................ (Wibowo & Sya’bani) 93


kerusakan kulit mentah (BBKKP, 1991). Selama zat pembanding. Perubahan kalor setara dengan
ini, limbah kulit ikan belum dimanfaatkan secara perubahan entalpi pada tekanan konstan.
optimal dan dibiarkan begitu saja menjadi sampah. Data yang diperoleh dari analisis DSC da-
Padahal, limbah kulit ikan memiliki potensi yang pat digunakan untuk mempelajari kalor reaksi,
cukup besar untuk dikembangkan dalam industri kinetika, kapasitas kalor, transisi fase, kestabilan
kulit. Salah satu sumberdaya hayati perikanannya termal, kemurnian, komposisi sampel, titik kritis,
adalah ikan buntal. Menurut Weber & de Beaufort dan diagram fase. Termogram hasil analisis DSC
(1962), ikan ini tergolong jenis ikan perenang dari suatu bahan polimer akan memberikan infor-
lambat dan memiliki kemampuan mengembung masi titik transisi kaca (Tg), yaitu suhu pada saat
dengan jalan memasukan udara dan air kedalam polimer berubah dari bersifat kaca menjadi seperti
perutnya. Hidupnya di laut, muara sungai dan karet, titik kristalisasi (Tc), yaitu pada saat poli-
perairan tawar. mer berbentuk kristal, titik leleh (Tm), yaitu saat
Penggunaan kulit ikan sebagai bahan baku polimer berwujud cairan, dan titik dekomposisi
produk kulit juga bertujuan untuk mengurangi (Td), yaitu saat polimer mulai rusak. Tujuan Pene-
perburuan satwa liar yang masuk dalam konser- litian ini adalah untuk mengetahui kondisis termal
vasi dan digunakan sebagai bahan baku industri dari kulit ikan buntal mentah dan tiga macam jenis
kulit. Wibowo et al. (2014) menyatakan kemulur- pengawetan yaitu garaman, pengasaman dan for-
an kulit ikan buntal mentah sebesar 88,94%, kulit malin. Analisis DSC digunakan untuk mengetahui
ikan buntal garaman sebesar 114,15%, kulit ikan perbedaan sifat fisis pada sifat termal kulit ikan
buntal pickle sebesar 96,84% dan kulit ikan buntal buntal Arothon reticularis.
formalin sebesar 84,72% dari hasil tersebut cukup
baik untuk standar produk kulit. Akan tetapi ba- BAHAN DAN METODE
gaimana dengan analisis termalnya perlu dikaji Bahan Penelitian
kembali. Materi yang digunakan dalam penelitian ada-
Analisis termal dalam pengertian luas ada- lah 12 lembar kulit ikan buntal yang diambil di
lah pengukuran sifat kimia fisika bahan sebagai daerah Rembang. Dilakukan 3 (tiga) macam me-
fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat tode pengawetan yaitu formalin, pengasaman dan
memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, penggaraman.
polimorfisma, titik lebur, sublimasi, transisi kaca,
dedrasi, penguapan, pirolisis, interaksi padat- Peralatan Penelitian
padat dan kemurnian. Analisis termal DSC digu- Peralatan yang digunakan adalah alat utama
nakan untuk mengetahui fase-fase transisi pada Differential Scanning Calorimeter (DSC) Per-
polimer. Analisis ini menggunakan dua wadah kins Elmer DSC-4000 dengan sampel pan tertu-
sampel dan pembanding yang identik dan umum- tup. DSC dilengkapi dengan chiller supaya dapat
nya terbuat dari alumunium (Martianingsih & memulai pemanasan pada suhu yang lebih rendah
Lukman, 2010). Differential Scanning Calorim- dari suhu kamar. Sedangkan peralatan pembantu
eter (DSC) merupakan salah satu alat dari thermal antara lain neraca analitik digital dan gunting.
analyzer  yang dapat digunakan untuk menentu-
kan kapasitas panas dan entalpi dari suatu bahan Metode Penelitian
(Ginting et al., 2005). Kulit ikan buntal mentah diambil 4 lembar di-
Menurut Nurjannah (2008), prinsip kerja awetkan secara garam jenuh yaitu larutan garam
analisis termal DSC didasarkan pada perbedaan jenuh yang telah disiapkan dalam bak perendaman
suhu antara sampel dan suatu pembanding yang dengan kepekatan 20-24°Be., 4 lembar diawetkan
diukur ketika sampel dan pembanding dipanaskan dengan 40% formaldehyde dan 4 lembar diasam-
dengan pemanasan yang beragam. Perbedaan suhu kan dengan natrium sulfat 17%, 1% asam formiat
antara sampel dan zat pembanding yang lembam dan ditambahkan 3% asam klorida.
(inert) akan teramati apabila terjadi perubahan da- Sampel dipotong kecil-kecil kemudian di-
lam sampel yang melibatkan panas seperti reaksi timbang pada neraca analitik digital dengan berat
kimia, perubahan fase atau perubahan struktur. maksimum 30 mg. Selanjutnya sampel dimasu-
Jika ΔH (-) maka suhu sampel akan lebih rendah kan dalam sampel pan dan diklem sampai tertu-
daripada suhu pembanding, sedangkan jika ΔH (+) tup rapat. Di dalam DSC sampel pan dipanaskan
maka suhu sampel akan lebih besar daripada suhu dari suhu 4 sampai 440 oC dengan kecepatan pe-

94 MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 2 Desember Tahun 2015: 93-98
manasan 5oC/menit dan aliran gas nitrogen 30 ml/ Pada penelitian kami, puncak dari kurva DSC
menit. Stabilitas termal dari kolagen merupakan kulit mentah memiliki onset sebesar 57,37oC dan
karakteristik penting untuk meninjau kualitas dari nilai entalpi 181,2658 J/g. Kestabilan kolagen ter-
kulit, karena nilainya menunjukkan secara tidak hadap suhu merupakan suatu adaptasi fisiologis
langsung akan destabilisasi struktur dari matriks ikan terhadap perubahan  suhu  lingkungannya
kulit. Stabilitas termal dari kulit pada umumnya (Ogawa  et al.,  2004). Menurut Jongjareonrak et
di tunjukkan melalui suhu kerut. Pada tulisan ini, al. (2004), kesetabilan kolagen kulit ikan dipe-
DSC digunakan untuk menentukan suhu kerut dari ngaruhi oleh komposisi 5 (lima) jenis asam amino
awetan kulit ikan buntal. Metode pengujian den- utama (glisin, alanin, asam glutamat, prolin, dan
gan DSC mengikuti standar prosedur alat Perkins hidroksiprolin).
Elmer DSC-4000 tanpa pengulangan sampel. Terlihat pada Gambar 1, suhu kerut teramati
Menurut Kanagaraj et al. (2005) suhu dimana dari kulit yang diawetkan dengan penggaraman
sampel mulai mengkerut didefinisikan sebagai adalah 47,95oC, nilai ini lebih rendah daripada
suhu kerut dari kulit. Apabila menggunakan me- suhu kerut kulit mentah yang sebesar 57,37oC.
tode DSC maka data onset dari transisi endoter- Kulit hewan pada umumnya memiliki kandung-
mis diambil sebagai suhu kerut (Jeyapalina et al., an utama air sebesar 60-70% dan protein sebesar
2007). Suhu kerut adalah pengukuran dari putus- 30%. Akibat kandungan air yang tinggi, maka
nya ikatan penstabil yang ada di matrik kolagen. degradasi kulit akan segera mulai berjalan sekitar
Tujuan utama dari pengukuran ini adalah untuk 5-6 jam setelah hewan tersebut mati. Degradasi ini
mengetahui apakah sistem pengawetan yang di- disebabkan khususnya oleh aktivitas dari mikroor-
lakukan memiliki efek pada distabilisasi matrik ganisme pada derma kulit. Natrium klorida yang
kolagen. digunakan pada penggaraman memiliki kemam-
puan dehidrasi dan bakteriostatik. Akan tetapi
HASIL DAN PEMBAHASAN penggaraman yang dilakukan beberapa waktu se-
Suhu Kerut Kulit Ikan Buntal telah hewan tersebut mati memberikan kesempat-
Kurva grafik DSC dari kulit mentah ikan an terjadinya degradasi pada matrik kolagen ku-
buntal, pengawetan dengan penggaraman, pen- lit.
gawetan dengan formalin dan pengasaman disa- Parameter yang sangat sensitif oleh terjadinya
jikan pada Gambar 1. Bentuk peak yang asimetri perubahan pada struktur kolagen adalah suhu kerut
pada masing-masing kurva disebabkan perbedaan (Venkatachalam, 1977). Suhu kerut yang berubah
kestabilan hidrotermal dari populasi kolagen pe- menjadi lebih rendah mengindikasikan putusnya
nyusun kulit ikan. Bagian puncak kurva yang be- ikatan intermolekuler pada kolagen (Gudro, 2015).
rada pada suhu lebih tinggi menunjukan populasi Penurunan suhu kerut sebesar 9,42oC menunjuk-
kolagen dengan kestabilan yang lebih baik (Cucos
et al., 2014). Jumlah ikatan silang atau cross link-
age yang terbentuk menentukan suhu kerut kulit 20

samak aldehid. Semakin banyak jembatan oxym- 21


ethylene, maka suhu kerut semakin tinggi. Kena- a
22
ikan suhu kerut sangat signifikan dengan jumlah
aldehid yang terikat, sedangkan aldehid terikat 23
Heat flow endo down (mW)

tergantung pada pH cairan penyamakan (Purno-


b
24
mo, 2009). 25
Besarnya ketahanan kulit terhadap panas c
(hidrotermal) sangat dipengaruhi oleh jenis dan 26

jumlah bahan yang berikatan dengan protein kulit 27


(Covington, 1994 cit. Kurniani, 2007). Suhu kerut d
28
adalah suhu dimana terjadi pengkerutan struktur 3 20 40 60 80 100 120 140

kolagen. Pengkerutan terjadi karena adanya lipa- Temperatur (oC)

tan rantai polipeptida akibat putusnya kekuatan Gambar 1. Kurva DSC untuk tiap jenis sampel:
dari anyaman serabut oleh kondisi ekstrim se- (a) buntal mentah, (b) pengawetan dengan
perti pemanasan pada suhu tinggi (Sarkar, 1995 pengasaman, (c) pengawetan dengan formalin, (d)
cit. Kurniani, 2007). pengawetan dengan penggaraman.

PENGARUH PENGAWETAN KULIT ............................................ (Wibowo & Sya’bani) 95


kan penurunan kualitas kulit akibat aktivitas mik- gugus amino utama dan gugus methylol menga-
roorganisme yang cukup intensif. lami reaksi menjadi jembatan metilin.
Hal yang berbeda terjadi pada nilai suhu kerut Nilai suhu kerut untuk kulit ikan buntal dengan
dari kulit ikan buntal yang diawetkan dengan for- pengawetan pengasaman sebesar 49,31oC. Hasil
malin dimana nilai suhu kerutnya sebesar 63,64oC. ini lebih kecil daripada suhu kerut dari kulit ikan
Suhu kerut tersebut lebih tinggi dibandingkan de- mentah. Nilai yang lebih kecil tersebut dikarena-
ngan suhu kerut kulit ikan mentah. Perbedaan ini kan sebelum dilakukan pengasaman terdapat jeda
dikarenakan penggunaan formalin selain dapat se- waktu dengan saat ikan tersebut mati sehingga su-
bagai pengawet juga merupakan salah satu bahan dah mulai terjadi kerusakan pada matriks kolagen
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan penya- kulit. Pengasaman dimaksudkan untuk mencegah
mak. Bahan penyamak akan membentuk ikatan kerusakan lebih lanjut dari kulit, bukan untuk
silang dengan kolagen kulit. Keberadaan bahan memperbaiki kondisi kulit. Pengawetan dengan
penyamak akan meningkatkan kekuatan dari kulit cara pengasaman pada umumnya dilakukan de-
dan mencegah kerusakan degradasi akibat bahan ngan cara merendam kulit pada larutan asam. Pada
kimia, panas dan mikroorganisme (Krishnamoor- prinsipnya bahan kimia yang bersifat asam dalam
thy et al., 2013). Pengawetan dengan formalin proses ini akan menyebabkan mikrobia tidak da-
akan menaikkan suhu kerut kulit yang tidak tahan pat tumbuh dan merusak kulit (PPP UGM, 2011).
panas menjadi tahan terhadap suhu 700C dan kulit Perbandingan pengujian suhu kerut dari sam-
tersamaknya kurang mempunyai afinitas terhadap pel dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu kerut teramati
beberapa zat dasar dari kulit samak krom atau na- dari kulit yang diawetkan dengan penggaraman
bati. Aldehid berikatan dengan gugus amino basa adalah 47,95oC, nilai ini lebih rendah daripada
dari protein kuli dalam kondisi sedikit alkali, reak- suhu kerut kulit mentah yang sebesar 57,37oC.
si lebih cepat dan terjadi kondensasi dari beberpa Begitupula dengan suhu kerut dari kulit yang di-
molekul yang besar yang mana memberikan sifat awetkan dengan pengasaman sebesar 49,31oC
lebih berisi dari kulit tersamaknya. O’Flaherty et yang juga lebih rendah dibandingkan kulit men-
al. (1958) menyatakan bahwa reaksi aldehida dan tah. Sedangkan suhu kerut dari kulit ikan buntal
amina akan membentuk campuran metilalanin dengan pengawetan formalin sebesar 63,64oC dan
yang reaksinya berlangsung dalam suasana asam lebih tinggi daripada kulit ikan mentah. Suhu kerut
(pH 3,6) dikarenakan dalam pengikatannya terjadi erat kaitannya dengan kematangan kulit karena se-
perubahan suasana molekul yaitu terjadi pelepasan makin banyak serabut kulit yang berikatan dengan
ion Hidrogen dari gugus NH3+. dengan reaksi se- bahan penyamak. Semakin matang kulit semakin
bagai berikut: tinggi suhu kerut sehingga kualitas kulit semakin
baik karena ketahanan kulit terhadap panas (hydro-
OPR – NH – CH2OH + NH2 – R --> thermal) semakin tinggi (Kurniani, 2007). Suhu
R - NH –CH2 – NH2 – R1 + H2O (1) kerut (shrinkage temperature) adalah temperatur
produk yang cenderung mengakibatkan terjadinya
Reaksi Formaldehyde berlangsung sehingga penurunan daya ikat zat-zat yang terdapat dida-
terjadi pembesaran molekul dan mengalami reaksi lam protein (Nayudama, 1978 cit. Ayufita, 2007).
pemisahan air (kodensasi). Selanjutnya formalde- Fenomena tersebut sejalan dengan hasil pengujian
hida akan menjadi jenuh sehingga berubah menja- kekuatan tarik dari kulit ikan buntal dengan peng-
di gas. Selanjutnya formaldehida dengan protein- awetan formalin yang lebih tinggi dibandingkan
protein kulit secara keseluruhan berikatan dengan perlakuan pengawetan penggaraman dan penga-
saman yaitu 147,39 kg/cm2 (Wibowo et al., 2014)
yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Suhu kerut pada kulit awetan. Hasil pengawetan formaldehid yang membe-
Suhu rikan nilai tertinggi di atas sesuai dengan pendapat
No. Sampel Krishnamoorthy et al. (2013) bahwa keuntungan
Kerut, oC
dari proses penyamakan adalah dapat memper-
1 Kulit mentah (kontrol) 57,37
baiki kulit yang dihasilkan dengan cara mencegah
2 Awetan dengan penggaraman 47,95 pembusukan dan ketahanan terhadap bahan kimia,
3 Awetan dengan formalin 63,64 suhu, dan degradasi mikrobia.
4 Awetan dengan pengasaman 49,31 Nilai ΔH diperoleh dari panas endoterm di-

96 MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 2 Desember Tahun 2015: 93-98
Tabel 2. Nilai kuat tarik pada kulit awetan DAFTAR PUSTAKA
(Wibowo et al., 2014) . Ayufita, D. P. (2002). Pengaruh lama perendaman da-
lam garam jenuh terhadap kualitas fisik kulit pari
Kuat tarik, tersamak. Perikanan UGM, Yogyakarta.
No Sampel
kg/cm2 Badea, E., Gatta, G. D., & Usacheva, T. R. (2012).
Effects of temperature and relative humidity on
1 Kulit mentah (kontrol) 180,80 fibrillar collagen within parchment: A micro dif-
2 Awetan dengan penggaraman 146,38 ferential scanning calorimetry (micro DSC) study.
Polymer Degradation and Stability, 97(2012),
3 Awetan dengan formalin 105,70 346-353.
4 Awetan dengan pengasaman 147,39 BBKKP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Barang Kulit, Karet dan Plastik). (1991). Pe-
ngawetan kulit ikan laut secara digaram basah
Tabel 3. DH (dalam J/g) pada kulit awetan. (wet salting). Yogyakarta, Indonesia: BBKKP.
Cucos, A., Budrugeac, P., & Miu, L. (2014). DMA and
No Sampel DH, J/g DSC studies of accelerated aged parchment and
1 Kulit mentah (kontrol) 181,2658 vegetable-tanned leather samples. Thermochimi-
ca Acta, 583(2014), 86-93.
2 Awetan dengan penggaraman 379,2087 Ginting, A. B., Sutri, I., & Jan, S. (2005). Penentuan
3 Awetan dengan formalin 589,7657 parameter uji dan ketidakpastian pengukuran ka-
pasitas panas pada differential scanning calorim-
4 Awetan dengan pengasaman 498,0327 eter. Jurnal Teknologi Bahan Nuklir, 1(1), 1-57.
Gudro, I. (2015). Raw hide preservation using vacuum
under low temperature (Dissertation). Riga Tech-
nical University, Latvia.
bagi dengan jumlah berat sampel yang diguna-
Jeyapalina, S., Attenburrow, G. E., & Covington, A.
kan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai ΔH untuk
D. (2007). Dynamic mechanical thermal analysis
masing-masing metode pengawetan berbanding (DMTA) of leather. Part 1: Effect of tanning agent
linier dengan nilai suhu kerut. Kulit awetan de- on the glass transition temperature of collagen.
ngan formalin memiliki nilai ΔH tertinggi sebesar Journal of the Society of Leather Technologists
589,7657 J/g sebanding dengan nilai suhu kerut and Chemists, 91(6), 236-242.
yang juga tertinggi dibandingkan dengan metode Jongjareonrak,  A.,  Benjakul, S., Visessanguan,  W.,
pengawetan lainnya. Menurut Badea et al. (2012) Nagai, T., & Tanaka, M.  (2004).  Isolation  and
korelasi antara ΔH dengan indikator kestabilan characterisation  of acid  and  pepsin-solubilised
termal dari kulit, misal suhu kerut, tidak selalu collagens  from  the  skin  of  browns-tripe  red
snapper  (Lutjanus vitta). Food Chemistry, 93(3),
berbanding linier.
475-484.
Kanagaraj, J., Sundar, V. J., Muralidharan, C., & Sa-
KESIMPULAN dulla, S. (2005). Alternatives to sodium chloride
Suhu kerut kulit ikan buntal dengan pe- in prevention of skin protein degradation - A case
ngawetan cara penggaraman dan pengasaman le- study. Journal of Cleaner Production, 13(8), 825-
bih rendah dibandingkan suhu kerut kulit ikan 831.
mentah, yang disebabkan adanya waktu jeda antara Krishnamoorthy, G., Sadulla, S., Sehgal, P. K., & Man-
ikan mati dengan proses pengawetan sehingga dal, A. B. (2013). Greener approach to leather
matrik kolagen sudah mulai mengalami kerusakan tanning process: d-Lysine aldehyde as novel tan-
oleh mikroorganisme. Sedangkan suhu kerut kulit ning agent for chrome-free tanning. Journal of
Cleaner Production, 42, 277-286.
ikan buntal dengan formalin lebih tinggi diban-
Kurniani, A.G. (2002). Pengaruh metode pengawetan
dingkan kulit ikan mentah dikarenakan fungsi for-
kulit mentah terhadap kualitas kulit pari tersa-
malin selain sebagai bahan pengawet juga dapat mak. Perikanan UGM, Yogyakarta.
sebagai bahan penyamak sehingga memperbaiki Martianingsih, N., & Lukman A. (2010). Analisis sifat
kualitas kulit. kimia, fisik, dan termal gelatin dari ekstraksi ku-
lit ikan pari (Himantura gerrardi) melalui variasi
UCAPAN TERIMA KASIH jenis larutan asam. Dalam Prosiding Skripsi Se-
Ucapan terimakasih kepada Direktur Poli- mester Gasal 2009/2010. Surabaya, Indonesia:
teknik ATK Yogyakarta atas dukungan dalam pe- Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
nelitian ini. Nurjanah, S. (2008). Modifikasi pektin untuk aplikasi

PENGARUH PENGAWETAN KULIT ............................................ (Wibowo & Sya’bani) 97


membran dengan asam dikarboksilat sebagai Purnomo. E. (2009). Upholstery: Car automotif leather
agen penaut silang (Skripsi). Institut Pertanian seat. Yogyakarta, Indonesia: Akademi Tekonolo-
Bogor, Indonesia. gi Kulit.
O’Flaherty, F., Roddy, W. T., & Lollar, R. M. (1978). Venkatachalam, P. S. (1977). Short-term preservation
The Chemistry and Technology of Leather, Vol- of hide with neem oil, Journal of the Society of
ume III, New York, USA: Reind Hold Publishing Leather Technologists and Chemists, 61(l), 24.
Corporotion. Wibowo, R. L. M. S., Ari, N., Rofiatun, R., & Ardiyan-
Ogawa, M., Portier, R. J., Moody, M. W., Bell, J., Schex- syah, P. (2014). Utilization of waste from puffer
nayder, M. A., & Losso, J. N. (2004). Biochemi- fish skin as alternative raw materials for leather
cal properties of bone and scale collagens isolated tanning. In The 5th International Conference on
from the  subtropical fish  black  drum (Pogonia Sustainable Future for Human Security (SUS-
cromis) and sheepshead seabream (Archosargus TAIN). Bali, Indonesia: Sustain.
probatocephalus). Food Chemistry, 88, 495-501. Weber, M., & de Beaufort, L. F. (1962). The fishes of
PPP UGM (Pusat Pengembangan Pendidikan Univer- the Indo-Australian archipelago. XI. Scleroparei,
sitas Gadjah Mada). (2011). Teknik penyamakan Hypostomides, Pediculati, Plec-tognathi, Opist-
kulit ikan, laporan perkembangan hibah pembe- homi, Discoce-phali, Xenopterygii. New Delhi,
lajaran e-learning. Yogyakarta, Indonesia: PPP India: A. J. Reprints Agency.
UGM.

98 MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 2 Desember Tahun 2015: 93-98

Anda mungkin juga menyukai