Anda di halaman 1dari 16

[06:13, 19/2/2018] +62 895-3746-13820:

Qatar adalah tempat dimana pemerintahannya melindungi para ulama termasuk Syeikh Yusuf Al
Qardhawi yang oleh Pemerintah Mesir dihukum Mati. Tidak hannya itu Qatar juga menjadi
tempat Berlindung para Mujahidin dari berbagai negara yang dituduh teroris. Hasilnya Qatar
pun di embargo oleh negara negara arab (Uni Emirat Arab)

Di kesempatan itulah, menariknya Ustadz Adi Hidayat telah berada di Qatar Jumat 16 Februari
2018 dan saat kajian ada jamaah yang bertanya Tentang Bangkitnya PKI di Indonesia, lalu
apakah Pemerintahan Jokowi sesuai dengan tuntunan dari Allah. Silakan simak kajiannya.

[09:06, 19/2/2018] +62 823-7037-9087: ✅Akhlaq

Canda Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Kriteria Dan Tujuannya

Canda tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi jika kita
hidup ditengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara untuk bersosialisasi dengan
masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode
pendidikan yang jitu. Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan
untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat syaraf, menghilangkan
rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas yang menguras konsentrasi dan tenaga.
Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali,
sehingga produktifitas semakin meningkat.

HUKUM CANDA DALAM ISLAM

Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari
semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga pernah bercanda.

Al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana pendapat
kalian tentang bercanda? Maka kami jawab, ‘Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman,
baik itu bagi orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda, atau bagi
keduanya.[2]
Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-
Adzkâr (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa bercanda dengan tujuan
merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu
tidak terlarang sama sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab (disukai).

Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam
kitab asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan
shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:

‫ َن َع ْم غَ ي َْر إِ ِّني اَل أَقُو ُل إِاَّل َح ًّقا‬:‫ك ُت َداعِ ُب َنا؟ َقا َل‬
َ ‫ إِ َّن‬،ِ ‫ َيا َرسُو َل هَّللا‬:‫َقالُوا‬

Para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau mencadai kami.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu
kecuali yang benar.[3]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi,
no.1991 dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu
anhu , seorang laki-laki meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa
serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ِ ‫ َو َما أَصْ َن ُع ِب َولَ ِد َنا َقةٍ؟ َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬،ِ ‫ َيا َرسُو َل هَّللا‬:‫ك َعلَى َولَ ِد َنا َق ٍة َقا َل‬
ُ ‫ َو َه ْل َت ِل ُد اإْل ِ ِب َل إِاَّل ال ُّن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫وق‬ َ ُ‫أَ َنا َحا ِمل‬

“Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasûlullâh! Apa yang
bisa saya perbuat dengan anak unta?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah
ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.”[4]

Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.

3. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas
Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:

ٍ ‫َيا أَ َبا ع‬
‫ُمير َما َفع َل ال ُّنغَ ي ُر‬

 Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]

an-Nughair adalah burung kecil.

Hadit-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda itu boleh,
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang hukum mubah (boleh) ini bisa
naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan) apabila maksudnya untuk merealisasikan
sebuah kebaikan atau menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
Imam Nawawi di atas.

Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang
dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa
menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.”[6]

Izzuddin bin Abdissalam as-Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Dahulu aku pernah ditanya
tentang canda, materinya dan canda yang diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunnahkan
diantara saudara, teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana
yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan,
ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.”[7]

Dalam kitab al-Mausû’ah al-Kuwaitiyah (36/273) disebutkan bahwa bercanda tidak


menghilangkan kesempurnaan, bahkan sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap
kesempurnaan jika sesuai dengan aturan syari’at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta,
tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau untuk menampakkan
sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun
canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya sunnah. Karena
hukum asal perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib diikuti atau sunnah
untuk diteladani kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil
yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh
para Ulama.

Berdasarkan nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui  bahwa bercanda hukum asalnya
mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud menghibur, terutama bila
melihat teman atau saudara dalam keadaan susah atau murung. Ini didukung dengan hadits dari
Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa
anak Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Pada suatu hari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk mencandainya,
akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya
sedang bersedih?” Para Sahabat menjawab, “Wahai Rasûlullâh! Burung kecil yang biasa dia ajak
bermain mati.” Lalu Rasûlullâhpun memanggilnya, “Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh
nughair?”

Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penggalan kisah di atas
bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu Abu Umair Radhiyallahu anhu yang
kehilangan burung kesayangannya.

HIKMAH DARI PENSYARIATAN CANDA

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu menghibur
saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika materinya berisi hal-hal yang bisa
menghibur pelaku saja, atau orang yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-‘Iz
bin Abdissalam rahimahullah.

Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan
ketentuan-ketentuan syari’at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk
kategori canda yang tercela dan terlarang.

KRITERIA CANDA YANG DIBOLEHKAN

Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:


Selalu jujur dan tidak bohong

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Ketika para Sahabat berkata, “Wahai
Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau menyandai kami.” Beliau bersabda, “Betul, hanya saja saya
tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur).

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubârak bin Fadhâlah dari al-Hasan al-Bashri, beliau
berkata bahwa ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
“Wahai Rasûlullâh! Mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla agar aku dimasukkan ke dalam surga.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga
tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia
tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫﴾ ُع ُربًا أَ ْت َرابًا‬٣٦﴿ ‫﴾ َف َج َع ْل َناهُنَّ أَ ْب َكارً ا‬٣٥﴿ ‫إِ َّنا أَ ْن َشأْ َناهُنَّ إِ ْن َشا ًء‬

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Wâqi’ah/56:35-37][8]

Canda itu tidak berlebihan dan tidak dilakukan secara rutin

Ar-Rhâgib al-Asfahani rahimahullah berkata, “Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji.”

Canda yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa menjatuhkan
wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allâh dan melalaikan hal-hal penting dalam agama.
Sedangkan canda yang rutin akan menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia.
Al-Murthada az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, “Para imam mengatakan bahwa canda yang
berlebihan mencoreng kewibawaan, dan menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar
sunnah dan sirah nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara adalah
yang tengah-tengah.”[9]

Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda
sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura
(akting), seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari’at Islam sebagai
bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan dan tuduhan. Ini semua karena
kebodohan mereka terhadap ajaran agama Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka
lemah. Na’udzu billah. Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta
pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakîm dari bapaknya dari kakeknya, dia
berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa.
Celakalah dia… Celakalah dia[10]

Disebutkan dalam kitab Faidul Qadîr, “Rasûlullâh mengulang-ulang do’anya dengan maksud
memberikan gambaran betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri
merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila dusta menyatu dengan
keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati, menyebabkan lupa, maka akhirnya
perbuatan ini menjadi keburukan yang paling jelek.”

Sebagian Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda sebagai
profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian dia berdalih dengan perbuatan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk
melihat dan menikmati tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengizinkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang pada hari raya. Ini
sebuah kesalahan.

Candanya tidak menimbulkan rasa dongkol, marah dan dendam.

Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah
satu diantara haram atau makruh.[11]

Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa
diajak bercanda. Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu sebab
permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang menganggap semua
perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka bercanda dengan orang tertentu.
Berdasarkan ini, kita harus mengenali keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan
berefek buruk ketika bercanda.
Candanya bukan dengan seuatu yang metakutkan.

Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.

Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sâ-ib bin Yazîd dari bapaknya, dari
kakeknya, dia mendengar Rasûlullâh bersabda:

َ ‫الَ َيأْ ُخ ُذ أَ َح ُد ُك ْم َم َت‬


‫اع أَ ِخ ْي ِه الَعِ بًا َوالَ َجا ًّدا‬

Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka
bercanda ataupun serius.[12]

Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat
akan mengambalikannya.[13]

Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami
diberitahukan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika
mereka melakukan perjalanan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian salah
seorang dari mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak
panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan, sehingga semua orang
tertawa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah yang membuat kalian
tertawa?” Mereka menjawab, “Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut.”
Mendengar ini, Rasûlullâh bersabda:

‫الَ َي ِح ُّل ِلمُسْ ل ٍِم أَنْ ي َُروِّ َع مُسْ لِمًا‬

Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti  Muslim lainnya[14]

Canda dilakukan denga tutur kata yang baik dan perbuatan yang elok.
Orang yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek dan keji, juga
harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang dengan adab kepada teman. Karena itu
semua berpotensi mendatangkan kebencian dan kedengkian.

Canda hendaknya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkannya, seperti wanita dan anak-
anak. Begitulah canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya candaan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak.

TUJUAN DARI CANDA YANG DIPERBOLEHKAN

Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:

1. Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat.


Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam
pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk
ingin selalu jumpa.

2. Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung


beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu)
dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan,
sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.

Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara
jika mereka tidak mau bercanda.[15]

Ini juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk beribadah,
bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.

3. Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang
dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-
laki, perempuan, ataupun anak-anak.
4. Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka lemah.

5. Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.

Senyum dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun senyum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih sering terlihat daripada tawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dan bercanda
dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
kebahagian dan rasa suka cita dalam hati-hati mereka.

6. Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya

Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mâzini Radhiyallahu
anhu , beliau berkata, “Ibuku memintaku untuk membawakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah aku sampai dan menyerahkan anggur tersebut
Beliau memegang telingaku seraya bersabda, “Wahai ghudar”[16]

Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil
ini.

Inilah sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa memperhatikan


tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah canda yang diperbolehkan. Namun,
barangsiapa melanggarnya atau melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur
kebenaran, dan terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda yang
merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan. Diantara kriteria canda yang tercela sebagai
berikut:
Canda yang mengandung unsur ejekan terhadap agama Islam atau salah satu syari’atnya.
Candaan seperti bisa menyebabkan orang yang melakukannya keluar dari Islam, karena
mengejak ajaran Islam salah satu diantara yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َل َيقُولُنَّ إِ َّن َما ُك َّنا َن ُخوضُ َو َن ْل َعبُ ۚ قُ ْل أَ ِباهَّلل ِ َوآ َيا ِت ِه َو َرسُولِ ِه ُك ْن ُت ْم َتسْ َته ِْز ُئ‬
‫﴾ اَل َتعْ َت ِذرُوا َق ْد َك َفرْ ُت ْم َبعْ َد إِي َما ِن ُك ْم‬٦٥﴿ ‫ون‬

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Katakanlah, “Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” ,
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengejek Allâh, ayat-ayat-Nya, para
Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya
itu.”[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, “…


Sesungguhnya menghina atau mengejek Allâh Azza wa Jalla , ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Karena
pokok ajaran agama ini terbangun diatas pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla ,
pengaguangan terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya
bertentangan menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya.”

Semisal dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti mengejek jenggot, hijab atau celana yang di atas mata kaki
atau sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan
seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang munafik. Semoga
Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat
berbahaya ini.

Masalah ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat dan
mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan mengejek, atau
menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang yang berani melakukan itu, berarti dia
telah kufur. Karena perbuatannya tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allâh Azza
wa Jalla , Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari’at-Nya. Orang yang pernah melakukannya wajib
bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatannya yang jelek tersebut.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini yaitu
menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai bahan candaan, seperti
masalah surga, neraka atau siksa kubur yang dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai
pengingat dan motivator bagi seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allâh
Azza wa Jalla pada hari kiamat.

Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.

Mengejek orang lain dengan kedipan mata atau dengan sindiran

Dalam al-Qur’an, Allâh telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:

‫ِين آ َم ُنوا اَل َيسْ َخرْ َق ْو ٌم مِنْ َق ْو ٍم َع َس ٰى أَنْ َي ُكو ُنوا َخيْرً ا ِم ْن ُه ْم َواَل ِن َسا ٌء مِنْ ِن َسا ٍء َع َس ٰى أَنْ َي ُكنَّ َخيْرً ا ِم ْنهُنَّ ۖ َواَل َت ْل ِم ُزوا‬
َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
‫إْل‬ ْ
ُ ‫س ااِل سْ ُم الفُس‬ َ ‫ب ۖ ِب ْئ‬ ْ َ ‫أْل‬ َ
ِ ‫أ ْنفُ َس ُك ْم َواَل َت َنا َب ُزوا ِبا ل َقا‬
ِ ‫ُوق َبعْ َد ا ِي َم‬
‫ان‬

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan


kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-
Hujurat/49: 11],

Ibnu Katsir rahimahulla berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan mengejek
manusia, yaitu perbuatan meremehkan, dan mengoolok-olok manusia, sebagaimana yang
terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ْ‫ـح ِّق َوغَم‬


ِ ‫ط ال َّن‬
‫اس‬ َ ‫ال ِك ْب ُر َب َط ُر ْال‬
Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,

Perbuatan merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan. Boleh
jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa
Jalla , atau lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.
[18]

Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan
bahan ketawaan dan candaan. Na’ûdzu billâh. Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan
hendaklah orang-orang seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

ُ ْ‫ ُك ُّل ْالمُسْ ل ِِم َعلَى ْالمُسْ ل ِِم َح َرا ٌم َد ُم ُه َو َمالُ ُه َوعِ ر‬  … ُ‫ َواَل َيحْ قِ ُره‬،ُ‫ اَل َي ْظلِ ُم ُه َواَل َي ْخ ُذلُه‬،‫ْالمُسْ لِ ُم أَ ُخو ْالمُسْ ل ِِم‬
‫ض ُه‬

Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh menzhaliminya,
menghinanya dan meremehkannya …. sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang
Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]

Canda yang bisa mencelakai orang yang dicandai

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫اَل يُشِ ي ُر أَ َح ُد ُك ْم َعلَى أَخِي ِه ِبال ِّساَل ِح َفإِ َّن ُه اَل َي ْد ِري لَ َع َّل ال َّش ْي َط‬
ِ ‫ان َي ْن ِز ُع فِي َي ِد ِه َف َي َق ُع فِي ُح ْف َر ٍة مِنْ ال َّن‬
‫ار‬

Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam
kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia
bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka[20],

Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


‫أخاهُ ألَ ِبي ِه َوأ ُ ِّم ِه‬ َ ‫ َوإنْ َك‬، ‫ َفإنَّ ال َمالَ ِئ َك َة َت ْل َع ُن ُه َح َّتى َي َد َع ُه‬، ‫ار إلَى أخِي ِه ِب َحدِيدَ ٍة‬
َ ‫ان‬ َ ‫َمنْ أ َش‬

Barangsiapa mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat Malaikat
sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan sebapak.[21]

Al-Hafiz Ibnu Hajar t berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang
bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut
tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.”[22]

Pada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Walaupun itu saudara kandungnya”
terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak diperbolehkan bercanda
seperti diatas kepada siapapun, dan dalam situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena
membuat muslim menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena
terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai saudaranya tanpa
sengaja.[23]

Maka hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan yang bisa
menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa
Ta’ala .

Canda yang mengandung dusta dan ghibah

Poin pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan pada penjelasan
di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini merupakan penyakit yang buruk dan
termasuk dosa besar. Cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra’ mi’raj
mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan ini. Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َهؤُ الَ ِء‬: ‫ َمنْ َهؤُ الَ ِء َيا ِجب ِْر ْيلُ؟ َقا َل‬:‫ت‬ُ ‫ُدورهم َف ُق ْل‬
َ ‫شون بها وُ ج ُْو َه ُه ْم وص‬ ٍ ‫ت ِب َق ْو ٍم لَ ُه ْم أَ ْظ َفا ٌر مِنْ ُن َح‬
ُ ‫اس َي ْخ ِم‬ ُ ْ‫لَمَّا ع ُِر َج ِبيْ َم َرر‬
َ َ
‫اس َو َيقع ُْو َن فِي أعْ َراضِ ِهم‬ َّ ُ ُ ُ ْ َّ
ِ ‫ال ِذي َْن َيأكل ْو َن لـح ُْو َم الن‬
Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya melalui satu kaum yang
memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka
saya berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah
orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.’[24]

Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang sebagian orang, sehingga dia
tertarik untuk melakukannya. Semua dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan
rasa jenuh dan bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang
diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

َ ‫ُك أَ َخا‬
ُ‫ك ِب َما َي ْك َره‬ َ ‫ ذ ِْكر‬:‫ هَّللا ُ َو َرسُولُ ُه أَعْ لَ ُم َقا َل‬:‫ُون َما ْالغِي َب ُة؟ َقالُوا‬
َ ‫أَ َت ْدر‬

Tahukah kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, ‘Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut
saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak sukai.’[25]

Jadi, canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia tidak bisa
dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Akhirnya, inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allâh Azza wa Jalla
menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079 ]

___

Footnote

[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizâh fi Sunnah, karya Abdul Majid

[2] Qawâ’idul Ahkâm fi Mashâlihul Anâm,  2/391


[3] Hadist ini shahih, lihat kitab As-Shahîhah,  no. 1726

[4] Sanad hadist ini shahih sesuai dengan syarat imam al-Bukhâri dan Muslim. Lihat  Mukhtasar
Syamâ’il, Imam al-AlBâni, no. 203

[5] HR. Al-Bukhâri, no. 5774; Muslim, no. 4003, dan Tirmizi, no. 305

[6] Fathul Bâri, 10/527

[7] Al-Mirah fil Mizâh, hlm. 8

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmizdi dalam Syamâ’il, no. 238, dan hadits ini dinilai hasan oleh al-
Albâni dalam Mukhtasharnya, no. 205

[9] Tâjul ‘Arûs, dalam materi huruf mim za ha

[10] HR. At-Tirmidzi, no. 2315; Abu Daud, no. 4990 dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam
Shahîh at-Tirmizi no. 1885

[11] Qawâidul Ahkâm,  2/391, dan al-Azkâr an-Nawawiyah, hlm. 581

[12] HR. At-Tirmidzi no. 2160; dan Abu Daud, no. 5003; dan lafaz hadist dari Abu Daud

[13] Disebutkan oleh al-‘Iz bin abdissalam dalam Qawâ’id al-Ahkâm, 2/392
[14] Imam ahmad dalam Musnadnya no.23064, dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam
Ghayatul Marâm, no. 447

[15] Al-Adâb asy-Syariyah, 2/321

[16] Ibnu Sunni, no. 401; dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, no.2673. Hadist ini menjadi hasan
dengan beberapa jalan yang dimiliki

[17] Majmû’ Fatâwâ, 4/173. Cetakan al-Ubaikan

[18] Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 13/154. Cetakan Qurthubah

[19] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 4650 dari Sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu

[20] HR. Al-Bukhâri dan Muslim

[21] HR. Muslim, no. 2616

[22] Fathul Bâri, 13/25

[23] Dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam Syarah
shahih Muslim, 16/170

[24] HR. Abu Daud, no.4878. Hadist ini shahih. Lihat as-Shahîhah, no. 533

[25] HR. Muslim, no.2589

Anda mungkin juga menyukai