Anda di halaman 1dari 59

TUNTASKAN OBESITAS PADA IBU DENGAN PERILAKU HIDUP

SEHAT
Laporan Promosi Kesehatan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Promosi Kesehatan

Dosen Pembimbing :
Dr. Kun Aristiati Susiloretni, SKM, M.Kes
Disusun Oleh :
Salma Sekar Madani
P1337431218037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG


JURUSAN GIZI
SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIK
2021
Kata pengantar
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan Laporan Individu Praktek Promosi Kesehatan dengan judul
“Tuntaskan Obesitas pada Ibu dengan Perilaku Hidup Sehat” yang telah
dilaksanakan pada 10 April 2021 – 15 Juni 2021 di Dusun Kambangan, Desa
Gondoriyo, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah. Penyusun mengucapkan terima kasih atas bimbingan, arahan,
motivasi, kritik dan saran dari berbagai pihak di antaranya :
1. Ibu Dr. Kun Aristiati Susiloretni, SKM, MKes selaku Koordinator Mata
Kuliah Promosi Kesehatan sekaligus dosen pembimbing
2. Ibu Sugiyati selaku perwakilan majlis taklim berjanjen Dusun Kambangan
Desa Gondoriyo yang telah memperkenankan penulis melakukan kegiatan
praktek.
3. Teman-teman mahasiswa khususnya teman-teman semester VI Prodi Gizi
dan Dietetika Angakatn 2018 yang telah memberi dukungan, semangat
dan kerjasama yang baik.
4. Ibu, Bapak, Adik dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa dan
dukungan kepada penyusun.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penyusun berharap
masukkan dan saran demi perbaikan laporan menjadi lebih baik lagi.

Semarang, 16 Juni 2021

Penyusun
I. Latar belakang

Gizi merupakan suatu zat yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup .
Gizi yang cukup sangat penting digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi
seseorang. Asupan gizi yang kurang atau berlebih dapat memicu terjadinya
masalah kesehatan. Kelebihan asupan gizi dapat meningkatkan resiko obesitas
pada seseorang. Obesitas merupakan terjadinya penumpukan lemak secara
berlebihan didalam tubuh, hal ini disebabkan karena terjadinya
ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang masuk dengan jumlah kalori yang
dikeluarkan(Nurrahmawati & Fatmaningrum, 2018). Seseorang dikatakan obesitas
apabila memiliki IMT > 25 Kg/m2, dan lingkar perut pada laki-laki sebesar > 90
cm, sedangkan lingkar perut pada wanita sebesar > 80 cm (Santi et al., 2018)

Prevalensi overweight dan obesitas setiap tahun mengalami peningkatan.


Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun 2016 sebanyak
39% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami overweight dan 13%
mengalami obesitas (WHO, 2017). Lebih dari 1,9 miliar kelompok orang berusia
lebih dari 18 tahun pada tahun 2016 mengalami overweight dan lebih dari 600 juta
orang di dunia mengalami obesitas. Menurut data Riskesdas tahun 2018
Prevalensi Obesitas di Jawa Tengah pada penduduk laki-laki kelompok umur
lebih dari 18 tahun adalah sebesar 13,10% sedangkan pada penduduk
perempuan dengan kelompok umur lebih dari 18 tahun adalah sebesar 27,50%.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi obesitas pada perempuan lebih
tinggi dari pada laki-laki.

Menurut Riskedas (2013) usia >18 tahun dikelompokkan ke dalam usia


dewasa Obesitas pada remaja dan dewasa muda meningkat secara pesat di
negara barat selama beberapa waktu terakhir. Prevalensi obesitas pada
perempuan >18 tahun di tahun 2013 berkisar 32,9%, meningkat 18,1% dari tahun
2007 dan 17,5% dari tahun 2010. Prevalensi obesitas terendah di Nusa Tenggara
Timur yaitu 5,6% dan prevalensi obesitas tertinggi di provinsi Sulawesi Utara yaitu
19,5%. (Riskesdas, 2013).

Dibandingkan dengan laki-laki, wanita memiliki resiko lebih tinggi


mengalami obesitas, hal ini terjadi karena wanita mempunyai cadangan lemak
tubuh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu wanita cenderung mempunyai
aktivitas yang lebih rendah dibanding laki-laki , terutama pada ibu rumah tangga.
Kegiatan rumah tangga yang dilakukan setiap hari menjadikan ibu rumah tangga
tidak memiliki waktu untuk melakukan aktivitas fisik (Nurrahmawati &
Fatmaningrum,2018). Asupan makan yang berlebihan juga dapat menyebabkan
obesitas, apalagi makanan yang mengandung tinggi lemak. Konsumsi tinggi
lemak dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risiko obesitas dan
peningkatan berat badan, oleh karena itu kandungan lemak pada makanan perlu
diperhatikan (Praditasari & Sumarmik, 2018). Pemenuhan gizi yang baik
dipengaruhi terhadap pemilihan makanan yang beragam dan seimbang , dimana
setiap kali makan terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah-buahan.
Pemilihan makan seseorang juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi.
Seseorang dengan pendapatan yang tinggi dapat membeli semua jenis makanan,
baik makanan bergizi, makanan tinggi kalori seperti junk food, fast food, soft drink
dan lain-lain. Sedangkan seseorang dengan pendapatan yang rendah cenderung
mengkonsumsi makanan kurang bergizi atau makanan kurang higienis yang
dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan seseorang (Agustin,P & Putri
,P,2019).

Selain itu, dampak jangka pendek dari obesitas yaitu penderita mengalami
gangguan pernapasan, gangguan sendi, masalah psikososial, dan penurunan
aktivitas fisik. Obesitas memiliki efek mekanik yang penting untuk perubahan
fisiologi paru; gejala yang timbul mirip asma. Obesitas menyebabkan penurunan
sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran napas perifer.
Akibatnya, terjadi peningkatan hiperreaktivitas saluran napas, perubahan volume
darah pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi perfusi (Utama, 2015). Penurunan
volume paru berhubungan dengan berkurangnya diameter saluran napas perifer
menimbulkan gangguan fungsi otot polos saluran napas. Hal ini menyebabkan
perubahan siklus jembatan aktin-miosin yang berdampak pada peningkatan
hiperreaktivitas dan obstruksi saluran napas (Cahaya, 2019).

Berdasarkan penelitian oleh Romero-corral disebutkan kemungkinan


bahwa obesitas dapat memperburuk OSA karena timbunan lemak pada lokasi
spesifik. Penumpukan lemak di jaringan sekitar saluran napas bagian atas
menghasilkan lumen saluran napas yang lebih kecil dan peningkatan collapsibility
dari saluran napas bagian atas sehingga berkontribusi untuk terjadinya apnea
(Cahaya, 2019).

Obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya osteoartritis lutut.


Sendi lutut merupakan tumpuan dari setengah berat badan seseorang selama
berjalan. Berat badan yang meningkat akan memperberat tumpuan pada sendi
lutut. Pembebanan lutut dapat menyebabkan kerusakan kartilago, kegagalan
ligamen dan struktur lain. Penambahan berat badan membuat sendi lutut bekerja
lebih keras dalam menopang berat tubuh. Sendi yang bekerja lebih keras akan
mempengaruhi daya tahan dari tulang rawan sendi. Rawan sendi akan rusak dan
menyebabkan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya dan menyebabkan
terjadinya perubahan biofisika yang berupa fraktur jaringan kolagen dan
degradasi proteoglikan (Nugraha, 2015).

Perubahan fisik serta psikososial, perubahan fisik terjadi lebih cepat


daripada proses psikososial hal ini yang menyebabkan remaja sensitif terlebih
pada remaja putri. Obesitas di kalangan remaja merupakan permasalahan yang
meresahkan karena dapat menurunkan rasa percaya diri dan menyebabkan
gangguan psikologi. Belum lagi kemungkinan diskriminasi dari lingkungan luar,
maka remaja akan tumbuh menjadi remaja yang kurang percaya diri. Dampak lain
pada seseorang yang mengalami obesitas adalah ketidakmampuan menerima
keadaan dirinya, ini dapat menyebabkan remaja merasa ada kekurangan didalam
dirinya yang menyebabkan remaja merasa minder dalam pergaulan mereka akan
menarik diri dalam kelompok (Wulandari, 2016).

Kejadian obesitas di perkotaan lebih tinggi dibanding pedesaan. Hal


tersebut berkaitan dengan gaya hidup di perkotaan yang menjadi pusat
perekonomian sehingga segalanya menjadi mudah dan nyaman. Kemudahan dan
kenyamanan berakibat pada menurunnya aktivitas fisik, sehingga menyebabkan
asupan energi meningkat (Ghose, 2017: Mndala and Kudale, 2019).

Kemudian dampak jangka panjang mengalami obesitas yaitu hipertensi,


batu empedu, kanker, diabetes melitus, penyakit jantung koroner hingga stroke.
Hipertensi adalah kondisi terjadinya peningkatan tekanan darah melebihi 140/90
mmHg pada waktu istirahat dalam jangka waktu yang lama atau kronis yang pada
umumnya tidak menimbulkan gejala atau menimbulkan gejala awal berupa sakit
kepala, mimisan, pening, wajah kemerahan dan kelelahan serta gejala pada
hipertensi menahun seperti sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas,
gelisah, pandangan kabur jika terjadi kerusakan otak, mata, jantung dan ginjal
serta penurunan kesadaran hingga koma (Yanti et al., 2018). Salah satu
penyebab terjadinya hipertensi adalah obesitas. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Kornelian & Meida (2012), menunjukkan bahwa seseorang yang obesitas
memiliki risiko 4,02 kali menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang
tidak obesitas. Kondisi resistensi insulin dan hyperinsulinemia pada penderita
obesitas menyebabkan peningkatan aktivitas syaraf simpatis dan sistem renin
angiotensin yang berfungsi dalam meningkatkan tekanan darah (Yanti et al.,
2018). Orang yang mengalami obesitas dapat terjadi resistensi insulin dan
gangguan fungsi endotel pembuluh darah yang mengakibatkan vasokontriksi dan
reabsorpsi natrium di ginjal sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi (Haris &
Tambunan, 2016). Selain itu, semakin besar massa tubuh seseorang maka darah
yang diperlukan untuk menyalurkan oksigen dan nutrisi ke otot maupun jaringan
akan semakin banyak sehinga menyebabkan peningkatan jumlah panjang
pembuluh darah yang mengakibatkan resistensi darah yang seharusnya dapat
menyalurkan dengan jarak yang lebih jauh dan terjadi peningkatan tekanan darah
yang diperparah oleh sel-sel lemak yang menghasilkan senyawa yang merugikan
jantung dan pembuluh darah (Yanti et al., 2018).

Batu empedu merupakan pengendapan yang menumpuk dari komposisi


cairan dalam sistem pencernaan yang terjadi dikarenakan ketidakseimbangan
unsur kimia empedu sehingga menghasilkan pengendapan satu atau lebih
komponen yang terbentuk dan terletak di dalam maupun saluran empedu (Amri,
2017). Menurut Firman (2015) penderita obesitas menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya batu empedu kolesterol yang disebabkan karena supersaturasi
empedu dengan kolesterol akibat peningkatan sintesis kolesterol ke hati dan
sekresi ke dalam empedu.

Seseorang yang memiliki berat badan yang berlebih dan obesitas dapat
menyebabkan peningkatan kadar hormon tertentu dan peradangan yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya beberapa jenis kanker diantaranya tumor pada
meninges, adenokarsinoma pada esophagus, multiple myeloma (kanker sel
darah), kanker ginjal, kanker uterus, kanker ovarium, kanker thyroid, kanker
payudara (post-menopausal women), kanker hati, kanker kantung empedu, upper
stomach cancer, kanker pancreas serta kanker kolon dan rectum (Irmayanti,
2020). Kanker payudara merupakan kondisi terdapatnya tumor ganas akibat sel-
sel payudara yang tumbuh dan berkembang tidak terkendali dan menyebar
diantara jaringan atau organ di dekat payudara maupun bagian tubuh lainnya
(Arafah, 2018). Menurut penelitian yang dilakukan Anggorowati (2013), orang
yang memiliki riwayat kegemukan berisiko 2,38 kali mengalami kanker payudara
dikarenakan wanita dengan indeks massa tubuh yang besar akan meningkatkan
sintesis estrogen yang mempengaruhi poliferasi jaringan payudara. Selain itu,
wanita yang mengalami obesitas setelah menopause berisiko 1,5 kali lebih besar
mengalami kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang memiliki berat
badan normal (Irmayanti, 2020).

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan kadar gula
yang tinggi melebihi nilai normal yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun keduanya. Penyebab dari kelainan sekresi insulin yaitu gaya
hidup yang tidak sehat sehingga dapat memicu terjadinya diabetes (Rahayu,
2014). Menurut penelitian yang dilakukan (Trisnawati, 2012) menunjukkan
seseorang yang obesitas mempunyai resiko 7,14 kali lebih besar mengalami
diabetes mellitus dibandingkan dengan seseorang yang tidak obesitas. Adanya
pengaruh obesitas terhadap diabetes mellitus disebabkan oleh pola makan yang
tidak sehat seperti mengonsumsi karbohidrat, protein dan lemak dengan jumlah
yang tinggi dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup. Hal ini
menyebabkan terjadi peningkatan asam lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam
sel. Peningkatan FA akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke
membran plasma sehingga menyebabkan resistensi indilin pada jaringan otot dan
adiposa (Teixeria-Lemos dkk,2011).

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu bentuk penyakit


yang menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. PJK adalah suatu penyakit
degeneratif yang berkaitan dengan gaya hidup dan sosial ekonomi masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh (Iskandar et al., 2017) menunjukkan bahwa subjek
IMT ≥25 m2 mempunyai risiko 2,7 kali lebih tinggi terkena PJK dibandingkan
dengan subjek dengan IMT <25m2 dikarenakan obesitas meningkatkan kadar
kolesterol dan LDL. Resiko PJK akan meningkat jika IMT melebihi 25 m 2.
Stroke adalah suatu penyakit yang terjadi pada otak berupa gangguan
fungsi syaraf lokal dan/atau global. Stroke muncul secara mendadak, progresif
dan cepat. Penyebab gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan karena
adanya gangguan peredaran darah otak non traumatik (Kemenkes,2013).
Menurut penelitian yang dilakukan (Wayunah&Saefulloh,2017) hasilnya tidak ada
hubungan antara obesitas dengan kejadian stroke. Hasil penelitian ini didukung
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfaida, Munawir dan Suarnianti (2013).
Hubungan langsung obesitas dengan stroke masih belum jelas, namun obesitas
berhubungan dengan faktor resiko stroke yaitu hipertensi, penyakit jantung
koroner dan diabetes mellitus.Maka dari itu diperlukan adanya penanganan dan
pencegahan obesitas terutama pada ibu rumah tangga. Penanganan ini dapat
diberikan melalui kegiatan pemberian Promosi Kesehatan pada ibu rumah tangga
yang mengalami obesitas.

I. TUJUAN
a) Tujuan Umum

Menurunkan kejadian overweight/obesitas pada ibu di masyarakat sekitar


tempat tinggal.

b) Tujuan Khusus
1) Menurunkan kejadian overweight/obesitas pada ibu di masyarakat
dengan memberikan intervensi berupa memperbaiki perilaku makan
2) Meningkatkan aktivitas fisik ibu overweight/obesitas di masyarakat
3) Meningkatkan pengetahuan terkait obesitas dan pemilihan makan yang
benar.
II. APAKAH PENYEBAB OBESITAS?

Obesitas terjadi akibat gangguan dari mekanisme homeostasis yang


mengontrol keseimbangan energi dalam tubuh. Jaringan lemak merupakan
tempat penyimpanan energi yang paling besar menyimpan energi dalam bentuk
trigliserida melalui proses lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap
kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respon
terhadap kekurangan energi. Regulasi keseimbangan energi memerlukan sensor
dari penyimpanan energi di jaringan adiposa, mekanisme kontrol dari sistem
pusat (hipotalamus) untuk integrasi berikutnya, yang mana akan menentukan
kebutuhan asupan makanan dan pengeluaran energi.

Hipotalamus berperan penting dalam proses inisiasi makan. Adanya


gangguan pada jalur sinyal “makan” mempengaruhi nucleus hipotalamikus medial
sehingga meningkatkan rasa lapar, dengan cara meningkatkan respon terhadap
sinyal oreksigenik seperti ghrelin dan menstimulasi Neuropeptida Y kemudian
menghambat respon sinyal adiposit seperti leptin dan menghambat POMC
(Proopiomelanocortin) di hipotalamus. Hal ini sering ditemukan pada pasien
dengan Craniopharyngioma dengan lesi di hipotalamus, terutama yang
berpengaruh terhadap ncl. Arcuata, ncl. Ventromedial, dan ncl dorsomedial yang
berperan penting dalam persepsi lapar-kenyang seorang individu.

Lipogenesis adalah proses deposisi lemak dan meliputi proses sintesis


asam lemak dan kemudian sintesis trigliserida yang terjadi di hati pada daerah
sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adiposa. Peristiwa ini terjadi akibat
rangsangan dari diet tinggi karbohidrat, namun juga dapat dihambat oleh adanya
asam lemak tak jenuh ganda dan dengan berpuasa. Efek tersebut sebagian
diperantarai oleh hormon yang dapat menghambat seperti hormon Leptin atau
merangsang seperti hormon insulin. Insulin menstimulasi liopogenesis dengan
cara meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan adiposa melalui transporter
glukosa menuju membran plasma, mengaktivasi enzim lipogenik dan glikolitik,
serta menyebabkan SREBP -1 (Sterol Regulatory Element Binding Protein-1)
meningkatkan ekspresi dan kerja enzim glukokinase yang berakibat pada
peningkatan konsentrasi metabolit glukosa. Leptin dengan kerja sebaliknya,
membatasi penyimpanan lemak dengan mengurangi masukan makanan
(meningkatkan ekspresi gen Corticotropin-Releasing Factor di hipotalamus yang
berakibat penurunan kebutuhan makanan) dan mempengaruhi jalur metabolik
spesifik di adiposa dan jaringan lainnya. Leptin mengirimkan sinyal ke otak
tentang jumlah penyimpanan lemak. Hormon ini merangsang pengeluaran gliserol
dari adiposit dengan menstimulasi oksidasi asam lemak dan menghambat
lipogenesis.

Sedangkan lipolisis adalah suatu proses pembusukan kimiawi dan


penglepasan lemak dari jaringan lemak. Enzim Hormone Sensitive Lipase (HSL)
mengakibatkan terjadinya hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan
gliserol. Kemudian, asam lemak mengalami proses re-esterifikasi, lalu dilepas ke
dalam sirkulasi darah, dibentuk menjadi ATP (Adenosin Trifosfat) lalu dibawa ke
sirkulasi darah yang selanjutnya akan menjadi sumber energi bagi jaringan yang
membutuhkan. Mobilisasi asam lemak dari jaringan lemak dihambat oleh hormon
insulin.

Asupan makanan diregulasi oleh 4 proses, yaitu faktor olfaktorik dan


gustatorik, distensi gastrointestinal, penglepasan hormon gastrointestinal seperti
insulin, kolesistokinin, dan gastrin releasing petide, serta aktivasi komponen
termogenik dari sistem saraf simpatis eferen. Serum insulin menstimulasi
penglepasan leptin dari jaringan adiposit yang kemudian menurunkan kebutuhan
asupan makanan dengan mempengaruhi kolesistokinin (CCK) dan Neuropeptide
Y(NPY). Namun, insulin terutama bekerja untuk meningkatkan penyerapan
makanan dengan menurunkan kadar glukosa darah.

Pengeluaran energi ditentukan oleh aktivitas fisik, metabolic rate, dan


termogenesis. Bagian metabolik dari pengeluaran energi termasuk di dalamnya
kerja dari kardio-respiratorik individu. Aktivitas fisik meningkatkan pengluaran
energi dengan mengaktifkan kerja otot skelet. Aktivitas fisik dapat dibagi menjadi
aktivitas olahraga dan aktivitas non-olahraga (berhubungan dengan aktivitas kerja
dan aktivitas sehari-hari).

Leptin merupakan hormon yang bekerja memberikan umpan balik negatif


dalam mengatur keseimbangan energi. Sirkulasi leptin melewati darah dan otak
berinteraksi dengan reseptor pada neuron mempengaruhi keseimbangan energi
dan memberikan efek untuk mengurangi adiposit dengan mengurangi nafsu
makan dan peningkatan termogenesis. Perubahan adiposit pada tubuh
menyebabkan perubahan kadar leptin pada sirkulasi sehingga otak akan
memberikan respon dengan pengaturan asupan dan pengeluaran energi serta
mempertahankan lemak tubuh.
III. APA SAJAKAH YANG BERPENGARUH PADA OBESITAS?
1) Predisposing factor
a) Kurangnya aktivitas fisik

Kejadian obesitas lebih rendah jika responden mempunyai aktivitas fisik


sedang atau berat. Kejadian obesitas lebih tinggi jika responden mengalami
stres sedang atau berat. Kejadian obesitas lebih tinggi pada kelompok usia di
atas 30 tahun dibandingkan dengan kelompok usia di bawah 30 tahun. Tidak
ada hubungan jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap, dan konsumsi
energi dengan obesitas. Kejadian obesitas cenderung lebih tinggi pada
perempuan, berpendidikan tinggi, berpengetahuan baik, yang mempunyai
pengetahuan negatif, tetapi hubungan tersebut secara statistik tidak bermakna.
Model akhir analisis multivariat adalah variabel yang mempunyai nilai p lebih
kecil dari 0,05. Variabel yang berhubungan bermakna dengan obesitas adalah
aktivitas fisik, stres, dan usia. Pada variabel aktivitas fisik dan stres
dikategorikan menjadi ringan, sedang dan berat (Widiantini, 2014).

Pada mereka dengan tingkat stres dan aktivitas fisik yang sama, semakin
berat aktivitas fisik, semakin kecil risiko obesitas. Subjek yang beraktivitas fisik
sedang berisiko 0,4 kali lebih kecil untuk mengalami obesitas dibandingkan
dengan yang beraktivitas fisik ringan. Subjek yang beraktivitas fisik berat
berisiko 0,6 kali lebih kecil untuk mengalami obesitas daripada yang beraktivitas
fisik ringan. Pada responden yang berusia dan aktivitas fisik yang sama,
semakin berat tingkat stres, semakin besar risiko obesitas. Subjek yang
mengalami stres sedang berisiko 4,6 kali lebih besar untuk mengalami obesitas
daripada yang mengalami stres ringan. Memiliki > 2 jam aktivitas luar ruangan
dibandingkan dengan ≤2 jam dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah untuk
masuk kelompok kelebihan berat badan (OR = 0.81; p <.001) atau obesitas
(OR = 0.85; p = .004) (Zhang, 2018)

b) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan berhubungan dengan obesitas, meskipun arah


hubungannya berbeda-beda pada masing-masing wilayah. Tingkat pendidikan
berbanding lurus dengan risiko obesitas pada wilayah di dunia tidak terkecuali
Indonesia (Khusun et al., 2015), namun, berbanding terbalik di wilayah-wilayah
di Amerika dan Perancis (Drewnowski et al., 2014; Rose et al., 2009 dalam
Safitri & Rahayu, 2020). Hal ini diperkirakan karena perbedaan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di negara-negara tersebut. Asosiasi positif antara
tingkat pendidikan dan obesitas terjadi pada negara berkembang sedangkan
pada negara maju, asosiasi antara tingkat pendidikan dan obesitas berlaku
terbalik. Tingkat pendidikan menengah (AOR = 1,83, 95% CI : 1,05 – 3,18)
secara signifikan tekait dengan obesitas abdominal.

c) Management stress

Kekurangan vitamin D, niasin, folat, vitamin B6, vitamin B12, lemak dan
omega-3 meningkatkan kerentanan terhadap stress dan depresi. Stres pada
umumnya lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, secara fisiologis otak
wanita lebih kecil daripada otak pria, namun demikian otak wanita bekerja 7-8
kali lebih keras dibandingkan pria. Stres pada wanita memicu perubahan
biokimia pada tubuh sehingga memancing nafsu makan berlebih hingga
menyebabkan obesitas. Wanita yang mengalami stress cenderung memilih
makanan berkarbohidrat yang mengandung lemak tinggi. Hasil penelitian ini
berdasarkan risiko stress, menunjukkan keadaan mental emosional terganggu /
stress sebesar 7,9% menderita obesitas dan 4,5% tidak menderita obesitas.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan OR, diketahui bahwa
keadaan mental emosional terganggu/ stress merupakan factor risiko terhadap
kejadian obesitas dengan nilai OR = 1,814 (CI 95%: 0,512-6,430), dan tidak
signifikan secara statistik dikarenakan nilai lower limit dan upper limit (LL-UL)
mencakup nilai 1.

Penelitian di Surabaya menemukan bahwa kejadian obesitas sentral


meningkat pada responden yang mengalami stres. Responden yang
mengalami stres berisiko mengalami obesitas sentral 1,23 kali lebih besar
dibanding dengan responden tidak stres(8). Selain stres, penelitian
terdahulu juga menunjukkan ada hubungan signifikan antara pekerjaan dan
kejadian obesitas sentral (p<0,05). Proporsi obesitas sentral terlihat lebih
tinggi pada responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penelitian lain
juga menunjukkan bahwa responden yang mengalami stres memiliki
resiko mengalami obesitas abdominal 1,23 kali lebih besar dibanding dengan
responden tidak stres. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara stres dengan lingkar perut dimana nilai p=0,017 dan nilai
r=0,349 (Nurrahmawati, 2018).

d) Obstructive sleep apnea

Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial, yang disebabkan akibat


akumulasi jaringan lemak yang berlebih, sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Efek obesitas pada sistem pernafasan sangat luas (Cahaya, Berawi
and Mustofa, 2019). Pada orang yang mengalami obesitas, deposit jaringan
adiposa adiposa dapat menyebabkan penurunan dimensi saluran napas bagian
atas dan dapat meningkatkan resistensi aliran udara. Penumpukan lemak di
jaringan sekitar saluran napas bagian atas dapat menghasilkan lumen menjadi
lebih kecil dan meningkatkan kolapsibilitas dari saluran napas bagian atas,
sehingga predisposisi apnea. Selain itu, penimbunan lemak sekitar thorax dapat
mengurangi compliance dada dan kapasitas fungsional residu sehingga
kebutuhan oksigen pada pasien obesitas mengalami peningkatan dibandingkan
dengan orang normal. Keadaan ini akan semakin berat jika terdapat inflamasi
sehingga dapat mengakibatkan penyempitan saluran napas (Wijayanti et al.,
2019).

Sleep apnea merupakan timbulnya episode abnormal yang terjadi pada


frekuensi napas yang berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas
pada saat tidur, dapat berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi.
Hasil analisis dengan menggunakan chi square diperoleh nilai p = 0,000 < nilai
α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara obesitas dengan risiko obstructive sleep apnea pada pegawai negeri
sipil laki-laki di lingkungan Universitas Lampung tahun 2017, dengan odds ratio
4,618 yang artinya orang yang obesitas 4,6 kali lebih berisiko menderita OSA
dibandingkan orang yang tidak obesitas (Cahaya, Berawi and Mustofa, 2019).

Obstructive sleep apnea merupakan proses penyempitan atau lumpuhnya


saluran napas bagian atas saat tidur. Lokasi paling sering terjadinya obstruksi
pada dewasa yaitu di belakang ovula dan velofaring (palatum mole), dan diikuti
pada orofaring atau gabungan keduanya. Hampir sebagian besar patensi
saluran napas atas diatur oleh otot- otot faring yaitu otot fase inspirasi, misalnya
muskulus genioglosus yang mengatur kontraksi reguler dengan menyesuaikan
pada gerakan pernapasan. Kedua yaitu otot yang tonus ritmiknya konstan,
misalnya muskulus palatinus tensi. Tonus otot ini konstan dan dapat
menghilang atau menurun tonusnya saat keadaan tidur (Cahaya, Berawi and
Mustofa, 2019).

e) Menyusui

Sebagian besar ibu yang melahirkan akan mengalami kenaikan berat


badan sampai obesitas. Perubahan fisiologi yang terjadi pasca melahirkan,
masa kehamilan dan menyusui menyebabkan terjadinya obesitas pada ibu.
Selain itu, retensi berat badan pasca persalinan/nifas yang berlebihan juga
dapat dijadikan factor yang kuat terhadap kenaikan berat badan dan obesitas di
masa mendatang (Neville et al., 2014).

Pemberian ASI dapat membantu ibu dalam mengurangi berat badan


dikarenakan produksi ASI yang membutuhkan energi yang cukup besar
(sekitar 500 - 650 kkal/hari), maka menyusui dapat membantu mengurangi
tumpukan lemak yang ada di tubuh. Menyusui secara eksklusif dapat
menurunkan berat badan ibu, sehingga dapat mengurangi risiko obesitas
postpartum.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh menyebutkan bahwa rerata persen


lemak tubuh dari awal hingga akhir penelitian pada ibu yang memberikan ASI
eksklusif mengalami penurunan persen lemak tubuh sebanyak 0,5% dan ibu
yang tidak memberikan ASI eksklusif mengalami rerata peningkatan persen
lemak tubuh sebanyak 0,7%. Pada penelitian ini mendapatkan nilai Relative
Ratio (RR) yaitu sebesar 2,7 yang artinya penurunan persen lemak tubuh pada
ibu yang memberikan ASI eksklusif 2,7 kali lebih besar dibandingkan dengan
ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. (Harsanti and Candra, 2013).

f) Tidak sarapan

Makan pagi atau sarapan adalah hal yang paling banyak orang lupakan.
Sehingga, biasanya seseorang baru mulai makan pada siang hari. Hal tersebut
banyak terjadi dikarenakan malas untuk sarapan, terlambat berangkat ke
kantor, atau terlambat bangun tidur. Mereka lebih memilih makanan cepat saji
karena cara penyajiannya yang cepat serta dapat menghemat waktu (Hasna,
Supadi and Yuniarti, 2018).

Hasil analisis pada variabel kebiasaan sarapan pagi terhadap obesitas,


terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi dengan
kejadian obesitas dengan (p=0,006; OR = 0,60; 95%CI = 0,14-2,46). Asupan
makan dengan jumlah berlebih yang potensial menimbulkan obesitas adalah
lemak dan karbohidrat, karena keduanya apabila berlebih dari jumlah yang
dibutuhkan akan disimpan didalam tubuh dalam sel-sel lemak. Kondisi ini
apabila terus berlangsung tanpa diimbangi dengan pengeluaran energy yang
sesuai akan mengakibatkan terjadi obesitas yang selanjutnya akan berdampak
terjadi peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler (Hasna, Supadi and Yuniarti,
2018).

g) Fast food

Konsumsi makanan cepat saji terkait dengan penambahan berat badan dan
obesitas. Konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan bisa meningkatkan
risiko obesitas dan penyakit terkait obesitas. (MOHAMMAD BEIGI et al., 2018).
Pada umumnya makanan fast food memiliki kandungan lemak, garam, energi
yang lebih tinggi dan serat yang lebih rendah. Sehingga, dapat memicu
obesitas dan penyakit terkait. Penyakit terkait obesitas ini merupakan penyakit
tidak menular, seperti penyakit yang berkaitan dengan kardiovaskular, diabetes,
hipertensi, gout, dll.

Menurut penelitian (Febriani and Sudiarti, 2019) yang diadakan di sekolah


yang ada di Jakarta menyebutkan bahwa siswa mengkonsumsi fast food> 3 kali
/ minggu memiliki risiko 2,42 kali lebih tinggi mengalami kegemukan / obesitas
dibandingkan dengan siswa yang mengkonsumsi fast food ≤3 kali / minggu
(adjusted OR 2.42; 95% CI 1.14-5.12). Penelitian lain yang dilakukan oleh
(Takumansang and Suryani, 2017) menyebutkan bahwa remaja yang sering
mengkonsumsi fast food berpengaruh terhadap terjadinya obesitas dan
semakin sering konsumsi fast food semakin tinggi resiko terjadi obesitas
dengan hasil OR pada western fast food 3,339 (CI 95%: 1.116-9.995) dan fast
food lokal 5,380(CI 95%: 1,116-9,995).

h) Makanan padat energi

Ketersediaan pangan jajanan atau kudapan tinggi energi meningkatkan


risiko obesitas bagi kelompok yang tinggal di wilayah tersebut (Rose et al.,
2009 dalam Safitri & Rahayu, 2020). Konsumsi gula tambahan, minuman ringan
(Vorster et al., 2014) dan kudapan (Vadera et al., 2010) berbanding lurus
dengan kejadian obesitas pada masyarakat perkotaan. Makanan dan minuman
ini merupakan pangan dengan energi yang relatif tinggi. Konsumsi dalam
jumlah berlebih akan meningkatkan asupan energi yang apabila tidak dibarengi
dengan peningkatan aktivitas fisik akan menyebabkan pembentukan jaringan
adiposa.

i) Sikap dan preferensi makanan

Obesitas adalah masalah di seluruh dunia dengan prevalensi yang


meningkat. Di 2014, lebih dari setengah miliar orang dewasa mengalami
obesitas, dan 39% mengalami obesitas kegemukan. Di Amerika, 30% wanita
dan 25% pria mengalami obesitas, dan di Mediterania Timur sebanyak 25%
wanita dan 15% pria mengalami obesitas. Perubahan sistem makanan secara
terus menerus meningkatkan obesitas.
Sekarang tersedia lebih banyak makanan siap makan atau panas dikenal
sebagai makanan ultra proses, yaitu produk yang terbuat dari bahan utuh dan
diproduksi dengan zat-zat diekstrak dari makanan atau disintesis di
laboratorium (pewarna, perasa, dan bahan tambahan lainnya). Makanan
tersebut memiliki lemak dalam jumlah tinggi, gula, dan garam dan kepadatan
energi yang tinggi dan kandungan serat yang rendah. Makanan ultra proses
adalah makanan yang sangat enak dan diiklankan secara agresif dan
mengandung keragaman bahan kimia tambahan yang besar. Contoh makanan
ultra proses termasuk sereal sarapan, produk daging yang dilarutkan, minuman
ringan, dan siap makan bahan makanan.

Beberapa studi prospektif telah dilakukan untuk menilai hubungan antara


komponen makanan dan obesitas. Analisis 3 kelompok Amerika, Nurses
’Health Study, Nurses’ Health Study II, dan Studi Tindak Lanjut Profesional
Kesehatan, menunjukkan bahwa konsumsi bahan makanan seperti manisan,
makanan penutup, daging olahan, kentang goreng, dan minuman manis sangat
terkait dengan penambahan berat badan pada orang dewasa AS. Namun,
hubungan antara konsumsi makanan yang dikumpulkan menurut tingkat
pemrosesannya (yaitu, makanan ultra proses) dan kelebihan berat badan baru-
baru ini dianalisis.

Sebanyak 2.967 (35,1%) laki-laki dan 5484 (64,9%) perempuan


dimasukkan dalam analisis ini, dan usia rata-rata 6 SD peserta adalah 37,6 6
11,0 y. Peserta di urutan keempat kuartil konsumsi pangan ultra proses
memiliki yang BMI tertinggi, lebih cenderung menjadi perokok aktif, menonton
lebih banyak televisi, dan memiliki total asupan energi dan lemak tertinggi.
Daging olahan, biskuit dan kue-kue, minuman yang dimaniskan dengan gula,
dan permen termasuk di antaranya kontributor utama konsumsi makanan ultra
proses (Mendonca et al, 2016).

Selama masa tindak lanjut kami mengamati 1939 kasus kejadian kelebihan
berat badan dan kegemukan. Dalam model multivariat, saat kami menilai resiko
kelebihan berat badan dan obesitas menurut kuartil ultra proses konsumsi
makanan. Peserta dengan asupan makanan ultra proses lebih tinggi (kuartil
tertinggi) menunjukkan 26% risiko yang relatif lebih tinggi untuk mengalami
kelebihan berat badan atau obesitas daripada mereka di kuartil terendah (HR:
1.26; 95% CI: 1.10, 1.45). Perkiraan menunjukkan tren linier yang signifikan
secara statistik (P = 0,001). Kurva Nelson-Aalen menunjukkan insiden
kelebihan berat badan dan obesitas yang lebih tinggi dengan peningkatan
kuartil dasar dari asupan makanan yang diproses secara ultraproses.

j) Kebiasaan makanan

Kebiasaan makan tersebut terdiri dari kebiasaan sarapan pagi, frekuensi


makan harian, kebiasaan makan keluartga, kebiasaan ngemil, konsumsi sayur
dan buah, konsumsi daging dan makanan berlemak, konsumsi fast food,
konsumsi soft drink, serta kebiasaan jajan (Adiningrum, 2008 dalam
Raudhatun, 2020). Ada hubungan antara pola makan dengan obesitas (IMT).
Dapat dilihat dari besaran nilai p-value = 0,001 dan nilai OR= 10,0, artinya
responden yang pola makan kurang baik beresiko 10 kali mengalami obesitas
dibandingkan dengan responden yang pola makan baik.

k) Bentuk tubuh

Ketidakpuasan dengan penampilan fisik tampaknya menjadi aturan dari


pengecualian. Berdasarkan hasil survei tahun 1996, sebagian besar wanita
(56%) dan hampir setengah (43%) pria tidak puas dengan penampilan mereka
secara keseluruhan. Dua pertiga wanita dan lebih banyak lagi dari setengah
pria melaporkkan ketidakpuasan dengan berat badan mereka, seperti perut,
pinggul, dan paha.

l) Pekerjaan

Pekerja kategori profesional lebih cenderung mengalami obesitas dari pada


pekerja kategori buruh (OR=1,31; 95%CI=1,19-1,44). Setelah dilakukan
penyesuaian terhadap jenis kelamin, umur, pendidikan dan pengeluaran, risiko
tersebut tetap signifikan (OR=1,53; 95%CI=1,32-1,76). Saat dilakukan
stratifikasi berdasarkan jenis kelamin maka ada perubahan risiko pekerjaan
pada laki-laki (OR=1,66; 95%CI=1,44-1,92) dan pada perempuan (OR=0,96;
95%CI=0,84-1,09)

m) Durasi tidur

Durasi tidur merupakan faktor yang memiliki dampak khusus pada


metabolisme yang berhubungan dengan kejadian obesitas. Durasi tidur
ditemukan berhubungan dengan obesitas (Anuradha et al., 2011; Timmermans
et al., 2017; Vora & Shelke, 2017). Safitri dan Sudiarti (Safitri & Sudiarti, 2016)
melakukan meta-analisis yang menunjukkan bahwa orang dewasa yang tidur 5-
7 jam perhari memiliki risiko 1,21 kali untuk mengalami obesitas (OR 1,21; 95%
CI: 1,05-1,39). Risiko menjadi lebih besar apabila durasi tidur lebih pendek,
kurang dari lima jam, dengan OR 1,73 (95% CI: 1,47-2,03). Tidur yang baik
dapat memperbaiki sistem metabolisme, sehingga dengan durasi yang cukup,
juga tidak berlebihan (>9 jam per hari), tidur dapat menurunkan risiko terjadinya
obesitas.

2) Reinforcing factor
a) Gen

Dari hasil uji chi-square didapatkan nilai p=0,000<alpha=0,05 dengan


odds ratio 21,778. Maka dapat disimpulkan ada pengaruh faktor genetik
terhadap kejadian obesitas.Dari data penelitian diatas bahwa obesitas yang
dialami ini adalah faktor genetik. Genetik adalah suatu pewarisan sifat yang di
warisan oleh orang tuanya. Pada obesitas hampir 40-70% fenotip yang
berkaitan dengan variasi genetik pada kejadian obesitas dapat diwariskan.
Gen yang diwariskan yaitu Ob-gen, ob-gen adalah gen yang menghasilkan
hormone leptin.

Pada manusia gen ini terdapat pada kromosom ke 7. Obesitas terjadi


karena mutasi Pro12Ala yang tidak mampu berikatan dengan PPARy
responsive genetik. Efek dari mutasi ini berpengaruh terhadap IMT efek
terbesarnya adalah pada individu dengan predisposisi obesitas. Gen obesitas
yang dapat menyebabkan obesitas yaitu sekitar 118 kandidat gen yang
mengkode leptin dan reseptornya. Mekanisme terjadinya obesitas
berdasarkan genetik yaitu pengendalian makanan, pengendalian efisiensi
energi dan pengendalian adipogenesis. Sehingga orang tuanya yang obesitas
mempunyai peluang 21,77 kali memiliki anak yang obesitas dibandingkan
orang tua yang tidak obesitas (Sutrisno, 2019).

b) Lingkungan prenatal

Risiko memiliki bayi dengan berat lahir di atas 4,0 kilogram tidak berbeda
untuk wanita obesitas sedang versus nonobese (masing-masing 9% dan 8%)
tetapi meningkat secara nyata (33,3%) pada obesitas masif h '= 12,47, p <
0,0001).

c) Dukungan sosial

Kesehatan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia, semakin


bertambahnya usia, semakin banyak keluhan mengenai kesehatan. Badan
Pusat Statistik pada tahun 2014 menyatakan bahwa, sebanyak 37,11%
penduduk usia 45-65 mengalami keluhan kesehatan selama 1 bulan terakhir,
penduduk usia 60-69 mengalami keluhan sebesar 48,49%, usia 70-79
mengalami keluhan sebesar 57,65% dan usia 80-89 mengalami keluhan
sebesar 64,01%. Hal ini menyatakan bahwa pada usia lansia akan semakin
banyak keluhan kesehatan yang dialaminya.

Dukungan sosial sangat berperan dalam meningkatkan perilaku sehat


dimana memotivasi dan mempengaruhi dalam perilaku sehat. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga berperan
signifikan terhadap motivasi menjaga kesehatan melalui aktivitas fisik
pada lansia (R²=0,072;p=< 0,05). Hasil tersebut memiliki arti bahwa
dukungan sosial keluarga memiliki peran sebesar 7,2% terhadap motivasi
menjaga kesehatan terhadap lansia yang melakukan aktivitas fisik

d) Keluarga
Hasil menunjukkan bahwa faktor-faktor di dalam lingkungan keluarga
secara umum, termasuk fungsi keluarga dan kualitas hubungan keluarga,
mungkin menjadi faktor penting untuk ditangani dalam intervensi desain untuk
mendukung perilaku sehat dan status berat badan.

Di antara wanita, fungsi keluarga yang lebih tinggi dikaitkan dengan


kemungkinan yang lebih rendah untuk kelebihan berat badan atau obesitas
(AOR = 0,73; 95% CI 0,60, 0,88; Tabel 2). Prevalensi yang diprediksi dari
kelebihan berat badan atau obesitas adalah 20% di antara wanita dengan
fungsi keluarga yang tinggi, dan 26% untuk mereka dengan fungsi keluarga
yang rendah. Fungsi keluarga yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan
kemungkinan yang lebih rendah untuk terlibat dalam perilaku makan yang
tidak teratur (AOR = 0,53; 95% CI 0,45, 0,63), makan makanan cepat saji
setidaknya sekali / minggu (AOR = 0,74; 95% CI 0,61, 0,89), mendapatkan
kurang dari 1 jam aktivitas fisik / hari (AOR = 0,74; 95% CI 0,61, 0,89), dan
tidur kurang dari 7 jam / hari (AOR = 0,57; 95% CI 0,46, 0,70). Kami tidak
menemukan hubungan antara tingkat fungsi keluarga dan asupan minuman
manis atau waktu layar di antara wanita (Haines et al., 2016).

e) Dinamika rumah tangga

Umumnya pada terutama pada wanita yang sudah menikah banyak yang
mengalami obesitas sentral. Hal ini dikarenakan responden yang berstatus
menikah dan janda berusia lebih tua, sudah pernah melahirkan, dan sudah
mengalami menopause.Prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada orang
yang telah menikah karena kurangnya aktivitas fisik setelah menikah dan
perubahan pola makan yang menyesuaikan pasangan.

Wanita yang menikah berisiko 1,4 kali,sedangkan kelompok responden


yang berstatus janda memiliki risiko 1,5 kali mengalami obesitas sentral
dibandingkan dengan wanita yang belum menikah (PR 1,038 : 95% CI 0,933 -
1,154 : p=0,498). (Azkia and Wahyono, 2018).
3) Enabling factor
a) Infrastruktur kesehatan

Meskipun sistem medis di beberapa HIC (High-income Countries) telah


mulai berinvestasi dalam layanan untuk perawatan orang dengan obesitas, di
sebagian besar negara, kebutuhan untuk intervensi klinis melebihi kapasitas
sistem kesehatan untuk memberikan perawatan bagi mereka yang terkena
obesitas. Selain biaya, meningkatkan sistem kesehatan hingga orang yang
lebih baik dengan obesitas menghadapi berbagai hambatan termasuk
infrastruktur medis yang terbatas, faktor sosial budaya, persaingan prioritas
kesehatan, dan waktu dan keterampilan dokter yang terbatas. Dalam konteks
ini, meningkatkan penyediaan perawatan kesehatan terkait obesitas
merupakan tantangan besar dan akan memerlukan pendekatan inovatif,
termasuk tetapi tidak terbatas pada reformasi sistem kesehatan,
pengembangan kapasitas dokter dan dukungan implementasi, fokus pada
pencegahan, alokasi sumber daya yang bijaksana, dan mengubah persepsi
yang ada tentang obesitas sebagai masalah kegagalan pribadi untuk
mengakui sebagai penyakit.

Strategi untuk mencegah obesitas atau mencapai pemeliharaan berat


badan harus menjadi prioritas untuk menghindari beban masa depan terhadap
sistem kesehatan. Banyak dari strategi ini bergantung pada perubahan dalam
kebijakan dan sistem untuk merestrukturisasi lingkungan yang obesitas dan
telah ditetapkan di tempat lain. Meskipun demikian, layanan kesehatan
memiliki peran penting untuk dimainkan dalam upaya pencegahan sejauh
banyak individu dengan kelebihan berat badan atau obesitas di HIC
berhubungan dengan layanan kesehatan secara teratur. Kunjungan klinis
dapat mengekspos sejumlah besar populasi ke pesan pencegahan obesitas.
Penggunaan bahasa yang tepat oleh dokter seperti "peningkatan BMI", "nutrisi
yang lebih baik", dan "aktivitas fisik" lebih dapat diterima oleh pasien daripada
istilah seperti "obesitas", "diet", dan "olahraga" dan lebih mungkin untuk
Penghapusan bias yang secara implisit atau eksplisit menyalahkan pasien
atas kenaikan berat badan mereka juga akan meningkatkan efektivitas
pencegahan dan manajemen. Dokter dan layanan kesehatan juga memiliki
peran penting dalam mempromosikan pendekatan kesehatan masyarakat
lainnya untuk obesitas. Kelompok klinis adalah pendukung kesehatan
tepercaya dan kuat yang dapat mendukung prakarsa kesehatan preventif yang
umumnya secara signifikan lebih murah daripada pengelolaan remedial.
Memasukkan BMI sebagai tanda vital dalam pengaturan klinis melalui rekam
medis elektronik memungkinkan pemantauan longitudinal status berat badan
pasien dan dapat memberikan data pengawasan di seluruh negara yang
berharga untuk menilai prevalensi obesitas, tren, dan penyakit penyerta dari
populasi. Data semacam itu juga dapat mengidentifikasi bidang-bidang yang
paling membutuhkan. Kebutuhan akan opsi rujukan juga dapat mendorong
investasi pemerintah dalam layanan masyarakat. Misalnya layanan
manajemen berat badan berbasis komunitas dan pelatihan melalui telepon
memberikan pilihan rujukan untuk dokter di Australia dan dapat diterapkan di
negara lain.

Beban obesitas yang meningkat pada sistem perawatan kesehatan global


tampak membesar. Bukti hingga saat ini menunjukkan bahwa sistem
perawatan kesehatan gagal memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan
tidak memadai untuk memenuhi tuntutan masa depan. Kepemimpinan dari
pemerintah, profesi medis, dan pasien serta kelompok masyarakat untuk
mengatasi masalah yang diangkat dalam naskah ini sangat dibutuhkan untuk
mencegah krisis kesehatan yang menghambat (Wolfenden, 2019).

b) Globalisasi

Adanya identifikasi pengaruh kuat globalisasi terhadap obesitas terhadap


spesifikasi dan strategi empiris yang berbeda. Ditemukan bahwa pengaruhnya
terutama (meskipun tidak secara eksklusif) didorong oleh dimensi 'globalisasi
sosial' dari indeks yang cukup kuat dan signifikan, terlepas dari ukuran yang
digunakan. Setelah menjelaskan efek dari berbagai komponen globalisasi
sosial, kami menemukan bahwa mereka didorong oleh perubahan baik dalam
'aliran informasi' maupun 'kedekatan sosial'. Dibuktikan dengan kelompok 1A
(OR = 1,53; 99% CI = 0,256), 1B (OR = 1,649; 99% CI = 0,395), dan 1C (OR =
1,77; 99% CI = 0,486).

Modernisasi globalisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang


menyebarkan unsur baru seperti informasi secara mendunia yang terarah
berdasarkan pada suatu perencanaan. Pengaruh dari modernisasi globalisasi
ini secara spesifik berpengaruh pada faktor risiko dasar terjadinya obesitas
seperti peningkatan intake, metabolik dan penggunaan kalori dan gen. Era
modernisasi globalisasi menyebabkan tuntutan hidup yang semakin tinggi
sehingga mengakibatkan bertambahnya tingkat stress dan peningkatan
prevalensi obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko berbagai penyakit
degeneratif dan berkaitan erat dengan peningkatan jaringan adiposa dalam
tubuh (Moulia et al., 2017 dalam Gunawan et al., 2020). Pada penelitian
Gunawan dan Andriani (2020), menunjukan bahwa adanya hubungan positif
globalisasi dengan kejadian obesitas (r=0,577; p<0,001).

c) Iklan

Paparan iklan junk food ≥49 iklan/hari menunjukkan hubungan yang signifi
kan terjadinya risiko obesitas dengan OR sebesar 1,7 dan jika paparan iklan
untuk food meningkat menjadi >60 iklan/hari, maka risiko obesitas akan
meningkat 2,19 kali. Satu jam kenaikan dalam menonton TV berhubungan
dengan penambahan 167 kkal/hari (95% CI: 136-198 kkal/hari; p<0,001) dan
dengan peningkatan konsumsi makanan yang diiklankan di TV (Nurwanti,
Hadi and Julia, 2013).

d) Konsumen dan teknologi

Seiring berjalannya masa, teknologi semakin maju dan dapat memenuhi


kebutuhan manusia dengan mudah. Dengan adanya teknologi kita dapat
mendapatkan informasi, hiburan, komunikasi, dll dengan mudah. Beberapa
studi menyebutkan bahwa salah satu factor yang menyebabkan obesitas
adalah kurangnya aktivitas fisik. Penggunaan teknologi yang berlebihan
disertai peningkatan intake makanan dan kurangnya aktivitas fisik dapat
meningkatkan resiko peningkatan berat badan.

Siswa yang menggunakan akses sosial media lebih dari 5 jam mempunyai
peluang7.358 kali untuk memiliki kelebihan berat badan siswa dibandingkan
siswa yang menggunakan akses sosial media kurang dari sama dengan 5 jam
untuk memiliki kelebihan berat badan siswa (95% CI; OR = 0.955 ; 56.709).

Penggunaan teknologi juga memudahkan kita untuk mendapatkan


informasi, seperti informasi makanan. Iklan makanan dengan mudah kita lihat
diberbagai media social. Dan dapat meningkatya daya konsumsi bagi anak-
anak dan mempengaruhi kesukaan, permintaan, dan konsumsi makanan atau
minuman.

Paparan iklan junk food ≥49 iklan/hari menunjukkan hubungan yang signifi
kan terjadinya risiko obesitas dengan OR sebesar 1,7 dan jika paparan iklan
unk food meningkat menjadi >60 iklan/hari, maka risiko obesitas akan
meningkat 2,19 kali. Satu jam kenaikan dalam menonton TV berhubungan
dengan penambahan 167 kkal/hari (95% CI: 136-198 kkal/hari; p<0,001) dan
dengan peningkatan konsumsi makanan yang diiklankan di TV (Nurwanti,
Hadi and Julia, 2013).

e) Norma sosial

Menurut Purwaningrum N.F (2007) dalam Hikmawati (2017), setiap


kebudayaan terdapat standar ideal daya tarik fisik dan standar ini
mempengaruhi citra tubuh seseorang dalam berkembangnya nilai sosial. Pada
perspektif budaya, untuk menentukan standar fisik ideal mereka
menggunakan parameter kualitatif yang bertolak belakang dengan perspektif
kesehatan yang menggunakan parameter kuantitatif. Hal tersebut dapat
menimbulkan konflik yang mengakibatkan adanya perbedaan perspektif pada
masyarakat mengenai bentuk fisik tubuh yang diinginkan.
Pada etnis Bugis, pandangan budaya mengenai standar fisik ideal disana
adalah orang yang secara lahir gemuk pertanda kehidupan dunianya elegan,
peruntungan usahanya baik, suami yang pintar memelihara istri, mengelola
kehidupan rumah tangga dan memiliki status sosial yang baik. Sehingga,
masyarakat pada etnis Bugis mereka mendambakan tubuh yang padat dan
berisi atau disebut dengan Mallise. Dapat dikatakan bahwa obesitas dengan
ukuran dan bentuk tubuh dan struktur tubuh alamiah memenuhi kriteria tubuh
ideal pada etnis Bugis.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mangemba (2020) di Zimbabwe


bahwa prevalensi obesitas di antara perempuan tinggi yang disebabkan oleh
faktor sosial seperti bertambahnya usia (Adjusted Odds Ratio (AOR 2.76, 95%
CI: 2.45–3.11 untuk kelebihan berat badan dan AOR 3,24, 95% CI: 2,69–3,90
untuk obesitas) dengan pernikahan (AOR 1.58, 95% CI: 1.38–1.79 untuk
kelebihan berat badan dan AOR 1.54, 95% CI: 1.27–1.87 untuk obesitas),
status kekayaan tinggi (AOR 4.01, 95% CI: 2.93–5.50 untuk kelebihan berat
badan dan AOR 6,97, 95% CI: 4,08–11,9 untuk obesitas) dan penggunaan
kontrasepsi hormonal (AOR 1,24, 95% CI: 1,07–1,41 untuk kelebihan berat
badan dan AOR 1,34, 95% CI: 1.10–1.64 untuk obesitas). Selain itu, memiliki
pendidikan yang lebih tinggi meningkatkan kemungkinan menjadi obesitas
(AOR 1.44, 95% CI: 1.07–1.96) (Mangemba, 2020 et al).

f) Edukasi kesehatan

Obesitas menjadi masalah yang serius dan tidak dapat dipandang


sebelah mata karena obesitas yang terjadi pada masa remaja 30& akan
berlanjut hingga dewasa. Obesitas juga merupakan salah satu penyebab dari
beberapa penyakit tidak menular antara lain diabetes militus, hipertensi,
penyakit kardiovaskular dan masih banyak lagi.

Pencegahan dan penanganan obesitas pada masa remaja dianggap lebih


mudah dari pada menanggulangi obesitas pada usia dewasa karena
mengubah kebiasaan hidup dan menurunkan berat badan lebih sulit dilakukan
jika sudah menetap. Salah satu upaya pencegahan gizi lebih pada remaja
yaitu dengan pengontrolan berat badan dengan mempromosikan penurunan
berat badan dan perilaku makan sehat melalui pendidikan kesehatan
(Supriasa, 2012).

Edukasi gizi secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan remaja.


dengan perbedaan rata-rata sebelum dan setelah edukasi sebesar 2,41%.
Rata-rata pengetahuan remaja sebelum diberikan edukasi 6,27%, setelah
edukasi meningkat menjadi 8,68%. Sementara pada kelompok kontrol, rata-
rata pengetahuan sebelum edukasi 5,95% kemudian setelah edukasi menjadi
6,23%. Namun edukasi gizi selama 5 minggu tidak dapat menurunkan berat
badan remaja overweight/obeitas. Penurunan berat badan rata-rata pada
remaja kelompok intervensi dan kelompok kontrol hanya sebesar 1 kg (OR =
1.44, 95%CI = 1.10, 1.87) dengan penurunan berat badan 0.5 kg/m2 atau
dibawahnya.

Akan tetapi pada penelitian lainnya menyebutkan bahwa, pemberian


intervensi dengan memberikan edukasi dikombinasi dengan pemberian diet
rendah kalori lebih menjanjikan untuk mencapai penurunan berat badan dan
BMI pada pasien obesitas dengan DMT2.
IV. BAGAIMANA MENGATASI OBESITAS?
Menurut WHO dalam (Nurmala et al., 2018) promosi kesehatan sebagai “The
process of enabling individuals and communities to increases control over the
determinants of health and there by improve their health” (proses yang
mengupayakan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka
mengendalikan faktor kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya). Tujuan promosi kesehatan adalah meningkatkan kemampuan baik
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar mampu hidup sehat dan
mengembangkan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat serta
terwujudnya lingkungan yang kondusif untuk mendorong terbentuknya
kemampuan tersebut (Notoatmodjo,2012).

1) Intervensi Gizi Level Individu


a. Konseling Gizi

Konseling gizi adalah suatu bentuk pendekatan yang digunakan dalam


asuhan gizi untuk menolong individu dan keluraga memperoleh pengertian
yang lebih baik tentang dirinya dan permasalahan yang terjadi. Tujuan dari
konseling gizi adalah terjadi perubahan perilaku yang berkaitan dengan gizi
sehingga meningkatkan status gizi klien. Salah satu pendekatan yang
digunakan dalam perubahan perilaku adalah transtheorotical model (TTM).
TTM adalah model konseling gizi yang menjelaskan urutan perubahan
perilaku individu dari perilaku tidak sehat. Tahapan TTM meliputi
prekontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, pemeliharaan. TTM juga
menjelaskan proses dari perubahan dan strategi yang dilakukan untuk
mencapai peningkatan pada setiap tahap.

Konseling gizi biasanya dilakukan perindividu secara tatap muka durasi


30-45 menit dengan pendekatan TTM. Konseling gizi pada penderita obesitas
membahas mengenai IMT, kebutuhan energy harian, pola makan seimbang,
pemilihan makanan, peningkatan aktivitas fisik. Wawancara dengan subjek
mengenai riwayat kesehatan, asupan makan, aktivitas fisik, dan kesiapan
berubah juga dilakukan pada konseling pertemuan pertama.

Konseling gizi pada subjek yang berada di tahap kontemplasi fokus


membahas keuntungan dan kerugian dari perubahan asupan dan peningkatan
aktivitas fisik serta membantu subjek mengatasi halangan dalam proses
berubah. Konseling gizi pada subjek yang berada tahap persiapan membahas
tentang alternative rencana perubahan asupan makan dan peninglatan
aktivitas fisik. Konseling gizi pada subjek yang berada di tahap aksi, fokus
pada pemberian dorongan motivasi dan saran untuk tetap melakukan
perubahan asupan makan sesuai dengan kecukupan gizi dan peningkatan
aktivitas fisik harian

2) Intervensi Gizi Level Kelompok

Pendidikan kesehatan dapat dilakukan oleh berbagai profesi salah satunya


adalah ahli gizi yang berperan sebagai edukator atau pendidik kesehatan. Peran
ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan pencegahan dan penanganan yang
diberikan untuk mengubah perilaku klien. Ahli gizi juga harus berpartisipasi dalam
promosi dan pendidikan kesehatan untuk pencegahan berat badan berlebih
dengan memberikan pendidikan gizi yang tepat (Lazarou & Kouta, 2010).

Pendidikan gizi dilaksanakan melalui penyuluhan sebagai upaya untuk


menanamkan pengertian gizi, pengenalan masalah makan, perencanaan makan
dan perencanaan diet yang disepakati. Menurut Suryaputra & Nadhiroh (2012),
remaja yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara gizi dan
mengatur makan sebagian besar akan terhindar dari kejadian masalah gizi
berlebih.

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan


dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak
saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran
yang ada hubungannya dengan kesehatan (Azwar, 1983 dalam Machfoedz dan
Suryani, 2007).

Dalam melakukan penyuluhan diperlukan adanya alat yang dapat membantu


dalam kegiatan seperti penggunaan media atau alat peraga agar terjalinnya
kesinambungan antara informasi yang diberikan oleh pemberi informasi kepada
penerima informasi. Media adalah suatu alat peraga dalam promosi dibidang
kesehatan yang dapat diartikan sebagai alat bantu untuk promosi kesehatan yang
dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa atau dicium, untuk memperlancar
komunikasi dan penyebar-luasan informasi (Kholid, 2014).

Menurut Mubarak, dkk (2007), Media merupakan sesuatu yang bersifat


menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan
audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar atau
memahami pada penerima pesan. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2014),
media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan
pesan atau informasi yang tersedia yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik
itu melalui media cetak, elektronik (TV, radio, komputer, dan sebagainya ) dan
media luar ruang, sehingga sasaran dapat meningkan pengetahuannya yang
akhirnya diharapkan adanya perubahan perilaku ke arah positif atau lebih baik.

Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada
pada setiap manusia diterima atau ditangkap dengan panca indera. Semakin
banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak
dan semaki jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan perkataan
lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin
kepada suatu objek sehingga mempermudah pemahaman (Notoatmodjo, 2007).

Media Penyuluhan :

Berdasarkan media yang digunakan, menurut Notoatmodjo tahun 2010,


berdasarkan cara produksinya media dikelompokkan menjadi :
1. Media cetak, yaitu suatu media statis yang mengutamakan pesan-pesan
visual. Media cetak umumnya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar
atau foto dalam tata warna. Adapun macam-macamnya antara lain : poster,
leaflet, booklet, brosur, flipchart, sticker, pamflet, surat kabar.
2. Media elektronik, yaitu suatu media bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan
didengar dalam menyampaikan pesannya melalui alat bantu elektronik.
Adapun macam-macamnya antara lain : TV, radio, film, video film, CD, VCD.
3. Media luar ruangan, yaitu suatu media yang menyampaikan pesannya duluar
ruang secara umum melalui media cetak dan elektronik secara statis. Adapun
macam-macamnya antara lain: papan reklame, spanduk, pameran, banner,
TV layar lebar.

Sifat hubungan antara penyuluh dan penerima manfaat :

Berdasarkan hubungan penyuluh ke penerima manfaat, metode penyuluhan


dibedakan atas dua macam, yaitu :

1. Komunikasi langsung, baik melalui percakapan tatap muka atau lewat media
tertentu (telepon, facimile) yang memungkinkan penyuluh dapat
berkomunikasi secara langsung (memperoleh respon) dari penerima manfaat
dalam waktu yang relatif singkat terjadi interaksi interpersonal.
2. Komunikasi tak langsung, baik lewat perantaraan orang lain, lewat surat, atau
media yang lain, yang tidak memungkinkan penyuluh dapat menerima respon
dari penerima manfaat dalam waktu yang relatif singkat.

V. PROGRAM MAHASISWA PRAKTIK PROMOSI KESEHATAN


Tujuan program praktik promosi kesehatan :
a) Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melaksanakan promosi kesehatan


mengenai obesitas di lingkungan masyarakat
b) Tujuan Khusus
● Mahasiswa mampu melakukan skrinning obesitas dengan
mengukur berat badan dan tinggi badan ibu
● Mahasiswa mampu mencari faktor risiko kejadian obesitas
pada ibu
● Mahasiswa mampu melakukan intervensi kepada ibu yang
mengalami obesitas
VI. Hasil dan Pembahasan
I. PROGRAM PRAKTIK PROMOSI KESEHATAN TINGKAT INDIVIDU
Teknis Pelaksanaan
a) Tempat dan Waktu Penelitian
Skrinning

Tempat : Rumah Ibu Sumariati

Tanggal : Minggu, 11 April 2021

Waktu : 15.00 s.d 16.00

Recall Pertama

: Rumah Ibu Sumaiati (Responden 1)


Tempat
Rumah Ibu Susanti ( Responden 2)

Tanggal : Minggu, 11 April 2021

Waktu : 16.00 s.d selesai

Recall Kedua

: Rumah Ibu Sumariati (Responden 1)


Tempat
Rumah Ibu Susanti ( Responden 2)

Tanggal : Selasa, 13 April 2021

Waktu : 10.00 s.d selesai


Intervensi Pertama

: Rumah Ibu Sumariati (Responden 1)


Tempat
Rumah Ibu Susanti ( Responden 2)

Tanggal : Jumat, 4 Juni 2021

Waktu : 16.00 s.d selesai

Intervensi Kedua

: Daring by wa Ibu Sumariati (Responden 1)


Tempat
Ibu Susanti ( Responden 2)

Tanggal : Sabtu, 12 Juni 2021 dan Minggu 13 Juni 2021

Waktu : 18.00 s.d selesai dan 05.30 s.d selesai

b) Sumber data
Sumber data penelitian ini merupakan sumber data primer yang didapat
langsung dari narasumber/sampel saat wawancara secara daring maupun
luring.

c) Sampel
Mahasiswa mengambil 2 sampel ibu yang berusia 30 - 60 tahun dengan
status gizi overweight atau obesitas. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Nama : Sumariati
Umur : 36 tahun
BB : 83.1
TB : 154,4 cm
IMT : 34.9
Status Gizi : Obesitas Tingkat I
2. Nama : Susanti
Umur : 40 tahun
BB : 75.5
TB : 155.1 cm
IMT : 31.4
Status Gizi : Obesitas Tingkat I
b) Cara Kerja
1. Pengukuran antropometri
Pengukuran antropometri berupa mengukur tinggi badan
menggunakan microtoise dan menimbang berat badan
menggunakan timbangan berat badan digital. Kedua pengukuran
antropometri dilakukan untuk mengetahui status gizi sampel.

2. Pengisian kuesioner oleh responden


Pengisian kuesioner oleh responden berisikan tentang identitas,
aktivitas fisik, screen view serta pengetahuan seputar obesitas. Cara
pengisian kuesioner diarahkan saat pembagian kuesioner.

3. Analisis data
Analisis data hasil kuesioner, recall makanan 2x24jam dan output
intervensi menggunakan Ms. Excel.

4. Identifikasi faktor penyebab masalah obesitas


Obesitas terjadi akibat gangguan dari mekanisme homeostasis yang
mengontrol keseimbangan energi dalam tubuh. Jaringan lemak
merupakan tempat penyimpanan energi yang paling besar
menyimpan energi dalam bentuk trigliserida melalui proses
lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap kelebihan energi
dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respon
terhadap kekurangan energi. Regulasi keseimbangan energi
memerlukan sensor dari penyimpanan energi di jaringan adiposa,
mekanisme kontrol dari sistem pusat (hipotalamus) untuk integrasi
berikutnya, yang mana akan menentukan kebutuhan asupan
makanan dan pengeluaran energi.

5. Analisis Deskriptive
1) Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik Responden
n %
IMT <18.5 0 0
18.5 – 22.9 0 0
Karakteristik 23 – 24.9 0 0
Responden
25 – 29.9 0 0
> 30 2 100
TOTAL 2 100
BB (Awal) 75.5 1 50
83.1 1 50
TOTAL 2 100
TB 154.4 1 50
155.1 1 50
TOTAL 2 100

2) Recall 2 x 24 jam (Sebelum puasa)


Tabel 2. Distribusi Recall 2 x 24 jam Sebelum Intervensi
n %

Kebutuhan Energi
1760.4 1 50
(Kkal)

1785.2 1 50

TOTAL 2 100

Kebutuhan Protein
66 1 50
(gr)

66.9 1 50

TOTAL 2 100
Asupan dan
Kebutuhan Kebutuhan Lemak
48.8 1 50
(gr)

49.5 1 50

TOTAL 2 100

Kebutuhan
264 1 50
Karbohidrat (gr)

267.7 1 50

TOTAL 2 100

Asupan Energi 2785 1 50


(Kkal)

2230 1 50

TOTAL 2 100

Asupan Protein (gr) 83.5 1 50

74.9 1 50

TOTAL 2 100

Asupan Lemak (gr) 61.8 1 50

69.1 1 50

TOTAL 2 100

Asupan Karbohidrat
438,6 1 50
(gr)

288.1 1 50

TOTAL 2 100

3) Kecukupan Asupan (Sebelum puasa)


Tabel 3. Distribusi Kecukupan Sebelum Intervensi

n %

Energi Kurang (<80%) 0 0

Cukup (80-120%) 1 50

Lebih (>120%) 1 50
Kecukupan
TOTAL 2 100

Protein Kurang (<80%) 0 0

Cukup (80-120%) 2 100

Lebih (>120%) 0 0
TOTAL 2 100

Lemak Kurang (<80%) 0 0

Cukup (80-120%) 1 50

Lebih (>120%) 1 50

TOTAL 2 100

Karbohidrat Kurang (<80%) 0 0

Cukup (80-120%) 1 50

Lebih (>120%) 1 50

TOTAL 2 100

4) Recall 2 x 24 jam (Setelah Intervensi)


Tabel 4. Distribusi Recall 2 x 24 jam Setelah Intervensi
n %

BB Akhir (kg) 82.8 1 50

Karakteristik 74.8 1 50

TOTAL 2 100

Asupan
Cukup (80-120%) 1 50
Energi

Lebih (>120%) 1 50

TOTAL 2 100
Kecukupan Asupan
Asupan Cukup (80-120%) 2 100
Protein

Lebih (>120%) 0 0

TOTAL 2 100

Asupan Cukup (80-120%) 2 100


Lemak

Lebih (>120%) 0 0

TOTAL 2 100

Asupan
Cukup (80-120%) 1 50
Karbohidrat

Lebih (>120%) 1 50

TOTAL 2 100

5) Faktor Aktivitas Fisik


Tabel 5. Distribusi Faktor Aktvitas Fisik, Olahraga, dan
Screen Time
n %

Aktivitas Fisik Berat 0 2 100

Lainnya 0 0

TOTAL 2 100

Aktivitas Fisik
60 1 50
Total Waktu Sedang
Aktivitas Fisik
(menit) 120 1 50

TOTAL 2 100

Berjalan
0 1 50
Kaki/Bersepeda

10 1 50

TOTAL 2 100

Intensitas Berat 0 2 100


Total Waktu
Olahraga (menit)
TOTAL 2 100
Intensitas Sedang 0 2 100

TOTAL 2 100

Duduk/berbaring 300 1 50

540 1 50

TOTAL 2 100

Screen Time dan Waktu Screen Time


Kebiasaan 60 1 50
(menit)
Mengemil (menit)
120 1 50

TOTAL 2 100

Waktu Makan
dengan Screen Time 10 1 50
(menit)

60 1 50

TOTAL 2 100

Kebiasaan Ngemil
0 2 100
Sambil Begadang

TOTAL 2 100
Tabel 5 menunjukkan kedua responden memiliki waktu
duduk/berbaring/berdiam diri yang cukup lama. Hal ini
dikarenakan Responden 1 memilki toko yang memungkinkan
sehar-hari hanya duduk atau sesekali berjalan melayani pembeli.
Sementara responden 2 juga hanya melakukan kegiatan rumah
tangga seperti menyetrika, mencuci, dan sisanya digunakan untuk
mengobrol dengan tetangga.

6) Faktor Pengetahuan dan Sikap


Tabel 6. Distribusi Pengetahuan dan Sikap terhadap Obesitas
n %
Pre Test <80% 2 100

>80% 0 0

TOTAL 2 100
Skor Pengetahuan
dan Sikap Post Test <80% 0 0

>80% 2 100

TOTAL 2 100
Pada Tabel 6 menampilkan skor pengetahuan dan sikap sebelum
dan sesudah di intervensi. Skor tersebut berasal dari jumlah total
jawaban benar dibagi dengan jumlah total pertanyaan yang
diberikan. Pada pre test, Responden 1 mendapat skor 10 dan
responden 2 mendapat skor 12 artinya pengetahuan dan sikap
responden kurang. Sementara pada post tes, responden 1
mendapat skor 14 dan responden 2 mendapat skor 16 yang
artinya kedua responden telah mendapat pengetahuan tentang
obesitas dengan baik ditandai dengan adanya peningkatan skor.
7) Data Recall

Responden Asupan Energi Protein Lemak KH


(Kkal) (gr) (gr) (gr)
1 Kebutuhan 1760.4 66 48.8 264
Rata-rata 2785 79.2 59.01 485.2
Recall 2x24
jam
Sebelum
Intervensi
Kebutuhan 2285 66 50.7 342.7
Intervensi
Rata-rata 2561 75.6 60.1 428.9
Recall 2x24
jam
Sesudah
Intervensi
2 Kebutuhan 1785.2 66.9 49.5 267.78
Rata-rata 2152 70.7 66.9 317.4
Recall 2x24
jam
Sebelum
Intervensi
Kebutuhan 1780 66.75 49.4 267
Intervensi
Rata-rata 1908 70.3 55.2 282.8
Recall 2x24
jam
Sesudah
Intervensi

1) Outcome
Setelah responden mendapat 2x pertemuan intervensi (kurun
waktu pemberian intervensi dan penimbangan akhir 9 hari), maka
didapatkan hasil sebagai berikut:
Responden 1
Nama : Sumariati
Umur : 36 tahun
BB (awal) : 83.1 kg
BB (akhir) : 82.8 kg (pengurangan 0.3 kg)
TB : 154,4 cm
Skor Pre Test : 10
Skor Post Test : 14
Responden 2
Nama : Susanti
Umur : 40 tahun
BB (awal) : 75.5 kg
BB (akhir) : 74.8 kg (pengurangan 0.7 kg)
TB : 155,1 cm
Skor Pre Test : 12
Skor Post Test : 16
Grafik.1 Perubahan Berat Badan

Perubahan Berat Badan Responden


83.1 82.8
84
82
80

BB (kg)
78
75.5
76 74.8
74
72
70
BB Awal BB Akhir
Susanti 75.5 74.8
Sumariati 83.1 82.8

Grafik.2 Skor Pengetahuan

Skor Pengetahuan dan Sikap


18
16 16
Jumlah Jawaban Benar

14 14
12 12
10 10
8
6
4
2
0
Pre Test Post Test
Susanti 12 16
Sumariati 10 14

6. Intervensi
Kegiatan : konseling individu

Konseling gizi adalah suatu bentuk pendekatan yang digunakan dalam


asuhan gizi untuk menolong individu dan keluarga memperoleh
pengertian yang lebih baik tentang dirinya dan permasalahan yang
terjadi. Tujuan dari konseling gizi adalah terjadi perubahan perilaku yang
berkaitan dengan gizi sehingga meningkatkan status gizi klien.
Langkah-langkah konseling gizi, yaitu :

a) Membangun Dasar Konseling

Pada saat bertemu klien gunakanlah keterampilan komunikasi dan


konseling. Sambutlah klien dengan ramah, tersenyum dan berikan
salam. Selanjutnya, persilahkan klien untuk duduk upayakan klien
merasa nyaman, singkirkan penghalang yang ada di hadapan yang
dapat mengganggu proses konseling. Perkenalkan diri (nama dan
pekerjaan). Sampaikan tujuan konseling, yaitu untuk membantu klien
memahami masalah penyakitnya dan membantu klien mengambil
keputusan untuk mengatasi masalah perubahan diet (makan) sesuai
dengan kondisi dan kemampuannya.

b) Mengkaji Masalah dengan Pengkajian Gizi

Konseling gizi merupakan suatu proses pengumpulan, verifikasi dan


interpretasi data yang sistematis dalam upaya mengidentifikasi
masalah gizi serta penyebabnya.

▪ Pengukuran Dan Pengkajian Data Antropometri

Data Antropometri yang umum dikumpulkan adalah Berat Badan


(BB), Tinggi Badan (TB). Hasil pengukuran ini dapat digunakan
untuk menginterpretasikan status gizi seseorang, dengan
membandingkan hasil pengukuran dengan standar yang ada
atau memasukan beberapa hasil pengukuran ke dalam rumus
penilaian status gizi tertentu. Misalnya Indeks Massa Tubuh
(IMT).

▪ Riwayat Makan

Kajian data riwayat makan, yaitu pengkajian kebiasaan makan


klien secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif diukur
menggunakan formulir Food frequency FFQ untuk mengetahui
seberapa sering seseorang mengkonsumsi bahan makan
sumber zat gizi tertentu. Secara kuantitatif menggunakan formulir
food recall 1x24 jam yang kemudian dianalisis dengan
menggunakan formulir analisis bahan makan sehari hasilnya
dapat diketahui berapa besar pencapaian asupan energi serta
zat gizi seseorang terhadap angka kecukupan gizi (AKG) zat gizi
tertentu.

Riwayat Makan Responden 1

Resp.1 makan besar 3x sehari dengan waktu yang teratur,


dengan porsi sedang cenderung besar karena setiap kali makan
1.5-2 kali dari URT. Konsumsi sayur 2 sendok sayur setiap kali
makan. Frekuensi minuman kemasan tinggi mulai dari snack
pagi hingga sore yaitu kopi instan 2 saset/hari, nutrisari/marimas
4-5 saset/hari, dan jus buah 1 kali/hari dengan kadar manis dan
ditambahkan gula. Snack pagi dan siang didominasi makanan
kemasan seperti roti atau makanan manis 2-3 bungkus.
Konsumsi gorengan maksimal 2 potong/hari

Riwayat Makan Responden 2

Resp. 2 makan besar 3x sehari, porsi sedang ditandai dengan


rata-rata porsi sesuai URT. Rata-rata konsumsi sayur 2 centong
sayur hanya saat sarapan dan makan siang.Konsumsi buah 1
ptg/hari. Frekuensi snack dikonsumsi pada saat melakukan
kegiatan rumah tangga. Snack yang paling sering dikonsumsi
berupa keripik dan gorengan yang dibeli di responden 1 setiap
sore 3 ptg/hari. Responden 2 tidak menyukai minuman siap
seduh

▪ Riwayat Personal

Pengkajian ini meliputi ada tidaknya alergi pada makanan dan


pantangan makanan, keadaan sosial ekonomi, pola aktivitas,
riwayat penyakit klien, riwayat penyakit keluarga yang berkaitan
dengan penyakit klien serta masalah psikologis yang
berhubungan dengan masalah gizi klien.

Riwayat Personal Responden 1

Responden 1 merupakan ibu dari 2 orang anak, kegiatan sehari-


hari menjaga toko kelontong miliknya sendiri yang menyediakan
kebutuhan rumah tangga, gorengan, dan minuman siap seduh.

Riwayat Personal Responden 2

Responden 2 merupakan ibu dari 2 orang anak, kegiatan sehari-


hari menjaga sebagai ibu rumah tangga.

c) Menegakkan Diagnosis Gizi

Diagnosis gizi dikelompokkan menjadi tiga domain yaitu :

▪ Domain Asupan adalah masalah aktual yang berhubungan


dengan asupan energi, zat gizi,cairan, substansi bioaktif dari
makanan baik yang melalui oral maupun parenteral dan enteral.
▪ Domain Klinis adalah masalah gizi yang berkaitan dengan kondisi
medis atau fisik/fungsi organ.
▪ Domain Perilaku/lingkungan adalah masalah gizi yang berkaitan
dengan pengetahuan, perilaku/kepercayaan, lingkungan fisik dan
akses dan keamanan makanan. (Kementrian Kesehatan RI, 2014)
Diagnosis Gizi
Responden 1 NI. 1.5 Kelebihan asupan energy berkaitan
dengan biasa mengonsumsi makanan tinggi kalori
ditandai dengan asupan oral 158% dari
kebutuhan, Status Gizi Obesitas 1

NB. 1.7 Pemilihan makanan yang salah berkaitan


dengan belum terpaparnya informasi makanan
dan gizi ditandai dengan memilih makanan
selingan sumber tinggi kalori (minuman siap
seduh, roti manis, kue-kue kering, minuman
manis).
Renponden 2 NI. 5.6.2 Kelebihan asupan lemak (P) berkaitan
dengan biasa mengonsumsi makanan tinggilemak
(E) ditandai dengan asupan lemak 139% dari
kebutuhan

NB. 1.7 Pemilihan makanan yang salah berkaitan


dengan belum terpaparnya informasi makanan
dan gizi ditandai dengan memilih makanan
selingan tinggi lemak (keripik, gorengan)

d) Intervensi Gizi

Intervensi gizi dalam konseling meliputi serangkaian aktivitas atau


tindakan terencana yang secara khusus dengan tujuan untuk
mengatasi masalah gizi melalui perubahan perilaku makan guna
memenuhi kebutuhan gizi klien sehingga mendapatkan kesehatan
yang optimal. Intervensi terdiri dari dua komponen yaitu rencana diet
dan mendapat komitmen untuk melaksanakan diet yang telah
disepakati bersama antara konselor dan klien.

Intervensi Gizi

Responden 1 Diet Energi Cukup dengan pengurangan 500 kkal


dari kebiasaan makan, mengganti makanan
selingan dengan selingan tinggi serat, pemberian
olahraga min.15 menit per hari dan mengurangi
pengolahan dengan di goreng.

Energi : 2285 Kkal


Protein : 66 gr

Lemak : 50.7 gr

KH : 342.7 gr

Serat : 25 gr
Renponden 2 Diet Energi Cukup dengan pengurangan 400 kkal
dari kebiasaan makan, mengganti makanan
selingan dengan selingan tinggi serat, pemberian
olahraga min.15 menit per hari dan mengurangi
pengolahan dengan di goreng.

Energi : 1780 gr

Protein : 66.75 gr

Lemak : 49.4 gr

KH : 267 gr

Serat : 25 gr

e) Monitoring Evaluasi

Langkah terakhir konseling gizi yaitu monitoring evaluasi, yaitu


melakukan penilaian kembali terhadap kemajuan konselor maupun
kliennya.

Monitoring dilakukan melalui daring dengan menanyakan proses


intervensi yang telah disepakati.

f) Mengakhiri Konseling (Terminasi)

Terminasi dilakukan pada tahap terakhir konseling. Konselor dapat


mempersiapkan klien melalui ucapan-ucapan bahwa konseling
berakhir. Konselor menyiapkan leaflet, brosur, booklet dan lain-lain.
Konselor tetap membuka kesempatan kepada klien untuk kunjungan
berikutnya (bila memerlukan kunjungan ulang.
II. PROGRAM PRAKTIK PROMOSI KESEHATAN TINGKAT KELOMPOK
a) Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : Dusun Kambangan

Tanggal : Sabtu, 12 Juni 2021

Waktu : 15.00 s.d 16.00

b) Populasi target

Target populasi sebelumnya yaitu melalui majelis taklim, namun karena


adanya kebijakan PKKMB mikro maka kegiatan tersebut yang
sebelumnya tejadwal Senin 14, Juni menjadi dimundurkan hingga situasi
membaik dan belum diadakan kembali setelah lebaran. Sehingga
penyusun menargetkan kegiatan arisan ibu-ibu RT 1 RW 12 Dusun
Kambangan yang dilaksanakan terbatas, namun tetap dengan populasi
target yang sama.

c) Cara Kerja

Dilaksanakan dalam satu kali pertemuan dengan rincian kegiatan, sbb :

1. Pre-test

Bertujuan sebagai pengukur pengetahuan dasar ibu-ibu terkait


obesitas.

2. Pemberian Penyuluhan Kelompok


Secara luring : melaksanakan penyuluhan pada pertemuan kelompok
tersebut dengan bantuan media PPT, poster dan leaflet.
3. Post-test

Bertujuan untuk mengukur tingkat pemahaman ibu-ibu terkait obesitas


setelah diberikannya penyuluhan mengenai obesitas.

d) Analisis Deskriptive
1. Karakteristik Responden
Tabel 1.1 Karakteristik Responden
n %

Karakteristik IMT <18.5 0 0


Responden 18.5 – 22.9 0 0

23 – 24.9 3 33

25 – 29.9 4 44

> 30 2 22

TOTAL 9 100

BB 50-60 3 33

61-70 4 44

71-80 1 11

>80 1 11

TOTAL 9 100

TB 150-155 8 88

155-160 1 11

TOTAL 9 100
2. Faktor Pengetahuan dan Sikap
Tabel 2. 1 Distribusi Pengetahuan dan Sikap terhadap
Obesitas
n %

Pre Test <80% 7 77

>80% 2 22

TOTAL 9 100
Skor Pengetahuan
dan Sikap
Post Test <80% 0 0

>80% 9 100

TOTAL 9 100
III. MEDIA

a. Booklet

Salah satu media cetak yang digunakan dalam promosi kesehatan kali
ini yaitu Booklet. Booklet merupakan salah satu bentuk inovasi media
pembelajaran dalam bentuk media cetak. Media ini memuat materi
pelajaran dalam bentuk fisik yang unik, menarik, dan fleksibel. Unik
karena bentuk fisik yang kecil lengkap dengan desain full colour yang
akan menumbuhkan rasa ketertarikan untuk menggunakannya.
Fleksibel karena bentuknya yang kecil (lebih kecil dari buku pada
umumnya), sehingga dapat dibawa dan digunakan dimanapun dan
kapanpun. Booklet didesain dengan menonjolkan gambar-gambar
yang lebih jelas dilengkapi dengan penjelasan yang merupakan intisari
dari materi yang terdapat di dalam buku paket yang digunakan peserta
didik. Booklet Obesitas ini berisi tentang :

1. Definisi Obesitas
2. Klasifikasi obesitas berdasarkan IMT
3. Cara pengukuran dan perhitungan IMT
4. Penyebab obesitas
5. Dampak obesitas
6. Cara mengatasi diet
7. Rekomendasi diet dan aktivitas fisik
b. Poster

Poster adalah ilustrasi gambar dengan ukuran besar yang berisi


bujukan untuk mempengaruhi orang, motivasi, gagasan atau peristiwa
tertentu yang bertujuan untuk menarik perhatian, menyampaikan
pesan tertentu sehingga mampu mempengaruhi dan memotivasi
tingkah laku orang yang melihatnya (Natasya, 2021). Poster yang
digunakan sebagai media promosi kesehatan berisi informasi
mengenai Isi Piringku dan Piring Makan Model T untuk Obesitas.

Isi Piringku merupakan acuan sajian sekali makan dengan aturan


pembagian makanan dalam 1 piring yaitu ⅓ porsi piring berisi
makanan pokok, ⅓ porsi piring berisi sayuran, ⅙ porsi piring berisi
lauk-pauk dan ⅙ porsi piring berisi buah-buahan.

Piring Makan Model T merupakan acuan sajian sekali makan untuk


mengatasi obesitas dengan mengatur pembagian makanan dalam 1
piring yaitu makan sayur 2 kali lipat dari jumlah makanan sumber
karbohidrat, makan makanan sumber protein dengan jumlah yang
sama dengan makanan sumber karbohidrat, makan sayur dan atau
buah dengan jumlah yang sama dengan makanan sumber karbohidrat
ditambah makanan sumber protein serta jumlah minyak yang
disarankan untuk pengolahan makanan adalah 3-4 sendok teh dalam
sehari.

c. Leaflet

Leaflet merupakan media yang digunakan untuk promosi kesehatan


berupa cetakan selembar kertas kecil yang memuat informasi sehingga
mudah dibagikan dan dibawa orang dengan tujuan untuk
menyebarluaskan informasi serta dicetak dalam jumlah banyak agar
dapat dibagikan kepada khalayak ramai yang menjadi target
penyampaian informasi (Naomi, 2020). Leaflet digunakan sebagai
media untuk menyampaikan informasi mengenai obesitas pada
intervensi kelompok.

Leaflet Obesitas berisi tentang :

1. Definisi Obesitas
2. Klasifikasi obesitas berdasarkan IMT
3. Cara pengukuran dan perhitungan IMT
4. Penyebab obesitas
5. Dampak obesitas
6. Isi Piringku
7. Rekomendasi aktivitas fisik
VII. Evaluasi
1. Intervensi Individu
Selama proses intervensi diperlukan membangun hubungan yang
kuat antara konselor dengan responden untuk membangun
kepatuhan responden terhadap komitmen yang telah ditetapkan
sehingga tujuan konseling dapat tercapai.
2. Intervensi Kelompok
Selama kegiatan penyuluhan, ibu yang hadir terbatas sehingga
penyuluhan berjalan kondusif.Namun ketika kegiatan pre test dan
post tes tidak berjalan kondusif karena responden saling bertukar
jawaban.
VIII. Rencana Tindak Lanjut (RTL)
1. Intervensi gizi dan saran mengenai aktivitas fisik dapat dilaksanakan
rutin setiap hari.
2. Intervensi gizi mengenai isi piringku dan makanan tinggi serat dapat
diterapkan minimal pada tingkat rumah tangga pada sampel ibu-ibu
arisan.

IX. Kesimpulan
Kegiatan promosi kesehatan dengan materi obesitas yang
dilaksanakan di RT 01 RW 12 Dusun Kambangan dengan sasaran ibu
arisan. Kegiatan ini dilaksanakan atas kejadian obesitas dikelompok ibu-
ibu yang ditemukan dari hasil skrining awal, yaitu ditemukan 67% ibu di
kelompok arisan memilki indeks massa tubuh >25 (6). Kegiatan ini berisi
pemaparan penyebab, bahaya, dampak, dan pencegahan obesitas.
Intervensi individu dilakukan pada ibu dengan IMT obesitas, yaitu 2
orang ibu. Intervensi individu dilakukan dengan metode door to door dan
pemberian konseling. Sementara intervensi kelompok menggunakan
metode penyuluhan dimana memungkinkan tumbuhnya suasana saling
support antar ibu untuk menurunkan berat badan dan mencapai
kesehatan optimal.
Berdasarkan hasil intervensi individu, 2 responden mengalami
penurunan berat badan dan peningkatan pengetahuan terhadap obeistas.
Sementara pada intervensi dengan penyuluhan, kelopok ibu-ibu
mengalami peningkatan pengetahuan. Dengan dilaksanakannya kegiatan
promosi kesehatan ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan ibu
terhadap bahaya dari obesitas sehingga angka obesitas pada ibu dapat
menurun sekaligus mendorong perilaku makan sehat pada tingkat
keluarga.
Dokumentasi

Skrining

Recall Sebelum Puasa R1 Recall Sebelum Puasa R2

Intervensi Individu R1 Intervensi Individu R2


Intervensi Individu R1 Intervensi Individu R2

Intervensi Kelompok
Lampiran
Media Konseling dan Penyuluhan
1. Leaflet
2. Model Isi Piringku

Anda mungkin juga menyukai