Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

“Hukum Menikah Disaat Hamil”

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Nama Dosen : Arifin S. PdI., M. SI

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3

1. NILAWATI
2. RAHMAWATI
3. SITTI HAJAR

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM DIPLOMA


TIGA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SEMBILAN BELAS NOVEMBER
2018
DAFTAR ISI

SAMPUL...................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal....5
B. Hukum menikahi wanita hamil karena zina.........................................6
C. Hokum menikahi wanita hamil yang menikah dengan orang yang
tidak menghamilinya............................................................................7
D. Status anak yang dilahirkan..................................................................9

BAB III PENUTUP


A. Simpulan...............................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada
kesempatan ini kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “Hukum
Menikahi Wanita Hamil”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Pendidikan Agama Islam Prodi D III Keperawatan tahun
ajaran 2018/2019.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan .Untuk
itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Kolaka, 22 Desember 2018

Kelompok 3

BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang

Kehamilan dapat terjadi  melalui perkawinan yang legal, maupun


melalui hubungan akibat pemerkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar
nikah yang disebut dengan perzinahan/prostitusi. Apalagi pergaulan bebas
antara muda mudi, seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal
yang tidak dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat
dilakukan pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah
telah menjadi problema yang membutuhkan pemecahan, sehingga terjadi
kegelisahan dikalangan masyarakat maupun para ulama, yang ditangan
merekalah terletak tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi
menyangkut masalah hukum islam/syari’at. Kebiasaan Orang tua yang
merasa malu karena putrinya hamil diluar nikah, mereka biasanya berusaha
menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang
bukan menghamilinya. Sekarang ini menikahi wanita hamil karena zina
bukanlah masalah baru karena pada zaman rasulullah juga pernah terjadi.
Padahal islam menganjurkan nikah dan melarang zina, karena zina adalah
sumber kehancuran.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau ditinggal


suami?
1. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil karena zina?
2. Bagaimana hukumnya wanita hamil karena zina menikah dengan orang
yang tidak menghamilinya?
3. Bagaimana status anak yang akan dilahirkan?

                                            
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Cerai Atau Suami Meninggal

4
Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa,
 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil,
hukumnya yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4
yaitu
 “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya)
maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang
siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”.
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah
sebelum janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu
demi menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah.
Pada ayat lain Allah SWT menjelaskan,
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru( suci) Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan).
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Al-Baqarah).
Ayat diatas menurut Ibn Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa
tunggu) karena kematian suaminya (Qs. Al-Baqarah:234). Disisi lain, ibn
Abbas dan Ali ibn Abi Thalib memandang ayat (Qs. Al-Thalaq:4 tidak terkait

5
dengan idah kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil
diambil waktu yang lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk
mengetahui keadaan rahim sebelum menikah.
Atas dasar ini, al-Razi berpendapat bahwa idah hamil itu sampai
kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini berlaku dalam segala keadaan (fi
jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil tidak hanya berlaku bagi wanita yang
dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan tetapi perempuan hamil akibat
perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja para ulama masih berbeda
pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi pezina yang hamil. 
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini
adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman
Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum
habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

B. Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina


Para ulama berbeda berpendapat  mengenai hukum menikahi wanita
yang hamil diluar nikah, apakah mereka dikenakan had(hukuman) atau tidak,
sebagian ulama berpendapat dikenakan had dan sebagian lagi tidak. Selain itu
diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa  wanita hamil karena zina
ada masa iddahnya, dan juga ada yang berpendapat tidak.

Menurut pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu:


1. Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Imam Hambali, membolehkan kawin
dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan yang
menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil yang
semacam ini tidak menyebabkan haramnya dinikahi.
2. Abu Yusuf dan Riwayat Imam Abu Hanifah, bahwa tidak boleh menikahi
wanita yang hamil karena zina, sebelum ia melahirkan, agar nutfah(darah)
suami tidak bercampur dengan tanaman orang lain.
3. Riwayat lain Abu Hanifah, bahwa perkawinan dengan perempuan berzina
yang hamil, sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/ hubungan badan
sebelum anaknya lahir.

6
4. Imam Muhammad As-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita yang
dihamili laki-laki lain hukumnya sah, tetapi haram baginya melakukan
hubungan  badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
5. Ibnu Qudamah, pendapatnya sejalan degan  imam muhammad As-
Syabani, namun beliau menambahkan bahwa, wanita itu harus terlebih
dahulu dipidana dengan pidana cambuk.
6. Prof. Abdul Halim Mahmud, bahwa akad nikah perempuan yang hamil
diluar nikah sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi, seperti
wali saksi, dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad
adalah hubungan zina, berdosa dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki
dan perempuan yang melakukannya, hukuman dan sanksinya disesuaikan
dengan  pelaku perzinahan.

C. Hukum Wanita Hamil Yang Menikah Dengan Orang Yang Tidak


Menghamilinya
Berdasarkan sebab turunnya surat An Nur ayat 3,dapat diketahui
bahwa Allah mengharamkan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya
menikahi wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga
kehormatan laki-laki yang beriman.
Ketentuan ini  diatur juga oleh undang-undang perkawinan maupun
KHI  pasal 3 yang berbunyi:
1. Seorang wanita hamil diluar nikah,dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat(1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.

Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara tegas mengatur bahwa


perkawinan hamil dapat dilakukan asalkan yang menikahinya adalah laki-laki
yang menghamilinya. Ketentuan ini juga sejalan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Al-Quran surat  An-Nur ayat 3 yang artinya “Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan
yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang

7
mukmin”. Persyaratan ini dipertegas lagi oleh surat Al-Baqarah ayat 221
yang artinya ”Bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil
diharamkan oleh Allah untuk menikahinya”. Perkawinan semacam ini juga
tidak perlu menunggu habis masa iddah wanita  hamil tersebut,dan tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.

Menurut  pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,


1. Abu hanifah dan imam syafi’i berpendapat bahwa, menikahi wanita hamil
yang dinikahi laki-laki lain hukumnya sah, karena tidak terikat dengan
perkawinan orang lain, dan boleh mengumpulinya karena janin yang telah
ditanam tidak akan ternoda oleh benih yang ditanam.
2. Imam Abu Yusuf, bahwa perkawinannya fasid(batal). Hal ini didasarkan
kepada ayat 3 surat An –Nur.
3. Imam Muhammad as-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita hamil
sah,tetapi haram melakukan hubungan badan ,sampai anak yang
dikandungnya lahir. Pemikirannya ini menghendaki pemisahan
perkawinan hamil dengan anak yang dikandung agar tidak terjadi ikhtilath
nasab/percampuran keturunan.
4. Malik dan Ahmad,tidak sah menikah dan tidak boleh bergaul,dimana
wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah aqad nikahnya,karena
tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.
5. Abu yusuf dan Zafar, karena wanita itu hamil dari  hubungan dengan
lelaki lain,maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita
hamil lainnya, karena hamil itu mencegah bersetubuh,maka juga
mencegah akad nikah,sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena
tujuan nikah itu menghalalkan hubungan badan dan apabila tidak
berhubungan badan maka pernikahan itu tidak ada artinya.

Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi Muhammad


S.A.W
“barang siapa yang beriman kepda Allah dan Hari Akhir maka
janganlah  menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” ( H.R.Abu Dawud)
dan dasar berikut ini, “perempuan hamil dilarang dinikahi sampai ia
melahirkan.” (H.R.Abu Dawud).

8
Drs.Cut Anwar,MA, mengatakan bahwa tidak sah menikah karena
larangan-larangan yang dikemukakan ayat Al-Quran yang secara tegas
melarangnya, dilihat dari sudut biologis dengan menikahi wanita yang tidak
halal digauli (untuk sementara) menjadi kesulitan bagi laki-laki, karena sulit
bagi seorang laki-laki membendung syahwat apalagi mereka tinggal serumah.
Ia juga khawatir apabila si laki-laki tergelincir melakukan larangan itu. Maka
menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada menikah tapi tidak boleh
berkumpul.
Sedangkan pernikahan dengan orang yang menghamilinya menurut
para ulama hukumnya sah, mereka boleh berhubungan layaknya suami istri.
Dan ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat 3, karena status
mereka sebagai pezina. Tetapi seorang yang menghamili wanita kemudian
melaksanakan akaq nikah, masalahnya tidak selesai, karena mereka telah
berdosa dan melanggar hukum Tuhan, maka mereka wajib bertaubat yaitu
taubat nasuha.Menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menzinahinya
adalah sah, apabila syarat dan rukunnya terpenuhi seperti wali, saksi, dan
mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina,
dosa dan pelanggaran hukum, laki-laki dan perempuan yang melakukannya
adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang biasa
yang dikenakan kepada pelaku perzinahan.

D. Status Anak Yang Dilahirkan

Pada dasarnya nasab anak zina  dihubungkan pada ibunya. Sesuai


dengan hadits Nabi “Al-Walidu Lil Firsasyi (seorang anak adalah milik
ibunya)”. Maka anak itu tidak di nasabkan kepada si ayah, walaupun si ayah
mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. 
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa dilegalkannya perkawinan
hamil antara lain adalah untuk memberikan kepastian pada kedudukan anak
yanag akan dilahirkan, sehingga silsilah keturunan anak tersebut dapat
dinisbatkan ,kepada ibu dan laki-laki yang menghamilinya.
Pemikiran M. Yahya ini juga telah terumuskan didalam pasal 99 KHI,
yang menyatakan anak yang sah adalah,
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

9
KHI membuka kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir
akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak sah,sekalipun anak itu
dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan dilaksanakan.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut
Dr. Wahab al Rakhly, mengupas hal ini dengan menetapkan
batasan waktu kelahiran seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang
lain yang lebih mengetahui tentang kehamilannya adalah si wanita itu
sendiri. Menurutnya bila bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak akad
maka  bayi itu di nisbahkan kepada suami dan kurang dari 6 bulan
dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa anak
itu adalak anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu dari hubungan
zina. Pengakuan ini menurutnya, menetapkan nasab kepada suami
berdasarkan aqad nikah yang lalu, karena orang islam harus berbuat baik
dan menutup aib.
Prof. Abdul Halim Mahmud, memang hukum positif mengakui
anak hasil zina tersebut sebagai anak yang sah dan memiliki hak-hak
hukum sebagaimana yang dimilki anak yang lahir dari pernikahan yang
sah, lain halnya menurut syariat islam.Islam sangat menjaga kesucian
kehormatan,dan kehidupan yang berbudi. Sebab, mengakui  anak hasil
hubungan diluar nikah sama dengan mengakui perzinahan dan buahnya.
Dengan demikian , islam menolak anak hasil hubungan di luar nikah. Dan
anak  hasil zina tidak memiliki hak waris dari laki-laki yang menzinahi
ibunya.
Menurut pendapat para ulama yaitu,
1. Jika laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya,
Para ulama sepakat bahwa status anak tersebut adalah anak
zina,dan nasabnya diberikan kepada ibunya,dan tidak ada nasab
dengan laki-laki yang menikahi ibunya dan sesudah ibunya
melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang
mengawininya ketika ia hamil.
2. Jika laki-laki yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya,
maka para ulama berpendapat bahwa,

10
 Jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan ,maka
status anak itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan
kepada ibu yang melahirkan. Tetapi jika pernikahan itu dilakukan
sebelum janin berumur 4 bulan ,maka anak itu dianggap anak sah
dari suami istri tersebut.
 Walaupun janin yang ada dalam kandungan wanita itu berumur
beberapa hari kemudian wanita itu dinikahkan dengan laki-laki
yang menghamilinya , maka anak yang dilahirkan tetap dipandang
sebagai anak zina,tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki
yang menghamili tadi,hal ini karena keberadaan janin itu dalam
kandungan lebih dahulu dari pada pernikahan dilaksanakan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus
menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu
sampai anak dalam kandungannya lahir.
Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan
pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula
yang mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah
dijelaskan bahwa wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan
hukum nya haram jika seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.
Pada dasarnya  nasab anak zina hanya dihubungkan dengan
ibunya.Sesuai dengan hadits Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak
hanya milik ibunya. Namun terjadi beberapa perbedan pendapat untuk
masalah ini.

B. Saran
Semoga kita terjaga dan dijaga dari pergaulan bebas yang semakin
gencar terjadi di sekeliling kita. Semoga Allah mempertemukan kita dengan
jodoh yang sama sama mukmin dan pandai menjaga kesucian diri serta
kehormatan diri. Aamiin.

12
DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi,Yusuf, Prof. Dr, dkk, 2009. Ensiklopedi Muslimah Modern. Depok:


Pustaka Iman. 
Drs. H. M. Anshary MK, S.H, M.H. 2010. Hukum Perkawinan Di Indonesia.
Pusataka Pelajar.
Zainuddin, Ali, M.A. Prof. Dr. H. 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Drs. Cut Aswar, MA. 1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:
Pustaka Firdaus.

13

Anda mungkin juga menyukai