Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
1. NILAWATI
2. RAHMAWATI
3. SITTI HAJAR
SAMPUL...................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal....5
B. Hukum menikahi wanita hamil karena zina.........................................6
C. Hokum menikahi wanita hamil yang menikah dengan orang yang
tidak menghamilinya............................................................................7
D. Status anak yang dilahirkan..................................................................9
2
KATA PENGANTAR
Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
4
Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa,
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil,
hukumnya yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4
yaitu
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya)
maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang
siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”.
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah
sebelum janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu
demi menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah.
Pada ayat lain Allah SWT menjelaskan,
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru( suci) Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan).
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Al-Baqarah).
Ayat diatas menurut Ibn Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa
tunggu) karena kematian suaminya (Qs. Al-Baqarah:234). Disisi lain, ibn
Abbas dan Ali ibn Abi Thalib memandang ayat (Qs. Al-Thalaq:4 tidak terkait
5
dengan idah kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil
diambil waktu yang lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk
mengetahui keadaan rahim sebelum menikah.
Atas dasar ini, al-Razi berpendapat bahwa idah hamil itu sampai
kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini berlaku dalam segala keadaan (fi
jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil tidak hanya berlaku bagi wanita yang
dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan tetapi perempuan hamil akibat
perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja para ulama masih berbeda
pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi pezina yang hamil.
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini
adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman
Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum
habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
6
4. Imam Muhammad As-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita yang
dihamili laki-laki lain hukumnya sah, tetapi haram baginya melakukan
hubungan badan hingga bayi yang dikandungnya lahir.
5. Ibnu Qudamah, pendapatnya sejalan degan imam muhammad As-
Syabani, namun beliau menambahkan bahwa, wanita itu harus terlebih
dahulu dipidana dengan pidana cambuk.
6. Prof. Abdul Halim Mahmud, bahwa akad nikah perempuan yang hamil
diluar nikah sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi, seperti
wali saksi, dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad
adalah hubungan zina, berdosa dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki
dan perempuan yang melakukannya, hukuman dan sanksinya disesuaikan
dengan pelaku perzinahan.
7
mukmin”. Persyaratan ini dipertegas lagi oleh surat Al-Baqarah ayat 221
yang artinya ”Bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil
diharamkan oleh Allah untuk menikahinya”. Perkawinan semacam ini juga
tidak perlu menunggu habis masa iddah wanita hamil tersebut,dan tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
8
Drs.Cut Anwar,MA, mengatakan bahwa tidak sah menikah karena
larangan-larangan yang dikemukakan ayat Al-Quran yang secara tegas
melarangnya, dilihat dari sudut biologis dengan menikahi wanita yang tidak
halal digauli (untuk sementara) menjadi kesulitan bagi laki-laki, karena sulit
bagi seorang laki-laki membendung syahwat apalagi mereka tinggal serumah.
Ia juga khawatir apabila si laki-laki tergelincir melakukan larangan itu. Maka
menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada menikah tapi tidak boleh
berkumpul.
Sedangkan pernikahan dengan orang yang menghamilinya menurut
para ulama hukumnya sah, mereka boleh berhubungan layaknya suami istri.
Dan ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat 3, karena status
mereka sebagai pezina. Tetapi seorang yang menghamili wanita kemudian
melaksanakan akaq nikah, masalahnya tidak selesai, karena mereka telah
berdosa dan melanggar hukum Tuhan, maka mereka wajib bertaubat yaitu
taubat nasuha.Menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menzinahinya
adalah sah, apabila syarat dan rukunnya terpenuhi seperti wali, saksi, dan
mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina,
dosa dan pelanggaran hukum, laki-laki dan perempuan yang melakukannya
adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang biasa
yang dikenakan kepada pelaku perzinahan.
9
KHI membuka kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir
akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak sah,sekalipun anak itu
dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan dilaksanakan.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut
Dr. Wahab al Rakhly, mengupas hal ini dengan menetapkan
batasan waktu kelahiran seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang
lain yang lebih mengetahui tentang kehamilannya adalah si wanita itu
sendiri. Menurutnya bila bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak akad
maka bayi itu di nisbahkan kepada suami dan kurang dari 6 bulan
dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila si suami mengatakan bahwa anak
itu adalak anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu dari hubungan
zina. Pengakuan ini menurutnya, menetapkan nasab kepada suami
berdasarkan aqad nikah yang lalu, karena orang islam harus berbuat baik
dan menutup aib.
Prof. Abdul Halim Mahmud, memang hukum positif mengakui
anak hasil zina tersebut sebagai anak yang sah dan memiliki hak-hak
hukum sebagaimana yang dimilki anak yang lahir dari pernikahan yang
sah, lain halnya menurut syariat islam.Islam sangat menjaga kesucian
kehormatan,dan kehidupan yang berbudi. Sebab, mengakui anak hasil
hubungan diluar nikah sama dengan mengakui perzinahan dan buahnya.
Dengan demikian , islam menolak anak hasil hubungan di luar nikah. Dan
anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari laki-laki yang menzinahi
ibunya.
Menurut pendapat para ulama yaitu,
1. Jika laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya,
Para ulama sepakat bahwa status anak tersebut adalah anak
zina,dan nasabnya diberikan kepada ibunya,dan tidak ada nasab
dengan laki-laki yang menikahi ibunya dan sesudah ibunya
melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang
mengawininya ketika ia hamil.
2. Jika laki-laki yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya,
maka para ulama berpendapat bahwa,
10
Jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan ,maka
status anak itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan
kepada ibu yang melahirkan. Tetapi jika pernikahan itu dilakukan
sebelum janin berumur 4 bulan ,maka anak itu dianggap anak sah
dari suami istri tersebut.
Walaupun janin yang ada dalam kandungan wanita itu berumur
beberapa hari kemudian wanita itu dinikahkan dengan laki-laki
yang menghamilinya , maka anak yang dilahirkan tetap dipandang
sebagai anak zina,tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki
yang menghamili tadi,hal ini karena keberadaan janin itu dalam
kandungan lebih dahulu dari pada pernikahan dilaksanakan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus
menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu
sampai anak dalam kandungannya lahir.
Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan
pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula
yang mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah
dijelaskan bahwa wanita pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan
hukum nya haram jika seorang mukmin menikahi laki-laki pezina tersebut.
Pada dasarnya nasab anak zina hanya dihubungkan dengan
ibunya.Sesuai dengan hadits Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak
hanya milik ibunya. Namun terjadi beberapa perbedan pendapat untuk
masalah ini.
B. Saran
Semoga kita terjaga dan dijaga dari pergaulan bebas yang semakin
gencar terjadi di sekeliling kita. Semoga Allah mempertemukan kita dengan
jodoh yang sama sama mukmin dan pandai menjaga kesucian diri serta
kehormatan diri. Aamiin.
12
DAFTAR PUSTAKA
13