Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA KEPEMIMPINAN

BATAK TOBA TRADISIONAL


(Suatu Pendekatan dari Sudut Sejarah
dan Antropologi Budaya Batak)
Pendahuluan
1. Melalui tema ini, hendak dijelaskan suatu hal mengenai: “Paradigma
Kepemimpinan Menurut Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu
pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya Batak). Pada
posisi ini, penting bagi mahasiswa memahami secara mendalam inti
tekanan tema ini sebab mahasiswa dapat diharapkan mampu
mengaktualisasikan diri di tengah pelayanan. Mengingat gereja dan orang
Kristen sekarang sedang berada pada titik balik sejarah dunia (sejarah
gereja) di mana banyak terjadi perubahan yang memang nyata sulit
dibayangkan beberapa decade yang lalu. Gereja sedang menghadapi
realitas dunia dengan fenomena baru yang bergerak cepat dan sering
disebut sebagai “Globalisasi”. Pada decade terakhir ini, kecepatan
globalisasi nyata sungguh luar biasa, kecepatan ini didukung oleh
liberalisasi ekonomi dan teknologi informasi yang demikian canggih dan
nyata sudah meruntuhkan banyak birokrasi dan batas-batas Negara dan
wilayah. Nilai-nilai positif dan negatif, ancaman dan peluang datang
silihberganti dan secara bersamaan dengan femomena dimaksud.
Sekarang tergantung kepada gereja (umat Kristen) umumnya, khususnya
kepada mereka yang dipercayakan pemimpin diharapkan dapat
mempergunakan keadaan ini untuk mendatangkan berkat dan kebaikan,
atau justru membiarkan perubahan berjalan begitu saja dengan
konsekwensi akan tergilas jaman.

2. Sejauh penelitian (dosen pengampu kuliah ini) dilakukan tentang teori-teori


kepemimpinan (pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak
teori serta defenisi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya,
kalau ditanyakan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya
mungkin menjawab melalui defenisi yang berbeda-beda. Contohnya
Robert K. Greenleaf,1 ia mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba
mendefenisikan kepemimpinan mengatakan bahwa: “kepemimpinan
adalah kapasitas dan kemauan mengarahkan orang untuk tujuan
bersama dan karakter yang mengilhami keyakinan”. Ada yang
mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah “dia yang memahami
dengan jelas apa yang dibutuhkan dan apa yang benar dan mengetahui
bagaimana menggerakkan orang yang dipimpin dan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan berama”. Selanjutnya dalam buku yang sama,
Greenleaft mengutip pendapat Howard Gardner 2 berkata: “seorang
pemimpin adalah sebagai orang yang banyak mempengaruhi pemikiran,
sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”. Dikatakan juga bahwa
kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk menggerakkan orang
bekerjasama dengan entusiasme untuk mencapai tujuan bersama”. Dari
banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau
kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam
sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Istilah
1
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate
Power And Greatness (New York: Paulist Press: 1991) hl. 32-36
2
Greenleaft., Ibid
entusiasme di sini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-
orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik
demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam
bukunya Greenleaft3 menyarankan suatu model dan konsep dalam
kepemimpinan yang disebutnya sebagai: “Servant Leadership”
(kepemimpinan hamba) mengatakan bahwa “pemimpin hamba pertama-
tama ia harus bertindak sebagai hamba, itu dimulai dengan perasaan
alamiah bahwa dia benar-benar ingin untuk melayani kemudian dengan
pilihan secara sadar akan menuntun dia untuk ingin memimpin”.

3. Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak


Tradisionil dulu (sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan
bentuk dan gaya kepemimpinan dan pemerintahan dalam
masyarakatnya?” Inilah yang menjadi pertanyaan dasar dan kokoh
melalui studi tema ini, tentu adalah tidak mudah menjawab dan
menjelaskan ini. Mempertimbangkan pernyataan para ahli 4 di mana
hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan system politik
dan pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak dahulu (pada
jaman tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan sebelum
berkuasanya kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan
pemerintahan yang teratur dan tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa
seperti Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan lain sebagainya”.
Hingga masa penelitiannya, B. A. Simanjuntak, 5 tidak yakin bahwa ada
satu kerajaan yang betul-betul seperti kerajaan-kerajaan di negeri Eropa
pada abad pertengahan, terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada kerajaan
yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti
kerajaan-kerajaan di Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah
Batak sebelum pengaruh kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur
antara organisasi formal dengan adat istiadat yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat, bahkan “adat merupakan landasan
pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak tradisionil pemerintahan
masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi (sangat berhubungan
integral) dari adat.6 Tekanan pokok yang hendak disampaikan melalui
penjelasan ini adalah bahwa: “sampai saat kedatangan Belanda (juga
sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke Tanah Batak, kecuali untuk
pembayaran upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan orang
3
Greenleaft, Ibid
4
Lih. Prof. Bungaran A Simanjutak, Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah
Tesis B. A. Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di Leiden Belanda, yang
bahan penelitian topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976
sebelum penulis kuliah di Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (selesai
1978 ). Fokus perhatian penulis dalam buku ini adalah perkembangan social budaya yang
sangat cepat dewasa ini telah menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan
kehidupan social orang Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten
Tapanuli. Perkembangan itu sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan
pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar
suku bangsa. Perubahan yang terjadi itu, pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan
system social masyarakat Batak Toba secara keseluruhan.
5
B.A. Simanjuntak, Ibid.
6
Masyarakat Toba pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi
politik dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh masing-
masing raja (pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka merupakan bagian
dari jaringan yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan hubungan dan
keanggotaan marga dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih besar (bius). Lih.
Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius
Batak toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68
Batak terhadap bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”. 7 Artinya,
ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu system
pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya
maupun social kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin
bagi secara umum suku Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga
dalam masing-masing (tidak kepada semua anggota kelompok satu suku)
suku, termasuk: “raja-imam Batak Sisingamangaraja”. Pernyataan ini
semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle mengungkapkan bahwa:
“sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba) hampir tidak
mengenal Negara”.8 Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat
motivasi penulis melakukan studi ini sekaligus merumuskan judul seperti
diuraikan di atas. Penulis sadar betul bahwa penelitian dan penjelasan
tema ini masih belum representative menguraikan dan menjelaskan
konsep kepemimpinan Batak Toba secara detail seperti dijelaskan di
atas. Tulisan ini hanya sebagai usaha dari seorang Pelayan (Pendeta)
yang sedang studi dan berusaha belajar, bertanya dan menggumuli dan
lain sebagainya tentang: “Paradigma Kepemimpinan Tradisionil Batak
Toba”. Penulis berharap, akhirnya tulisan ini dapat menjadi
representative sebagai bahan bacaan bila pembaca memberikan kritik
(dukungan) dan kontribusi (sumbangan) pikiran yang tentu membangun
wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak Toba tentang
kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan: “Sebuah
pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya (Batak Toba)” di
mana melalui pendekatan ini, penulis berharap dapat dengan mudah
mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas (pokok-pokok
pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini menurut
tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.

Selayang Pandang Tentang Batak Toba Tradisionil


4. Secara ginealogis-antropologis, ada enam (cabang) suku yang mendiami
wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau Sumatera di mana ke
enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni:
“Karo, Pakfak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing” yang
masing-masing (cabang) suku ini memiliki dialek (bahasa) tersendiri.
Hingga pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an), semuanya masih
sangat sulit menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik secara
antropologis maupun cultural9. Artinya, masing-masing suku masih sangat
7
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1992) hl. 15. Dengan mengutip
pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa: “kehadiran Raja na Opat tidak
memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa Batak”.
Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane,
Siantar, dan Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung
terdapat lembaga “Raja na Opat”, di mana Raja na Opat memperoleh gelarnya dari
seorang pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah keturunan
Minangkabau. Raja na Opat di Silindung menyandang gelar: Rangkae Tua (yakni di
tengah marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di
tengah marga Hutabarat Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja Ilamuda (di tengah marga
Hutauruk, Situmeang dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea,
Lumbantobing dan Hutagalung). Ke empat Raja na Opat di Silindung merupakan “Raja
bawahan” dari raja-Imam Sisingamangaraja.
8
Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-
1940 (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di
kampung-kampung yang disebut huta di mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai
“raja ni huta” yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya. Penghuni kampung
tidak tunduk secara politis kepada otoritas yang lebih tinggi.
9
Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,
1996) hl., 1-2. Penjelasan ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku
Batak yang temasuk rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun 1825 tidaklah
tertutup satu sama lainnya namun sifat tertutup ini mulai terbuka setelah
berlangsungnya penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan
daerah Batak (pada tahun 1830-an) yang kemudian disusul dengan
masuknya Reinse Zending (Rheinische Missionsgesellschaft: RMG)
sebuah badan penginjilan dari Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah
berpengaruh kepada system struktur social dan hukum Batak. Untuk
membuktikan pengaruh Hindu terhadap sturktur social dan hukum Batak,
J. Tiedeman dan Harry Parkin masing-masing telah menulis buku
berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian Utara Tanah Batak/Hindoe Invloed in
Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun 1936 di Amsterdam
Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul “Pengaruh Hindu
Kepada Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu Thought”. Menurut Bisuk
Siahaan10, agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih mendalam dari sudut
penguraiannya sebab Parkin menjelaskan persamaan dan perbedaan
antara kebudayaan dan kepercayaan Batak Toba dengan orang Tamil
yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin, 11 ada lima belas
kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup dan
kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil di Lobu
Tua Barus; bahasa Sanskerta dalam perbedandaharaan kata Batak
Toba; Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan astrologi; biara dan candi
Budha-Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah Jawa
Simalungun; budaya megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan;
konsep Debata Mula Jadi Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na
Ualu; Bindu Matoga; Hariara Jambu Barus”.

J.R. Hutauruk mengatakan12: “berkenaan dengan masa hingga sebelum


tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa ada suku-suku Batak yang
tunggal di mana keanekaragaman dialek Batak sangat mengisayaratkan
keterasingan mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat sama
sekali pengaruh Islam dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13,
melalui perdagangan dan agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh,
Minangkabau dan Melayu, maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis
dan politis berhadapan dengan suku-suku tetangganya, kaum Batak,
maka terjadilah hubungan yang mengakibatkan orientasi keagamaan dan
politis yang baru bagi kaum suku Batak. Untuk suku Karo misalnya, bagi
yang bermukim di Dusun lama: kelamaan terpengaruh oleh kesultanan
Islam-Melayu di Langkat, Deli dan Serdang, sedangkan yang bermukim di
pegunungan tetap bebas dari pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi
suku Simalungun di daerah Simalungun Hilir, khususnya di
Pematangsiantar dan Bandar terdapat beberapa orang Melayu Islam.
Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah memeluk Islam sebelum
permulaan penjajahan Belanda di Simalungun, misalnya raja

beragama Hindu, Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah
1825 sangat ditentukan oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama
Islam (suku-suku Aceh di Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan
Minangkabau dari Sumatera Barat). Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen
melalui ekspansi perekonomian dan pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit.,
hl. 10-11
10
Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan
terhadap pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu
hanya terbatas pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal, dan tulisan.
Sedangkan mengenai kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh
dipengaruhi oleh Hindu.
11
Ibid., hl. 45
12
J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11
Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai
perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di
Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan
para saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh
Islam dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai
Timur, hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan
Sibolga sudah didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852,
orang Batak Toba mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap
merupakan pusat penting untuk perdagangan orang Batak Toba dengan
Melayu Islam. Ke Selatan dari daerah pemukiman Batak Toba, terdapat
pemukiman suku Batak Angkola dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan
tidak diragukan bahwa mereka adalah keturunan suku Batak Toba.
Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam Minangkabau, sebelum
tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama Islam.

Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Toba Tradisionil


5. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom
Rajamarpodang13 menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon
Batak Toba pada masa yang lalu, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara
dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk menjelaskan
system pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa
menurut keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan Na Tolu (Tungku Nan
Tiga)”14 adalah merupakan penerapan kuasa Mulajadi Na Bolon di bumi
ini. Wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang
dianut sebagai: pertama, Debata Na Tolu pada fungsi kebijakan. Kedua,
Batara Guru pada fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori
Sohaliapan/ Debatabalabulan pada fungsi kekuatan. Orang Batak yakin
bahwa setiap pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai
dengan Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na
Bolon. Keyakinan inilah yang membuat maka setiap pemimpin Harajaon
Batak menjadi kepala pemerintahan, pemimpin ugamo sekaligus Raja
Adat. Hal ini jelas kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin
Harajaon Batak.15 Inilah yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu
tidak mendirikan istananya karena istananya sendiri adalah rakyatnya
sendiri.16 Sejak munculnya Siraja Batak (sebagai asal/nenek moyang
13
DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV.
Armada, 1992) hl. 422.
14
Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku
Yang Tiga Batu-nya” (tungku yang disanggah oleh tiga batu). Tungku adalah alat
memasak. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga
batunya sebagai lambing struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan
penting dalam struktur social masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga
pemberi isteri), boru (kelompok marga penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan
tubu (kelompok marga yang satu asal perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga:
B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100
15
Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di
Pusuk Buhit yang kemudian pindah ke Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja.
Harajaon Batak tradisionil terbagi atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang
disebut sebagai Raja Maropat yang masing-masing wilayah meliputi: Raja Maropat
Samosir dengan daerah Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja Maropat Humbang dengan
wilayah daerah Humbang hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil). Raja
Maropat Silindung dengan wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan
perbatasan Pagaruyung. Raja maropat Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke
pantai Timur perbatasan dengan Riau (Kerajaan Johor).
16
Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian ini dibicarakan system pemerintahan Batak
Toba, maksudnya adalah bahwa dalam system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah
yang terus hidup di dalam bentuk budaya.
semua orang Batak), ia terlebih dahulu mengkonsolidasikan
pemerintahannya untuk melanjutkan kuasa kerajaan Batak dengan
terlebih dahulu menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara
dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na Tolu sesuai dengan
pandangan kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi Nabolon. Siraja Batak
adalah kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, pemimpin
keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan belum dapat dijalankan
sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara maka jalan satu-
satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan masyarakatnya
dengan keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan adat istiadat
sudah dapat dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal pemerintahan
belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian yang sebenarnya
menurut hukum ketatanegaraan. Sementara itu nyata bahwa sudah
datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi pandangan
masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja, paham-
paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi
hayat masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah
berhasil, tetapi bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan
ketatanegaraan masih jauh dari pada tujuan. Pada tahap ini juga masih
ada yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja bukanlah Raja Batak,
tetapi adalah seorang pemimpin Batak yang dapat memimpin masyarakat
Batak. Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan nampak pada
pemerintahan Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara
pimpinan pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan
adat17”. Menegaskan hikmat pernyataan ini, Bisuk Siahaan 18 mengatakan:
“hampir di semua tempat di Toba dapat ditemukan mata rantai yang
menghubungkan antara marga dan huta, antara kelompok suku dan
daerah asalnya. Hubungan tersebut tidak selalu jelas terlihat dan tidak
mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal. Terdapat tiga factor utama
yang mengikat penduduk sehingga bersedia tinggal di suatu tempat yaitu,
kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan dan wilayah tempat tinggal
yang sama”. Ikatan yang paling menonjol adalah kesamaan silsilah dan
kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih longgar dan tidak
sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur identitas yang
sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna menjelaskan
system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat tradisionil Batak
Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system struktur
masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius, Horja dan Huta.

Bius
6. Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak
dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius
adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak
Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat.
Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius
disebut sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon
maksudnya banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja
karena berada di luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat
panjang, penyakit kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen
yang gagal dan lain sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta
perlindungan maka penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan
semua marga yang tinggal diwilayah yang tertimpa bencana.
Persekutuan inilah yang disebut sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan
17
Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
18
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.
gabungan beberapa horja yang terdapat dalam satu kesatuan territorial
yang memiliki identitas social tertentu. Marga-marga yang menjadi
anggota suatu Bius memiliki wilayah yang berbeda. Karena itu mereka
merasa bahwa sombaon yang terdapat di wilayah mereka harus dipuja
secara bersama-sama, supaya dewata dapat memberi beri berkat dan
ketenteraman di antara mereka.19 Pusat kegiatan Bius disebut dengan
Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja Bius adalah
Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat
kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam
mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan
raja-raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga
yang diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi
persetujuan dari rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata
pembangunan demi kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih
Raja Na Opat Bius20 sesuai dengan keahliannya berfungsi merencanakan
dan menata mengenai bidang kepercayaan rakyat Bius. Menurut
fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut keberadaannya) berasal dari Raja
Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili anak sibulang-bulangan marga.
Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja. Raja-raja Bius inilah sering
disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat kebijaksanaan
masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga. Masing-masing
Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan adalah
pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada
Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta)
adalah Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat
berperan bagi setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi
sebagai wakil rakyat dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang
dipercayakan kepada Raja Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada
Horja menugasi para Parhobas sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja
Na Opat Bius membuat rencana rutin tahunan program kegiatan untuk
dilaksanakan Uluan Horja tiap tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk
mengayomi program. Raja-raja Bius di dalam kesepakatan pada
Mangajana (sidang umum) menetapkan semua hal yang berkaitan
dengan aspek kehidupan masyarakat Bius, misalnya untuk perburuan
demikian dalam hal perikanan termasuk semua bentuk gotongroyong.
Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan kepada Ihutan melalui
Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah itu dilaksanakan
dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila perintah
(tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan
program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja
Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja
Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius,
Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum,
baik yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di
tangan Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa
menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan
Raja-raja Bius. Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang
19
B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186
20
Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi
merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin
berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan
Bius. Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai
perekonomian Bius. Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja
Bius. Ulu Bius ini pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus
Interpares yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat,
pimpinan keagamaan dan pimpinan pemerintahan.
pemilik hikmat kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat
Batak Toba ikatan yang paling mendasar bagi pengembanan aspek
hukum, ini dilihat dari segi kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi
masyarakat Toba mengingkari perintah dari Ihutan termasuk perintah dari
Raja-raja Bius, setiap perjanjian baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini
sangat kuat dan sulit dibedakan nilainya. Ungakapan Batak Toba
mengatakan “Hori ihot ni doton, hata siingoton” artinya bahwa: “kata-kata
sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini didelegasikan kepada Raja Na
Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja dan seterusnya kepada Raja
Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta. Dalam hal rapat ketua
sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli21, tetapi harus dari marga
siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi ketua dan
dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu bukti
bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal
pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah
maupun dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi
dari Bius. Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka
satu-satunya jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji
(mencoba) antara orang yang diadili di pengadilan Bius.

Horja
7. Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada
yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang
marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta
sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan
kuno, maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau.
Pengertian lain dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang
didasarkan kesatuan memakan daging dari perkawinan boru (sahorja
mangan tuhor ni boru-sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang,
Horja diartikan sebagai wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja.
Di Tapanuli Selatan Horja diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A.
Simanjutak22 memberikan defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum
pertanahan adat yang dalam hal ini Horja sebagai wilayah marga atau
territorial marga. Horja adalah struktur dan organisasi wilayah yang terdiri
dari beberapa wilayah Huta, di mana kepala/pimpinan Horja dinamakan
sebagai Raja Parjolo (raja terdepan) yang didampingi oleh beberapa Raja
Partahi (raja perencana). Dalam masyarakat Batak, pesta horja hanya
dilaksanakan oleh mereka yang semarga. Bisuk Siahaan 23
mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi atau persekutuan
bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan sifat
persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai horja
hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang
masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan,
meskipun di antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap
sebagai anggota keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain,
misalnya untuk kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya,
21
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang
paling kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan
Raja Doli bisa diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja
Doli, dia bersama pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi
percekcokan hingga akhirnya dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli
adalah mendamaikan perselisihan yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan
peraturan untuk pepentingan umum, misalnyamemasang saluran air, melakukan
pengamanan bersama bahkan memaklumkan perang.
22
B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180
23
Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
federasi horja adalah masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah
menjadi masyarakat hukum, yang secara langsung mengurus
kepentingan duniawi warganya. Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan 24
mengenai Horja mengatakan bahwa menurut tugasnya, Raja Parjolo
sebagai pimpinan Horja, ia berhak menyatakan perang dan mengatur
pekerjaan pekerjaan besar yang ada kaitannya dengan kepentingan
anggota. Dan juga mengatur persiapan horja rea25 (pesta persembahan
besar) dan membawakan doa-doa ritual (martonggo) walau pemimpin
upacara martonggo tetap ada pada parbaringin.26 Tugas dan wewenang
parbaringin dalam ritual keagamaan adalah mempersembahkan kurban
kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon, sombaon dan roh leluhur”. Selama
menjalankan tugasnya parbaringin harus menyisipkan ranting beringin di
serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia disebut parbaringin
(parsanggul beringin).

Huta
8. Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C.
Vergouwen27, mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak
Toba sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang
hidup dan terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain
secara alami, dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak
mereka lahir, tempat yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”.
Ciri yang menonjol dari umumnya huta (kampung) orang Batak,
umumnya dikelilingi oleh parik (tembok yang terbuat dari tanah atau batu)
yang tingginya sampai dua meter dan lebar satu meter. Keliling huta
(tembok) biasanya selalu ditanami oleh pohon bambu duri yang gunanya
sebagai benteng untuk melindungi huta dari serangan musuh.28 Huta
merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang berasal dari satu nenek
moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga pendiri huta disebut
marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal di huta
dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak
terdapat raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi
oleh pandua (orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut
bersama dengan marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang
mengatasinya dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut
sosor/pagaran. Alasan lain mendirikan huta karena ada pertentangan
atau perkelahian di antara penghuni sebelumnya. Demikian dengan
keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau karena ingin
mandiri (manjae) dan memiliki kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta

24
Bisuk,., Ibid., 156-157
25
Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen
diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda daerah horja atau
memohon kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada
pasangan yang sudah lama menantinya.
26
Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara
mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta,
pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk
dan menetapkan seorang dari turunan parbaringin sebagai pewaris. Penunjukan ini
diumumkan pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan
parbaringin) yang dihadiri semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin
mengucapkan tonggo-tonggo kemudian melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl.
159
27
Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata
Azet, 1985) hl. 119
28
Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
induk.29 Menurut Tampubolon30 selanjutnya bahwa sejak penjajahan
Belanda menguasai tanah Batak dan membawa struktur pemerintahan
baru serta menerapkannya di kalangan masyarakat Batak, maka
pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab keinginan untuk
memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut Hampung (dibaca:
happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini dapat ditegaskan
bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang kepada anak
cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga raja
(pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara
musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur
pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat
keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan
biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.31

9. Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan


sebenarnya dimulai dari huta yang dipimpin oleh Raja32 Huta/Tunggane
Huta (Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat
Keluarga berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke
tingkatan yang lebih atas adalah Lumban yang dipimpin oleh Raja Jolo
Marga Lumban dan didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Marga
Lumban berdasarkan kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu.
Vergouwen33 mengatakan: “hak memerintah di huta (harajaon) adalah
hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilinear langsung sipendiri”.
Walau menurut peraturan hukum hak itu dipangku oleh satu orang dan
mungkin hanya terbatas pada cabangnya, keturunan lain pendiri
mendapat manfaat juga dari padanya. Mereka tidak boleh diusir dari
kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang tidak boleh diganggu
gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya jika mereka
menghendaki demikian. Jadi harajaon adalah semata-mata hak istimewa
galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang lebih besar atau dari
marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah
harajaon Batak, sebutan untuk raja huta nampak berbeda. Di Samosir
raja huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat lain
kadang-kadang dipanggil sebagai siboan bunti (pembawa persembahan).
Sebagai siboan bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung
dan penegakan hukum serta ketertiban dan displin. Dia merupakan
keturunan patrilinear pendiri kampung yang menjadi raja huta pertama.
Jabatan ini, jika mungkin diturunkan dari bapak ke anak atau kepada
uaris (ahli waris). Jaman tradisionil Batak, dari kepala kampung dituntut
satu kwalitas yang lebih banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama
aneka ragamnya dengan banyaknya aspek kehidupan kampung.

Tugas-tugas ini dapat diuraikan sebagai berikut 34:


29
I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon
Siregar, 1968) hl. 7
30
Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara magis, sesekor ayam dipotong
dimasukkan ke dalam ampang kemudian dilihat ketak ayam mati tersebut di dalam
denah peta magis yang sudah disediakan.
31
Ibid.
32
Penting juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat
mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala
pemerintahan).
33
Vergouwen, Op.Cit., hl. 126
34
Ibid. Di Silindung, galur besar atau cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling
raja jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang kepala yang
berhasil membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang lebih besar yang ke
dalamnya ia terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang berkaitan dengan
a). Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan
temboknya, ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil
menjalankan pengawasan atas tanah kampung.
b). Memutuskan apakah sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk
memberi tempat kepada rumah baru, ataukah tetap saja begitu, ia
membimbing perilaku hukum warga dan membantunya jika ada
tuntutan terhadap siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang
membuat terlalu banyak kesulitan kepadanya.
c). Membimbing perundingan pertunangan jika putera-puteri mereka akan
kawin.
d). Dia mewakili kepentingan kampung dan kerabatan seketurunan jika
terlibat urusan dengan dunia luar. Walau pun dalam tahun-tahun
belakangan ini, agak terdesak ke belakang ia masih tetap sebagai
pembesar kampung yang menjalankan perintah dari pembesar yang
lebih atasan.
e). Bertanggungjawab atas penyelenggaraan peradilan. Penduduk
kampung harus menerima kepemimpinannya dan dibimbing olehnya
dan sebagai buktik harus menghormatinya dalam transaksi seperti
perkawinan, penjualan ternak, pelepasan tanah dan lain sebagainya
dan menyerahkan sesuatu sebagai penghormatan, upa raja. Dia pada
pihaknya biasanya memeinta pendapat bawahannya yang tua-tua
(natua-tua atau pangituai).
f). Dari yang paling terkemuka di antara mereka ini (Na Mora Boru),
orang terpenting dari kalangan marga penumpang, ia menerima
dukungan secara teratur terutama jika soalnya menyangkut
perbedaan pendapat antara ia dan anggota galur seketurunan, namun
kata terakhir ada padanya.
g). Jika terpaksa ia dapat menggunakan kekuasaannya sebagai kepala,
agar perintah yang dikeluarkannya dipatuhi. Ia adalah pemerintah dan
polisi sekaligus dan di masa dulu dia kadang-kadang menenpatkan
pasungan di dekat rumahnya sehingga ia dapat mengendalikan
penduduk yang tidak mau tunduk dengan cara yang terhormat kepada
perintahnya.

Sudah barang tentu hanya orang berwibawa yang lebih unggul dari
penduduk kampung dan yang kata-katanya tidak dianggap enteng yang
bisa menjadi kepala kampung yang sukses (yang ototritansya dirasakan).
Intinya, bagi persekutuan tradisionil Batak kedudukan kepala kampung
sangatlah penting. Dalam praktek kadang-kadang ia tidak mempunyai
kesempatan yang banyak untuk memperlihatkannya.

Struktur Sosial Batak Tradisionil


keamanan dan perang dan juga dengan urusan “dalam negeri wilayah”. Dalam hal
mempertimbangkan sesuatu dia dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya
kepala cabang-cabang yang menjadi komponennya. Tetapi jika seseorang yang tadinya
merupakan tokoh kuat kehilangan pengaruh dalam urusan wilayah, atau jika
pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia termasuk lebih kecil dari pada yang lain di
dalam kelompok yang lebiih besar maka persaingan orang antara sesama dan
pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan segera muncul ke permukaan dan
wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa terpecah ke dalam sempalan-
sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis dan pribadi memainkan
peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh keinginan untuk memihak
kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha ni harajaon). Hal
seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan juga di Humbang Tengah dan
Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang
keadaannya tidak terlalu beberbeda.
10. Dalam masyarakat Batak Toba unsur yang dapat menjelaskan struktur
social masyarakatnya adalah “struktur kekerabatan” dan “system
perkawinan” serta “dalihan na tolu”. Unsur-unsur ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:

a. Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam struktur kekerabatan Batak adalah Marga.
Orang Batak mengenal marga dengan arti: “satu asal keturunan, satu
nenek moyang, sabutuha, artinya satu perut asal”. Karena orang
Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka
dengan sendirinya marga juga berdasarkan garis keturunan bapak.
Sejarah lahirnya marga ini didasarkan pada nenek moyang laki-laki.
Menurut Simanjuntak35, Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah
merupakan bapak pertama dari marga-marga di kalangan orang
Batak. Karena sebelumnya mereka belum punya induk marga, hanya
satu moyang yaitu si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga
adalah merupakan satu kesatuan kelompok yang mempunyai garis
keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama. Satus
social orang Batak sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan
social orang Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan
partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga
maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Fungsi lain dari
marga adalah untuk menentukan kedudukan seseorang di dalam
pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan
yang di namakan dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dasarnya, dengan
mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri saudara), saudara
perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan
kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang
menentukan status dan kedudukan social setiap orang Batak dalam
hubungan social adat maupun kehidupan sehari-hari.

b. Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan dalam masyarakat Batak adalah perkawinan
dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya system eksogami
yakni patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang, kalau terjadi
sumbang (incest) di dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan
oleh mereka yang masih sangat dekat hubungan kekerabatannya
maka keduanya dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun
marganya). Maksud dari larangan ini adalah agar hubungan
kekerabatan tidak menjadi kacau dan tidak menjadi terbalik-balik juga
agar hubungan social di dalam struktur masyarakat tidak menjadi
kacau atau rusak. Demikian dengan kedudukan sebagai hula-hula
tidak menjadi jatuh. Karena kalau terjadi demikian, maka boru menjadi
hula-hula dan hula-hula yang pertama menjadi boru. Ini sama sekali
tidak dikehendaki di dalam satu keluarga dekat.

c. Dalihan Na Tolu
Banyak ahli mengatakan bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi
struktur kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system
kepemimpinan dan pemerintahan Batak. Dalihan Na Tolu hanya
terbatas pada lingkup persaudaraan sehari-hari saja. Namun
pandangan berbeda dikemukakan oleh Togar Nainggolan 36
menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di dalam komunitas
35
B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80
36
Togar Nainggolan, Op.Cit., hl. 78-79
system Dalihan Natolu ada terbentuk system pemerintahan Batak
yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”. Panungganei
adalah badan legislative dan iudikatif, ia yang membuat aturan dan
memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di huta.
Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin oleh raja
huta (kepala dalam huta). Raja huta melaksanakan aturan bersama,
yaitu mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu
orang yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat
kepada marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang
penyesuaian adat dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari
marga raja atau dari marga lain. Orang pendatang yang tidak
termasuk anggota Dalihan Na Tolu yang disebut paisolat
(penumpang) boleh memberi suara pada rapat paripurna (rapot)
godang.

Tekanan Kolonialisme Belanda Terhadap Sistem


Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Tradisionil
9. Tahun 1833, saat ini adalah merupakan awal masuknya pengaruh
pemerintahan formal dan modern di tanah Batak yakni melalui
pemerintahan kolonialisme Belanda. Sebelumnya, disebabkan oleh
situasi dan kondisi yang kurang tepat (oleh pertimbangan pemerintah
colonial Belanda), baru pada tahun 1886 tanah Batak diputuskan untuk
secara resmi diatur oleh colonial melalui keputusan Gubernur Sumatera
bagian pantai Barat ketika itu yakni tanggal 16 Oktober 1886. Intensifnya
penguasaan ini menuru Lance Castle37 kemudian berlangsung tahun
1905 melalui ditandainya permulaan kebijakan baru di propinsi-propinsi
luar” Hindia Timur Belanda (1904-1905). Tahun 1905, H. Colijn (perdana
meneteri Belanda) berkunjung ke Tapanuli dengan tugas utama untuk
mengusulkan suatu reorganisasi untuk menolong daerah terbeklakang
seperti Tapanuli agar dapat meningkatkan kemampuan keuangannya.
Akibatnya, tanah Batak yang masih merdeka ketika itu, seperti: Samosir,
Uluan, Dairi, takluk di bawah kekuasan Belanda. Penaklukan inilah yang
sangat merangsang kuat colonial melakukan pengejaran terus menerus
kepada Sisingamangaraja XII yang akhirnya ia tertembak bersama
dengan dua orang puteranya tanggal 7 Juni 1907. Tiga ciri utama
penaklukan Belanda menguasai Tapanuli adalah: pertama,
memberlakukan pajak ditambah dengan pemaksaan kepada penduduk
agar menanam tanaman (misalnya kopi) yang menguntungkan
perdagangan Belanda. Kedua: program pekerjaan rodi terutama untuk
pembangunan jalan-jalan membuka ketertutupan Tapanuli dari daerah
lain. Ketiga: pembentukan pemerintahan daerah yang terdiri dari pejabat-
pejabat (orang-orang pribumi) yang digaji dan dapat dipindah-pindahkan.
Analisa Lance Castle, kebijakan pemberlakukan pajak dan rodi oleh
Belanda tidak mendapat perlawanan (protes) berarti dari penduduk
setempat ketika itu. Hanya saja penduduk setempat sangat membencinya
karena pemerintah Belanda tidak mewajibkannya bagi penduduk non-
pribumi (misalnya warga Eropa dan Cina). Akhirnya rodi menjadi
pembangkit kebencian yang efektif terhadap colonial terutama di daerah
Tapanuli yang baru saja dikuasai.38 Sesuai dengan pernyataan L. Castle
ini, berhubungan dengan pembentukan pemerintahan daerah yang baru
oleh pemerintah Belanda di Tapanuli: Hasellgreen 39 mengatakan bahwa
37
Lance Castle, Op.Cit., hl. 36ff
38
Ibid., hl. 52
39
Johan Haselgreen. Op.cit., hl. 71 Setelah tanah Batak takluk dan dikuasai (diperintah)
maka melalui propaganda-proganda kolonial seterusnya system pemerintahan
dengan segala pertimbangan dan saran-saran dari bestuur ambtenar
(pejabat-pejabat yang digaji langsung oleh Belanda dan dapat dipindah-
pindahkan) ketika itu, maka oleh penguasa colonial susunan
pemerintahan diatur secara bertingkat dari yang terendah hingga ke yang
tertinggi. Susunannya sebagai berikut: a).Huta atau Kampung (bagian
sulit ditentukan oleh Belanda statusnya dalam struktur pemerintahan
Belanda sendiri) dikembangkan hingga terdiri dari banyak huta dan
masing-masing huta dipimpin oleh seorang kepala kampung. b).
Hundulan dipimpin oleh seorang jaihutan dan raja pandua yang terdiri
dari beberapa kampung. Di atasnya adalah negeri yang dipimpin oleh
seorang kepala negeri, daerahnya terdiri dari beberapa hundulan. c). Sub
distrik dipimpin oleh seorang asisten demang yang wilayahnya terdiri dari
10-15 negeri. d). Distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik dengan
wilayah 2-3 sub distrik. Jabatan kepala distrik dinamakan demang.
Demang dan asisten demang langsung menjadi bawahan controleur.

Dalam system Harajaon Batak sebelumnya, otorisasi wilayah daerah


pemerintahan nampak pada Bius maka dalam penguasaan pemerintahan
Belanda, Bius tidak lagi disebut tetapi sudah menjadi negeri dan dipimpin
oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja Ihutan. Pengertian raja
(sebagai gelar raja Ihutan) dalam hal ini, nampak kuasa Raja Ihutan
sudah sesuai dengan pengertian raja yang sebenarnya yakni
memerintah. Hak-hak Raja Ihutan sudah semakin banyak dan mutlak,
sedangkan pengertian Bius kemudian berubah kepada wilayah daerah
kebudayaan. Semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan selama ini
dalam hal persetujuan dan penyelenggaraan pemerintahan atas nama
Bius, semua beralih menjadi persetujuan dan penyelenggaraan Raja
Ihutan. Fungsi-fungsi Raja-raja Bius yang sebelumnya dipimpin oleh Ulu
Bius (Raja Doli), masa penguasaan Belanda: itu kemudian hanya
berkaitan pada adat istiadat baik mengenai spiritual maupun menyangkut
dengan harta (juga yang berkaitan dengan kebudayaan). Pengertian
“Horja, dan Huta”40 pun menjadi berubah yaitu menjadi wilayah daerah
kebudayaan terutama pengertian Huta dari system pemerintahan ala
Harajaon Batak berubah menjadi hanya tempat tinggal yang terikat
dengan adatnya sama dengan pengertian kampung sekarang ini. Raja
Ihutan berdasarkan system pemerintahan colonial dalam hal hukum
beralih dari kuasa Bius menjadi kuasa-kuasa kepala negeri (wewenang
Raja Ihutan). Jika dahulu kuasa hukum dan adat di tangan Raja-raja Bius
maka dalam system penguasa hukum dan adat berada di tangan Raja
Ihutan. Hanya dalam hal pertimbangan hukum dan adat yang diminta dari
raja-raja Bius sedang keputusan berada di tangan kepala negeri.
Sebelum sesuatu pelanggaran hukum dan adat disampaikan kepada
pengadilan yang dikuasakan kepada asisten demang, demang dan
controleur ini masih dapat diselesaikan oleh Raja Ihutan dengan Raja-
raja Bius. Kalau pelanggaran tadi tidak dapat diselesaikan, maka baru
disampaikan kepada pengadilan kepolisian colonial Belanda. Melalui cara

berdasarkan pemerintahan colonial dijalankan dengan ketentuan bahwa katanya


peranan Bius masih dihargai.
40
Hal ini dapat dijelaskan: Horja adalah wilayah kekuasaan pemerintahan, ugamo dan
adat. Satu-satu Horja adalah gambaran kesatuan satu paradatan. Horja terdiri dari
beberapa Lumban sebagai satu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat dan didukung
oleh marga. Lumban terdiri dari beberapa Huta Bolon yang juga didukung oleh marga.
Huta Bolon terdiri dari Huta yaitu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang menjadi
wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang terendah dari struktur organisasi Harajaon
Batak. Pembagian-pembagian wilayah seperti inilah yang menjadi kabur dengan
munculnya pembagian wilayah oleh penjajahan Belanda .
ini setahap demi setahap dan pasti kekuasaan pemerintah colonial
semakin diutamakan di tanah Batak dan akhirnya membuat dan
menetapkan belasting (pajak) rakyat dan upah raja ditetapkan besarnya
dari setiap kegiatan termasuk dari hasil jual beli (termasuk jual beli ternak
babi).

11. Dalam bukunya Lance Castle mengatakan bahwa Belanda sangat


memanfaatkan unsur karakter Batak dalam menunjang program
politiknya terhadap soal pemerintahannya di tanah Batak. Unsur itu
adalah konsep tentang “sahala dan hasangapon”.41 Didefenisikan oleh
Castle bahwa “sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang
Batak. Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian
orang tua terhadap anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap
boru-nya. Para dewa dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan
mempunyai sahala. Pada kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan
supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang
tertinggi bagi orang Batak. Seorang pemilik sahala dengan sendirinya
memperoleh hasangapon (kehormatan). Bagi orang Batak umumnya
sahala harajaon adalah suatu kwalitas kekuasaan yang diperlukan untuk
memerintah. Oleh sebab itu, sebuah sahala harajaon hanya dapat dilihat
dari buahnya. Bagi orang Batak tradisionil, seorang laki-laki dengan
banyak anak cucu dan menjadi kaya raya karena bertani, berdagang atau
berjudi, yang lewat perkawinan mempunyai kerabat yang berpengaruh,
pandai berpidato serta gagah perkasa dalam perang, jelas sebagai
seorang yang sempurna dari sudut sahala dan hasangapon.
Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah merupakan motif politik
utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan
mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah
pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut
system bentukan mereka dengan system Harajaon Batak. Melaluinya,
Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah
menjadi system kebudayaan. Bila masa sebelum penjajahan Belanda,
kegiatan menyeluruh masyarakat Batak Toba langsung dilaksanakan
sendiri tanpa campur tangan penguasa colonial, maka masa sejak awal
penguasaan colonial, dengan berkedok budaya Batak Toba, mereka
kemudian memperalat orang-orang Batak untuk menjalankan prinsip
penjajahannya di tanah Batak sendiri 42. Intinya, sebagai akibat penjajahan
maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah
kebudayaan. Caranya yakni dengan dengan memadukan kuasa
pemerintahan Belanda dengan kuasa Bius yang sudah dikebiri. Oleh
Belanda Ihutan (sebagai Ulu Bius) dipilih oleh Raja-raja Bius melalui
musyawarah Mangajana. Raja Ihutan kemudian menjadi kepala negeri
yang dipilih langsung oleh rakyat negeri dari marga-marga tanah (marga-
marga yang mula pertama mendirikan huta di satu-satu wilayah/daerah,
merekalah yang disebut Sisuan Bulu/Sisuan Baringin). Masing-masing
marga tanah menentukan calonnya menjadi Raja Ihutan. Semua rakyat
yang sudah berumahtangga berhak untuk memilih sedang para pemuda
(naposo) belum diperkenankan untuk memilih. Siapa yang memperoleh
suara terbanyak dialah yang diajukan kepada controleur dan beslitnya
(surat keputusannya) diterbitkan asisten residen atau residen.

41
Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11
42
Gultom Rajamarpodang, Ibid., hl. 422. Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa
system kemasyarakatan Batak Toba sekarang masih menggambarkan demikian
sehingga dalam penetrapan kegiatan masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan
masyarakat dengan budyanya dengan system pemerintahan yang dijalankan sekarang.
Penyelenggara pemilihan adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang
di negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat
keputusan) maka ia dilantik dengan jalan memberikan pakaian
kelengkapan untuk seorang raja dalam arti sebenarnya. Melalui Raja
Ihutan, apa maksud dan tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan.
Melalui ini, fungsi raja-raja Bius semakin berkurang karena keputusan
sudah berada di tangan Raja Ihutan. Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai
hak untuk mengayomi dan merestui keputusan Raja-raja Bius maka
fungsi Raja Ihutan sudah berubah menjadi mutlak.43

Tanggapan Dari Orang Batak


Terhadap Tekanan Belanda
12. Awal perkembangan baru terjadi di Tapanuli akibat tekanan Belanda
mulai nampak tahun 1890, dengan munculnya berbagai sekte agama
tradisionil baru yang mengandung unsur-unsur sinkritisme (mereka inilah
yang disebut Parmalim). Kelompok ini awalnya didirikan oleh Guru
Somalaing Pardede dari Balige yang sebelumnya ia adalah seorang datu
yang menguasai ilmu mistik Batak tradisionil seperti ilmu gaib,
penyembuhan dan aksara Batak. Guru Somalaing adalah salah seorang
contoh orang Batak tradisionil yang kehilangan reputasi (sahala/wibawa)
akibat perkembangan kekristenan di tanah Batak. Dalam
menyebarluaskan pengaruhnya Guru Somalaing menaburkan
propaganda kebencian kepada Belanda juga kepada para misionaris di
Tapanuli. Pada akhirnya unsur kebencian inilah yang sangat menentukan
bagi Belanda membuangnya dari Sumatera tahun 1896 walau sebelum ia
ditangkap ia telah berhasil menyebarluaskan ajarannya ke berbagai
daerah Toba (Habinsaran) hingga ke daerah Asahan. Sepeninggal Guru
Somalaing, para pengikutnya kemudian mengembangkan aliran ini
dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya yakni melalui munculnya
aliran tradisional baru dengan apa yang dinamakan sebagai: Parsiakbagi
(artinya: yang bernasib malang). Aliran ini dimunculkan oleh Jaga
Siborutorop (nama samaran). Gerakannya agak hati-hati dan ajarannya
agak bercampur dengan ajaran Parmalim menurut Guru Somalaing
dengan ajaran kekristenan sebab dalam ajaran Parsiakbagi ditekankan:
“hanya Yesus sebagai sang guru”. Aliran ketiga adalah kaum Parsitekka:
kelompok ini merupakan perkembangan lanjutan dari Parmalim dan
Parsiakbagi. Parsitekka dalam mengembangkan ajarannya agak berbeda
dengan dua aliran disebutkan yang mendahuluinya. Sebab bagi
Parsitekka, tokoh-tokoh mitos Batak (Naga Padoha, Raja Uti, dan lain
sebagainya) ini tegas ditolak. Aliran keempat adalah Parhudamdam
dengan tekanan akan munculnya Harajaon Batak yang baru di bawah

43
Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas
(Medan: Penerbit Bina Media, 2006) hl. 53-54. Togar Nainggolan menjelaskan dalam
bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan tujuan utama
kolonialisme. Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan utama kolonialisme
Belanda membagi-bagi daerah Batak menjadi beberapa daerah residen. Untuk ini,
beberapa huta disatukan dalam beberapa regio pemerintahan, dengan demikian
kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan pemerintahan diperbesar. Dewan
pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja huta. Mereka ini bertugas untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta sesuai dengan hukum adat,
kemudian pemerintah colonial Belanda meneguhkan hukum adat. Pemerintah colonial
(termasuk misi) sangat mempergunakan struktur hierarki masyarakat Batak Toba untuk
mencapai tujuan mereka. Belanda membentuk pemerintahan regio yang terdiri dari raja-
raja huta dan mereka ini disebut hundulan (dewan regio). Tujuan akhir pemerintah
Belanda adalah untuk mengganti struktur huta dengan system pemerintahan colonial
untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang berlaku demi ketertiban
masyarakat.
kepemimpinan Raja Sisingamangaraja yang melepaskan orang Batak
dari system kerja paksa (rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh Belanda.
Menurut Lance Castle44 bahwa yang terpenting diperhatikan bagi
munculnya berbagai gerakan paganisme Batak tradisionil baru seperti
disebutkan di atas adalah semangat mereka yang ditimbulkan oleh
kebencian terhadap orang kulit putih (Belanda dan para misionaris) juga
dengan harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat diusir
pada hari perhitungan kelak.

Refleksi Teologis Tema ini


Terhadap Kepemimpinan Jemaat
13. Penting diperhatikan pernyataan William Skidmore45 tentang beberapa hal
dalam rangka mempertahankan sebuah system kemasyarakatan, yakni:
a. Setiap system harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber-
sumbernya agar dapat mencapai tujuan-tujuannya (goal attainment).
b. Setiap system harus mempertahankan koordinasi internal dari dalam
bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang bertautan dengan
deviasinya. Dengan kata lain, dia harus mempertahankan kesatuannya
(integration).
c. Setiap system harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam
keadaan seimbang.

Melalui hikmat pernyataan W. Skidmore ini, beberapa hal dapat dikatakan


bahwa:
a. Kepemimpinan yang kolektif, koordinatif dan organistik
Menarik pernyataan Frans Magnis Suseno46 mengenai legitimasi kekuasaan
sosiologis secara tradisionil, mengatakan: “salah satu legitimasi kekuasaan
kepemimpinan tradionil secara sosiologis adalah wibawa (sahala: kharisma).
Dalam pengalaman orang Batak tradisionil bahwa legitimasi kekuasaan
melalui charisma/wibawa (keabsahan kekuasaan berdasarkan charisma)
inilah yang palig menonjol di mana keberhasilan kepemimpinan sangat
ditentukan oleh rasa hormat dan kagum terhadap pribadi yang
mengesankan, sehingga membuat orang lain yang dipimpin menjadi
taat/patuh. Dalam hal ini, legitimasi merupakan keyakinan yang ada dan
hidup di dalam sebuah konteks serta dilakoni masyarakat dengan penuh
kesadaran bahwa seorang pemimpin itu memang wajar dan patut dipatuhi
dan dihormati. Sejauh ini, bingkai kepemimpinan yang kolektif, organisitik
dan koordinatif sebagai ciri yang paling menonjol nampak pada system
kemimpinan tradisionil Batak Toba. Ketiga bingkai ini, menurut penulis
sangat sesuai dengan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang tidak
dapat dipisahkan dari tujuan hidup sebagai manusia yang sempurna.
Maksudnya terhadap kesempurnaan hidup seseorang masyarakat Batak
Toba, ini sangat ditentukan oleh kemampuannya melakukan tiga fungsi di
dalam perannya sehari-hari yakni: “kolektif, koordinatif dan organistik” yang
nampak dalam aktifitasnya hidupnya di: Huta, Marga, Dalihan Na Tolu, Bius
dan Horja sebagaimana telah di jelaskan di atas.

b. Kepemimpinan Kolektif
Ketika praktek kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di
dalamnya ada persyaratan fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah
system yakni: “adaptasi, tujuan yang memelihara, dan mempertahankan
kesatuannya”. Di dalam aplikasinya, hal itu diperlihatkan melalui system
kolektif “Dalihan Na Tolu, Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal
ini menjadi landasan normativ yang memperlihatkan konsep keseimbangan
44
Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69
45
William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University
Press, 1975) hl. 175
46
Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000) hl. 59.
di dalam kebudayaan Batak Toba. Di atas keseimbangan system kolektif:
Bius, Horja, Huta dan Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai sudut
pandang (world view) masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan ini, maka berefleksi dari Timoteus dan Titus terhadap
kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-mula: kepada mereka diberikan
sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan terlebih dahulu
mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim. 4:1-11).
Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros
(penatua) dan episkopos (penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di
setiap kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya berperan
sebagai penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Akhirnya,
perkembangan dan praksis penilik pastoral ini melahirkan konsep tentang
episkopos. Inilah indikasi yang memberi pemahaman bahwa episkopos dan
presbyteros merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas,
melalui kesamaan episkopos dan presbyteros dalam kepemimpinan ini,
nampak kesejajaran bahwa model kepemimpinan di dalam gereja adalah
kolektif. Kolektif bukan berarti meniadakan seorang pemimpin yang
mengkoordinasikan potensi kekuatan dan kekuasaan yang ada. Di dalam
Alkitab tidak dikenal jabatan yang memunculkan asosiasi-asosiasi klerikal
dan hierarkis tetapi Alkitab sangat menekankan jabatan yang diakonal.

Kesimpulan
14. Beberapa kesimpulan dapat dirangkum terhadap konsep dan system
pemimpinan menurut paradigma tradisionil Batak Toba, yakni:
a. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau
kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam
sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya.
Pernyataan ini dapat berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga
orang-orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang
terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan.
b. System dan konsep kepemimpinan (pemerintahan: harajaon) menurut
paradigma Batak Toba tradisionil, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara,
kelompok atau lembaga masyarakat dan lain sebagainya dipimpin oleh
seorang (kepala Negara/raja, kaisar). Ciri yang dominan nampak pada
kepemimpinan Batak tradisionil, ini adalah sebagai perpaduan antara
pemimpin pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan
adat. Artinya di dalam hubungan masyarakat, ada hubungan yang
sangat kuat mengikat yakni antara kesilsilahan, kesamaan agama dan
kepercayaan serta wilayah dan tempat tinggal yang sama. Dalam konsep
inilah realisasi kepemimpinan Batak tradisionil nyata berlangsung seperti
pada: Bius, Huta, Horja dan Dalihan Na Tolu.
c. Secara historis unsur yang sangat mempengaruhi pandangan Batak
tradisionil mengenal kepemimpinan menurut paradigma modern, ini
sangat dominan terjadi melalui pengaruh kolonisasi Belanda di tanah
Batak (pengaruh kekristenan akan dibahas pada judul tersendiri).
Artinya, dengan masuknya pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak
demi percepatan tujuan mereka, Belanda secara langsung mengatur dan
membentuk serta mengembangkan system pemerintahan desa (huta) di
seluruh tanah Batak. Cara ini ditempuh Belanda demi menunjang
program politik mereka agar segera dapat menguasai tanah Batak.
Untuk cita-cita ini, Belanda sangat memanfaatkan karakter khusus Batak
yakni: “sahala dan hasangapon” yang bagi orang Batak, “sahala”
merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang. Seorang pemimpin
yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap anaknya,
datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa dan
leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada
kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga
sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang
Batak. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah yang merupakan
motif politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman
penguasaan mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal
pembagian wilayah pemerintah colonial Belanda sangat berusaha
memadukannya menurut system bentukan mereka dengan system
Harajaon Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan
Harajaon Batak berubah menjadi system kebudayaan. Intinya, sebagai
akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini
berubah menjadi wilayah kebudayaan.
e. Sangat menarik bahwa masyarakat Batak tradisionil sama sekali sangat
tidak mengenal konsep kepemimpinan tunggal tetapi kepemimpinan
kolektif, koordinatif dan organisitik (paling tidak sebagai duo
kepemimpinan atau dwi tunggal). Artinya bagi orang Batak Toba
tradisionil, tidak pernah ada peluang kepemimpinan terjadi melalui
dominasi satu orang, tetapi kepemimpinan itu harus diemban dan
dilaksanakan bersama secara kolektif. Hikmat inilah yang nampak pada:
Raja-raja Bius, Parbaringin, Partuho Mangajana, Raja Na Opat Bius,
Ihutan, Panimbangi, Raja Huta/Tunggane Huta dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai