beragama Hindu, Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah
1825 sangat ditentukan oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama
Islam (suku-suku Aceh di Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan
Minangkabau dari Sumatera Barat). Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen
melalui ekspansi perekonomian dan pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit.,
hl. 10-11
10
Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan
terhadap pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu
hanya terbatas pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal, dan tulisan.
Sedangkan mengenai kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh
dipengaruhi oleh Hindu.
11
Ibid., hl. 45
12
J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11
Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai
perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di
Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan
para saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh
Islam dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai
Timur, hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan
Sibolga sudah didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852,
orang Batak Toba mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap
merupakan pusat penting untuk perdagangan orang Batak Toba dengan
Melayu Islam. Ke Selatan dari daerah pemukiman Batak Toba, terdapat
pemukiman suku Batak Angkola dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan
tidak diragukan bahwa mereka adalah keturunan suku Batak Toba.
Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam Minangkabau, sebelum
tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama Islam.
Bius
6. Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak
dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius
adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak
Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat.
Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius
disebut sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon
maksudnya banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja
karena berada di luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat
panjang, penyakit kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen
yang gagal dan lain sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta
perlindungan maka penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan
semua marga yang tinggal diwilayah yang tertimpa bencana.
Persekutuan inilah yang disebut sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan
17
Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
18
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.
gabungan beberapa horja yang terdapat dalam satu kesatuan territorial
yang memiliki identitas social tertentu. Marga-marga yang menjadi
anggota suatu Bius memiliki wilayah yang berbeda. Karena itu mereka
merasa bahwa sombaon yang terdapat di wilayah mereka harus dipuja
secara bersama-sama, supaya dewata dapat memberi beri berkat dan
ketenteraman di antara mereka.19 Pusat kegiatan Bius disebut dengan
Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja Bius adalah
Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat
kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam
mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan
raja-raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga
yang diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi
persetujuan dari rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata
pembangunan demi kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih
Raja Na Opat Bius20 sesuai dengan keahliannya berfungsi merencanakan
dan menata mengenai bidang kepercayaan rakyat Bius. Menurut
fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut keberadaannya) berasal dari Raja
Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili anak sibulang-bulangan marga.
Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja. Raja-raja Bius inilah sering
disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat kebijaksanaan
masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga. Masing-masing
Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan adalah
pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada
Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta)
adalah Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat
berperan bagi setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi
sebagai wakil rakyat dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang
dipercayakan kepada Raja Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada
Horja menugasi para Parhobas sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja
Na Opat Bius membuat rencana rutin tahunan program kegiatan untuk
dilaksanakan Uluan Horja tiap tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk
mengayomi program. Raja-raja Bius di dalam kesepakatan pada
Mangajana (sidang umum) menetapkan semua hal yang berkaitan
dengan aspek kehidupan masyarakat Bius, misalnya untuk perburuan
demikian dalam hal perikanan termasuk semua bentuk gotongroyong.
Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan kepada Ihutan melalui
Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah itu dilaksanakan
dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila perintah
(tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan
program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja
Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja
Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius,
Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum,
baik yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di
tangan Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa
menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan
Raja-raja Bius. Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang
19
B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186
20
Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi
merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin
berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan
Bius. Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai
perekonomian Bius. Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja
Bius. Ulu Bius ini pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus
Interpares yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat,
pimpinan keagamaan dan pimpinan pemerintahan.
pemilik hikmat kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat
Batak Toba ikatan yang paling mendasar bagi pengembanan aspek
hukum, ini dilihat dari segi kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi
masyarakat Toba mengingkari perintah dari Ihutan termasuk perintah dari
Raja-raja Bius, setiap perjanjian baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini
sangat kuat dan sulit dibedakan nilainya. Ungakapan Batak Toba
mengatakan “Hori ihot ni doton, hata siingoton” artinya bahwa: “kata-kata
sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini didelegasikan kepada Raja Na
Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja dan seterusnya kepada Raja
Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta. Dalam hal rapat ketua
sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli21, tetapi harus dari marga
siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi ketua dan
dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu bukti
bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal
pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah
maupun dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi
dari Bius. Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka
satu-satunya jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji
(mencoba) antara orang yang diadili di pengadilan Bius.
Horja
7. Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada
yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang
marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta
sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan
kuno, maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau.
Pengertian lain dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang
didasarkan kesatuan memakan daging dari perkawinan boru (sahorja
mangan tuhor ni boru-sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang,
Horja diartikan sebagai wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja.
Di Tapanuli Selatan Horja diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A.
Simanjutak22 memberikan defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum
pertanahan adat yang dalam hal ini Horja sebagai wilayah marga atau
territorial marga. Horja adalah struktur dan organisasi wilayah yang terdiri
dari beberapa wilayah Huta, di mana kepala/pimpinan Horja dinamakan
sebagai Raja Parjolo (raja terdepan) yang didampingi oleh beberapa Raja
Partahi (raja perencana). Dalam masyarakat Batak, pesta horja hanya
dilaksanakan oleh mereka yang semarga. Bisuk Siahaan 23
mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi atau persekutuan
bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan sifat
persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai horja
hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang
masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan,
meskipun di antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap
sebagai anggota keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain,
misalnya untuk kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya,
21
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang
paling kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan
Raja Doli bisa diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja
Doli, dia bersama pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi
percekcokan hingga akhirnya dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli
adalah mendamaikan perselisihan yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan
peraturan untuk pepentingan umum, misalnyamemasang saluran air, melakukan
pengamanan bersama bahkan memaklumkan perang.
22
B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180
23
Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
federasi horja adalah masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah
menjadi masyarakat hukum, yang secara langsung mengurus
kepentingan duniawi warganya. Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan 24
mengenai Horja mengatakan bahwa menurut tugasnya, Raja Parjolo
sebagai pimpinan Horja, ia berhak menyatakan perang dan mengatur
pekerjaan pekerjaan besar yang ada kaitannya dengan kepentingan
anggota. Dan juga mengatur persiapan horja rea25 (pesta persembahan
besar) dan membawakan doa-doa ritual (martonggo) walau pemimpin
upacara martonggo tetap ada pada parbaringin.26 Tugas dan wewenang
parbaringin dalam ritual keagamaan adalah mempersembahkan kurban
kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon, sombaon dan roh leluhur”. Selama
menjalankan tugasnya parbaringin harus menyisipkan ranting beringin di
serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia disebut parbaringin
(parsanggul beringin).
Huta
8. Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C.
Vergouwen27, mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak
Toba sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang
hidup dan terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain
secara alami, dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak
mereka lahir, tempat yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”.
Ciri yang menonjol dari umumnya huta (kampung) orang Batak,
umumnya dikelilingi oleh parik (tembok yang terbuat dari tanah atau batu)
yang tingginya sampai dua meter dan lebar satu meter. Keliling huta
(tembok) biasanya selalu ditanami oleh pohon bambu duri yang gunanya
sebagai benteng untuk melindungi huta dari serangan musuh.28 Huta
merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang berasal dari satu nenek
moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga pendiri huta disebut
marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal di huta
dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak
terdapat raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi
oleh pandua (orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut
bersama dengan marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang
mengatasinya dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut
sosor/pagaran. Alasan lain mendirikan huta karena ada pertentangan
atau perkelahian di antara penghuni sebelumnya. Demikian dengan
keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau karena ingin
mandiri (manjae) dan memiliki kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta
24
Bisuk,., Ibid., 156-157
25
Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen
diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda daerah horja atau
memohon kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada
pasangan yang sudah lama menantinya.
26
Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara
mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta,
pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk
dan menetapkan seorang dari turunan parbaringin sebagai pewaris. Penunjukan ini
diumumkan pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan
parbaringin) yang dihadiri semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin
mengucapkan tonggo-tonggo kemudian melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl.
159
27
Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata
Azet, 1985) hl. 119
28
Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
induk.29 Menurut Tampubolon30 selanjutnya bahwa sejak penjajahan
Belanda menguasai tanah Batak dan membawa struktur pemerintahan
baru serta menerapkannya di kalangan masyarakat Batak, maka
pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab keinginan untuk
memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut Hampung (dibaca:
happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini dapat ditegaskan
bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang kepada anak
cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga raja
(pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara
musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur
pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat
keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan
biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.31
Sudah barang tentu hanya orang berwibawa yang lebih unggul dari
penduduk kampung dan yang kata-katanya tidak dianggap enteng yang
bisa menjadi kepala kampung yang sukses (yang ototritansya dirasakan).
Intinya, bagi persekutuan tradisionil Batak kedudukan kepala kampung
sangatlah penting. Dalam praktek kadang-kadang ia tidak mempunyai
kesempatan yang banyak untuk memperlihatkannya.
a. Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam struktur kekerabatan Batak adalah Marga.
Orang Batak mengenal marga dengan arti: “satu asal keturunan, satu
nenek moyang, sabutuha, artinya satu perut asal”. Karena orang
Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka
dengan sendirinya marga juga berdasarkan garis keturunan bapak.
Sejarah lahirnya marga ini didasarkan pada nenek moyang laki-laki.
Menurut Simanjuntak35, Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah
merupakan bapak pertama dari marga-marga di kalangan orang
Batak. Karena sebelumnya mereka belum punya induk marga, hanya
satu moyang yaitu si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga
adalah merupakan satu kesatuan kelompok yang mempunyai garis
keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama. Satus
social orang Batak sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan
social orang Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan
partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga
maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Fungsi lain dari
marga adalah untuk menentukan kedudukan seseorang di dalam
pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan
yang di namakan dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dasarnya, dengan
mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri saudara), saudara
perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan
kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang
menentukan status dan kedudukan social setiap orang Batak dalam
hubungan social adat maupun kehidupan sehari-hari.
b. Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan dalam masyarakat Batak adalah perkawinan
dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya system eksogami
yakni patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang, kalau terjadi
sumbang (incest) di dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan
oleh mereka yang masih sangat dekat hubungan kekerabatannya
maka keduanya dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun
marganya). Maksud dari larangan ini adalah agar hubungan
kekerabatan tidak menjadi kacau dan tidak menjadi terbalik-balik juga
agar hubungan social di dalam struktur masyarakat tidak menjadi
kacau atau rusak. Demikian dengan kedudukan sebagai hula-hula
tidak menjadi jatuh. Karena kalau terjadi demikian, maka boru menjadi
hula-hula dan hula-hula yang pertama menjadi boru. Ini sama sekali
tidak dikehendaki di dalam satu keluarga dekat.
c. Dalihan Na Tolu
Banyak ahli mengatakan bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi
struktur kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system
kepemimpinan dan pemerintahan Batak. Dalihan Na Tolu hanya
terbatas pada lingkup persaudaraan sehari-hari saja. Namun
pandangan berbeda dikemukakan oleh Togar Nainggolan 36
menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di dalam komunitas
35
B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80
36
Togar Nainggolan, Op.Cit., hl. 78-79
system Dalihan Natolu ada terbentuk system pemerintahan Batak
yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”. Panungganei
adalah badan legislative dan iudikatif, ia yang membuat aturan dan
memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di huta.
Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin oleh raja
huta (kepala dalam huta). Raja huta melaksanakan aturan bersama,
yaitu mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu
orang yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat
kepada marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang
penyesuaian adat dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari
marga raja atau dari marga lain. Orang pendatang yang tidak
termasuk anggota Dalihan Na Tolu yang disebut paisolat
(penumpang) boleh memberi suara pada rapat paripurna (rapot)
godang.
41
Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11
42
Gultom Rajamarpodang, Ibid., hl. 422. Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa
system kemasyarakatan Batak Toba sekarang masih menggambarkan demikian
sehingga dalam penetrapan kegiatan masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan
masyarakat dengan budyanya dengan system pemerintahan yang dijalankan sekarang.
Penyelenggara pemilihan adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang
di negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat
keputusan) maka ia dilantik dengan jalan memberikan pakaian
kelengkapan untuk seorang raja dalam arti sebenarnya. Melalui Raja
Ihutan, apa maksud dan tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan.
Melalui ini, fungsi raja-raja Bius semakin berkurang karena keputusan
sudah berada di tangan Raja Ihutan. Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai
hak untuk mengayomi dan merestui keputusan Raja-raja Bius maka
fungsi Raja Ihutan sudah berubah menjadi mutlak.43
43
Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas
(Medan: Penerbit Bina Media, 2006) hl. 53-54. Togar Nainggolan menjelaskan dalam
bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan tujuan utama
kolonialisme. Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan utama kolonialisme
Belanda membagi-bagi daerah Batak menjadi beberapa daerah residen. Untuk ini,
beberapa huta disatukan dalam beberapa regio pemerintahan, dengan demikian
kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan pemerintahan diperbesar. Dewan
pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja huta. Mereka ini bertugas untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta sesuai dengan hukum adat,
kemudian pemerintah colonial Belanda meneguhkan hukum adat. Pemerintah colonial
(termasuk misi) sangat mempergunakan struktur hierarki masyarakat Batak Toba untuk
mencapai tujuan mereka. Belanda membentuk pemerintahan regio yang terdiri dari raja-
raja huta dan mereka ini disebut hundulan (dewan regio). Tujuan akhir pemerintah
Belanda adalah untuk mengganti struktur huta dengan system pemerintahan colonial
untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang berlaku demi ketertiban
masyarakat.
kepemimpinan Raja Sisingamangaraja yang melepaskan orang Batak
dari system kerja paksa (rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh Belanda.
Menurut Lance Castle44 bahwa yang terpenting diperhatikan bagi
munculnya berbagai gerakan paganisme Batak tradisionil baru seperti
disebutkan di atas adalah semangat mereka yang ditimbulkan oleh
kebencian terhadap orang kulit putih (Belanda dan para misionaris) juga
dengan harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat diusir
pada hari perhitungan kelak.
b. Kepemimpinan Kolektif
Ketika praktek kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di
dalamnya ada persyaratan fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah
system yakni: “adaptasi, tujuan yang memelihara, dan mempertahankan
kesatuannya”. Di dalam aplikasinya, hal itu diperlihatkan melalui system
kolektif “Dalihan Na Tolu, Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal
ini menjadi landasan normativ yang memperlihatkan konsep keseimbangan
44
Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69
45
William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University
Press, 1975) hl. 175
46
Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000) hl. 59.
di dalam kebudayaan Batak Toba. Di atas keseimbangan system kolektif:
Bius, Horja, Huta dan Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai sudut
pandang (world view) masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan ini, maka berefleksi dari Timoteus dan Titus terhadap
kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-mula: kepada mereka diberikan
sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan terlebih dahulu
mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim. 4:1-11).
Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros
(penatua) dan episkopos (penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di
setiap kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya berperan
sebagai penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Akhirnya,
perkembangan dan praksis penilik pastoral ini melahirkan konsep tentang
episkopos. Inilah indikasi yang memberi pemahaman bahwa episkopos dan
presbyteros merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas,
melalui kesamaan episkopos dan presbyteros dalam kepemimpinan ini,
nampak kesejajaran bahwa model kepemimpinan di dalam gereja adalah
kolektif. Kolektif bukan berarti meniadakan seorang pemimpin yang
mengkoordinasikan potensi kekuatan dan kekuasaan yang ada. Di dalam
Alkitab tidak dikenal jabatan yang memunculkan asosiasi-asosiasi klerikal
dan hierarkis tetapi Alkitab sangat menekankan jabatan yang diakonal.
Kesimpulan
14. Beberapa kesimpulan dapat dirangkum terhadap konsep dan system
pemimpinan menurut paradigma tradisionil Batak Toba, yakni:
a. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau
kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam
sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya.
Pernyataan ini dapat berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga
orang-orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang
terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan.
b. System dan konsep kepemimpinan (pemerintahan: harajaon) menurut
paradigma Batak Toba tradisionil, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara,
kelompok atau lembaga masyarakat dan lain sebagainya dipimpin oleh
seorang (kepala Negara/raja, kaisar). Ciri yang dominan nampak pada
kepemimpinan Batak tradisionil, ini adalah sebagai perpaduan antara
pemimpin pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan
adat. Artinya di dalam hubungan masyarakat, ada hubungan yang
sangat kuat mengikat yakni antara kesilsilahan, kesamaan agama dan
kepercayaan serta wilayah dan tempat tinggal yang sama. Dalam konsep
inilah realisasi kepemimpinan Batak tradisionil nyata berlangsung seperti
pada: Bius, Huta, Horja dan Dalihan Na Tolu.
c. Secara historis unsur yang sangat mempengaruhi pandangan Batak
tradisionil mengenal kepemimpinan menurut paradigma modern, ini
sangat dominan terjadi melalui pengaruh kolonisasi Belanda di tanah
Batak (pengaruh kekristenan akan dibahas pada judul tersendiri).
Artinya, dengan masuknya pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak
demi percepatan tujuan mereka, Belanda secara langsung mengatur dan
membentuk serta mengembangkan system pemerintahan desa (huta) di
seluruh tanah Batak. Cara ini ditempuh Belanda demi menunjang
program politik mereka agar segera dapat menguasai tanah Batak.
Untuk cita-cita ini, Belanda sangat memanfaatkan karakter khusus Batak
yakni: “sahala dan hasangapon” yang bagi orang Batak, “sahala”
merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang. Seorang pemimpin
yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap anaknya,
datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa dan
leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada
kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga
sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang
Batak. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah yang merupakan
motif politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman
penguasaan mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal
pembagian wilayah pemerintah colonial Belanda sangat berusaha
memadukannya menurut system bentukan mereka dengan system
Harajaon Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan
Harajaon Batak berubah menjadi system kebudayaan. Intinya, sebagai
akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini
berubah menjadi wilayah kebudayaan.
e. Sangat menarik bahwa masyarakat Batak tradisionil sama sekali sangat
tidak mengenal konsep kepemimpinan tunggal tetapi kepemimpinan
kolektif, koordinatif dan organisitik (paling tidak sebagai duo
kepemimpinan atau dwi tunggal). Artinya bagi orang Batak Toba
tradisionil, tidak pernah ada peluang kepemimpinan terjadi melalui
dominasi satu orang, tetapi kepemimpinan itu harus diemban dan
dilaksanakan bersama secara kolektif. Hikmat inilah yang nampak pada:
Raja-raja Bius, Parbaringin, Partuho Mangajana, Raja Na Opat Bius,
Ihutan, Panimbangi, Raja Huta/Tunggane Huta dan lain-lain.