Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Fiqh B Dr. H. M. Quzwini, M. Ag

PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF UU NO. 16


TAHUN 2019 TENTANG PERKAWINAN

Oleh:
Kelompok 5

Nama NPM
Gt. M. Faisal 19. 12. 4747
Gusti Rahmatullahi 19. 12. 4749
Hafizah 19. 20. 4750
Halimatus Sufiah 19. 20. 4753
Hamidah 19.12.4754
Hayatul Mutmainnah 19.12.4756

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
MARTAPURA
2020
2
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah


menganugerahkan kepada kita umur hingga sampai saat ini. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Baginda Nabi Besar Muhammad
SAW. Tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu Bapak Dr. H. M. Quzwini, M. Ag dalam mata kuliah Fiqh B. Semoga
beliau selalu dalam lindungan Allah dan selalu diberi kesehatan serta kemampuan
untuk terus membimbing kami.

Kami menyadari dalam makalah ini tentu masih banyak terdapat berbagai
kekurangan yang tak lain dikarenakan kekurangan kami sendiri. Maka dari itu,
kami mengharapkan kepada para pembaca agar kiranya berkenan memberikan
kritik dan saran yang membangun untuk kami.

Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan


kita dalam Sejarah Pendidikan Islam dan bermanfaat baik bagi diri kami sendiri
ataupun bagi pembaca sekalian.

Martapura, 18 Desember 2020


Penulis

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i

Daftar Isi.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................ 1
C. Rumusan Masalah.......................................................................... 1

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Pernikahan................................................................... 2
B. Dasar Hukum Pernikahan.............................................................. 4

BAB III MATERI POKOK

A. Pernikahan Dini dalam Perspektif UU No. 16 Tahun 2019 tentang


Perkawinan..................................................................................... 8
B. Faktor-faktor penyebab pernikahan dini........................................ 9
C. Dampak Pernikahan Dini............................................................... 11
D. Cara Mencegah Pernikahan Dini................................................... 13

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................... 15
B. Saran.............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang
terlalu muda. Di era modern seperti sekarang ini masih banyak terjadi
diberbagai daerah. Penyebab terjadinya pernikahan dini ini dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor. Diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan
mereka yang mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan
mengerti hakekat dan tujuan pernikahan, orang tua yang memiliki ketakutan
bahwa anaknya jadi perawan tua akan tidak laku-laku, faktor ekonomi
maupun lingkungan tempat tinggal mereka juga bisa menjadi penyebab
terjadnya pernikahan dini. Selain itu pernikahan dini juga bisa tejadi karena
keinginan mereka untuk segera merealisasikan ikata hubungan kekeluargaan
antara kerabat mepelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang lebih
lama mereka inginkan.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif UU No. 16 tahun 2019
tentang perkawinan?
2. Apa faktor-faktor penyebab pernikahan dini?
3. Apa dampak pernikahan dini?
4. Bagaimana cara mencegah pernikahan dini?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami pernikahan dini dalam perspektif UU
No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebab pernikahan dini
3. Untuk mengetahui dan memhami dampak pernikahan dini
4. Untuk mengetahui dan memahami cara mencegah pernikahan dini

1
Teguh Pribadi, Laporan Praktikum Edukasi Pernikahan Dini di Desa Gunung Rejo Kecamatan
Singosari, (Singosari: Universitas Brawijaya), 2015, Hal 1

1
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya baik pada manusia hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah subhanahu wa ta'ala., sebagai jalan bagi
makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.
Nikah menurut bahasa: al-jam'u dan Al-dhamu yang artinya kumpul.
Makna nikah (Zawaj) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir
sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata
nikah berasal dari bahasa Arab "nikahun" yang merupakan masdar atau asal
kata dari kata kerja (fi'il madhi) "nakaha", sinonimnya "tazawwaja" kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah saling
juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin,
yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh istilah "kawin" digunakan
secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses
generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada
manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat,
dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena
dalam suatu proses pernikahan terdapat Ijab (pernyataan penyerahan dari
pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki).
Selain itu nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.
Adapun menurut syara: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling menguatkan satu sama lainnya dan
untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta
masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau menikah
adalah akad yang secara keseluruhan didalamnya mengandung kata; inkah

2
atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiah darajat
dan kawan-kawan yang memberikan Definisi perkawinan sebagai berikut:

"Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin


dengan lafaz nikah atau tajwij atau yang semakna keduanya".
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bab 1 Pasal 1 disebutkan
bahwa: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Sengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara
keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau Tajwij dan
merupakan ucapan seremonial yang sakral.2
Adapun tentang makna pernikahan itu secara definitif, masing-masing
ulama Fiqih berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai
berikut:
1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki mut'ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapat
kesenangan atau kepuasan.
2. Ulama Syafi'iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki
Wati. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan
kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
mengandung arti mut'ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
adanya harga.
4. Ulama hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafal nikah atau untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang
laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.

2
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), Cet. 4, Hal.
6-8

3
Dari beberapa pengertian nikah tersebut di atas maka dapat penulis
Kemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan
seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak yang
dilakukan oleh pihak lain atau wali menurut sifat dan syarat yang telah
ditetapkan syara untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya sehingga
satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup
dalam rumah tangga.3
B. Dasar Hukum
1. Menurut pandangan syariat islam
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antarjasmani, dan hak serta kewajiban yang
berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.Berikut ini dijelaskan
mengenai dasar hukum dari sebuah perkawinan.

a. Alquran
Ayat-ayat Alquran yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada
sekitar 85 ayat di antara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam
sekitar 22 surat dari 114 surat dalam Alquran. Keseluruhan ayat
Alquran tentang munakahat tersebut disepakati keberadaan (thubut) nya
sebagai firman Allah SWT.
‫◌ ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون‬
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.QS. An-nur(24):32
ۚ ً‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمة‬
َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل‬
َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ٍ ‫إِ َّن فِي ٰ َذلِكَ آَل يَا‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

3
Aminuddin, Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. 1, Hal
10-11

4
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
b. Hadits
Perkawinan merupakan yang disyariatkan dalam agama Islam,
merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW yang melarang seseorang hidup sendirian tanpa
kawin karena sesungguhnya dengan perkawinan dapat memelihara diri
dari kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang.13 Riwayat
Imam Bukhari dari Abdul Rahman bin Yazid:
“Telah memberitakan kepada kami Umar ibnu Hafsh bin Ghias,
telah memberitakan ayah saya, telah memberitakan Alamsi, dia telah
berkata didapatkan dari Abdul Rahman bin Yazid, mengatakan: telah
datang saya (kepada Rasul) dengan Alqomah dan Alaswad serta
Abdullah, maka Abdullah bertanya kepada Nabi SAW di karenakan dia
belum menemukan jodohnya yang terbaik. Maka Rasullullah SAW
bersabda kepada kami: Wahai golongan pemuda pemuda!Barangsiapa
diantara kamu yang ada kemampuan (kawin dan nafkah lahir-batin),
hendaklah kamu kawin, karena faedahnya untuk menutup mata dan
memelihara kemaluan (dari pekerjaan yang maksiat-terlarang). Dan
barangsiapa diantarakamu yang tak mampu, hendaklah kamu berpuasa
(menahan diri dari nafsu birahi), karena itulah salah satu obat!”.
c. Ijmak Ulama
Berdasarkan dalil-dalil yang ada di atas para ulama menarik suatu
istimbat hukum untuk perkawinan. Terjadi perbedaan pendapat antara
para ulama dalam memutuskan hukum dari suatu perkawinan.
Segolongan fuqaha yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa
nikah itu hukumnya sunah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa
nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa
nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya dan
mubah untuk segolongan yang lainnya. Demikian itu menurut mereka
ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.

5
Perbedaan pendapat itu salah satunya adalah di karenakan terjadi
perbedaan penafsiran atas ayat/hadis tentang perkawinan yang di
dalamnya terdapat kalimat perintah, apakah kaliamat perintah tersebut
harus diartikan wajib, sunnat, atau bisa juga mubah? Menurut Imam
Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas, meskipun
menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehan/hal yang
dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi
kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafi‟i menganggap bahwa
menikah bersifat mubah.
Dasar pensyariatan nikah adalah Alquran, sunah, dan ijmak. Namun
sebagian ulama berpendapat hukum asal perkawinan adalah mubah
(boleh). Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah, wajib, halal,
makruh tergantung kepada illat hukum. Hukum nikah menjadi sunnah
apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya wajar
dan cenderung ia mempunyai keinginan untuk nikah dan sudah
mempunyai penghasilan yang tetap. Hukum nikah menjadi wajib
apabila seseorang dipandang dari segi jasmaninya telah dewasa dan dia
telah mempunyai penghasilan yang tetap serta ia sudah sangat
berkeinginan untuk menikah sehingga apabila ia tidak menikah
dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan zina. Dan dia menjadi
makruh bagi seorang lelaki yang tak memiliki keinginan seksual sama
sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan
mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena
pernikahannya itu. Hukum nikah bagi seseorang tertentu menjadi haram
manakala si lelaki yang akan melaksanakan pernikahan itu tidak
memiliki kemampuan melakukan aktifitas biologis hubungan suami
istri, dan tidak memiliki kemampuan menjamin perbelanjaan atas
istrinya.4
2. Menurut UU No. 16 tahun 2019

4
Didi Nahtadi, skripsi: “Tradisi Ayun Pengantin Dalam Perkawinan Masyarakat Kabupaten
Serang” Hal. 23

6
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
diubah sebagai berikut dalam UU No. 16 tahun 2019.
Ketentuan pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai
umur 19 tahun
b. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagamana
dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan atau orang tua pihak
wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan
sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
c. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang
akan melangsungkan perkawinan.
d. Ketentuan-ketentuann mengenai keadaan seseorang atau kedua orang
tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan
ayat (4) berlaku ketentuan mengenai permintaan dispensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

7
BAB III
MATERI POKOK
A. Pernikahan Dini dalam Perspektif UU No. 16 Tahun 2019 tentang
Perkawinan
Praktik pernikahan dini di Indonesia masih cenderung tinggi, walaupun
di tingkat Asia Tenggara data pernikahan dini menunjukkan penurunan. BPS
pada tahun 2017 mendata sekitar 22,9% perempuan yang berusia 20-24 tahun
yang disurvei menikah sebelum usia 18 tahun. Di beberapa provinsi di
Indonesia, seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi
Tengah, data perempuan yang menikah di bawah 18 tahun berkisar lebih dari
35%. BPS pada tahun 2016 mengindikasikan bahwa perkawinan anak dalam
jumlah terbesar adalah antara usia 16-17 tahun, sementara itu terdapat sekitar
1,1 % perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun.
Salah satu peraturan yang telah mengalami perubahan menjelang
berakhirnya masa tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode
tahun 2014-2019 adalah Undang Undang Republik Indonesia nomor Tahun
1974 tentang Perkawinan. Kini, perubahannya sudah dituangkan lewat
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019, dan mulai
berlaku sejak 15 Oktober 2019. Berbeda dari Rancangan Undang
Undang yang lain, perubahan Undang Undang Perkawinan nyaris kurang
mendapat perhatian. Substansi perubahannya pun hanya tentang usia
perkawinan. Padahal, ada
masalah perkawinan yang sudah pernah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Undang Undang Perkawinan baru juga memuat aturan dispensasi perkawinan,
yang agak berbeda rumusannya dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun
usianya belum mencapai batas minimal 19 tahun. Prinsipnya, seorang laki-
laki dan seorang perempuan diizinkan menikah jika mereka sudah berusia 19
tahun ke atas. Jika ternyata keadaan menghendaki, perkawinan dapat
dilangsungkan meskipun salah satu dari pasangan atau keduanya belum
mencapai usia dimaksud. Artinya, para pihak dapat mengesampingkan syarat

8
minimal usia perkawinan. Menurut Undang Undang Perkawinan yang baru,
penyimpangan hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan
dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak calon
mempelai. Bagi pasangan yang beragama Islam, permohonan diajukan ke
Pengadilan Agama. Bagi pemeluk agama lain diajukan ke Pengadilan negeri.
Praktik pernikahan dini di Indonesia terjadi karena berbagai faktor yang
saling memengaruhi: kemiskinan, budaya, intepretasi agama, dan dampak
negatif dari perkembangan teknologi. Selain itu, kondisi-kondisi khusus
seperti konflik dan migrasi turut berpengaruh terhadap terjadinya praktik
perkawinan anak.
Hukum termasuk faktor yang memberi peluang bagi masyarakat untuk
melegitimasi perkawinan anak. Undang-Undang Perkawinan memberikan
batas usia minimum perkawinan yang berbeda, yaitu 16 tahun untuk calon
mempelai perempuan dan 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki. Selain
itu, praktik perkawinan anak di bawah usia minimum perkawinan juga terjadi.
Pasangan yang salah satu atau keduanya di bawah usia minimum dapat
melangsungkan perkawinan setelah mendapatkan dispensasi dari Pengadilan
atau pejabat lainnya. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Undang
Undang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa mereka yang berusia 0-
18 tahun tergolong anak dan Negara berkewajiban untuk melindungi,
menghormati, menegakkan dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana diatur
dalam undang-undang tersebut.5
B. Faktor-faktor penyebab pernikahan dini
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat menikahkan anaknya di
bawah usia yaitu sebagai berikut:
Yang pertama, Faktor Ekonomi, dimana orang tuanya yang sudah tidak
mampu untuk membiayai anaknya tersebut karena mereka memiliki lebih dari
5 anak misalnya, lalu mereka berkeputusan untuk bisa menikahkan anaknya
dengan orang yang dianggap lebih mampu. Hal ini juga yang menyebabkan
5
Dwi Rizky Kholifaturroyan, Skripsi Upaya Pencegahan Perkawinan di Bawah Umur Sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, (Tegal: Universitas Pancasakti
Tegal), 2020,Hal. 53-55

9
tingkat Pendidikan wanita rendah, karena lebih memilih menikah daripada
melanjutkan Pendidikan, karena kalaupun mereka ingin bersekolah, orang
tuanya tidak memiliki biaya yang cukup untuk menyekolahkannya.
Yang kedua, Faktor pendidikan yang rendah adalah yang sangat
mempengaruhi pola pemikiran suatu masyarakat, baik dari pendidikan orang
tua maupun si anak sendiri. Suatu masyarakat yang memiliki pendidikan yang
tinggi pasti akan berpikir dua kali untuk menikah dan menganggap bahwa
pernikahan adalah hal yang kesekian. Berbeda dengan masyarakat yang
pendidikannya masih rendah, mereka pasti akan mengutamakan pernikahan
karena hanya dengan cara tersebut mereka dapat mengisi kekosongan hari-
hari anak-anak mereka dan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Tingkat Pendidikan mempengaruhi tingkat kematangan kepribadian
seseorang, dengan Pendidikan mereka akan lebih menyaring dan menerima
suatu perubahan yang baik, dan merespon lingkungan yang dapat
mempengaruhi kemampuan berpikir mereka.
Yang ketiga, Faktor Keinginan sendiri. Faktor ini yang sangat sulit untuk
dihindari, karena pria dan wanitaberpikiran bahwa mereka saling mencintai
bahkan tanpa memandang usia mereka, tanpa memandang masalah apa yang
nanti akan dihadapi dan apakah mereka mampu untuk memecahkan suatu
masalah. Apabila suatu masalah tidak dapat dipecahkan, suatu pernikahan
akan terancam bercerai dengan alasan bahwa pikiran mereka sudah tidak
seirama lagi. Itulah seharusnya yang menjadi permasalahan dan pertimbangan
apabila ingin menikah di usia muda.
Yang keempat adalah faktor pergaulan bebas. Kurangnya bimbingan dan
perhatian dari orang tua, anak akan mencari jalan supaya mereka bisa merasa
bahagia, yaitu dengan bergaul dengan orang-orang yang tidak dilihat terlebih
dahulu kelakuannya (bebas). Hal yang sangat sering terjadi yakni hamil
duluan di luar ikatan pernikahan. Sehingga karena hal tersebut, mau tidak
mau orang tua akan memberi izin kepada anaknya yang masih di bawah umur
untuk menikah.

10
Yang kelima adalah dari Faktor adat istiadat pernikahan sering terjadi karena
sejak kecil anak telah dijodohkan kedua orang tuanya. Bahwa pernikahan
anak-anak segera merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat
mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang memang telah
lama mereka inginkan bersama, semuanya supaya hubungan kekeluargaan
mereka tidak putus (Wigyodipuro, 1967: 133). Selain itu adanya
kekhawatiran orang tua terhadap anak perempuannya yang sudah menginjak
remaja, sehingga orang tua segera mensarikan jodoh untuk anaknya. Orang
tua yang bertempat tinggal di pedesaan pada umumnya ingin cepat-cepat
menikahkan anak gadisnya karena takut akan menjadi perawan tua. (BKKBN,
1993: 9).
Kemudian lebih jauh, yang merupakan penyebab dari pernikahan dini
yakni karena adanya Media Massa. Gencarnya ekspose seks di media massa
mengakibatkan remaja modern kian permisif terhadap seks.26 Ada banyak
faktor yang mengakibatkan suatu perkawinan dini menjadi marak, termasuk
keterlibatan, keabsahan orang tua, dan kekuatan sosial. Pernikahan dini rawan
terjadi pada gadis-gadis miskin yang tidak bisa mengenyam pendidikan
maupun yang putus sekolah, dan kurangnya informasi mengenai dampak
suatu pernikahan dini dikarenakan tinggal di suatu pedesaan. Itulah faktor
yang sangat mempengaruhi suatu prakti pernikahan dini.
Perkawinan dini, bagi perempuan akan mengakibatkan banyak risiko,
dari aspek biologis seperti (kerusakan organ-organ reproduksi, hamil muda,
dan aspek psikologis seperti ketidaksanggupan menjalankan fungsi-fungsi
reproduksi dengan baik. Kehidupan rumah tangga menuntuk tanggungjawab
yang besar bagi perempuan maupun laki-laki.
Akibat lainnya yakni, hilangnya hak seorang anak. Lalu, hilangnya hak
kesehatan pada anak, persoalan psikologis seperti cemas bahkan depresi. Dan
di dalam masyarakat, orang yang menikah dini akan berisiko mengalami
kemiskinan yang berkelanjutan.6

6
Muntamah, Ana Latifatul, ”Pernikahan Dini di Indonesia: Faktor dan Peran Pemerintah
(Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum bagi Anak”, Jurnal: Hukum, Vol. 2, No. 1, Hal. 7-8

11
C. Dampak Pernikahan Dini
Menurut Mualimin Abdi,"19 pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia
pernikahan sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan (open
legal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, dalam hukum Islam maupun
hukum adat tidak menyebut batas usia minimum seseorang diperbolehkan
menikah. Dalam hukum Islam persiaratan umum yang lazim disebut sudah
akil baligh. Adapun secara adat ada perbedaan antara daerah yang satu dan
daerah lainnya, misalnya, di Jawa Barat, perempuan yang sudah berusia 14
tahun, telah akil baligh, dan dianggap cakap dibolehkan untuk menikah.
Sementara di Jawa Tengah, perempuan yang sudah berusia 20 tahun belum
menikah dapat dianggap "perawan tua". Undang-Undang Perkawinan
menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya
untuk dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari perkawinan di bawah umur, sehingga tujuan perkawinan untuk
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat dapat tercapai. 7
Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki
resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seseorang
perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu dan
anak. Hal ini terjadi karena belum siapnya rahim seorang perempuan usia
muda untuk memprodusi anak dan belum siapnya mental dalam rumah tangga
(Sistiarani,2008). Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang
dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun
pada anak. Kehamilan diusia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi
dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak
perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil
maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko
ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Angka

7
Mardi Chandra, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, (Jakarta Timur, Kencana, 2018), Cet.1,
Hal. 223

12
kematian ibu usia dibawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria,
bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat (Fadlyana ,2016)8
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun
melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructedlabour serta
obstetric fistula. Data dari UNPFA tahun 2013, memperlihatkan 15%-30%
diantara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu
obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang
menyebabkan kebocoran urin atau feses kedalam vagina. Wanita berusia
kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric
fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual diusia dini (Fadlyana,
2016).
Pernikahan anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi,
kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertama kali
juga meningkatkan resiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi
HIV (Fadlyana, 2016).
D. Cara Mencegah Pernikahan Dini
Upaya pencegahan pernikahan dini di Indonesia ini berkembang seiring
dengan maraknya perkawinan usia anak dan besarnya dampak negative yang
ditimbulkan. Sehingga perkawinan anak usia dini di pandang bukan lagi
menjadi masalah keluarga atau masyarakat setempat, tetapi menjadi bagian
dari masalah Negara. Untuk memulai mencegah pernikahan usia dini, kita
perlu banyak belajar dari berbagai Negara yang pernah melaksanakan
kegiatan ini sebelumnya, diantaranya adalah Bangladesh, India, dan Nepal.
Upaya ke tiga Negara tersebut untuk mengurangi pernikahan dini dengan
membuat peraturan minimum usia perkawinan, yaitu 21 tahun untuk anak
laki-laki dan 18 tahun untuk anak perempuan. Untuk mencegah usia
pernikahan dini maka dilakukan dengan cara mengubah norma social yang
ada di masyarakat. Di Indonesia, kebijakan program pencegahan perkawinan
8
Nurul Isnaini, Ratna Sari, “Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dampak Pernikahan Dini pada
Kesehatan Reproduksi di SMA Budaya Bandar Lampung”, Jurnal: Kebidanan Vol. 5 No. 1, 2019,
Hal. 78

13
usia anak yang ada didaerah tidak terlepas dari kebijakan di tingkat pusat.
Salah satu kebijakan dan program tingkat pusat dalam rangka pendewasaan
usia perkawinan adalah melalui program Genre (Generasi Berencana).
Program untuk memfasilitasi terwujudnya Tegar Remaja, yaitu remaja yang
berprilaku sehat, terhindar dari risiko TriadKRR (pergaulan bebas/ free sex,
HIV/AIDS, dan penyalahgunaan napza), menunda usia pernikahan,
mempunyai perencanaan kehidupan berkeluarga untuk mewujudkan Keluarga
Kecil Bahagia Sejahtera serta menjadi contoh, model, idola dan sumber
informasi bagi teman sebayanya. Salah satu upaya yang ditempuh adalah
penyelenggaraan program yang dikenal sebagai pendewasaan Usia
Perkawinan pada perkawinan pertama hingga usia 20 tahun untuk perempuan
dan 25 tahun untuk laki-laki.
Tujuan program ini adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada
remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat
mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga:
kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan social dan ekonomi: serta
menentukan jarak dan jumlah kelahiran. Salah satu program/kegiatan yang
dilaksanakan adalah PIK Remaja adalah suatu wadah program Genre dikelola
dari, oleh dan untuk remaja atau mahasiswa guna memberikan layanan
informasi dan konseling tentang kesehatan reproduksi serta kegiatan
penunjang lainya. Tujuan pusat informasi dan konseling remaja adalah
menanggulangi pernikahan dini dengan cara memperkenalkan kepada
masyarakat luas tentang program pedewasaan usia perkawinan remaja.

14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019, berlaku sejak
15 Oktober 2019. Substansi perubahannya pun hanya tentang usia
perkawinan. Undang Undang Perkawinan baru juga memuat aturan
dispensasi perkawinan, yang agak berbeda rumusannya dari Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Prinsipnya, seorang laki-laki dan seorang
perempuan diizinkan menikah jika mereka sudah berusia 19 tahun ke atas.
Jika ternyata keadaan menghendaki, perkawinan dapat dilangsungkan
meskipun salah satu dari pasangan atau keduanya belum mencapai usia
dimaksud. Artinya, para pihak dapat mengesampingkan syarat minimal
usia perkawinan. Menurut Undang Undang Perkawinan yang baru,
penyimpangan hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan
dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak calon
mempelai.
 Faktor-faktor penyebab pernikahan dini yaitu: faktor ekonomi, Pendidikan
yang rendah, keinginan sendiri, pergaulan bebas dan faktor adat istiadat.
 Salah satu dampak pernikahan dini adalah meningkatkan risiko komplikasi
medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan diusia yang sangat
muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu.
 Salah satu cara/upaya yang ditempuh untuk mencegah pernikahan dini
adalah dengan adanya penyelenggaraan program yang dikenal sebagai
pendewasaan Usia Perkawinan pada perkawinan pertama hingga usia 20
tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
B. Saran
Kami menyadari akan kekurangan makalah kami ini, oleh sebab itu
diharapkan kepada pembaca untuk dapat memberi kritik dan saran yang
konstruktif dalam rangka penyempurnaan makalah ini. Akhir kata hanya
kepada Allah SWT jualah kami menyerahkan diri serta memohon taufik dan
hidayah-Nya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

15
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Slamet Abidin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia,
Cet. 1.
Didi Nahtadi, Skripsi Tradisi Ayun Pengantin Dalam Perkawinan Masyarakat
Kabupaten Serang”.
Dwi Rizky Kholifaturroyan, 2020, Skripsi Upaya Pencegahan Perkawinan di
Bawah Umur Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun
2019, (Tegal: Universitas Pancasakti Tegal)
Mardi Chandra, 2018, Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta Timur,
Kencana, Cet.1
Muntamah, Ana Latifatul, 2019, ”Pernikahan Dini di Indonesia: Faktor dan
Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum bagi
Anak”, Jurnal: Hukum, Vol. 2, No. 1
Nurul Isnaini, Ratna Sari, 2019, “Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dampak
Pernikahan Dini pada Kesehatan Reproduksi di SMA Budaya Bandar
Lampung”, Jurnal: Kebidanan Vol. 5 No. 1
Teguh Pribadi, 2015, Laporan Praktikum Edukasi Pernikahan Dini di Desa
Gunung Rejo Kecamatan Singosari, (Singosari: Universitas Brawijaya)
Tihami, Sohari Sahrani, 2014, Fikih Munakahat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. 4

16

Anda mungkin juga menyukai