Anda di halaman 1dari 16

KOASISTENSI BEDAH DAN RADIOLOGI

AGEN PREMEDIKASI DAN ANESTESI

OLEH:

AGATHA SADA UA
KOAS 1A (2009020026)

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2021
AGEN PREMEDIKASI

Premedikasi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan
utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis
anestetikum, mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (McKelvey dan
Hollingshead, 2003). Selain itu, premedikasi diberikan dengan tujuan membuat hewan lebih
tenang dan terkendali, mengurangi dosis anestesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak
diinginkan, mengurangi nyeri pre-operasi (Sardjana, 2003).

Pemberian premedikasi juga bertujuan untuk mengurangi metabolisme basal sehingga


induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan memerlukan obat anestesi yang
lebih sedikit dengan mengurangi dosis anestesi, akan membuat hewan penderita sadar lebih cepat
setelah operasi selesai (Sardjana dan Kusumawati, 2011).

Pemilihan premedikasi dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat
pengendalian, jenis operasi dan kesulitan dalam pemberian anestetikum. Premedikasi yang
paling umum digunakan pada hewan adalah atropin, acepromazin, xylazin, diazepam,
midazolam, dan opioid atau narkotik (Mentari, 2013).

a. Atropin

Atropin merupakan premedikasi dari golongan antikolinergik yang memiliki afinitas kuat
terhadap respon muskarinik, obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin
terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Kerja atropin pada beberapa fisiologis tubuh
seperti menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis
(dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi pada cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan fokus
untuk penglihatan dekat). Pada pasien glaukoma, tekanan intraokuler akan meninggi yang akan
membahayakan. Pemberian atropin sebagai obat antikolinergik digunakan untuk mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus serta mencegah bradikardia yang diberikan sebelum
pemberian anestesi, mengingat sekresi bronkhial berlangsung selama anestesi. Pada anjing dan
kucing yang masih muda, pemberian atropine dapat memperberat takikardia (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).

Atropin dapat menghambat bradikardia yang dapat ditimbulkan oleh obat kolinergik.
Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung tetapi
dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau esterkolin yang lain. Pada dosis yang kecil
memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan
depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan. Farmakokinetik dari atropin, yaitu
atropin mudah diserap, sebagian dapat dimetabolisme di dalam hepar dan dibuang dari tubuh
terutama melalui air seni. Adapun efek samping dari atropin tergantung dari dosis, atropin juga
dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur, takikardia, dan konstipasi. Efeknya
terhadap susunan saraf pusat, antara lain: rasa capek, bingung, halusinasi, delirium, yang dapat
berlanjut menjadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernapasan, serta kematian (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).

Pada gastrointestinal, atropin digunakan sebagai obat anti spasmodik untuk mengurangi
aktivitas saluran cerna, sebab atropin adalah salah satu obat terkuat sebagai penghambat saluran
cerna. Atropin berefek pula pada kandung kemih, dengan mengurangi keadaan hipermotilitas
kandung kemih. Atropin dapat menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada
lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin, bahkan
kelenjar keringat dan airmata juga dapat terganggu (McKelvey dan Hollingshead, 2003). Obat
golongan antikolinergik seperti atropin diberikan dengan dosis pada anjing dan kucing 0,02
mg/kg BB melalui subkutan (Sardjana dan Kusumawati, 2011). Menurut Sajuthi (2020), dosis
anjuran yang diberikan pada anjing dan kucing 0,022 – 0,044 mg/kg secara intramuscular
ataupun melalui subkutan. Dosis anjuran untuk hewan besar sapi 20 mg/45 kg, kuda 6,5 mg/45
kg dan domba 20 mg/ 45 kg (Steneroden, 2014).

b. Acepromazine

Acepromazine merupakan premedikasi dari golongan transquilizer yang mempunyai efek


penenang dan mengatasi rasa cemas. Obat ini berbeda dengan sedatif, sebab hewan tidak
mengalami drowsiness dan pada dosis tinggi tidak menimbulkan hipnosis atau anastesi umum
namun tranquilizer yang digunakan sendiri kebanyakan tidak mempunyai efek analgesi (Sardjana
dan Kusumawati, 2004).

Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, sediaan ini merupakan agen


neuroleptik yang poten dan toksisitasnya rendah. Acepromazin menginduksi ketenangan ringan
hingga sedang, relaksasi otot, dan mengurangi aktivitas spontan terutama diakibatkan oleh
antagonis pusat dopaminergik. Acepromazin juga memiliki efek antiemetik, antikonvulsan,
antispasmodik, hipotensi, dan hipotermik (Lemke, 2007). Menurut Gross (2001), phenothiazine
dapat mencegah terjadinya muntah yang disebabkan oleh obat lain meskipun dalam jumlah yang
sangat kecil. Pada hewan kecil acepromazin banyak digunakan untuk restrain (Vaisanen et al.,
2002). Namun, sediaan ini tidak cocok digunakan pada hewan yang agresif karena phenotiazine
hanya menghasilkan sedatif ringan, semakin tinggi dosis acepromazin tidak meningkatkan efek
sedasinya, namun memperpanjang efek sampingnya (Vesal et al., 2011).

Dosis anjuran untuk hewan besar yaitu kuda 0,01 – 0,08 mg/kg, sapi 0,05 – 0,1 mg/kg,
babi 0,03 – 0,2 mg/kg melalui intravena, intramuscular dan subkutan. Dosis anjuran untuk hewan
kecil yaitu anjing dan kucing 0,03 – 0,25 mg/kg melalui intravena, intramuscular dan subkutan.
Sedangkan pemberian per oral untuk anjing dan kucing yaitu 1,1 – 2,2 mg/kg (Steneroden,
2014).

c. Kombinasi Xylazin - Ketamin

Ketamin dosis rendah menghasilkan analgesik yang baik (Intelisano et al., 2008), tetapi
ketamin menyebabkan kekejangan otot dan peningkatan denyut jantung (Pathak et al., 1982; Kul
et al., 2001). Mengatasi efek samping, ketamine dikombinasikan dengan xilazin sebagai
premedikasi sedatif hipnotik golongan a2-adrenoceptor (Lumb dan Jones, 1996; Muir et al.,
2000). Penggunaan premedikasi xilazin pada anjing menyebabkan muntah, hipersalivasi dan
bradikardi.

d. Kombinasi Xylazin - Atropin

Penggunaan xylazin secara bersamaan dengan atropin sebagai premedikasi, dapat


menurunkan pengaruh hipersalivasi dan bradikardi dari xylazin. Xylazin mempunyai potensi
bekerja lebih cepat dibandingkan atropin dan berpengaruh sangat kuat menurunkan denyut
jantung (Rossi dan Junqueira, 2003; Adams, 2001; Bishop, 1996). Golongan a2-adrenergik
agonis seperti xylazin menyebabkan penurunan transmisi simpatik dari susunan saraf pusat,
tertekannya pacemaker secara langsung, tertekannya konduksi, terhambatnya pelepasan
noradrenalin dari ujung saraf simpatik, peningkatan pelepasan acetylcholine dari saraf
parasimpatik, dan meningkatnya tonus vagal. Xylazin menyebabkan aktivitas simpatik menurun
dan aktivitas vagal meningkat. Atropin mampu meningkatkan denyut jantung dan mencegah
terjadinya bradikardia akibat xylazin. Atropin merupakan obat antimuskarinik digunakan untuk
mengurangi salivasi, sekresi bronkhial dan untuk melindungi serta mencegah kejadian aritmia
yang disebabkan oleh prosedur atau sifat obat-obat anestesi (Bishop, 1996). Atropin termasuk
obat yang bekerja secara kompetitif terhadap acetylcholine, sehingga berpengaruh untuk
meningkatkan denyut jantung (Carlson, 1986).

AGEN ANESTESI

Anestesi umum dapat didefinisikan sebagai keadaan umum dari depresi fungsi sistem
saraf pusat (Central Nervous System) yang menyebabkan hilangnya respon dan persepsi terhadap
rangsangan eksternal yang diberikan, tetapi hal ini tidak berlangsung secara permanen (Evers
dan Crowder, 2001). Menurut Trevor dan Miller (1998) Stadium dalam anestesi umum meliputi
analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflek otonom serta
relaksasi otot. Keadaan ini dicapai dengan pemberian obat anestesi umum baik melalui injeksi,
inhalasi, maupun kombinasi dari keduanya (Pablo, 2003). Obat-obatan anestesi terutama
diberikan secara injeksi harus memenuhi beberapa kriteria tertentu untuk menghindari resiko-
resiko yang tidak diinginkan. Kriteria tersebut meliputi obat yang tidak bersifat toksik dan
kumulatif di dalam tubuh pasien, potensinya besar yaitu dalam dosis rendah mampu memberikan
efek yang diinginkan, daya kerja cepat diikuti dengan waktu pemulihan yang cepat pula, dapat
dikombinasikan dengan obat anestesi yang lain, tidak bersifat alergenik, tidak menimbulkan
kesakitan saat injeksi (Lee, 2007). Tidak ada satupun obat anestesi yang memenuhi semua
kriteria tersebut dalam dosis tunggal (Pablo, 2003).

Menurut Sardjana dan Kusumawati (2011) serta Ganiswara (1995), stadium anastesi
umum dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :

 Stadium I (stadium analgesia) yang dikenal juga sebagai stadium eksitasi yang disadari
atau disorientasi, stadium ini berlangsung antara saat induksi dilakukan sampai hilangnya
kesadaran hewan penderita. Pada stadium ini pupil tidak melebar (midriasis) akibat
terjadinya rangsangan psikosensorik (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
 Stadium II dimulai dari hilangnya kesadaran, terjadi reaksi berlebihan maupun refleks
yang tidak terkendali terhadap segala bentuk rangsangan, refleks faring yang
berhubungan dengan menelan dan muntah meningkat. Pada stadium ini pupil mengalami
midriasis akibat rangsangan simpatik pada otot dilatator. Stadium I dan II adalah stadium
menyulitkan ahli anestesi karena bisa berbahaya bagi hewan penderita, oleh karena itu
diupayakan bisa melewati secepatnya untuk mencapai stadium III (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).
 Stadium III adalah stadium anestesi (stadium pembedahan), pupil mengalami midriasis
disebabkan pelepasan adrenalin. Stadium pembedahan ini dilakukan bila pupil dalam
posisi terfiksasi di tengah dan respirasi teratur. Pada anestesi yang dalam pupil
mengalami dilatasi maksimal akibat paralisis saraf kranial III. Stadium pembedahan ini
dibagi menjadi 4 plane. Plane 1, ventilasi teratur bersifat torakoabdominal, pernapasan
dada dan perut seimbang, pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang
tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah negatif, tonus otot menurun, belum tercapai relaksasi otot lurik
yang sempurna. Plane 2, operasi kecil dapat dilakukan pada tingkat ini. Pernapasan
teratur tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat I, ventilasi teratur bersifat abdomino
torakal, bola mata tidak bergerak, pupil midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks
kornea negatif, refleks laring negatif, relaksasi otot sedang, tonus otot menurun, refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Semua operasi dapat dilakukan pada
tingkat ini. Plane 3, pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena otot
interkostal mulai mengalami paralisis, pupil melebar, tonus otot makin menurun,
relaksasi otot lurik sempurna, refleks laring dan peritonium negatif. Semua operasi dapat
dilakukan pada tingkat ini. Plane 4, ventilasi tidak teratur, tonus otot menurun,
pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan darah
mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang (Sardjana dan Kusumawati,
2011).
 Stadium IV disebut stadium overdosis, hewan mengalami henti napas dan henti jantung
yang berakhir dengan kematian (Sardjana dan Kusumawati, 2011).
a. Ketamin

Ketamin merupakan obat tunggal untuk tindakan operasi kecil pada hewan penderita
beresiko tinggi, biasanya ketamin juga dikombinasi dengan beberapa obat sedatif (penenang).
Obat ini dikenal sebagai agen anestesi umum non-barbiturat yang berefek atau bekerja cepat, dan
termasuk golongan Phenylcyclo Hexylamine (Kusumawati dan Sardjana, 2004). Ketamin sebagai
salah satu anestesi injeksi, dapat digunakan sebagai anestesi umum pada kucing, primata, kuda,
sapi, unggas, dan anjing (Adams, 2001). Ketamin termasuk anestesi golongan dissosiative.
Ketamin merupakan analgesik yang bekerja kuat pada sistem saraf pusat melalui saraf
simpatomimetik dan parasimpatolitik (Pertiwi et al., 2004). Ketamin merangsang proses
metabolisme kerja kardiovaskular, salivasi, meningkatkan suhu tubuh, detak jantung, dan
tekanan arteri (Ramsey, 2008). Ketamin bila diberikan secara tunggal memiliki beberapa efek
samping antara lain meningkatnya tekanan darah arteri terutama bila diberikan secara intravena,
hipersalivasi, halusinasi, dan tidak adanya reflex otot (Erwin, 2009). Penggunaan ketamin
sebagai agen anestesi memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah mudah
pengaplikasiannya, induksi cepat dan dapat dikombinasikan dengan agen preanestesi lainnya.
Penggunaan ketamine juga memiliki dampak negatif karena menyebabkan terjadinya ketegangan
otot, oleh karena itu perlu dicarikan alternatif campuran ketamin untuk menghilangkan efek
ketegangan otot akibat ketamin (Slatter, 2003). Adapun dosis ketamin untuk kucing adalah 10-
30mg/kgBB (Kusumawati dan Sardjana, 2004). Dosis anjuran untuk anjing dan kucing masing –
masing 5,5 – 22 mg/kg dan 2 – 25 mg/kg secara intramuskular atau intravena (Sajuthi, 2020).
Dosis anjuran untuk hewan besar yaitu kuda 2 mg/kg melalui intravena, babi 6‐11 mg/kg
intramuscular (Steneroden, 2014).

b. Xylazin

Xylazin menyebabkan penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi
kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan
menjadi tidak sadar atau teranestesi. Dalam anestesi hewan, xylazin biasanya paling sering
dikombinasikan dengan ketamin. Obat ini bekerja pada reseptor presinaptik dan postsinaptik dari
sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis sebuah adrenergik. Xylazin menimbulkan efek
relaksasi muskulus sentralis. Selain itu, xylazin juga mempunyai efek analgesia, xylazin dapat
menimbulkan kondisi tidur yang ringan sampai kondisi narkosis yang dalam, tergantung dari
dosis yang diberikan untuk masing-masing spesies hewan (Mentari, 2013).

Menurut Adams (1992), α2-adrenoreseptor agonis mengarahkan efek penghambatan pada


fungsi sistem saraf pusat. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun sehingga
menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, serta menurunkan tingkat
kewaspadaan. Pada otot polos pembuluh darah arteri organ dan vena abdomen ditemukan α2-
adrenoreseptor. Ketika α2-adrenoreseptor diaktifkan dapat menyebabkan vasokonstriksi. Selain
itu, α2-adrenoreseptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem saraf
pusat, ginjal, sistem endokrin, dan trombosit. Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat
memperpanjang durasi analgesia, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek efek pemulihan.
Efek xylazin pada fungsi sistem repirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis
yang tinggi dapat menekan respirasi sehingga terjadi volume tidal dan respirasi rata-rata (Plumb,
1999). Perubahan yang cukup jelas terlihat pada sistem kardiovaskular. Awalnya segera setelah
injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan kontriksi pembuluh darah
kapiler. Sebagai refleks normal terhadap peningkatan tekanan darah dan pemblokiran saraf
simpatis, frekuensi jantung akan menurun sehingga menimbulkan bradikardia dan tekanan darah
menurun mencapai level normal atau subnormal. Xylazin tidak dianjurkan pada hewan yang
menerima epinefrin, penyakit jantung, darah rendah, penyakit ginjal dengan atau jika hewan
sangat lemah (Rahim, 2013).

Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardia, aritmia, peningkatan tekanan sistem saraf
pusat, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan
volume respirasi permenit) serta hipertensi yang dapat diikuti dengan hipotensi. Selain itu,
xylazin memiliki efek farmakologis yang sebagian besar terdiri dari penurunan cardiac output
dimana terjadi penurunan setelah kenaikan awal pada tekanan darah, dalam perjalanan efeknya
vasodilatasi tekanan darah (menyebabkan bradikardia), vomit, tremor, motilitas menurun, tetapi
kontraksi uterus meningkat (pada betina) bahkan dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal
seperti menghambat produksi insulin dan antidiuretic hormone (ADH). Xylazin juga
menghambat efek stimulasi saraf postganglionik. Pengaruh xylazin dapat dibatalkan dengan
menggunakan antagonis reseptor adrenergik, misalnya atipamezole, yohimbine, dan tolazoline
(Sardjana, 2003).

Pada anjing dan kucing khususnya, xylazin dapat merangsang pusat muntah sehingga
obat tersebut biasanya digunakan juga sebagai obat emetik. Xylazin juga biasanya dapat
menyebabkan peningkatan urinasi pada kucing. Xylazin tidak boleh digunakan pada pasien atau
hewan dengan hipersensivitas atau alergi terhadap obat tersebut. Pada ruminansia, xylazin dapat
menyebabkan hipersalivasi, meningkatkan resiko pneumonia pernafasan, tetapi hal tersebut
dapat dihentikan oleh atropin. Untuk spesies lain, xylazin menghambat aliran saliva (Sardjana,
2003). Dosis anjuran untuk anjing 1,1 mg/kg melalui intravena, 2,2 mg/kg melalui intramuscular
dan dosis untuk kucing 1,1 mg/kg melalui intramuskular (dosis emetic 0,4 – 0,5 mg/kg melalui
intravena) (Sajuthi, 2020).
Dosis anjuran untuk hewan besar seperti kuda 1‐2 mg/kg melalui intramuscular dan 0.5‐
1.1 mg/kg melalui intravena. Sedangkan dosis untuk babi 2.2 mg/kg melalui intravena dan dosis
untuk kambing, domba dan sapi 0.1‐0.3 mg/kg melalui intramuscular serta dosis sedatif 0.03 -
0.1 mg/kg melalui intravena (Steneroden, 2014).

c. Zoletil

Zoletil merupakan preparat anestesika injeksi yang baru yang berisi disosiasi tiletamin
sebagai tranquilizer mayor dan zolazepam sebagai perelaksasi otot. Zoletil merupakan kombinasi
antara tiletamin dan zolazepam dengan perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan disosiasif
anestetikum yang berasal dari golongan penisiklidin, sedangkan zolazepam merupakan
kelompok benzodiazepine yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Gwendolyn et al., 2002).
Obat ini memberikan anestesi general dengan waktu induksi yang singkat dan sangat sedikit
dalam hal efek samping, sehingga obat ini menjadi anestestika pilihan yang memberikan tingkat
keamanan yang tinggi dan maksimal. Zoletil secara umum dapat menyebabkan stabilitas
hemodinamik pada dosis yang rendah. Selain itu, zoletil dapat memperbaiki refleks respirasi dan
hipersalivasi seperti pada ketamin. Untuk memperbaiki kualitas induksi, melancarkan anestesi
dan menurunkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi, maka zoletil dapat dikombinasikan
dengan premedikasi seperti acepromazine dan opioid. Zoletil tidak boleh diberikan pada pasien
atau hewan dengan gangguan jantung dan respirasi. Zoletil dapat menyebabkan analgesia, tetapi
viseral analgesia yang ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali ditambah
dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi ringan dan apabila
digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan berkurang secara signifikan.
Kombinasi tilatemin-zolazepam ini akan di metabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui
ginjal. Tiletamin di metabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin dalam bentuk yang
tidak aktif. Selain itu, efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap
spesies. Tiletamin memiliki durasi yang lebih panjang dari ketamin, begitu juga dengan
analgesianya. Tiletamin dapat menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon
terhadap rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan yang panjang.
Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas hambatan α adrenergik
(Mentari 2013). Kombinasi dengan tiletamin dapat menyebabkan peningkatan penekanan pada
sistem saraf pusat, selain itu juga dapat mencegah kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot
akibat tiletamin (McKelvey dan Hollingshead, 2003).
Zoletil memberikan kemudahan dalam pemberiannya, baik melalui intramuskuler atau
melalui intravena dengan faktor keamanan yang tinggi. Indikasi pemakaian zoletil untuk
pengendalian pasien atau hewan penderita dan anestesi umum pada hewan kecil seperti anjing,
dan kucing serta satwa liar. Zoletil kontradiksi pada pasien atau hewan penderita dalam
perawatan atau pengobatan dengan Carbamates atau Organophosporous systemic, juga pada
hewan yang mengalami gangguan jantung dan pernapasan, defisiensi pancreas dan hipertensi.
Penggunaan zoletil juga tidak dianjurkan digunakan dengan obat golongan Phenotiazine
(contohnya chlorpromazine dan acepromazine) karena dapat menimbulkan resiko yang
berbahaya terhadap depresi respirasi dan cardiac, serta hipotermia. Begitu pula dengan
pemberian Chlorampenicol yang dapat menyebabkan turunnya atau kurangnya konsentrasi dari
anestetika yang diberikan (Kusumawati, 2004). Menurut Madley yang juga dikutip oleh Sardjana
(2003), zoletil yang digunakan pada reptilia menunjukkan hasil yang cukup baik. Dosis
pemberian premedikasi dengan atropin biasanya 15 menit sebelum pemberian zoletil. Dosis
zoletil pada kucing 10-15mg/kgBB (IM) atau 5 - 7,5 mg/kg BB (IV) dan durasi anestesi 20-60
menit bergantung pada dosis yang diberikan. Pengulangan pemberian dapat dilakukan 1/2 - 1/3
dosis inisial dan sebaiknya diberi secara intravena, karena pemberian melalui intramuskuler akan
menghilangkan refleks dan kesadaran pasien dalam waktu 3-6 menit sedangkan pemberian
secara intravena membuat kehilangan refleks dan kesadaran dalam waktu 1 menit (Sardjana dan
Kusumawati, 2011). Meskipun demikian, menurut Yin (1998), zoletil dapat diberikan dengan
mudah melalui IM yang akan menghilangkan refleks dan kesadaran pasien dalam waktu sekitar 5
menit, walaupun memang pemberian secara intravena membuat hilangnya refleks dan kesadaran
pasien dapat dicapai dalam waktu sekitar 1 menit. Zoletil merupakan bahan kimia larut lemak
(Gunawan et al., 2009). Bahan kimia larut lemak akan berdifusi secara langsung melalui
membran sel kapiler tanpa harus melewati pori-pori, sehingga dapat merembes kesemua area
membran kapiler. Kecepatan transport zat larut lemak lebih cepat daripada zat yang tidak larut
lemak (Guyton dan John, 2007).

d. Propofol

Propofol adalah substansi parenteral sebagai agen induksi pada anestesi umum khususnya
anestesi inhalasi (Dzikiti et al., 2007). Propofol mempunyai waktu pemulihan yang singkat,
tetapi mengakibatkan bradikardia dan pemberian dosis tinggi mengancam nyawa pasien.
Propofol menghasilkan pengaruh anestesi dengan mekanisme yang bekerja pada reseptor α
Amino Butiric Acid A (GABAA) dan digunakan sebagai induksi anestesi karena mempunyai
mula kerja dan waktu pengeluaran dari tubuh yang cepat (Stoelting, 1999). Propofol
menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial dan
bradikardi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi. Propofol secara
tunggal menyebabkan apnea dan kombinasi ketaminpropofol mampu mengurangi tekanan
respirasi dibandingkan hanya dengan propofol (Maddison et al., 2002; Andrews et al., 1997;
Stawicki, 2007; Mohamadnia et al., 2008).

Pada pemberian melalui injeksi, propofol tidak menimbulkan kerusakan jaringan,


demikian juga rasa sakit yang terjadi saat penyuntikan. Dosis obat ini diberikan untuk induksi
anestesi 6-7 mg/kg BB (IV) sedang untuk pemberian dosis tunggal 6 mg/kg BB (IV). Pada anjing
pemulihan kembali diperoleh setelah 20 menit tanpa diikuti dengan keadaan gemetar maupun
ataxia dari hewan penderita, namun demikian kejadian vomit bisa terjadi pada anjing dan dalam
masa pemulihan kucing sedikit lebih lambat, pemulihan diperoleh sekitar 30 menit (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).

e. Medetomidin

Medetomidin merupakan sediaan yang poten dan spesifik agonis α2-adrenoreceptor dan
telah dipasarkan secara luas beberapa tahun belakangan sebagai sedatifa dan analgesia pada
hewan kecil. Sediaan ini memiliki efek analgesik, sedatif, hipnosis, dan relaksasi otot tergantung
dosis yang diberikan, efek yang dihasilkan mirip dengan xylazin (Mpanduji et al., 2001; Murell
dan Hellbekers 2005). Medetomidin juga dilaporkan lebih lipofilik dibandingkan dengan xylazin,
detomidin atau clonidine (Savola et al., 1986). Mekanisme kerjanya adalah stimulasi dari α2
presinaptik tipe A adrenoreceptor yang menyebabkan terhambatnya pelepasan norepinefrin
(Scheinin et al., 1989). Mekanisme ini, di tingkat “locus coeruleus”, menghasilkan efek sedasi.
Pada saraf perifer, medetomidin menstimulasi post dan extrasinaptik α2-adrenoreceptor tipe B
yang berlokasi di otot halus dari arteriol, yang menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan
tekanan darah (Dugdale, 2010). Medetomidin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah,
bradikardi dan cardiac arrest (Vaisanen, 2002). Selain itu, medetomidin menyebabkan muntah
sebagai efek sampingnya. Medetomidin menjadi populer digunakan karena ketersediaan
atipamezol yang merupakan antagonis α2-adrenoreceptor, atipamezol dapat dengan cepat
mengembalikan kondisi fisiologis normal (Hall, 1996). Dosis anjuran untuk anjing dan kucing
0,005 – 0,02 mg/kg (Steneroden, 2014)

f. Tiopental

Obat ini merupakan salah satu anestesi umum golongan barbiturat ultra short acting. Obat
golongan barbiturat ini dalam bentuk garam sodium dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5%
atau 5% dengan pH 10,8. Metabolisme utamanya terjadi di hepar, hanya sebagian kecil keluar
lewat urine tanpa mengalami perubahan. Tiopental atau Pentotal 10-15% dari dalam tubuh akan
dimetabolisir setiap jam. Kesadaran kembali hewan penderita diperoleh dengan cepat disebabkan
pemecahan dalam hepar yang cepat karena itu obat ini termasuk dengan daya kerja sangat
singkat. Dalam jumlah kecil Tiopental atau Pentotal masih ditemukan dalam darah 24 jam
setelah pemberian. Pada susunan saraf pusat, obat ini menimbulkan sedasi, hipnosis dan depresi
pernapasan tergantung pada dosis dan kecepatan pemberian obat. Efek analgesia sedikit dan
terjadinya depresi serta diikuti kesadarannya menurun secara progresif. Efek pernafasan
utamanya adalah depresi pada pusat pernapasan dan pada kardiovaskuler ini mendepresi pusat
vasomotor dan kontraktilitas miokard mengakibatkan vasodilatasi sehingga menyebabkan
penurunan jantung dan tekanan darah. Komplikasi yang sering terjadi pemberian Tiopental atau
Pentotal dalam bentuk lokal, pemberian secara intravena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak,
warna kulit lokasi penyuntikan kemerahan dan berlanjut terjadi nekrosis. Indikasi pemberian
Tiopental atau Pentotal sebagai induksi anestesi umum, digunakan untuk operasi yang
berlangsung singkat dan juga untuk terapi eklamsia dan epilepsi. Kontraindikasi dari pemakaian
obat ini pada hewan penderita yang mengalami penyakit pernapasan, gangguan metabolisme,
kejadian syok, miastenia gravis dan penderita alergi terhadap barbiturat (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).

Keuntungan pemakaian obat ini sebagai induksi dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat, delirium tidak ada, kesadaran hewan penderita diperoleh dengan cepat dan iritasi mukosa
jalan napas tidak ada. Kekurangannya, hewan penderita sering mengalami depresi pernapasan,
depresi kardiovaskuler, spasme laring, efek analgesia tidak ada dan relaksasi otot perut kurang.
Dosis direkomendasikan untuk hewan kecil 20-26 mg/kg BB secara intravascular dengan
konsentrasi 2,5% (Sudisma et al., 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 8 th Ed. United States of
America: Iowa State Press. 1201 hlm.
Adams, H.R., 1992, Veterinary pharmacology and Therapeutics. Iowa State University Press
Ames.
Adams, R.H., 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics 8nd edition. IOWA State
University Press Ames.
Andrews DT, Leslie K, Sessler DI, Bjorksten AR. 1997. The arterial blood propofol
concentration preventing movement in 50% of healthy women after skin incision. Anesth
Analg 85: 414-419.
Bishop YM. 1996. The Veterinary Formulary. 3 rd Ed. London : The Pharmaceutical Press. 513
hlm.
Carlson NR. 1986. Physiology of Behavior. 3 rd Ed. United States of America. Iowa State Press.
Dugdale. 2010. A Dugdale Veterinary Anaethesia, Principle to Practice. Oxford (UK) : Willey
Blacwell.
Dzikiti TB, Chanaiwa S, Mponda P, Sigauke C, Dzikiti LN. 2007. Comparison of quality of
induction of anaesthesia between intramuscularly administered ketamine, intravenously
administered ketamine and intravenously administered propofol in xylazine premedicated
cats. Journal of the South African Veterinary Association. 78:201–204.
Erwin. 2009. Dampak Anestesi Ketamin pada Caesar.
Evers, A.S., C.M. Crowder. 2001. The Pharmacological basis of Therapeutics 10 th Ed.,
McGraw Hill : USA.
Ganiswara, G., S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Gunawan GS, Rianto SN, Elysabeth, editor. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Guyton AC, John EH. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati, penerjemah; Luqman YR,
editor. Jakarta : EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Gwendolyn LC, Hedlund CS, Donald AH, Ann LJ, Howard BS, Michael DW. 2002. Small
Animal Surgery 2 nd Edition. USA: Mosby of Elsevier.
Hall LW. 1996. Medeteomidine, alpha2 adrenoreceptors and small animal practice. Br.vet.J.
152(5):493-495.
Intelisano TR, Kitahara FR, Otsuki DA, Fantoni DT, Auler JOC, Cortopassi SRG. 2008. Total
intravenous anaesthesia with propofolracemic ketamine and propofol-S-ketamine: a
comparative study and haemodynamic evaluation in dogs undergoing ovariohysterectomy.
Pesquisa Veterinaria Brasileira 28:216-222.
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2004. Anestesi Veteriner. Yogyakarta (ID): UGM.
Lee, L. 2007. Canine & Feline Anesthesia. Center for Veterinary Health Sciences. 11-16.
Lemke KA. 2007. Anticholinergics and sedatives. Di dalam : Tranquili WJ, Thurmon JC, Grimm
KA, editor. Lumb and Jones Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed Ke-4. Iowa (US):
Blackwell Pub. Gross ME. 2001. Tranquillizer, alpha adrenergic agonists and related
agents. Di dalam : Adam HR, editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8.
Ames(US): Iowa State University Pr.
Lumb WV, Jones EW. 1996. Veterinary Anesthesia. 3 rd Ed. Philadelphia: Lea and Febiger.
Muir WW, Hubbell JAE, Skarda RT, Bednarski RM. 2000. Veterinary anesthesia. 3 rd Ed.
United States of America: Mosby.
McKelvey D dan Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia, Edisi ke-3.
Auburn, WA, U.S.A.
Mentari N. 2013. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-ketamin-Xylazin pada babi lokal
(Suis domestica). [Skripsi].
Mohamadnia AR, Shabazkia H, Akhlaghi M, Shahrokhi M, saberin L. 2008. Clinical evaluation
of repeated propofol total intravenous anesthesia in dog. Pakistan Journal of Biological
Sciences 11: 18201824.
Mpanduji DG, Bittegeko SBP, Batamuzi EK, Mgasa MN, Shami CL. 2001. Comparison of the
effects of atipamezole and tolazoline on anagesia, cardiopulmonary, and rectal temperature
changes induced by lumbosacral epidural injection of medetomidine in goats. Small
Ruminant Research. 40: 117-122.
Murrell JC, Hellebrekers LJ. 2005. Medetomidine dan dexmedotomidine: a review of
cardiovascular effects and antinociceptive proprieties in the dog. Vet. Anaesth. Analg.
32:117-127.
Pablo, L.S. 2003. Total IV Anesthesia in Small Animals. College of Veterinary Medicine,
University of Florida Gainesville, Fl. USA.
Pathak SC, Migan JM, Peshin PK, Singh AP. 1982. Anesthetic and hemodynamic effecs of
ketamine hydrochloride in buffalo calves. Am J Vet 5:875-877.
Pertiwi, R. E., Widodo, S. dan Soehartono, R. H. 2004. Perbandingan Gambaran Klinis Antara
Kombinasi Atropin Sulfat – Xylazine – Ketamine dan Kombinasi Atropin Sulfat –
Midazolam – Ketamin pada Kucing. Forum Pascasarjana Volume 27 Nomor 2 April 2004:
123 – 134.
Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd edition. The Iowa University Press. Ames
Iowa. Pp 64, 362, 648.
Rahim SA. 2013. Bedah Veteriner Umum Anestesi Umum [karya ilmiah]. [diunduh 13 Maret
2014].
Ramsey, I. 2008. Small Animal Formulary. Sixth Edition. British Small Animal Veterinary
Association, England.
Rossi RD, Junqueira AL. 2003. Analgesic and systemic effects of ketamine, xylazine, and
lidocaine after subarachnoid administration in goats. Am. Journal Vet.R 64: 51-56.
Sajuthi D. 2020. Obat – Obatan Untuk Hewan Kecil. Serial Buku Ilmu Farmasi Veteriner. IPB
Press.
Sardjana IKW, Kusumawati D. 2011. Bedah veteriner. Cetakan 1. Surabaya (ID): Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Sardjana IKW. 2003. Penggunaan Zoletil dan Ketamin untuk Anestesi pada Felidae [penelitian].
Surabaya (ID): Unair.
Sardjana, I. K. W dan Kusumawati. 2004. Anestesi Veteriner Jilid I. Gadjah Mada University
Press. Bulaksumur, Yogyakarta 1-49.
Savola JM, Ruskoaho H, Puurunen J, Salonen JS, Karki NT. 1986. Evidence for medetomidine
as selective and potent agonists at a2-adrenoceptors. J. Auton. Pharmacol. 5:275-284.
Scheinin H, Virtanen R, Macdonald E, Lammintausta R, Scheinin M. 1989. Medetomidin-a
novel α2-adrenoreceptor agonist: A review if its pharmacodinamic effects. Prog. Neuro-
Psychopharmacol. & Biol. Psychiat. 13(5):635-65.
Slatter, D., 2003. Textbook of Small Animal Surgery Volume 2 3th edition. Sounders Company.
Pennsylvania. State University Press. Ames.
Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist. 1:8-9.
Steneroden K. 2014. Veterinary Drug Formulary English Language Edition 2014.Animal Popula
tion Health Institut Colorado State University Fort Collins, CO 80521 USA.
Stoelting RK.1999. Nonbarbiturate induction drugs. In Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice. Philadelphia.Hlm.140157. Maddison J, Page S, Church D. 2002. Small
animal clinical pharmacology. Ed 1 st. USA. WB Saunders.
Sudisma IGN, Pemayun IGAGP, Wardhita AAGJ, Gorda IW. 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan
Teknik Operasi Edisi I. Pelawa Sari. Denpasar
Trevor, A.J and R.D. Miller. 1998. Farmakologi Dasar Dan Klinik Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Vaisanen M, Reikallio M, Kuusela E, Huttumen P, Leppaluoto J, Kives P, Vainio O. 2002.
Evaluatiom of the peroperative strss reponse in dogs administered medetomidine or
acepromazine as part of the preanaesthetic medication. AJVR. 63(7):769-975.
Vesal N, Sarchahi AA, Nikahval B, Karampour A. 2011. Clinical evaluatiom of the sedative
properties of acepromazine-xylazine combinations or without atropine and their effects on
physiologic values in dogs. Veterinarski Arhiv. 81(4):485-498.
Yin S. 1998. The Small Animal Veterinary Nerd book TM second Ed. anasthesia-premedications
in cats and dog (P.1.11-1.14).

Anda mungkin juga menyukai