Anda di halaman 1dari 23

BAHAN AJAR MK.

KESMAVET II
(HIGIENE MAKANAN)

PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM


DAN POST-MORTEM

OLEH
IDA BAGUS NGURAH SWACITA

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mempelajari bahan ajar ini, mahasiswa dapat memahami cara
pemeriksaan kesehatan ante-mortem.

PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM


DAN POST-MORTEM

1. Proses Konversi Otot menjadi Daging


Sewaktu hewan-terak masih hidup, otot berfungsi sebagai alat gerak
fisiologis. Setelah pemotongan, terjadi konversi otot menjadi daging. Variasi
mutu daging banyak disebabkan oleh perubahan yang tetjadi beberapa jam sampai
beberapa hari setelah pemotongan. Proses ini disebut proses konversi otot menjadi
daging. Beberapa proses yang dapat tetjadi pada proses konversi otot menjadi
daging adalah sebagai berikut ini.

1.1 Perubahan Berat


Setelah proses penyembelihan, otot tidak langsung menjadi daging, dan fungsi
otot tidak langsung berhenti tetapi masih tetjadi beberapa perubahan fisik dan
kimia selama beberapa jam sampai beberapa hari. Tubuh hewan mempunyai
kemampuan mempertahankan keseimbangan fisiologis internal. Daya tubuh ini
disebut homeostatis. Dengain sistem homeostasis, suatu organisme dapat
mempertahankan hidupnya di bawah kondisi yang bermacam macam seperti
temperatur yang ekstrim kekurangan oksigen, dan trauma.ada proses perubahan
otot menjadi daging, konsep homeostasis memegang peranan yang sangat
penting karena banyak reaksi dan perubahan yang terjadi selama proses
perubahan tersebut merupakan hasil langsung dari homeostasis. Kehilangan
kadar air merupakan perubahan yang penting yang disebabkan oleh keadaan
kelaparan atau kelelahan dalam periode sebelum penyembelihan.
Kekurangankadar air akan mempengaruhi berat karkas yang dihasilkan. Jika
selama pengangkutan dilakukan pemuasaan terhadap temak, maka babiakan
memperlihatkan penurunan berat yang lebih cepat jika dibandingkan dengan
kambing dan sapi. Penurunan berat ini disebabkan karena adanya pengurangan
lemak dan jaringan otot untuk menghasilkan energi serta kehilangan daya
mengikat air dalam jaringan otot.

1.2 Berhentinya Sirkulasi Darah ke Daging


Dengan berhentinya sirkulasi darah ke daging, maka pemberian oksigen juga
berhenti. Alur aerobik melalui siklus sitrat dan sistem sitokrom juga berhenti
berfungsi. Metabolisme energi berubah menjadi alur anaerobik, sehingga akan
terjadi mekanisme alur anaerobik dalam usaha otot untuk homeostasis. Melalui
alur anaerobik, otot memperoleh energi yang lebih kecil jika dibandingkan
dengan alur aerobik. Namun demikian, energi yang diperoleh oleh otot
masih cukup untuk mempertahankan struktur dan suhu sel daging untuk
beberapa saat misalnya dalam alur anaerobik; glikogen hanya menghasilkan 3
molekul ATP, jauh lebih rendah dari jalur aerobik yang menghasilkan 34
molekul ATP.

1.3 Penurunan pH Daging Pasca Pemotongan


Kadar glikogen dalam oto akan mempengaruhi pH akhir otot setelah
proses penyembelihan. Glikogen akan terurai menjadi asam laktat melalui proses
biokimia, dan hal itu menentukan pH otot. Otot dalam keadaan hidup mempunyai
nilai pH antara 7,2 – 7,4. Jika hewan diistirahatkan dengan baik dan tidak
menderita tekanan saat penyembelihan, maka kadar glikogen dalam otot cukup
tinggi, sehingga jumlah asam laktat yang terbentuk menjadi besar dan akan terjadi
perubahan nilai pH otot yang besar pula, mungkin mencapai 1,8 unit pH selama
proses glikolisis. Sebaliknya, jika ternak mengalami perubahan perlakuan kasar
sebelum penyembelihan, maka jumlah asam laktat yang terbentuk sedikit dan
perubahan pH otot akan kecil sekali mungkin hanya 0,2 unit pH. Untuk masing-
masing jenis ternak dan jenis otot, terdapat batas pH akhir yang dapat dicapai
setelah reaksi pengubahan glikogen menjadi asam laktat terhenti seperti tersaji
pada Tabel 9.
Tabel 9. Batas Akhir pH yang Dapat Dicapai oleh Berbagai Jenis Ternak
No Jenis Ternak Tingkat pH Akhir
Terendah Tertinggi
1 Sapi 5,1 6,2
2 Domba 5,4 6,7
3 Babi 5,3 6,9
(Forrest et al., 1975 dalam Soeparno, 1989)
Proses glikolisis berlangsung dalam sarkoplasma, sedangkan siklus asam
trikarboksilat dan rantai sitokrom terjadi dalam mitokondria. Dari hasil degradasi
molekul glukosa menjadi CO2 dan H2O akan dihasilkan 37 molekul ATP. Jika di
dalam otot cukup tersedia oksigen dan otot bekerja secara lambat, maka energy
yang tersedia melalui proses metabolisme aerob akan mencukupi. Akan tetapi,
jika otot berkontraksi secara cepat, maka ketersediaan oksigen untuk menunjang
sintesis ATP melalui metabolisme aerob tidak akan mencukupi, sehingga
penyediaan energy akan diahlikan ke metabolism anaerob. Proses ini hanya dapat
berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Pada metabolisme anaerob, ion
hidrogen yang dibebaskan melakui proses glikolisis tidak dapat diikat oleh
oksigen sehingga akan terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini
kemudian akan digunakan untuk mengubah asam piruvat menjadi asam laktat,
asam laktat akan disimpan dalam daging, dan konsentrasinya meningkat karena
proses metabolism. Proses ini berlangsung terus menjadi penimbunan asam laktat
sampai seluruh simpanan glikogen dalam otot habis atau glikolisis anaerob
berhenti. Adanya penimbunan asam laktat menyebabkan pH otot menurun.
Penurunan pH daging dapat mengakibatkan kerusakan struktur protein daging.
Jika penurunan pH mencapain titik isoelektris, maka daya mengikat protein
daging menjadi berkurang dan cenderung untuk kehilangan kemampuan untuk
menahan air (water holding capacity/WHC). Akibatnya, air akan keluar bersama-
sama dengan bahan yang terlarut di dalamnya seperti protein, vitamin, mineral
dan zat warna daging. Titik WHC minimum yang merupakan isoelektris dari
protein sarkolplasma adalah 5,4 – 5,5 dimana akan terjadi denaturasi protein
sebagai akibat dibebaskannya enzim cathepsin yang terdapat dalam lisozim.
Tingkat pH akhir daging yang dicapai mempunyai beberapa pengaruh
yang berarti terhadap mutu daging. Jika pH rendah atau berkisar anatara 5,1 – 6,1
hal itu akan menyebabkan daging mempunyai struktur tebuka yang sangat
dikehendaki dalam proses pengasinan daging, warna merah muda yang cerah yang
disukai konsumen, flavor yang lebih baik, serta stabilitas yang lebih baik terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Tingkat pH tinggi yang berkisar antara 6,2 – 7,2, akan menyebabkan
daging mempunyai struktur yang tertutup, daging berwarna merah ungu tua,
mempunyai rasa yang kurang enak, dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk
perkembangan mikroorganisme. Ilustrasi yang lebih jelas tentang pengaruh
penurunan pH daging terhadap wara daging tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11. Kurva Penurunan pH Setelah Proses Penyembelihan dan


Pengaruhnya terhadap Warna Daging.
(Forrest et al, 1975 dalam Soeparno, 1989)

1.4. Perubahan Suhu


Perubahan lain yang terjadi setelah proses pengeluaran darah adalah
terjadinya kenaikan suhu daging. Hal ini disebabkan karena suhu tubuh bagian
dalam tidak dapat lagi dikeluarkan melalui sirkulasi darah. Besarnya kenaikan
suhu tergantung dari kecepatan metabolism dan lamanya produksi panas yang
berlangsung sesaat sebelum hewan disembelih. Ukuran otot dan banyaknya
perlemakan dalam otot akan sangat mempengaruhi kecepatan kenaikan suhu dan
pengeluaran panas dari daging. Kenaikan suhu akan berpengaruh terhadap
penurunan pH dagung dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein daging.
Denaturasi protein daging yang terjadi secara enzimatis (enzim cathepsin) dan
menurunnya daya ikat air karena adanya denaturasi protein akan menyebabkan
terjadinya perubahan konsistensi.
1.5 Rigor Mortis
Perubahan paling dramatis yang terjadi saat konversi otot menjadi daging
adalah terjadinya rigor mortis. Rigor mortis yang berarti kaku karena kematian 6-
12 jam post moertem adalah sesuatu keadaan kekakuan otot karena terjadinya
pembentukan ikatan yang permanen antara miofilamen aktin dan miofilamen
myosin menjadi ikatan aktomiosis, sebagai akibat habisnyapesediaan energy
(Kreatin fosfat/ dan Adenosis fosfat/ ATP). Pada keadaan ini, otot tersebut tidak
mungkin relaksasi kembali seperti sedia kala, karena tak ada pemberiam energi
lagi untuk memecahkan ikatan aktomiosin tersebut. Sewaktu ternak hidup,
kontraksi dan relaksasi otot dapat terjadi timbal balik, karena reaksi aktin dengan
myosin (aktomiosin) adalah reversible (bolak-balik) karena tersedianya ATP otot.
Bila daging dikonsumsi dalam keadaan bersifat rifor mortis, maka daging tersebut
akan terasa alot.
Kekakuan dagign akibat proses rigor mortis dapat berangsur angsur
menjadi lembek karena terjadinya degradasi fisik serat daging. Degradasi tersebut
terjadi pada garis Z dari serat otot. Untuk mengurangi intensitas kekakuan rigor
mortis, karkas ataupun daging dapat digantung atau diberi pemberat sehingga
serat daging secara pasif menjadi meregang.
Kecepatan dan intensitas terjadinya rigor mortis dipengaruhi olrh berbagai
faktor seperti:
a. Kadar glikogen otot pada saat penyembelihan. Bila kadar glikogen rendah
rigor mortis cenderung lebih cepat, dan pH daging menjadi lebih tinggi.
b. Suhu karkas. Hal ini disebabkan karena suhu yang relatif tinggi akan
mempercepat hilangnnya kreatin fosfat dan adenosine trifosfat dari otot,
sehinga suhu lingkungan kakas yang tinggi akan mempercepat terjadinya
rigor mortis. Subu terbaik pada saat rigor mortis adalah antara 15- 16 o C.
suhu dibawah 15oC menyebabkan serat otot mengkerut (cold shortiening).

2. Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem


Daging yang beredar di masyarakat hendaknya daging yang sehat dan
berkualitas baik. Untuk pengadaan daging yang sehat dan berkualitas, diperlukan
serangkaian pemeriksaaan dan pengawasan, mulai daru penyediaan ternak potong
yang sehat melalui pemeriksaan hewan sebelum disembelih (pemeriksaan ante-
mortem), tukang potong yang memenuhi syarat kesehatan dan memiliki
pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar pemotongan ternak, pemeriksaan
setelah hewan dipotog (pemeriksaan post-mortem), penyediaan alat angkutan
daging yang memadai, dan tersedianya kios daging yang memenuhi syarat
kesehatan untuk pendistribusian daging kepada konsumen.

2.1 Pengertian, Maksud, dan Tujuan Pemeriksaan Ante-Mortem


Pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah pemeriksaan ternak dan
unggas potong sebelum disembelih. Adapun maksud pemeriksaan ante-mortem
adalah agar ternak yang akan disembelih hanyalah ternak sehat, normal, dan
memenuhi syarat. Sebaliknya, ternak yang sakit hendaknnya ditolak untuk
dipotong. Tujuan dari pemeriksaan ante mortem adalah agar daging yang akan
dikomsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan bermutu.
Khusus untuk pemotongan ternak sapi, selain kondisinya harus sehat dan normal,
juga harus memnuhi tertentu.
Dipenuhinya syarat disini dimaksudkan agar ternak sapi yang akan
dipotong tidak melanggar peraturan yang telah ditentukan pemerintah. Peraturan
yang mengatur tentang pemotongan ternak antara lain sebaga berikut ini.
1)Staatsblad Nomor 614 tahun 1936 tentan Pemotongan Ternak Besar Betina
Bertanduk. Inti dari peraturan ini adalah ternak besar betina bertanduk, yaitu sapi
dan kerbau betina dilarang dipotong. Peraturan lainnya adalah Instruksi Menteri
Dalam Negri dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18/1979
dan Nomor 05/Ins/Um/3/1979 tentang Pelarangan Pemotongan Ternak
Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit, dan Instruksi
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tanggal 1 Oktober 1980 tentang
Pelanggaran dan Pencegahan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting
dana tau Sapi/Kerbau Betina Bibit (Arka dkk., 1983).
Menurut Direktorat Kesmavet (2005), tujuan dari pemeriksaan ante-
mortem adalah;
1. Mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukkan gejala klinis
penyakit hewan menular dan zoonosis atau tanda-tanda yang menyimpang
2. Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan pemeriksaan
post-mortem dan penelusuran penyakit di daerah asal ternak,
3. Mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang menderita
penyakit kepada petugas, peralatan RPH dan lingkungan
4. Menentukan status hewan dapat dipotong, ditunda atau tidak boleh dipotong,
dan
5. Mencegah pemotongan ternak betina bertanduk produktif

2.2 Pelaksana, Tempat dan Peralatan


Pelaksana pemeriksaan ante-mortem adalah 1) dokter hewan berwenang
yang ditunjuk, dan 2) peramedis yang ditunjuk dibawah pengawasan dokter
hewan yang berwenang.
Pemeriksaan ante-mortem dilakukan di kandang penampung hewan siap
potong. Syarat kandang penampungan harus bersih, kering, terang (intensitas
cahaya minimal 540 luks), serta terhindar dari panas matahati dan hujan. Peralatan
yang dibutuhkan dalam pemerikdaan ante-mortem adalah; 1) Jas laboratorium
yang bersih, 2) sepatu bot, dan 3)stempel/cap”S”.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan kesehatan ternak ante-mortem, maka
diperlukan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang harus dimiliki selain kandang
tempat pengumpulan ternak adalah kandang jepit (fiksasi). Kandag untuk
pengumpulan ternak harus cukup terang agar pemeriksa dapat bergerak dengan
leluasa di antara ternak untuk mengadakan pengamatan dengan seksama terhadap
ternak dalam keadaan diam/istirahat atau dalam eadaan bergerak. Kandang jepit
diperlukan untuk pemeriksaan kesehatan seekor ternak dengan lebih seksama,
misalnya, untuk eksplorasi retal yang bertujuan untuk mendiagnosis kebuntingan,
mengukur suhu tubuh, pemasangan identifikasi ternak yang meragukan
kesehatannya, dan untuk memperkirakan umur ternak betina yang akan dipotong.
2.3 Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem
Adapun prosedur pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah sebagai
berikut ini
• Pemeriksaan ante-mortem dilakukan maksimum 24 jam sebelum hewan
disembelih. Jika melebihi waktu tersebut, maka dilakukan pemeriksaan
ante-mortem ulang.
• Hewan harus diistirahatkan minimum 12 jam sebelum penyembelihan.
• Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan patognomonis
a) Pengamatan (inspeksi) dengan cermat dan seksama terhadap sikap dan
kondisi (status gizi, sistem pernafasan, sistem pencernaan, dan lain-
lain) hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari
segala arah. Amati ternak tersebut dalam keadaan bergerak. Ternak
dibangunkan, dan diperhatikan pada waktu bergerak. Ternak lumpuh
atau patah kaki, bergerak kaku dan lain-lain dipindahkan ke kandang
khusus untuk mendapat pemeriksaan yang lebih teliti.
b) Pengamatan dengan cermat dan seksama terhadap lubang-lubang
kumlah ( telinga, hidung, mulut, dan anus) serta kelenjar getah bening
( limfoglandula superficial) pada ternak, apakah ada pembengkakan
atau tidak. Demikian pula catat jika ada kotoran pada mata, keluar
cairan pada mata (lacrimasi), dan leleran pada hidung.
c) apabila dicurigai atau diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, hewan
dipisahkan adan atau diberi tanda. Seluruh ternak yang abnormal dari
hasil pengamatan ini, dipisahkan segera ke kandang penampungan lain
yang dilengkapi dengan kandang jepit untuk pemeriksaan ternak secara
individual dengan lebih seksama.
• Selanjutkan dilakukan dilakukan pemeriksaan berikut ini.
a) Pemeriksaan status gizi dan keaktifan hewan dengan melihat
penampilan tubuh secara keseluruhan. Hewan dengan status gizi
jelek ditandai dengan pertulanganyang menonjol.
b) Pemeriksaan kulit dan keadaan bulu dilakukan dengan melihat
kondisi kulit secara umum. Untuk pemeriksaankeadan bulu,
dilakukan dengan melihat kekusaman dan kebersihan ulu terutama
pada bagian belakang ternak.
c) Pemeriksaan selput lender. Dilihat seluruh selaput lender yang ada,
yaitu konjungtiva, mulut, hidung, prepusium atau vulva dan rectum
terhadap warna dan kebasahan/kelembaban.
d) Pemeriksaan mata dan telinga. Dilihat adanya kelainan pada mata
dan telinga
• Amati gejala-gejala penyakit zoonosis dan penyakit menular lainnya.
Ternak yang menderita penyakit, tidak boleh disembelih, karena
dagingnya tidak layak untuk dikonsumsi dan dapat membahayakan
kesehtan konsumen.

2.4 Keputusan akhir dari pemeriksaan ante-mortem


Konklusi akhir dari pemeriksaan kesehatan ante-mrtem dapat dibedakan
menjadi tiga.
• Kelompok pertama adalah ternak yag dapat dipotong regular, yaitu
kelompok ternak yang sehat, normal, dan memenuhi syarat (tidak
meanggar peraturan pemotongan)
• Kelompok kedua yaitu ternak yang ditolak untuk dipotong, yaitu
kelompok ternak yang menderita penyakit, abnormal, dan melanggar
peraturan pemotongan. Contoh ternak untuk kelompok ini adalah ternak
sakit, ternak cacat, ternak betina produktif, bibit, ternak bunting, dan pedet
yang umumnya terlalu muda.
• Kelompok ketiga adalah kelompok ternak yang menderika kelainan local
seperti patah kaki/fraktur, luka, memar, abses, neoplasma/tumor, dan
kondisi ternak tersebut meragukan. Ternak kelompok ketiga ini dipisahkan
dari pemotongan regular selesai dilakukan. Pertimbangan kondisi ante-
mortem dikaitkan dengan penemuan post-mortem untuk memberikan
kesimpulan akhir terhadap disposisi daging dan organ-organ tubuhnya.
Menurut direktorat kesmavet (2005), keputusan pemeriksaan ante mortem
dilakelompokkan menjadi hewan boleh dipotong, ditunda, atau tidak boleh
dipotong. Terhadapa hewan yang boleh dipotong segera diberikan
stemple/cap “S” di daerah pinggul.
Tabel 10. Keputusan akhir hasil pemeriksaan ante-mortem
Hasil pemeriksaan Keputusan
• Hewan normal/sehat 1. Diijinkan untuk dipotong
• Hewaan dengan kelainan
terlokasi, seperti tumor pada
mata, pneumonia, dll
• Hewan lumpuh/ambruk 2. Harus segera dipotong
karena kecelakaan, tetapi
tidak menunjukkan gejala
penyakit
• Hewan menderita atau 3. Dipotong dengan
menunjukkan gejala sakit, pengawasan dokter hewan
seperti pada Lampiran I
• Hewan penderita gejala 4. Ditunda pemotongannya
sakit yang belum dapat
ditemukan penyakitnya
(menunggu hasil
laboratorium)
• Hewan penderita 5. Dilarang dipotong
menunjukkan gejala
penyakit akut, seperti
anthrax, tetanus, malleus, dll
Sumber : Direktorat kesmavet (2005)

3. Pemeriksaan Kesehatan Post-Mortem


3.1 Pengertian dan tujuan pemeriksaan post-mortem
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan post-mortem adalah pemeriksaan
kesehatan ternak setelah disembelih.

3.2 Tujuan pemeriksaan post-mortem


1. Memberikan jaminan bahwa karkas, daging, dan jeran yang dihasilkan
aman dan layak dikonsumsi.
2. Mencegah beredarnya bagian/jaringan abnormal yang berasar dari
emotogan hewan sakit, misalnya pada kasus cacong hati, cysticercosis,
tuberculosis, brucellosis, coryza ganggraenosa bovum, haemoragic,
septicemic, pirplasmosis, surra, arthritis, hernia, fracture, abses,
ctinomycosis, actinobacillosis, mastitis, septichaemia, cachexia, hydrops,
oedema, dan ephithelimia, dan
3. Memberikan informasi untuk penelusuran penyakit di daerah asal ternak
3.3 Pelaksana, tempat, dan peralatan
Petugas yang dapat melakukan pemeriksaan post-mortem adlaah 1) dokter
hewan berwenag yang ditunjuk, dan 2) keurmaster/juru uji daging yang ditunjuk
dan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang. Untuk melakukan
pemeriksaan post-mortem diperlukan:
a) Jas laboratorium putih yang bersih, apron, dan sepatu bot,
b) Penerangan yang cukup (intensitas cahaya pada tempat pemeriksaan
minimum 540 luks) atau pemeriksaan dapat mengidentifikasi/melihat
perubahan warna pada organ misalnya pucat atau kemerahan.
c) Meja porselin/stainless steel,
d) Pengait kepala dan jeroan,
e) Pisau yang tajam dan pengasah pisau,
f) Sarana air bersih dan saniter atau air panas (>82oC) untuk
menyucihamakan pisau,
g) Tempat penampung bagian-bagian atau organ yang diafkir, dan
h) Plastic specimen untuk pengambilan sample organ yang dicurigai. Semua
peralatan harus dibersihkan dan disucihamakan sebelum dan sesudah
digunakan untuk pemeriksaan.
Pemeriksaan kesehatan post-mortem dibagi dua, yaitu:
1. Pemeriksaan ritun, dan
2. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan rutin dilaksanakan dengan intensitas normal setiap hari
meliputi pemeriksaan kesehatan kepala ternak, dan kelenjar getah bening
(limfoglandula) yang terdapat di dalamnya, pemeriksaan limfolandula
prescapularis, limfoglandula prefemoralis, limfoglandula visceralis, pemeriksaan
organ-organ tubuh, pemeriksaan permukaan karkas, pleura, dan potongan-
potongan karkas. Lebih lanjut pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan yang lebih
seksama terhadap karkas dan organ-organ tubuh dari ternak yang dicurigai pada
pemeriksaan ante-mortem. Ternak-ternak yang mendapat pemeriksaan khusus ini
termasuk kelompok ternak yang dipotong darurat, baik karena mengalami
kelainan local atau karena kondisi kesehatannya meragukan, sehingga perlu
mendapatkan pemeriksaan yang lebih teliti setelah disembelih.
3.4 Prosedur pemeriksaan post-mortem
Pemeriksaan post-mortem dilaksanakan segera sesudah selesai
penyembelihan sampai dengan proses pembelahan karkas.
Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan kepal ternak meliputi
pemeriksaan pada permukaan luarnya, apakah ada kelaian (pembengkakan, abses)
atau luka-luka. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan terhadap indicator penyakit
dan abnormalitas yang mungkin ditemukan. Indikator penyakit yang terdapat pada
kepala ternak meliputi pemeriksaan limfglandula mendibularis yang terletak pada
pipi bagian bawah dekat kelenjar liur, limfoglandula parotis yang terletak di atas
otot pipi (musculus masetter) dan limfoglandula supra/retrofaringeus yang
terletak di bagian atas (superior) faring. Untuk memastikan apakah bagian kepala
ternak ini tidak mengalaini penyakit infeksi, maka semua limfonodus tersebut
harus sehat, tidak mengalaini Pembengkakan hipertropi atau pengecilan
rudimeter, peradang perdarah atau pernanahan. Kadang-kadang bagian kepala
ternak menderita infestasi parasit. Untuk memastikan ada tidaknya (parasit pada
bagian kepala ternak, biasanya dilihat pada bagian mata terhadap ada tidaknya
cacing mata (Thelazia sp). Adanya cysticercus pada bagian kepala ternak dapat
diperiksa secara teliti pada otot pipi, dan otot pangkal lidah. Otot diiris bagian luar
dan bagian dalamnya seiaiar dengan tulang rahang bawah (os mandibula).
Permukaan lidah diperiksa, apakah terdapat peradangan, abses dan lain-lain.
Konsistensi jaringan masa lidah dipalpasi, apakah terdapat pengerasan,
pembengkakan dan lain-lain. Jika bagian kepala terinfestasi oleh cacing
gelembung / cysticercus maka akan terlihat adanya benjolan-benjolan kecil
sebesar biji jagung/beras pada otot pipi dan otot lidah yang dikenal dengan istilah
“beberasan” (Arka dkk., 1985).
Menurut Dirkesmavet (2005), tahapan pemeriksaan post -mortem adalah
sebagai berikut.
(1) Pemeriksaan kepala dan lidah
a. Kepala yang sudah dipisahkan dan badan hewan digantung dengan kait
pada hidung dengan bagian rahang bawah menghadap ke arah pemeriksa.
Seluruh bagian kepala termasuk lubang hidung dan telinga diinspeksi dan
dipalpasi.
b. Lidah dikeluarkan dengan cara menyayat dengan bentuk huruf V dan dagu
sejajar ke kedua siku mandibula. Lidah ditarik dan dilakukan penyayatan
pada pangkal kedua sisi lidah kemudian ditarik ke bawah sehingga bagian
pangkal lidah terlihat ielas.
c. Lidah kemudian diinspeksi, dipalpasi dan dikerok pada permukaannya
untuk melihat kerapuhan papila lidah dan iika diperlukan dilakukan
penyayatan di bagian bawah lidah untuk melihat adanya Cysticercus bovis dan
Actinobacillosis. Perhatikan selaput lendir dan palatum (langit-langit) dan
bibir.
d. Limfoglandula retrofaringealis, tonsil, limfoglandula parotideus,
limfoglandula submaxillaris, dan limfoglandula mandibula diinspeksi,
dipalpasi dan iika perlu disayat melintang. Dilihat apakah limfoglandula
normal (konsistensi kenyal, ukuran normal, lokasi tidak terfiksir dan apabila
disayat warna putih dikelingi zona cokelat/hitam) atau terdapat kelainan.
e. Penyayatan otot masetter internus dan masetter externus seiaiar tulang
rahang untuk memeriksa adanya kista Cysticercus dan Actinomycosis pada
tulang mandibula.
(2) Pemeriksaan Trachea dan Paru-paru
Pemeriksaan trachea dilakukan dengan inspeksi dan insisi pada bagian
pertemuan cincin tulang rawan, untuk melihat kemungkinan kelainan pada
mukosa, lumen, peradangan, buih, dan infestasi cacing. Paru-paru harus
digantungkan pada kait, kemudian dilakukan inspeksi dengan mengamati seluruh
permukaan paru-paru dan kemungkinan adanya perubahan warna. Selaniutnya,
dilakukan palpasi dan insisi pada kedua lobus paru-paru untuk mendeteksi
kemungkinan adanya sarang-sarang tuberculosis, cacing, tumor atau abses dan
pemeriksaan limfoglandula mediastinalis cranialis, limfoglandula mediastinalis
caudatus serta limfoglandula bifurcatio trachealis dextra/sinistra (limfoglandula
bronchialis). Paru-paru yang sehat akan memperlihatkan warna merah terang
(merah muda), konsistensi lunak dan terdapat suara krepitasi pada saat dipalpasi.
Menurut Arka dkk. (1985), organ paru-paru yang sehat pada pemeriksaan
secara lagsung. terlihat berwarna merah muda/pink, bentuknya terdiri atas banyak
lobus (multilobularis). Pada waktu dipalpasi, yaitu dipegang dan diremas-remas,
konsistensinya terasa seperti spon atau bunga karang karena pada bagian alveoli
banyak terdapat udara. Untuk memastikan apakah paru-paru tersebut benar-benar
sehat, maka dilakukan irisan pada limfoglandula bronchialis yang terletak pada
bagian bronchus kiri dan kanan dan paru-paru, dan limfoglandula mediastinalis
yang terdapat ditengah-tengah memanjang antara lobus kiri dan kanan pada paru-
paru, bentuknya pipih. Jika kedua limfoglandula ini tidak menunjukkan adanya
perubahan (tidak membesar/mengecil, meradang, berdarah, benanah), maka ini
menunjukkan bahwa paru-paru tersebut sehat/tidak mengalami infeksi. Irisan juga
perlu dilakukan dari dasar paru-paru sampai bagian ujungnya (apex) untuk
melihat kemungkinan adanya aspirasi, misalnya darah atau sisa makanan yang
masuk ke dalam paru-paru pada saat penyembelihan.
3. Pemeriksaan Jantung
Dilakukan inspeksi dan palpasi untuk mengamati kemungkinan adanya
peradangan selaput jantung (pericarditis). Selanjutnya, dilakukan penyayatan
pericardium untuk melihat adanya cairan pericardium. Berikutnya, dilakukan
insisi otot jantung (myocardium) sejajar dengan sulcus coronarius (antara
ventrikel kanan dan ventrikel kiri) untuk melihat degenerasi, peradangan, dan
infestasi cacing (Echinococcus dan Cysticercus).
Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan jantung dapat dilakukan dengan
pengamatan langsung, yaitu melihat warna dan bentuk dari jantung tersebut.
Jantung yang sehat berwarna cokelat sampai sawo matang, pada bagiari apex-nya
meruncing pada waktu dipegang dan diremas-remas, konsistensi jantung terasa
sangat kenyal/liat karena otot jantung selalu berkontraksi sehingg mengalami
hipertrofi (ukuran selnya bertambah besar) dan hiperplasia (jumlah selnya
bertambah banyak). Untuk rnemastikan apakah jantung tersebut benar-benar sehat
maka diilakukan irisan dari dasar sampai ke ujung jantung dengan arah tegak
lurus terhadap bidang pemisah atrium dan ventrikel. Bekuan darah yang ada pada
jantung dikeluarkan karena merupakan media yang baik untuk perkembangan
mikroba yang dapat memperpendek masa simpan jantung. Diperiksa bidang
sayatan pada otot jantung (myocardium) apakah ada perdarahan berupa ptechiae
atau echimosae, atau kelainan-kelainan misalnya ditemukanya cacing jenis
Cysticercosis/Echinococcosis, atau jenis lainnya. Myocardium yang lembek,
biasanya akibat ternak menderita sepsis.
(4) Pemeriksaan Alat pencernaan dan Esofagus
Usus dan lambung segera dikeluarkan setelah dilakukan pengulitan.
Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya pembengkakan lgl.
mesenterica. Usus disayat untuk melihat lumen dan mukosa usus terhadap
kemungkinan perdarahan dan infestasi cacing. Pemeriksaan esofagus dilakukan
dengan inspeksi/palpasi, dan insisi untuk melihat kemungkinan adanya
Cysticercus dan Sarcosporidia pada lumen esofagus.
Menurut Arka dkk. (1985), lambung dan usus yang sehat, secara inspeksi
terlihat selaput serosanya licin mengkilap. Limfoglandula mesentericus diamati
dan disayat untuk melihat adanya penyakit atau penyimpangan-penyimpangan
lainnya. Limfoglandula ini terletak pada lemak mesenterium sepanjang curvatura
minor usus, merupakan rantai bersambung dari abomasum sampai caecum.
Penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi pada saluran pencernaan
dapat berupa TBC, gastritis, enteritis,dll.
(5)Pemeriksaan Hati
Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh lobus
hati untuk melihat warna ukuran, konsistensi, dan kelainan yang terjadi. Jika perlu
dilakukan penyayatan. Pemeriksaan kesehatan hati yg sehat dengan pengamatan
langsung terlihat permukaannya rata, licin, mengkilat, tepinya tipis dan tajam,
parenkimnya berwarna merah cokelat sawo matang. Hati terdiri atas 5 (lima)
lobus (multi lobularis) yang berwarna cokelat sampai sawo matang. Hati dipalpasi
untuk mengetahui konsistensi dan untuk mengetahui keadaan abnormal yang
terdapat pada bagian luar dan bagian dalam hati. Hati yang sehat konsistensinya
padat elastis. Sebagai indikator terjadinya infeksi pada hati adalah limfoglandula
Portalis (jumlahnya 3-5 buah) terletak pada bagian dorsal hati, melekat pada
jaringan lemak di sekitar pembuluh darah (vena porta). Limfoglandula portalis
disayat satu-persatu untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan/infeksi pada
hati. Demikian pula, pembuluh empedu besar disayat untuk memeriksa
kemungkinan adanya infestasi cacing hati.
(6) Pemeriksaan Limpa
Pemeriksaan limpa dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada. seluruh
permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa, dan konsistensi. Jika perlu
dilakukan insisi. Dalam pemeriksaan kemungkinan perubahan yang ditemukan
antara lain adalah adanya pembengkakan, kerapuhan, adanya kista hidatid, dan
antrax.
Menurut Arka dkk. (1985), limpa yang sehat (normal) berbentuk pipih,
tipis dan memanjang. Bila dipalpasi konsistensinya terasa lembut elastis. Tepi
limpa tipis dan tajam, warnanya abu-abu kebiruan atau kadang. kadang sawo
matang. Parenkimnya berwarna merah tua dengan konsistensi lembut elastis.
Penyimpangan yang mungkin terjadi pada limpa antara lain limpa membesar
membengkak, konsistensinya keras, tepi-tepinya tumpul warnanya berubah, dan
usapan pada parenkimnya rapuh. Irisan pada limpa dibuat ditengah-tengah secara
memanjang pada limpa yang sehat, bidang irisannya terlihat kering.
(7) Pemeriksaan Ambing dan Karkas
Pemeriksaan ambing dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk melihat
adanya pembengkakan, lepuh-lepuh pada puting dan kulit ambing. Kemungkinan
penyakit yang dapat ditemukan antara lain mastitis dan cacar. Pemeriksaan karkas
dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan bagian luar dan
dalam karkas serta limfoglandula untuk mengetahui kondisi karkas (cachexia),
hemoragi, memar, fracture, ikterus (terutama dapat diihat pada tendo dan
mukosa), oedema, kista cacing dan pembengkakan limfoglandula. Jika perlu,
dilakukan penyayatan pada musculus intercostalis dan diafragma untuk melihat
kemungkinan adanya Cysticercus. Limfoglandula yang diperiksa pada karkas
antara lain seperti terlihat pada Gambar 12 berikut ini:
Keterangan :
1. Limfoglandula Prescapularis superior (terletak diantara dada, leher dan
kaki depan),
2. Limfoglandula Supramamaria (terletak disekitar ambing),
3.Limfoglandula Axillaris propius (terletak diketiak antara kaki depan dan
dada),
4. Limfogandula Popliteus (terletak di atas otot gastrocneinius, antara otot-
otot daging biceps femoris dan seinitendonosus (disekitar paha bagian
belakang), dan
5.Limfoglandula Ischiadicus (terletak disekitar daerah pinggul).
Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan karkas dilakukan dengan
mengamati bagian permukaannya, apakah terdapat lecet-lecet, luka-luka dan
kelainan lainnya. Demikian pula, pemeriksaan dilakukan pada rongga dada dan
rongga perut. Dalam keadaan sehat, selaput serosa rongga dada dan rongga perut
terlihat licin dan mengkilat. Bagian-bagian karkas yang mencurigakan dapat
dipalpasi untuk mengetahui konsistensinya. Indikator adanya infeksi kuman
(penyakit) pada karkas yaitu adanya pembengkakan pada limfoglandula-
limfoglandula seperti:
1) limfoglandula praescapularis yang terletak sedikit di atas persendian
pundak agak tertanam ke dalam bantalan lemak, serta tertutup oleh otot
brachicepalicus (berbentuk lonjong dan berukuran besar)
2) limfoglandula praefemoralis terletak sekitar 12-15 cm di atas patella
(tempurung lutut); berbentuk lonjong, memanjang serta pipih,
3) limfoglandula inguinalis superficiales yang terletak di leher skrotum di
sebelah penis, di depan cincin inguinal. Limfoglandula ini tertanam di dalam
lemak ternak jantan yang dikastrasi (dikebiri). dilakukan terhadap
kemungkinan karkas terinfestasi oleh parasit (cacing
gelembung/Cysticercosis); dapat dibuktikan dengan mengiris pada otot antar
iga (intercostae) dan otot diafragma.
(8) Pemeriksaan ginjal
Pemeriksaan ginjal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk
mengetahui adanya pembengkakan, oedema, dan peradangan. Jika perlu
dilakukan penyayatan. Kemungkinan yang ditemukan antara lain nefritis, tumor,
kista, dan calculi renalis. Menurut Arka dkk. (1985), secara inspeksi, ginjal yang
sehat terlihat berwarna coklat, bentuknya menyerupai kacang. Jika dipalpasi,
konsistensinya terasa kenyal. Ginjal yang sehat selaputnya mudah dikupas (tidak
lengket). Irisan pada ginjal dilakukan di tengah-tengah secara memanjang dan
diperiksa bidang irisan ginjal, yaitu pada bagian kortek dan medulanya. Pada
bagian medula, kemungkinan terdapat bath ginjal, cacing, atau timbunan lemak.
Indikator adanya penyakit pada ginjal dapat dilihat pada limfoglandula renalis.
Limfoglandula ini di insisi untuk melihat apakah ada peradangan atau kelainan
lainnya.

3.5 Keputusan Akhir Pemeriksaan Post-Mortem


Keputusan akhir pemeriksaan post-mortem pada karkas dan bagian-
bagiannya didasarkan atas hasil seluruh pengamatan (inspeksi), palpasi, dan
pengirisan, membau, tanda-tanda ante-mortem dan pemeriksaan 1aboratorium bila
diperlukan. Bila tidak ditemukan adanya kelainan pada karkas dan jeroannya yang
disebabkan oleh penyakit atau ketidaknormalan lainnya, berarti bahwa karkas
tersebut lulus uji dan dianggap layak untuk dikonsumsi dan diberi cap.
Formula tinta yang digunakan untuk Stempel/Cap pada daging yang
dinyatakan lulus pemeriksaan adalah:
alkohol absolut .............................................50 cc
G liserizi .......................................................250 cc
Kristal violet .................................................50 cc
Akuades ad . .................................................1.000 cc

Pada kelainan yang dianggap lokal, karkas diijinkan untuk dikonsumsi bila
kelainan tersebut telah dihilangkan.
Tabel 11. Keputusan Akhir Hasil Pemeriksaan Post-Mortem
Daging dan hewan yang tidak menderita penyakit
Baik manusia untuk
Daging dan hewan potong yang menderita
dikonsumsi
penyakit bersifat lokal, setelah bagian
yang tidak layak dibuang
Daging dan hewan potong yang menderita penyakit
Ditolak untuk dikonsumsi
akut, seperti anthrax, malleus, rabies, tetanus, radang
manusia
paha, blue tongue akut, dll
Dapat dikonsumsi
Daging yang warna, bau, dan
manusia setelah bagian
konsistensinya tidak normal, seperti kasus
yang tidak layak
septichaeinia cachexia, hydrops dan oedema.
dikonsumsi dibuang
Dapat dikonsumsi
Daging dan hewan yang menderita trichinellosis, manusia perlakukan
cysticercosis, babesiosis, surra, sarcosporidiosis, setelah mendapat
brucdllosis, tuberculosis dan ingus jahat. pemanasan yang cukup
sebeluni diedarkan
Sumber : Direktorat Kesmavet (2005)

Menurut Arka dkk. (1985), konklusi / kesimpulan akhir dan hasil


pemeriksaan dapat digolongkan atas:
1. Karkas dan organ-organ tubuh yang sehat dapat diteruskan ke pasaran umum
dikonsumsi masyarakat,
2. Karkas dan organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan
final yang lebih seksama,
3. Bagian-bagian sakit dan abnormal yang bersifat secara lokal hendaknya disayat
dan disingkirkan (afkir), sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran
umum,
4. Karkas dan organ-Organ tubuh sakit dan abnormal yang bersifat
umum/keseluruhan, maka karkas dan organ- organ tubuh tersebut hendaknya
disingkirkan (afkir) semuanya, dan
5. Karkas ataupun organ-organ tubuh yang sehat, dapat diteruskan ke pasaran
umum dan
diberi cap “Baik”.
Untuk memperoleh daging yang sehat dan bermutu baik, maka semua
proses sebelum pemotongan sampai rantai pemasarannya harus mendapatkan
pengawasan dan pemeriksaan yang ketat. Proses tersebut adalah sebagai berikut
ini:
1) Pemeriksaan kesehatan ternak sebelum disembelih (Antem ortem) Ternak yang
akan disembelih harus benar-benar sehat, normal dan memenuhi syarat (tidak
melanggar peraturan pemotongan).
2) Tenaga personal rumah potong harus memeriksakan kesehatannya secara
berkala, dan harus memiliki keterampilan dalam memotong ternak.
3) Pemotongan ternak harus mengikuti prinsip-prinsip seperti :
a. ternak harus diistirahatkan sebelum dipotong,
b. ternak harus dipuasakan sebelum dipotong,
c. pemotongan humanis (animal welfare),
d. penorehan leher sesingkat mungkin,
e. pengeluaran darah semaksimal mungkin,
f. pekerjaan dilakukan sebersih mungkin, dan
g. pengeijaan daging harus terpisah dan pengerjaan bagian-bagian kotor.
4) Daging yang dihasilkan dan Rumah Pemotongan Hewan harus diangkut dengan
menggunakan alat angkutan daging khusus (idealnya berupa bus tertutup yang
dilengkapi dinding alumunium, kait penggantung karkas dan pendingin
ruangan).
5) Daging tersebut hendaknya dijual di kios-kios daging khusus yang memenuhi
syarat
kebersihan dan kesehatan.
Lampiran 1.
Hewan yang berdasarkan pemeriksaan ante-mortem, disembelih di bawah
pengawasan dokter hewan pada kasus penyakit:
1) Coryza gangraenosa bovum
2)Haemorrhagic septiceinia
3) Piroplasmosis
4) Surra
5) Arthritis
6) Hernis
7) Fractura
8) Abses
9) Epitheliinia
13) Septiceinia
14) Cachexia
5) Hydrops
16) Oedema
17) BrucelloSis
18) Tubercullosis

BAHAN AJAR KESMAVET II


PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM
DAN POST-MORTEM

OLEH
IDA BAGUS NGURAH SWACITA

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

Anda mungkin juga menyukai