Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit

akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan fisik, emosi, sosial dan spiritual

(WHO, 2013). Dimensi kesehatan tidak boleh dipandang secara fisik saja, namun

kesehatan jiwa juga penting diperhatikan. Kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera

yang dikaitkan dengan kebahagiaan, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimisme

dan harapan (Stuart 2016). Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014, kesehatan

jiwa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,

mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,

dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan

kontribusi untuk komunitasnya.

Seseorang dikatakan memiliki jiwa yang sehat apabila mempunyai sikap yang

positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan,

kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi

dengan lingkunganya (Yosep, 2013). Ketika seseorang mempunyai masalah fisik,

mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga

memiliki resiko mengalami gangguan jiwa, inilah yang biasanya disebut orang dengan

masalah kejiwaan (ODMK) dan orang yang mengalami dalam pikiran, prilaku, dan

perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan

perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan penghambatan


2

dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia disebut orang dengan gangguan jiwa

(ODGJ) (UU No 18 Pasal 1 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014).

Penderita gangguan jiwa mengalami peningkatan yang sangat signifikan setiap

tahunnya diberbagai belahan dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization

(WHO 2016) terdapat sekitar 35 orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar,

21 juta orang terkena skizofrenia serta 47,5 juta orang terkena dimensia . Oleh karena

itu masalah gangguan kesehatan jiwa yang ada diseluruh dunia sudah menjadi masalah

yang sangat serius (Yosep, 2013).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukan bahwa

prevalensi orang dengan gangguan jiwa adalah 7% permil penduduk indonesia. Di

provinsi Aceh gangguan jiwa mencapai 11% permil dari populasi yang ada. Gangguan

jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku yang secara klinis berhubungan dengan

distres yang menimbulkan gangguan pada sistem kehidupan manusia (Keliat, 2011).

ODGJ sering terlihat kurang memelihara diri dan berprilaku aneh, seperti: bicara

sendiri, keluyuran tanpa tujuan, susah diajak bicara, melakukan perilaku kekerasan

bahkan ada yang telanjang di jalanan. Hal ini menyebabkan munculnya persepsi negatif

dari masyarakat sehingga masyarakat memberi suatu label negatif kepada mereka

sebagai orang gila, edan, sedeng, miring dan tidak selayaknya berada di lingkungan

masyarakat. Label ini kemudian menimbulkan stigmatisasi masyarakat kepada mereka.

Stigma ini sering muncul di kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang

kurang tentang gangguan jiwa dan bagaimana merawat mereka (Smith & Casswell,

2010).
3

Stigma merupakan bentuk penyimpangan penilaian dan perilaku negatif karena

pasien gangguan jiwa tidak memiliki keterampilan atau kemampuan berinteraksi dan

dianggap bisa menimbulkan bahaya terhadap orang di sekitarnya (Michaels et al,2012).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia stigma merupakan ciri negatif yang menempel

pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya (Noorkasani, 2007).

Hingga saat ini stigma telah menghalangi ODGJ untuk memperoleh hak mereka.

Mereka sering dimarginalisasi distigmatisasi dan terdiskriminasi baik dalam

masyarakat dan dalam memperoleh pelayanan kesehatan . Stigma sering berdampak

negatife bagi ODGJ. Marginasilasi, stigmatisasi dan diskriminasi sering membuat

penderita yang sudah dinyatakan sembuh dan dikembalikan ke keluarga dan

masyarakat kambuh kembali akibat distres terhadap perilaku masyarakat yang cendrung

diskriminatif( Noorkasani, 2007). Stigma juga berdampak bagi keluarga ODGJ, dimana

mereka sering dikucilkan dari lingkungan masyarakat sehingga melakukan tindakan

isolasi terhadap penderita dengan melakukan pemasungan.

Penelitian mengatakan, dampak langsung stigma terhadap pasien gangguan jiwa

adalah rasa rendah diri, malu akan penyakitnya, takut akan penolakan sosial, takut

kesulitan mendapat pekerjaan dan takut kehilangan hak atas layanan kesehatan, merasa

tertekan, tidak sedikit pula keluarga ataupun lingkungan sekitar yang menganggap

orang dengan gangguan jiwa sebagai aib sehingga mereka dikucilkan. Atau keluarga

yang menjadi malu akibat stigma yang berkembang di masyarakat. Selain pengaruh

terhadap pasien secara langsung, ternyata stigma juga berpengaruh kepada keluarga

pasien (Watson, 2006). Hasil penelitian kualitatif dengan metoda grounded theory yang

dilakukan Subu, (2015) terhadap 30 partisipan di Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki
4

Mahdi Bogor didapatkan bahwa stigmatisasi terhdap penderita gangguan jiwa banyak

dilakukan oleh keluarga, anggota masyarakat, fasilitas layanan kesehatan, lembaga

pemerintah dan media. Akibat dari stigmatisasi tersebut, penderita sering mengalami

kekerasan, ketakutan, pengucilan, penolakan, diskriminasi dan devaluasi. Akibat inilah

sering menjadi stresor yang memicu kekambuhan pada penderita gangguan jiwa.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Gambaran Public Stigma Pada Siswa Terhadap Orang Dengan

Gangguan Jiwa di MAN KARO KABANJAHE“

B. Rumusan Masalah

. Dari hasil penelitian Subu, (2015) di Indonesia masih banyak terdapat stigma

pada orang dengan gangguan jiwa. Kondisi tersebut membuat dampak buruk kepada

orang dengan gangguan jiwa di masyarakat, banyak dari mereka yang tidak bisa

sembuh karena salah satunya yaitu masih besarnya stigma masyarakat pada orang

dengan gangguan jiwa, maka rumusan masalahnya adalah “Gambaran public stigma

terhadap orang dengan gangguan jiwa di MAN KARO KABANJAHE”.

C. Tujuan

Mengetahui gambaran public stigma siswa MAN KARO Kabanjahe terhadap penderita

gangguan jiwa.
5

D. Manfaat

1. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini berguna untuk menambah informasi, berupa sosialisasi kepada

mahasiswa tentang perlakuan baik terhadap orang dengan gangguan jiwa dan dapat di

gunakan sebagai sampel dalam pembelajaran kesehatan jiwa.

2. Bagi Sekolah

Penelitian ini berguna sebagai bahan masukan untuk mengubah stigma pelajar

kepada orang dengan gangguan jiwa dan untuk mengingatkan bahwa masih besarnya

public stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa, agar pihak sekolah dapat

membuat program untuk mengatasi masalah tersebut.

3.Bagi Pelajar

Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi, pengetahuan masyarakat

tentang public stigma pada orang dengan gangguan jiwa supaya mereka dapat

mengenal dan memperlakukan orang dengan gangguan jiwa sesuai dengan

martabatnya. Dan juga agar orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya mendapatkan

hak hidup seperti masyarakat normal pada umumnya.


6

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Kesehatan Jiwa

1. Pengertian Kesehatan Jiwa

Kesehatan jiwa merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan

atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya

kualitas hidup manusia yang utuh. Kesehatan jiwa menurut UU No 3 tahun 1966

tentang kesehatan jiwa didefinisikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang dan

perkembangan itu berjalan secara selaras dengan keadaan orang lain.

Pakar lain mengemukakan bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental

yang sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkah hidup harmonis dan produktif,

sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua

segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari

gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang,

mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup,

dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap

diri sendiri dan orang lain (Sumiati, dkk, 2009).

Adapun kriteria sehat jiwa menurut Riyadi, Sujono (2013) dalam bukunya yang

berjudul Asuhan Keperawatan Jiwa meliputi:

1.1.1. Sikap positif terhadap diri sendiri

Individu dapat menerima dirinya secara utuh, menyadari adanya kelebihan dan
7

kekurangan dalam diri dan menyikapi kekurangan atau kelemahan tersebut dengan

baik.

1.1.2. Tumbuh kembang dan beraktualisasi diri

Individu mengalami perubahan kearah yang normal sesuai dengan tingkat

pertumbuhan dan perkembangan dan dapat mengepresikan potensi dirinya.

1.1.3. Integrasi

Individu menyadari bahwa semua aspek yang dimilkinya adalah suatu kesatuan yang

utuh dan mampu bertahan terhadap setres dan dapat mengatasi kecemasannya.

1.1.4. Persepsi sesuai dengan kenyataan

Pemahaman individu terhadap stimulus eksternal sesuai dengan kenyataan yang ada.

Persepsi individu dapat berubah jika ada informasi baru, dan memiliki empati

terhadap perasaan dan sikap orang lain.

1.1.5. Otonomi

Individu dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan dapat mengatur

kebutuhan yang menyangkut dirinya tanpa bergantung pada orang lain.

1.1.6. Kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan

Stresor yang menstimulasi adaptasi mungkin berjangka pendek, seperti demam atau

berjamgka panjang seperti paralisis dari anggota gerak tubuh. Agar dapat berfungsi

optimal, seseorang harus mampu berespon terhadap stresor dan beradaptasi terhadap

tuntutan atau perubahan yang dibutuhkan. Adapatasi membutuhkan respon aktif dari

seluruh individu. Jika seseorang tidak mampu untuk beradaptasi, maka kemungkinan

untuk mengalami gangguan jiwa adalah besar (Kusumawati, 2010).


8

B. Gangguan Jiwa

1. Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang

penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres

(misalnya gejala nyeri) atau disabilitas yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi

yang penting, atau disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, atau

kehilangan kebebasan (American Psychiatric Association, 1994).

2. Ciri-ciri Gangguan Jiwa

Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa menurut Kanfer dan Goldstein

(Suliswati, 2005) adalah Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan perasaan

tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam arti negatif) terhadap

perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap masalah yang

dihadapinya. Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara dalam menghadapi

problem. Kadang-kadang ciri tersebut tidak dirasakan oleh penderita. Yang merasakan

perilaku penderita adalah masyarakat disekitarnya. Orang disekitarnya merasa bahwa

perilaku yang dilakukan adalah merugikan diri penderita yang tidak efektif, merusak

dirinya sendiri.

Dalam kasus demikian seringkali terjadi orang-orang merasa terganggu dengan

perilaku penderita. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang

yang mempengaruhi emosi, pikiran dan tingkah laku mereka, diluar kepercayaan

budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negatif bagi kehidupan

mereka atau kehidupan keluarga mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatik,
9

psikologik, dan sosiobudaya.

3. Penyebab Gangguan Jiwa

Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga,

secara somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga

unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa ialah gejala-gejala patologik dominan

berasal dari unsur psikis (Yosep,2011). Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain

tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan

bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya. Hal-hal yang dapat

mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan jenis

kelamin, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan

dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang

yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antara manusia dan sebagainya.

Gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi

penyebab utamanya mungkin dibadan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik)

ataupun dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi

beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur yang saling mempengaruhi atau

kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa.

Sumber penyebab gangguan jiwa menurut (Yosep,2011) dipengaruhi oleh

faktor-faktor pada ketiga unsur (somato-psiko- sosial) yang terus menerus saling

mempengaruhi, antara lain:

1. Faktor-faktor somatik (somatogeneik) :

a. Neuroanatomi
10

b. Neurofisiologi

c. Neurokimia

d. Tingkat kematangan dan perkembangan organic

e. Faktor-fator pre dan peri-natal

2. Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif :

a. Interaksi Ibu-anak: normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal berdasarkan

kekuranan, distorsi, dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan

kebimbangan).

b. Peranan ayah

c. Persaingan antar saudara kandung

d. Intelegensi

e. Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat

f. Kehilangan yag mengakibatkan kecemasan, deresi, rasa malu atau rasa salah.

g. Konsep diri: pengertian identias diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu.

h. Keterampilan, bakat, dan kreativitas.

i. Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya.

j. Tingkat perkembangan emosi.

3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural :

a. Kestabilan keluarga.

b. Pola mengasuh anak.


11

c. Tingkat ekonomi.

d. Perumahan: perkotaan lawan pedesaan.

e. Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan,

pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai.

f. Pengaruh rasial dan keagamaan.

g. Nilai-nilai.

4. Macam - Macam Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa ialah gejala-gejala psikologik dari unsur psikis (Yosep,2011) .

Jenis gangguan jiwa :

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat dan menimbulkan

disorganisasi personalitas terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa

yang sering dijumpai. Pemikiran dan perilaku abnormal pada penderita, perjalanan

penyakit bertahap akan menunju kronisitas, jarang terjadi pemulihan sempurna dengan

spontan dan penderita tidak diobati biasanya akan menjadi rusak (cacat).

b. Depresi

Suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan

yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan,

psikomotor, kelelahan, rasa putus asa,tak berdaya dan rencana bunuh diri. Depresi juga

diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang

ditandai dengan kemurungan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna dan putus
12

asa. Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa

bermacam—macam perasaan, sikap, dan kepercayaan bahwa seseorang hidup

menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah dan takut pada

bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan

normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu.

Individu yang menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan

kehilangan minat dan kegembiraan,kurangnya energi membuat mudah lelah dan

berkurangnya aktifitas. Depresi dianggap normal terhadap banyak stres kehidupan dan

abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus

berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih.

c. Kecemasan

Pengalaman psikis yang biasa dan wajar yang pernah dialami oleh setiap orang

dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Keadaan

seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak

spesifik. Penyebabnya atau sumber biasanya tidak diketahui. Intensitas kecemasan

dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat.

d. Gangguan Kepribadian (Bipolar Disorder)

Gejala gangguan kepribadian dan gejala nerosa hampir sama pada orang dengan

intelegensi tinggi ataupun rendah. Klasifikasi gangguan; kepribadian paranoid,

kepribadian afektif, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian obesif-

konpulsif, kepribadian histerik, kepribadian, astenik, kepribadian antisosial dan

kepribadian pasifagresif.

e. Gangguan Mental Organik


13

Gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan

fungsi jaringan otak. Gangguan fumgsi jaringan otak dapat disebabkan oleh penyakit

badaniah yang terutama mengenaik otak. Bila bagian otak yang terganggu luas, maka

gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja tidak tergantung pada penyakit yang

menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu,

maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang

menyebabkannya. Pembagian psikotik atau non—psikotik lebih menunjukan kepada

berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan

menahun.

f. Gangguan Psikomatik

Komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah. Gangguan

psikomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ.

g. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau

tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hentinya ketrampilan selama

masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh

misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.

h. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja

Anak dengan gangguan perilaku menunjukan perilaku yang tidak sesuai dengan

permintaan, kebiasaan atau norma—norma masyarakat. Anak dengan gangguan

perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan

perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin lingkungannya, akan tetapi akhirnya

faktor ini saling mempengaruhi. Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis,
14

neoplasma dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. (RS Amino,2014)

C. Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

1. Defenisi Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

Istilah stigma digunakan pertama kali dalam buku Stigma: Notes on the

Management of Spoiled Identity oleh Goffman tahun 1963. Penyakit jiwa adalah salah

satu kondisi yang paling banyak mengalami stigmatisasi, terlepas dari diagnosis

psikiatri spesifik (Corrigan dkk., 2000; Corrigan & Penn, 1999; Tringo, 1970; Weiner,

Perry, & Magnusson, 1988). Tidak seperti penyakit lainnya, penyakit jiwa dianggap

oleh beberapa orang sebagai tanda kelemahan, sekaligus sebagai sumber rasa malu dan

aib.

Sosiolog Erving Goffman (1963) dalam Linden & Kavanagh (2012)

membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan secara

signifikan. Goffman juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan

suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok

berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari

norma-norma dalam komunitas tersebut. Berbagai kualitas pada individu yang

ditempeli oleh stigma bisa sangat acak mulai dari warna kulit, cara berbicara,

kecendrungan seksual.

Gofmann (1963) dalam Sewilam et al., (2015) mendefinisikan stigma sebagai

proses dimana reaksi orang lain merusak identiitas normal. Reaksi-reaksi ini berasal

dari praduga (prejudice) seseorang berdasarkan informasi yang terbatas. Menurut Stuart

(2016), stigma adalah suatu tanda memalukan yang digunakan untuk mengidentifikasi
15

dan memisahkan seseorang yang oleh masyarakat dilihat sebagai abnormal, berdosa

atau berbahaya. Menurut kamus Bahasa Indonesia, stigma adalah ciri negatif yang

menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan menurut

New Freedom Commission on Mental Health (NFCMH) tahun 2003, stigma gangguan

jiwa adalah sebagai suatu kelompok perilaku dan keyakinan negatif yang memotivasi

masyarakat umum untuk merasa takut, menolak, menghindar, dan mendiskriminasi

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) (Stuart, 2016).

Stigma menurut Shives (2012) didefinisikan sebagai tanda dari aib atau malu,

yang meliputi 4 komponen, yaitu:

2.1.1. Memberi label seseorang dengan suatu kondisi

2.1.2. Memiliki stereotip terhadap orang yang diberi label

2.1.3. Menciptakan divisi antara kelompok "kita" yang superior dan kelompok

"mereka" yang terdevaluasi

2.1.4. Mendiskriminasi seseorang atas dasar label mereka

Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang yang

kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009). Menurut Dadang

Hawari (2001) dalam kaitannya pada penderita skizofrenia, stigma merupakan sikap

keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarga

menderita Skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Selama bertahun-tahun,

banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita.

Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan

ketakutan. Masayarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib pagi
16

penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga dianggap

penyakit yang disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh sebagian masyarkat.

2. Penyebaran Stigma

Sane Risearch, (2009) melalui web http://www.sane.org, stigma masih tersebar

luas di Australia. Ini adalah sistemik, dan dapat dilihat dalam tujuh area yang luas.

a. Politik 

Layanan kesehatan mental menerima sedikit perhatian politik dibandingkan dengan

isu-isu lain, dan bukan merupakan wilayah prioritas, walaupun dampak besar pada

kehidupan masyarakat.

b. Alokasi Dana

Australia's menghabiskan sekitar 8% dari anggaran kesehatan pada pelayanan

kesehatan mental. Di negara-negara OECD sebanding, proporsi adalah 12% atau

lebih. Kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan. Pendanaan

penelitian di daerah juga tidak memadai.

c. Perencanaan dan pemberian pelayanan

Walaupun dengan niat baik, pengambilan keputusan nasional pada layanan

kesehatan mental tidak terkoordinasi dengan baik. Bidang kesehatan lain yang

sering diberikan prioritas lebih tinggi.

d. Profesional 

Profesional kesehatan mental terfokus pada merawat orang-orang ketika sakit akut -

sering mengabaikan kebutuhan untuk pemulihan yang berfokus pada rehabilitasi,

dan dukungan bagi keluarga dan pengasuh lainnya. Beberapa juga memperlakukan
17

orang dengan penyakit mental dan keluarga mereka dengan cara yang tidak sopan.

e. Legislatif

Legislatif The Disability Discrimination Act (1992) tidak melindungi orang-orang

dengan penyakit mental atau cacat lainnya dari fitnah, karena melindungi

kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, misalnya pada dasar agama atau ras.

f. Media 

Meskipun ada perbaikan, beberapa media bertahan dalam mempromosikan stereotip

orang sakit mental sebagai kekerasan, tidak kompeten atau objek ejekan.

g. Komunitas 

Tiga perempat (75%) dari orang-orang dengan penyakit mental merasa bahwa

mereka secara pribadi telah mengalami stigma. Ini termasuk sikap pemerintah

kesehatan dan pekerja, di media, dan masyarakat umum.

Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan di Australia tersebut.

Orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau kita

melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumahsakit

umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya

masyarakat awam saja yang melakukan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa,

tetapi para profesional kesehatan pun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi

terhadap penderita gangguan jiwa.

Pandangan masyarakat terhadap gangguan jiwa lainnya adalah bahwa orang

yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyareakat sekitar. Mereka

sering melakukan tindakan kekerasan terhadap lingkungan sekitar yang dapat


18

merepotkan ataupun membahayakan bagi masyarakat. Oeh karena itu tidak jarang

mereka dipasung atau diikat supaya tidak membahayakan masyarakat sekitar.

ODGJ harus berjuang melawan dua permasalah besar dalam kehidupan mereka,

yaitu. melawan gejala yang muncul dari penyakit yang dialami, seperti: halusinasi,

delusi, cemas, perubahan suasana hati, dan melawan ketidakpahaman masyarakat

terhadap keunikan gejala penyakit tersebut, yang disebut dengan stigmatisasi.

Stigmatisasi pada ODGJ sudah berkembang sepanjang sejarah manusia.

Stigmatiasi sering menghasilkan prasangka, ketidakpercayaan, stereotip, takut, malu,

marah dan isolasi sosial. Stigmatisasi juga dapat menghambat ODGJ (terutama pada

penderita skizofrenia) dalam berhubungan dan bekerjasama dengan lingkungan sosial

mereka (Purnama, Yani dan Sutini, 2016).

Di Indonesia stigmatisasi terhadap ODGJ masih sangat kuat. Masyarakat masih

menganggap ODGJ berbahaya karena dapat mencelakai orang lain. Keluarga juga

merasa malu dan khawatir memiliki anggota keluarga dengan ODGJ. Keadaan ini

sering menyebabkan terjadinya isolasi sosial ataupun sengaja mengisolasi ODGJ

dengan pemasungan. Status pendidikan dan ekonomi yang rendah sering memperkuat

stigmatisasi. Akibatnya, ODGJ sulit menunjukkan kemampuan mereka berpartisipasi

dalam kehidupan sosial.

Sampai saat ini, upaya yang dilakukan untuk meminimalisir stigmatisasi masih

sangat kurang, sehingga penolakan dan ketakutan masyarakat kepada mereka makin

meluas. Efek domino dari ketakutan dan penolakan masyarakat dapat menghambat

mereka berinteraksi dan berintegrasi dengan lingkungan sosial. Akibatnya, ODGJ sulit

mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak sehingga kemampuan memenuhi


19

kebutuhan hidup sangat rendah, dan akhirnya kualitas hidup mereka menjadi rendah.

Selain itu stigmatisasi juga menyabkan rendahnya kepercayaan masyarakat kepada

ODGJ. Masyarakat menganggap ODGJ tidak memiliki kemampuan melaksanakan

aktivitas dan fungsi sosial, sehingga sering dianggap tidak bermanfaat dan

dikesampingkan dalam pranata sosial (Purnama, Yani dan Sutini, 2016 dan Chen et al,

2014).

Dari beberapa pendapat diatas, jelas stigmatisasi sangat besar pengaruhnya

terhadap pencapaian tujuan hidup, bahkan ODGJ mungkin tidak memiliki tujuan hidup

sama sekali. Keadaan ini akan berimbas pada penurunan kualitas hidup sehingga upaya

mereka untuk melawan stigmatiasi juga menurun.

Ketika upaya-upaya perlawanan dari ODGJ terhadap stigmatisasi tidak maksimal,

mereka memerlukan bantuan dari petugas kesehatan atau kelompok masyarakat yang

peduli untuk membantu mereka melawan stigmatisasi sehingga memberi peluang pada

pencapaian tujuan hidup dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup

mereka.

3. Proses Terjadinya Stigma

Proses stigma menurut International Federation–Anti Leprocy Association

(ILEP, 2011): Orang-orang yang dianggap berbeda sering diberi label misalnya pasien

gangguan jiwa, masyarakat cenderung berprasangaka dengan pandangan tertentu

dengan apa yang orang alami seperti sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya,

tidak dapat diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus mental.

Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnya tetapi hanya melihat label
20

saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan menggunakan istilah “kita”

dan “mereka” sehingga menyebabkan penderita terstigmatisasi dan mengalami

diskriminasi.

Menurut ILEP (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang

menghadapi stigma:

a. Pemahaman masyarakat yang positif atau negatif terhadap suatu penyakit

b. Dukungan keluarga dan masyarakat

c. Sejauh mana stigma mempengaruhi kehidupan dan rutinitas sehari-hari

d. Kepribadian dan kemampuan koping

Ketika seseorang menghadapi stigma, mereka mungkin rentan sehingga

memerlukan penerimaan dan dukungan emosional karena sulit mengekspresikan

keprihatinan yang dirasakan mereka berharap dapat berbicara dengan seseorang yang

mampu mengerti, sehingga mereka perlu melakukan konseling. Konseling adalah

proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu yang

mengalami masalah.

4. Tipe-tipe Stigma Gangguan Jiwa

Stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma interpersonal atau public-stigma dan

stigma intrapersonal atau self stigma (Rusch, et al., 2005 dalam Sewilam et al., 2015):

1. Stigma masyarakat (public stigma)

Stigma masyarakat memiliki tiga komponen utama yaitu meliputi stereotype,

prejudice, dan discrimination (Corrigan, Larson, & Rüsch, 2009). Komponen


21

stereotype adalah keyakinan tentang kelompok sosial yang dibuat berdasarkan

karakterisasi kelompok secara keseluruhan dengan menolak perbedaan individu atau

karakteristik unik dari orang-orang di dalam kelompok (Hinshaw, 2007). Stereotip pada

stigma masyarakat meliputi kepercayaan negatif tentang kelompok masyarakat tertentu

meliputi ketidakmampuan, kelemahan, dan membahayakan. Sebutan orang gila

digambarkan sebagai orang yang tidak normal, tidak bertanggung jawab, dikucilkan

dari masyarakat dan sulit untuk disembuhkan. Stereotip didasarkan pada pengetahuan

yang tersedia bagi anggota kelompok dan menyediakan cara untuk mengkategorikan

informasi tentang kelompok lain dalam masyarakat. Stereotip tentang penyakit jiwa

meliputi menyalahkan (blame), bahaya (dangerousness), dan tidak kompeten

(incompetence) (Corrigan et al., 2009).

Pada komponen prejudice (prasangka) merupakan suatu sikap sering kali

mengarah pada evaluasi yang bersifat negatif terdapat unsur persetujuan terhadap

kepercayaan atau reaksi negatif seperti marah dan takut. Prasangka yang timbul berupa

prososial perasaan (perlu untuk membantu, kasihan, simpati), perasaan takut dan

terkait (tidak nyaman, tidak aman), perasaan marah dan jengkel (Angermeyer, 2013).

Orang-orang yang memiliki prasangka negatif akan mendukung stereotip dan

menghasilkan reaksi emosional negatif sebagai akibatnya, dan selanjutnya prasangka

akan mengarah kepada diskriminasi (Corrigan et al., 2009).

Pada komponen discrimination (mengucilkan) merupakan perlakuan yang tidak

adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau

kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat katagorikal, atau atribut-atribut khas,

seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama atau keanggotaan kelas-kelas sosial


22

fulthoni, et al (2009). Didalam diskriminasi terdapat unsur respon perilaku untuk

menghakimi seperti menghindari untuk bekerja dan memberikan kesempatan untuk

melakukan kegiatan rumah tangga. Tidak menerima untuk memperkenalkan ke teman,

menikah, menyewa kamar, dan merawat anak-anak (Angermeyer, 2013).

2.Stigma diri (self-stigma)

Self-stigma terdiri dari komponen yang sama seperti public-stigma, yaitu,

stereotip, prasangka dan diskriminasi. Stereotip terjadi ketika seseorang

mengelompokkan sikap negatif tentang penyakit jiwa, yang menyebabkan reaksi

emosional negatif dan harga diri rendah (Rusch et al., 200dalam Sewilam et al., 2015).

Kebanyakan pasien psikiatri mengalami stigma diri (Corrigan, 2005 dalam Sewilam et

al., 2015). Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa stigma pada diri sendiri

mempunyai pandangan negatif pada diri sendiri, bereaksi dengan emosional dan

berperilaku menghindar. Sikap dan perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa

tidak mampu, lemah, harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung,

berbeda dari orang lain dan gagal mendapatkan

kesempatan kerja (Angermeyer, 2013dalam Moses, 2014).

Self-stigma dapat menghambat proses penyembuhan gangguan jiwa pada

penderita itu sendiri. Tahapan Self-stigma terdiri dari tiga langkah yaitu tahap pertama

menyadari (awareness) bahwa adanya stereotip terhadap dirinya (misalnya: “orang-

orang dengan gangguan jiwa harus disalahkan atas gangguan yang mereka alami”),

tahap kedua menyetujui (agreement) stereotip yang diberikan orang lain kepadanya

(misalnya ‘iya itu benar, orang dengan gangguan jiwa harus disalahkan atas penyakit
23

yang mereka alami”), dan tahap ketiga menerapkannya (application) (misalnya “saya

sakit jiwa, jadi saya harus disalahkan atas gangguan yang saya alami). Sebagai hasil

dari proses ini, orang menderita penurunan harga diri dan penurunan self-efficacy dan

kemudian berdampak kepada kualitas hidup (Corrigan et al., 2009).

Para ahli sosio-psikologi membedakan stigma ke dalam tiga kelompok atau

kategori besar, yakni:

a. Keadaan cacat fisik. Hal ini termasuk tinggi badan dan berat badan yang

ekstrim dan kondisi fisik seperti albino dan wajah yang cacat atau

kehilangan salah satu anggota badan. Di negara yang telah berkembang, dalam

kategori ini juga memasukan tanda-tanda penuaan seperti rambut uban, keriput,

dan sikap badan yang membungkuk.

b. Kekurangan atau kecacatan pada karakter seseorang. Kategori ini

memasukan data biografis yang dipegang sebagai bahan yang digunakan untuk

mengindikasikan pribadi yang cacat moral, seperti catatan kriminal, kecanduan,

c. perceraian, gangguan jiwa, pengangguran, percobaan bunuh diri, dan

lain-lain.

d. Stigma yang berkenaan dengan kesukuan. Jenis stigma ini merujuk pada

keanggotaan seseorang dalam suatu suku, kelompok etnis, agama, atau (bagi

perempuan) gender yang menimbulkan diskualifikasi terhadap semua anggota

kelompok itu.

Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge) orang lain.

Berdasarkan penilaian itu, kategorisasi atau stereotip dilakukan tidak berdasarkan

keadaan yang sebenarnya atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang kita
24

(masyarakat) anggap sebagai ’tidak pantas’, ’luar biasa’, ’memalukan’ dan ’tak dapat

diterima’. Stigmatisasi terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat

dikenai stigma oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit, cacat

sejak lahir, gangguan jiwa, pekerjaan dan status ekonomi, hingga preferensi seksual.

Stigma yang masih melekat pada gangguan jiwa di negara-negara berkembang

tidak merepresentasikan masalah yang jelas dan sederhana. Para ahli kesehatan

masyarakat yang telah melakukan studi tentang stigmatisasi terhadap gangguan jiwa

dalam beberapa tahun belakangan ini telah mencatat bahwa persepsi masyarakat umum

mengenai gangguan jiwa sangatlah bermacam- macam, bergantung pada sifat dasar dari

gangguan jiwa tersebut. Sedangkan secara umum, stigma terhadap gangguan jiwa

dalam masyarakat kontemporer utamanya dihubungkan dengan kategori kedua dari tiga

kategori yang telah disebutkan di atas. Stigma terhadap gangguan jiwa ini juga

termasuk di dalam kategori yang pertama, yakni gangguan jiwa yang mempengaruhi

penampilan (performance) fisik seseorang adalah stigma yang lebih memberatkan

daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh pada penampilan fisik seseorang.

Pada tahun 2002, jenis gangguan jiwa yang membawa stigma terbesar dimasukkan ke

dalam empat kategori:

a. Gangguan jiwa yang dalam pendapat umum dihubungkan dengan

kekerasan dan/atau aktivitas ilegal. Di sini termasuk skizofrenia, problem

mental yang dihubungkan dengan infeksi HIV, dan gangguan jiwa yang pada

substansinya bersifat membahayakan.

b. Gangguan dalam perilaku pasien dalam masyarakat yang dapat

memalukan anggota keluarga.


25

c. Gangguan yang bersifat medis yang menyebabkan penambahan berat

badan atau efek samping lain yang nampak.

5. Respon Dan Dampak Stigma

Bagi penderita gangguan jiwa, stigma merupakan penghalang yang memisahkan

mereka dengan masyarakat dan menjauhkan mereka dari orang lain (Stuart, 2016).

Stigma berakibat pada pelabelan, prasangka, stereotip, pemisahan, kehilangan status

dan diskriminasi negatif (Link & Phelan, 2001dalam Sewilam et al., 2015). Stereotip

dengan cepat menghasilkan kesan dan harapan tentang orang-orang yang termasuk

dalam kelompok tertentu (Rusch et al., 2005 dalam Sewilam et al., 2015). Orang yang

berprasangka setuju dengan stereotip negatif ini, dan sikap ini mengarah pada

diskriminasi melalui perilaku negatif terhadap individu yang sakit mental. Persepsi

negatif ini membuat ketakutan dan jarak sosial dari orang sakit jiwa (Corrigan et al.,

2001 dalam Sewilam et al., 2015). Ketika individu mendukung keyakinan stigma ini,

mereka menunjukkan tingkat penghindaran dan penolakan yang lebih tinggi untuk

membantu seseorang dengan diagnosis psikiatrik (Corrigan & Matthews, 2003 dalam

Sewilam et al., 2015).

Klien dan keluarganya seringkali melaporkan bahwa diagnosis gangguan jiwa

selalu diikuti dengan meningkatknya isolasi dan kesepian karena keluarga dan sahabat

menarik diri dari hubungan dengan klien dan keluarganya. Klien merasa ditolak dan

ditakuti oleh orang lain dan keluarga seringkali disalahkan. Stigma terhadap gangguan

jiwa merupakan suatu refleksi dari bias budaya masyarakat yang dilakukan oleh

konsumen dan petugas kesehatan. Akhirnya keluarga sering melihat klien sering
26

kambuh dan tidak sembuh, kondisi ini semakin membuat pasien di jauhi oleh orang

lain, sehingga “pasung” sering dilakukan sebagai cara merawat klien yang

memperlihatkan keputusasaan yang di alami oleh keluarga dalam merawat pasien

(Stuart, 2016).

Dengan demikian stigma dapat mencegah banyak orang dengan penyakit jiwa

untuk mendapatkan pengobatan. Rasa malu dan harga diri yang rendah pada individu

dengan penyakit jiwa adalah dampak lain dari stigma. Sementara, stigmatisasi

masyarakat terhadap penyakit jiwa dapat diinternalisasi dan kemudian membuat

masyarakat mengekslusi individu yang terstigma tersebut sehingga dapat mengancam

kualitas hidup penderita gangguan jiwa, menghambat hubungan sosial dan mengurangi

kemungkinan orang dengan penyakit jiwa (ODGJ) mencari layanan kesehatan jiwa atau

mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, stigma dianggap sebagai penghalang ODGJ

untuk pulih dari penyakit jiwanya, bahkan pada individu yang menerima perawatan

sekalipun (Sewilam et al., 2015).

Pada individu, stigma dapat berdampak kepada harga diri rendah, penilaian

negatif pada diri sendiri (self-stigma), ketakutan, merasa diasingkan, kehilangan

kesempatan kerja karena diskriminasi, menambah depresi, dan meningkatnya

kekambuhan (dalam Larson and Corrigan, 2008). Stigma dengan berbagai identitas

negatif dari masyarakat akan mempengaruhi interaksi dan dukungan sosial terhadap

penderita, sehingga penderita sering tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan

menjadi pengangguran. Dalam stigma diinternalisasi atau self-stigma, proses bertahap

asimilasi psikologis stereotip masyarakat terhadap penyakit mental dikatakan terjadi

sehingga orang dengan penyakit mental semakin kehilangan apa yang mereka pikirkan
27

dan keinginan mereka di masa depan (Yanos, et al., 2008).

Pada dasarnya, Orang tidak hanya percaya bahwa orang lain berpikir bahwa dia

berharga atau tidak, misalnya menikah, tapi juga berpendapat bahwa ia tidak benar-

benar layak dan tidak boleh menikah. Hal ini akan mengubah fundamental persepsi

orang tersebut tentang diri mereka sendiri dan mengarah ke perubahan perilaku

seseorang dengan cara melakukan persepsi terinternalisasi yang dianggap sesuai

(Thornicroft et al., 2007).

Dengan demikian, dampak atau konsekuensi dari stigma adalah sebagai berikut

(Stuart, 2016):

1. Stigma membuat orang yang menyembunyikan atau menyangkal gejala yang

mereka rasakan

2. Stigma menghasilkan keterlambatan dalam terapi

3. Stigma membuat seseorang menghindari tpeerapi yang efektif atau tidak

menjalani pengobatan secara terkontrol

4. Stigma membuat masyarakat mengisolasi individu dan keluarga pasien

gangguan jiwa

5. Stigma dapat menurunkan harga diri dan potensi perawatan diri pada pasien

gangguan jiwa

6. Stigma dapat menghambat pasien gangguan jiwa mengakses perawatan

kesehatan yang berkualitas

7. Stigma memberi pengaruh secara negatif terhadap perilaku petugas kesehatan


28

8. Stigma memberikan kontribusi terhadap tingkat keparahan penyakit

9. Stigma membatasi respons masyarakat terhadap gangguan jiwa.

Stigma, ketidakpahaman, dan ketakutan terhadap gangguan jiwa berhubungan

dengan orang dan agen pemberi pelayanan kesehatan jiwa dan orang yang menerima

pelayanan, yang seringkali adalah orang lanjut usia, orang miskin, atau anggota

kelompok sosial minoritas. Berbeda dengan kondisi penyakit fisik, yang cenderung

mengundang simpati dan keinginan untuk menolong, pada gangguan jiwa cenderung

mengganggu orang lain dan membuat orang lain ingin menghindarinya (Stuart, 2016)

Anda mungkin juga menyukai