BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit
akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan fisik, emosi, sosial dan spiritual
(WHO, 2013). Dimensi kesehatan tidak boleh dipandang secara fisik saja, namun
kesehatan jiwa juga penting diperhatikan. Kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera
dan harapan (Stuart 2016). Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014, kesehatan
jiwa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
Seseorang dikatakan memiliki jiwa yang sehat apabila mempunyai sikap yang
positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan,
kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi
memiliki resiko mengalami gangguan jiwa, inilah yang biasanya disebut orang dengan
masalah kejiwaan (ODMK) dan orang yang mengalami dalam pikiran, prilaku, dan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia disebut orang dengan gangguan jiwa
tahunnya diberbagai belahan dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO 2016) terdapat sekitar 35 orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar,
21 juta orang terkena skizofrenia serta 47,5 juta orang terkena dimensia . Oleh karena
itu masalah gangguan kesehatan jiwa yang ada diseluruh dunia sudah menjadi masalah
provinsi Aceh gangguan jiwa mencapai 11% permil dari populasi yang ada. Gangguan
jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku yang secara klinis berhubungan dengan
distres yang menimbulkan gangguan pada sistem kehidupan manusia (Keliat, 2011).
ODGJ sering terlihat kurang memelihara diri dan berprilaku aneh, seperti: bicara
sendiri, keluyuran tanpa tujuan, susah diajak bicara, melakukan perilaku kekerasan
bahkan ada yang telanjang di jalanan. Hal ini menyebabkan munculnya persepsi negatif
dari masyarakat sehingga masyarakat memberi suatu label negatif kepada mereka
sebagai orang gila, edan, sedeng, miring dan tidak selayaknya berada di lingkungan
Stigma ini sering muncul di kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang
kurang tentang gangguan jiwa dan bagaimana merawat mereka (Smith & Casswell,
2010).
3
pasien gangguan jiwa tidak memiliki keterampilan atau kemampuan berinteraksi dan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia stigma merupakan ciri negatif yang menempel
Hingga saat ini stigma telah menghalangi ODGJ untuk memperoleh hak mereka.
masyarakat kambuh kembali akibat distres terhadap perilaku masyarakat yang cendrung
diskriminatif( Noorkasani, 2007). Stigma juga berdampak bagi keluarga ODGJ, dimana
adalah rasa rendah diri, malu akan penyakitnya, takut akan penolakan sosial, takut
kesulitan mendapat pekerjaan dan takut kehilangan hak atas layanan kesehatan, merasa
tertekan, tidak sedikit pula keluarga ataupun lingkungan sekitar yang menganggap
orang dengan gangguan jiwa sebagai aib sehingga mereka dikucilkan. Atau keluarga
yang menjadi malu akibat stigma yang berkembang di masyarakat. Selain pengaruh
terhadap pasien secara langsung, ternyata stigma juga berpengaruh kepada keluarga
pasien (Watson, 2006). Hasil penelitian kualitatif dengan metoda grounded theory yang
dilakukan Subu, (2015) terhadap 30 partisipan di Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki
4
Mahdi Bogor didapatkan bahwa stigmatisasi terhdap penderita gangguan jiwa banyak
pemerintah dan media. Akibat dari stigmatisasi tersebut, penderita sering mengalami
sering menjadi stresor yang memicu kekambuhan pada penderita gangguan jiwa.
B. Rumusan Masalah
. Dari hasil penelitian Subu, (2015) di Indonesia masih banyak terdapat stigma
pada orang dengan gangguan jiwa. Kondisi tersebut membuat dampak buruk kepada
orang dengan gangguan jiwa di masyarakat, banyak dari mereka yang tidak bisa
sembuh karena salah satunya yaitu masih besarnya stigma masyarakat pada orang
dengan gangguan jiwa, maka rumusan masalahnya adalah “Gambaran public stigma
C. Tujuan
Mengetahui gambaran public stigma siswa MAN KARO Kabanjahe terhadap penderita
gangguan jiwa.
5
D. Manfaat
mahasiswa tentang perlakuan baik terhadap orang dengan gangguan jiwa dan dapat di
2. Bagi Sekolah
Penelitian ini berguna sebagai bahan masukan untuk mengubah stigma pelajar
kepada orang dengan gangguan jiwa dan untuk mengingatkan bahwa masih besarnya
public stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa, agar pihak sekolah dapat
3.Bagi Pelajar
tentang public stigma pada orang dengan gangguan jiwa supaya mereka dapat
martabatnya. Dan juga agar orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya mendapatkan
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Kesehatan Jiwa
Kesehatan jiwa merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan
atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya
kualitas hidup manusia yang utuh. Kesehatan jiwa menurut UU No 3 tahun 1966
perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang dan
Pakar lain mengemukakan bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental
yang sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkah hidup harmonis dan produktif,
sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua
segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari
gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang,
mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup,
dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap
Adapun kriteria sehat jiwa menurut Riyadi, Sujono (2013) dalam bukunya yang
Individu dapat menerima dirinya secara utuh, menyadari adanya kelebihan dan
7
kekurangan dalam diri dan menyikapi kekurangan atau kelemahan tersebut dengan
baik.
1.1.3. Integrasi
Individu menyadari bahwa semua aspek yang dimilkinya adalah suatu kesatuan yang
utuh dan mampu bertahan terhadap setres dan dapat mengatasi kecemasannya.
Pemahaman individu terhadap stimulus eksternal sesuai dengan kenyataan yang ada.
Persepsi individu dapat berubah jika ada informasi baru, dan memiliki empati
1.1.5. Otonomi
Individu dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan dapat mengatur
Stresor yang menstimulasi adaptasi mungkin berjangka pendek, seperti demam atau
berjamgka panjang seperti paralisis dari anggota gerak tubuh. Agar dapat berfungsi
optimal, seseorang harus mampu berespon terhadap stresor dan beradaptasi terhadap
tuntutan atau perubahan yang dibutuhkan. Adapatasi membutuhkan respon aktif dari
seluruh individu. Jika seseorang tidak mampu untuk beradaptasi, maka kemungkinan
B. Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres
(misalnya gejala nyeri) atau disabilitas yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi
yang penting, atau disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, atau
Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa menurut Kanfer dan Goldstein
(Suliswati, 2005) adalah Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan perasaan
tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam arti negatif) terhadap
perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap masalah yang
problem. Kadang-kadang ciri tersebut tidak dirasakan oleh penderita. Yang merasakan
perilaku yang dilakukan adalah merugikan diri penderita yang tidak efektif, merusak
dirinya sendiri.
perilaku penderita. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang
yang mempengaruhi emosi, pikiran dan tingkah laku mereka, diluar kepercayaan
budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negatif bagi kehidupan
mereka atau kehidupan keluarga mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatik,
9
Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga,
unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa ialah gejala-gejala patologik dominan
berasal dari unsur psikis (Yosep,2011). Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain
tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan
mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan jenis
dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang
yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antara manusia dan sebagainya.
Gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi
ataupun dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur yang saling mempengaruhi atau
faktor-faktor pada ketiga unsur (somato-psiko- sosial) yang terus menerus saling
a. Neuroanatomi
10
b. Neurofisiologi
c. Neurokimia
a. Interaksi Ibu-anak: normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal berdasarkan
kekuranan, distorsi, dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan
kebimbangan).
b. Peranan ayah
d. Intelegensi
f. Kehilangan yag mengakibatkan kecemasan, deresi, rasa malu atau rasa salah.
g. Konsep diri: pengertian identias diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu.
a. Kestabilan keluarga.
c. Tingkat ekonomi.
g. Nilai-nilai.
a. Skizofrenia
yang sering dijumpai. Pemikiran dan perilaku abnormal pada penderita, perjalanan
penyakit bertahap akan menunju kronisitas, jarang terjadi pemulihan sempurna dengan
spontan dan penderita tidak diobati biasanya akan menjadi rusak (cacat).
b. Depresi
Suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan,
psikomotor, kelelahan, rasa putus asa,tak berdaya dan rencana bunuh diri. Depresi juga
diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna dan putus
12
asa. Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa
menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah dan takut pada
bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan
Individu yang menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan
berkurangnya aktifitas. Depresi dianggap normal terhadap banyak stres kehidupan dan
abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus
c. Kecemasan
Pengalaman psikis yang biasa dan wajar yang pernah dialami oleh setiap orang
dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Keadaan
seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak
Gejala gangguan kepribadian dan gejala nerosa hampir sama pada orang dengan
kepribadian pasifagresif.
Gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan
fungsi jaringan otak. Gangguan fumgsi jaringan otak dapat disebabkan oleh penyakit
badaniah yang terutama mengenaik otak. Bila bagian otak yang terganggu luas, maka
gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja tidak tergantung pada penyakit yang
menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu,
maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang
berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan
menahun.
f. Gangguan Psikomatik
psikomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ.
g. Retardasi Mental
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hentinya ketrampilan selama
Anak dengan gangguan perilaku menunjukan perilaku yang tidak sesuai dengan
perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin lingkungannya, akan tetapi akhirnya
faktor ini saling mempengaruhi. Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis,
14
Istilah stigma digunakan pertama kali dalam buku Stigma: Notes on the
Management of Spoiled Identity oleh Goffman tahun 1963. Penyakit jiwa adalah salah
satu kondisi yang paling banyak mengalami stigmatisasi, terlepas dari diagnosis
psikiatri spesifik (Corrigan dkk., 2000; Corrigan & Penn, 1999; Tringo, 1970; Weiner,
Perry, & Magnusson, 1988). Tidak seperti penyakit lainnya, penyakit jiwa dianggap
oleh beberapa orang sebagai tanda kelemahan, sekaligus sebagai sumber rasa malu dan
aib.
membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan secara
suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok
berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari
ditempeli oleh stigma bisa sangat acak mulai dari warna kulit, cara berbicara,
kecendrungan seksual.
proses dimana reaksi orang lain merusak identiitas normal. Reaksi-reaksi ini berasal
dari praduga (prejudice) seseorang berdasarkan informasi yang terbatas. Menurut Stuart
(2016), stigma adalah suatu tanda memalukan yang digunakan untuk mengidentifikasi
15
dan memisahkan seseorang yang oleh masyarakat dilihat sebagai abnormal, berdosa
atau berbahaya. Menurut kamus Bahasa Indonesia, stigma adalah ciri negatif yang
New Freedom Commission on Mental Health (NFCMH) tahun 2003, stigma gangguan
jiwa adalah sebagai suatu kelompok perilaku dan keyakinan negatif yang memotivasi
Stigma menurut Shives (2012) didefinisikan sebagai tanda dari aib atau malu,
2.1.3. Menciptakan divisi antara kelompok "kita" yang superior dan kelompok
Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang yang
kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009). Menurut Dadang
Hawari (2001) dalam kaitannya pada penderita skizofrenia, stigma merupakan sikap
keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarga
menderita Skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Selama bertahun-tahun,
banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita.
ketakutan. Masayarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib pagi
16
penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga dianggap
2. Penyebaran Stigma
luas di Australia. Ini adalah sistemik, dan dapat dilihat dalam tujuh area yang luas.
a. Politik
isu-isu lain, dan bukan merupakan wilayah prioritas, walaupun dampak besar pada
kehidupan masyarakat.
b. Alokasi Dana
lebih. Kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan. Pendanaan
kesehatan mental tidak terkoordinasi dengan baik. Bidang kesehatan lain yang
d. Profesional
Profesional kesehatan mental terfokus pada merawat orang-orang ketika sakit akut -
dan dukungan bagi keluarga dan pengasuh lainnya. Beberapa juga memperlakukan
17
orang dengan penyakit mental dan keluarga mereka dengan cara yang tidak sopan.
e. Legislatif
dengan penyakit mental atau cacat lainnya dari fitnah, karena melindungi
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, misalnya pada dasar agama atau ras.
f. Media
orang sakit mental sebagai kekerasan, tidak kompeten atau objek ejekan.
g. Komunitas
Tiga perempat (75%) dari orang-orang dengan penyakit mental merasa bahwa
mereka secara pribadi telah mengalami stigma. Ini termasuk sikap pemerintah
Orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau kita
melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumahsakit
umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya
masyarakat awam saja yang melakukan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa,
tetapi para profesional kesehatan pun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi
yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyareakat sekitar. Mereka
merepotkan ataupun membahayakan bagi masyarakat. Oeh karena itu tidak jarang
ODGJ harus berjuang melawan dua permasalah besar dalam kehidupan mereka,
yaitu. melawan gejala yang muncul dari penyakit yang dialami, seperti: halusinasi,
marah dan isolasi sosial. Stigmatisasi juga dapat menghambat ODGJ (terutama pada
menganggap ODGJ berbahaya karena dapat mencelakai orang lain. Keluarga juga
merasa malu dan khawatir memiliki anggota keluarga dengan ODGJ. Keadaan ini
dengan pemasungan. Status pendidikan dan ekonomi yang rendah sering memperkuat
Sampai saat ini, upaya yang dilakukan untuk meminimalisir stigmatisasi masih
sangat kurang, sehingga penolakan dan ketakutan masyarakat kepada mereka makin
meluas. Efek domino dari ketakutan dan penolakan masyarakat dapat menghambat
mereka berinteraksi dan berintegrasi dengan lingkungan sosial. Akibatnya, ODGJ sulit
kebutuhan hidup sangat rendah, dan akhirnya kualitas hidup mereka menjadi rendah.
aktivitas dan fungsi sosial, sehingga sering dianggap tidak bermanfaat dan
dikesampingkan dalam pranata sosial (Purnama, Yani dan Sutini, 2016 dan Chen et al,
2014).
terhadap pencapaian tujuan hidup, bahkan ODGJ mungkin tidak memiliki tujuan hidup
sama sekali. Keadaan ini akan berimbas pada penurunan kualitas hidup sehingga upaya
mereka memerlukan bantuan dari petugas kesehatan atau kelompok masyarakat yang
peduli untuk membantu mereka melawan stigmatisasi sehingga memberi peluang pada
pencapaian tujuan hidup dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup
mereka.
(ILEP, 2011): Orang-orang yang dianggap berbeda sering diberi label misalnya pasien
dengan apa yang orang alami seperti sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya,
tidak dapat diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus mental.
Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnya tetapi hanya melihat label
20
saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan menggunakan istilah “kita”
diskriminasi.
menghadapi stigma:
keprihatinan yang dirasakan mereka berharap dapat berbicara dengan seseorang yang
proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu yang
mengalami masalah.
Stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma interpersonal atau public-stigma dan
stigma intrapersonal atau self stigma (Rusch, et al., 2005 dalam Sewilam et al., 2015):
karakteristik unik dari orang-orang di dalam kelompok (Hinshaw, 2007). Stereotip pada
digambarkan sebagai orang yang tidak normal, tidak bertanggung jawab, dikucilkan
dari masyarakat dan sulit untuk disembuhkan. Stereotip didasarkan pada pengetahuan
yang tersedia bagi anggota kelompok dan menyediakan cara untuk mengkategorikan
informasi tentang kelompok lain dalam masyarakat. Stereotip tentang penyakit jiwa
mengarah pada evaluasi yang bersifat negatif terdapat unsur persetujuan terhadap
kepercayaan atau reaksi negatif seperti marah dan takut. Prasangka yang timbul berupa
prososial perasaan (perlu untuk membantu, kasihan, simpati), perasaan takut dan
terkait (tidak nyaman, tidak aman), perasaan marah dan jengkel (Angermeyer, 2013).
adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau
emosional negatif dan harga diri rendah (Rusch et al., 200dalam Sewilam et al., 2015).
Kebanyakan pasien psikiatri mengalami stigma diri (Corrigan, 2005 dalam Sewilam et
al., 2015). Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa stigma pada diri sendiri
mempunyai pandangan negatif pada diri sendiri, bereaksi dengan emosional dan
berperilaku menghindar. Sikap dan perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa
tidak mampu, lemah, harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung,
penderita itu sendiri. Tahapan Self-stigma terdiri dari tiga langkah yaitu tahap pertama
orang dengan gangguan jiwa harus disalahkan atas gangguan yang mereka alami”),
tahap kedua menyetujui (agreement) stereotip yang diberikan orang lain kepadanya
(misalnya ‘iya itu benar, orang dengan gangguan jiwa harus disalahkan atas penyakit
23
yang mereka alami”), dan tahap ketiga menerapkannya (application) (misalnya “saya
sakit jiwa, jadi saya harus disalahkan atas gangguan yang saya alami). Sebagai hasil
dari proses ini, orang menderita penurunan harga diri dan penurunan self-efficacy dan
a. Keadaan cacat fisik. Hal ini termasuk tinggi badan dan berat badan yang
ekstrim dan kondisi fisik seperti albino dan wajah yang cacat atau
kehilangan salah satu anggota badan. Di negara yang telah berkembang, dalam
kategori ini juga memasukan tanda-tanda penuaan seperti rambut uban, keriput,
memasukan data biografis yang dipegang sebagai bahan yang digunakan untuk
lain-lain.
d. Stigma yang berkenaan dengan kesukuan. Jenis stigma ini merujuk pada
keanggotaan seseorang dalam suatu suku, kelompok etnis, agama, atau (bagi
kelompok itu.
Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge) orang lain.
keadaan yang sebenarnya atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang kita
24
(masyarakat) anggap sebagai ’tidak pantas’, ’luar biasa’, ’memalukan’ dan ’tak dapat
diterima’. Stigmatisasi terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat
dikenai stigma oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit, cacat
sejak lahir, gangguan jiwa, pekerjaan dan status ekonomi, hingga preferensi seksual.
tidak merepresentasikan masalah yang jelas dan sederhana. Para ahli kesehatan
masyarakat yang telah melakukan studi tentang stigmatisasi terhadap gangguan jiwa
dalam beberapa tahun belakangan ini telah mencatat bahwa persepsi masyarakat umum
mengenai gangguan jiwa sangatlah bermacam- macam, bergantung pada sifat dasar dari
gangguan jiwa tersebut. Sedangkan secara umum, stigma terhadap gangguan jiwa
dalam masyarakat kontemporer utamanya dihubungkan dengan kategori kedua dari tiga
kategori yang telah disebutkan di atas. Stigma terhadap gangguan jiwa ini juga
termasuk di dalam kategori yang pertama, yakni gangguan jiwa yang mempengaruhi
daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh pada penampilan fisik seseorang.
Pada tahun 2002, jenis gangguan jiwa yang membawa stigma terbesar dimasukkan ke
mental yang dihubungkan dengan infeksi HIV, dan gangguan jiwa yang pada
mereka dengan masyarakat dan menjauhkan mereka dari orang lain (Stuart, 2016).
dan diskriminasi negatif (Link & Phelan, 2001dalam Sewilam et al., 2015). Stereotip
dengan cepat menghasilkan kesan dan harapan tentang orang-orang yang termasuk
dalam kelompok tertentu (Rusch et al., 2005 dalam Sewilam et al., 2015). Orang yang
berprasangka setuju dengan stereotip negatif ini, dan sikap ini mengarah pada
diskriminasi melalui perilaku negatif terhadap individu yang sakit mental. Persepsi
negatif ini membuat ketakutan dan jarak sosial dari orang sakit jiwa (Corrigan et al.,
2001 dalam Sewilam et al., 2015). Ketika individu mendukung keyakinan stigma ini,
mereka menunjukkan tingkat penghindaran dan penolakan yang lebih tinggi untuk
membantu seseorang dengan diagnosis psikiatrik (Corrigan & Matthews, 2003 dalam
selalu diikuti dengan meningkatknya isolasi dan kesepian karena keluarga dan sahabat
menarik diri dari hubungan dengan klien dan keluarganya. Klien merasa ditolak dan
ditakuti oleh orang lain dan keluarga seringkali disalahkan. Stigma terhadap gangguan
jiwa merupakan suatu refleksi dari bias budaya masyarakat yang dilakukan oleh
konsumen dan petugas kesehatan. Akhirnya keluarga sering melihat klien sering
26
kambuh dan tidak sembuh, kondisi ini semakin membuat pasien di jauhi oleh orang
lain, sehingga “pasung” sering dilakukan sebagai cara merawat klien yang
(Stuart, 2016).
Dengan demikian stigma dapat mencegah banyak orang dengan penyakit jiwa
untuk mendapatkan pengobatan. Rasa malu dan harga diri yang rendah pada individu
dengan penyakit jiwa adalah dampak lain dari stigma. Sementara, stigmatisasi
kualitas hidup penderita gangguan jiwa, menghambat hubungan sosial dan mengurangi
kemungkinan orang dengan penyakit jiwa (ODGJ) mencari layanan kesehatan jiwa atau
mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, stigma dianggap sebagai penghalang ODGJ
untuk pulih dari penyakit jiwanya, bahkan pada individu yang menerima perawatan
Pada individu, stigma dapat berdampak kepada harga diri rendah, penilaian
kekambuhan (dalam Larson and Corrigan, 2008). Stigma dengan berbagai identitas
negatif dari masyarakat akan mempengaruhi interaksi dan dukungan sosial terhadap
penderita, sehingga penderita sering tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan
sehingga orang dengan penyakit mental semakin kehilangan apa yang mereka pikirkan
27
Pada dasarnya, Orang tidak hanya percaya bahwa orang lain berpikir bahwa dia
berharga atau tidak, misalnya menikah, tapi juga berpendapat bahwa ia tidak benar-
benar layak dan tidak boleh menikah. Hal ini akan mengubah fundamental persepsi
orang tersebut tentang diri mereka sendiri dan mengarah ke perubahan perilaku
Dengan demikian, dampak atau konsekuensi dari stigma adalah sebagai berikut
(Stuart, 2016):
mereka rasakan
gangguan jiwa
5. Stigma dapat menurunkan harga diri dan potensi perawatan diri pada pasien
gangguan jiwa
dengan orang dan agen pemberi pelayanan kesehatan jiwa dan orang yang menerima
pelayanan, yang seringkali adalah orang lanjut usia, orang miskin, atau anggota
kelompok sosial minoritas. Berbeda dengan kondisi penyakit fisik, yang cenderung
mengundang simpati dan keinginan untuk menolong, pada gangguan jiwa cenderung
mengganggu orang lain dan membuat orang lain ingin menghindarinya (Stuart, 2016)