Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEGAWATAN NON OBSTETRI PADA KEHAMILAN


Dibuat untuk Memenuhi Mata Kuliah: Pengantar Fetomaternal

Dosen Pengampu:
Syiska Atik M, M.Keb

Disusun Oleh:
Ika Nur Afita (P17312215107)
Vida Dwi Ardiani (P17312215117)
Amalia Quthurun Nada (P17312215128)
Meisya Ika R. M. (P17312215137)
Novia Rodiana (P173122151548)
Gescilia Febriastuti (P17312215155)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN

i
TAHUN 2021/2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Syska Atik Maryanti, SST,M.Keb
selaku dosen mata kuliah Pengantar Fetomaternal. Kami membuat makalah ini yang
bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang “Kegawatan Non Obstetrik Pada
Kehamilan”.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan lebih bagi
kami dan para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun yang kami
harapkan guna kedepannya dapat memberi kesempurnaan pada makalah kami ini.
Atas perhatian dan waktunya, kami mengucapkan terima kasih.

Jember

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...........................................................................................................................i

Kata Pengantar .........................................................................................................................ii

Daftar Isi ...................................................................................................................................iii

Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembahasan .................................................................................................. 2

Bab 2 Tinjauan Teori ............................................................................................................... 3

2.1 Kehamilan Dengan Apendisitis Akut......................................................................... 3


2.2 Trauma Abdomen Pada Kehamilan ........................................................................... 9

Bab 3 Penutup .......................................................................................................................... 15


3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 15
3.2 Saran ......................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 16

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatan atau kegawatdaruratan adalah keadaan serius yang harus
dilakukan tindakan segera untuk menghindari kecacatan bahkan kematian
(Hutabarat & Putra, 2016). Sedangkan kegawatan non-obstetri sendiri adalah
keadaan serius yang harus segera dilakukan tindakan, disebabkan oleh penyakit
atau gangguan pada fungi tubuh manusia diluar masalah kehamilan dan
persalinan. Kegawatan non-obstetri dapat berupa penyakit tidak menular ataupun
penyakit organ reproduksi.
Ibu yang sedang berada pada masa kehamilan tidak menutup kemungkinan
dapat menderita penyakit non-obstetri yang merujuk pada kegawatan. Penyakit
tersebut dapat mulai diderita ibu sebelum masa kehamilan ataupun saat kehamilan
itu berlangsung. Yang tentunya dapat menambah ketidaknyamanan ibu dalam
menjalani masa kehamilan. Sehingga dapat menambah faktor resiko terjadinya
kesakitan dan kematian ibu.
Kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan yang
sangat penting yang dihadapi di Negara-negara berkembang. Berdasarkan riset
World Health Organization (WHO) pada tahun 2017 Angka Kematian Ibu (AKI)
di dunia masih tinggi dengan jumlah 289.000 jiwa. Beberapa Negara berkembang
AKI yang cukup tinggi seperti di Afrika Sub-Saharan sebanyak 179.000 jiwa,
Asia Selatan sebanyak 69.000 jiwa, dan di Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa.
AKI di Negara – Negara Asia Tenggara salah satunya di Indonesia sebanyak 190
per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam sebanyak 49 per 100.000 kelahiran hidup,
Thailand sebanyak 26 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei sebanyak 27 per
100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per 100.000 kelahiran hidup
(WHO, 2017).
Hasil dari data tersebut, menyampaikan bahwa AKI di Indonesia masih
tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Tingginya AKI
di Indonesia memiliki sebab utama atau yang menjadi penyumbang terbesar yaitu
perdarahan, infeksi sepsis, hipertensi, preeklampsia atau eklampsia, dan

1
persalinan macet atau distosia (Walyani & Purwoastuti, 2015). Diluar sebab
utama tersebut, penyebab lain yang tidak kalah pentingnya dan harus
diperhatikan salah satunya yaitu kegawatan non-obstetri.
Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun membahas mengenai
kegawatan non-obstetri pada kehamilan yang secara khusu yaitu kehamilan
dengan apendisitis akut dan trauma abdomen.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah kegawatan non obstetric pada kehamilan dengan apendisitis akut
dan trauma abdomen pada kehamilan
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan kegawatan non obstetric pada kehamilan dengan apendisitis
akut dan trauma abdomen pada kehamilan
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan kehamilan dengan apendisitis akut
b. Menjelaskan trauma abdomen pada kehamilan

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan Dengan Apendisitis Akut


2.1.1 Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh
benda asing batu feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh
peradangan dari apendiks verivormis (Nugroho, 2011). Apendisitis
merupakan peradangan yang berbahaya jika tidak ditangani segera bisa
menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2011).
Apendisitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang
berlokasi dekat ileosekal (Reksoprojo, 2010). Apendisitis adalah
peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan
bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(Sjamsuhidajat, 2010).

3
Diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis akut dalam kehamilan
dapat menjadi sebuah tantangan karena gambaran klinis tidak klasik, dan
komplikasi apendisitis perforasi yang mengakibatkan tinginya angka
kematian maternal dan janin. Selama kehamilan dapat terjadi berbagai
keluhan klinik yang bisa menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosa.
Menjelang trimester II kehamilan, apendisitis selama kehamilan
menyebabkan peningkatan perforasi, kesakitan dan kematian
dibandingkan dengan apendisitis tanpa kehamilan.
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu apendisitis non-
perforasi dan apendisitis perforasi.
1. Apendisitis Non-Perforasi
a) Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di
dasari oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan
tanda setempat, disertai maupun tidak di sertai rangsang
peritonieum lokal (Humaera, 2016). Pada lebih dari 95% pasien
dengan apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang pertama
dirasakan, di ikuti oleh nyeri perut, kemudian muntah-muntah (jika
muntah terjadi). Jika muntah mendahului timbulnya rasa sakit,
diagnosis apendisitis harus dipertanyakan (Brunicardi, 2010).
Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus
yang dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik
McBurney’s. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Humaera, 2016).
Apendisitisi akut dibagi menjadi:
1) Apendisitis Akut Sederhana
Peradangan terjadi pada mukosa adan submukosa dari dinding
apendiks yang dikarenakan obstruksi. Obstruksi menyebabkan
peningkatan intralumen dan menumpuknya mukus yang
dihasilkan olah mukosa, sehingga terjadi gangguan aliran

4
limfe, penebalan mukosa apendiks, dan edema makin
bertambah. Mual, muntah, anoreksia, malaise, nyeri pada
kuadran kanan bawah disretai adanya demam merupakan
gejala awal yang biasanya ditemui (Humaera, 2016).
2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah di sertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram dilapisi eksudat dan fibrin. Ketika lapisan
serosa meradang dan bersentuhan dengan peritoneum parietal,
pasien biasanya mengalami pergesekan yang menimbulkan
nyeri di kuadran kanan bawah perut atau di sebut nyeri
McBurney’s. (Humaera, 2016)
3) Apendisitis Akut Gangrenosa
Tekanan lumen apendiks terus bertambah, aliran darah nyeri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren.
Terdapat tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami ganggren
pada bagian tertentu. Dinding apendiks bewarna ungu, hijau
keabuan atau merah kehitaman. (Humaera, 2016).
b) Apendisitis Kronis
Nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu dengan serangan 1
kali atau lebih dari serangan apendisitis baru dapat dicurigai
adanya apendisitis kronis. Adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa yang berlangsung lebih dari 48 jam atau nyeri mucul
secara intermiten dan dapat disertai demam atau tidak, tes
laboratorium mungkin mendapatkan hasil jumlah sel darah putih
yang normal. Insiden apendistis kronik antara 1-5% dan bisa
menjadi apendisitis akut yang disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang dapat dibuktikan adanya pembentukan

5
jaringan ikat (Kim et al., 2016). Pada penelitian Gloria et al di
RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou Manado, disebutkan bahwa kejadian
apendisitis kronik sangat sedikit ditemukan yaitu sebanyak 38
kasus (6%) dari 650 pasien yang didiagnosis apendisitis.
2. Apendisitis Perforasi
Apendisitis jika tidak segera di obati akan menimbulkan komplikasi
yang mebahayakan yaitu terjadi apendisitis perforasi. Apendisitis
perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Humaera, 2016). Apendisitis perforasi
biasanya disertai dengan adanya demam tinggi (Rata-rata 38,3oC) dan
nyeri yang hebat dibandingkan dengan apendisitis akut. Rentang waktu
apendisitis akut menjadi apendisitis perforasi yaitu 12 jam. Pasien yang
mederita apendisitis akut mempunyai angka kematian hanya 1,5%, tetapi
jika sudah menjadi perforasi angka kematian meningkat menjadi 20%-
35% (Vasser, 2012).
2.1.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi
faktor penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat juga menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis yaitu erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E.Histolytica (Sjamsuhidajat, 2010).
2.1.4 Patofisiologi
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ. Penyebab utamanya diduga karena adanya
obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Penyumbatan
pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya pembengkakan,
infeksi dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat
menyebabkan terjadinya oklusi arteria terminalis (end-artery)
apendikularis. Bila keadaan ini terus berlangsung dapat mengakibatkan

6
nekrosis, gangren dan perforasi. Adanya pembengkakan pada apendiks
akan menyebabkan perangsangan serabut saraf viseral dan dipersepsikan
sebagai nyeri di daerah periumbilical dan juga dapat menyebabkan mual
dan muntah beberapa jam setelah nyeri. Obstruksi pada apendiks akan
memudahkan invasi bakteri pada lumen. Hal ini akan menyebabkan
demam dan leukositosis. Saat invasi bakteri pada lumen telah
berhubungan dengan peritoneum parietal, serabut saraf somatik akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi apendiks,
khususnya di titik McBurney.
2.1.5 Tanda Dan Gejala
Apendisitis akut disebabkan oleh inflamasi pada fermiformis apendik
dan biasanya menyebabkan :
a. Nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen
b. Referred Rebound tenderness
c. Spasme otot yang hebat
d. Hiperestesi kutaneus
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi appendicitis akut adalah keadaan yang terjadi akibat
perforasi, seperti peritonitis generalisata, abses dan pembentukan fistula,
dan konsekuensi penyebaran melalui pembuluh darah, pieloflebitis
supuratif (radang dan trombosis vena porta), abses hepar dan septikemia.
Radang dapat menjadi kronis, atau obstruksi pada leher apendiks yang
menyebabkan retensi mucus dan kemudian menimbulkan mukokel. Ini
sering tidak menimbulkan masalah klinis tetapi walaupun jarang, dapat
terjadi ruptura dan sel epitel yang mensekresi mukus dapat menyebar ke
kavum peritoneum.
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare
(2009). Yaitu :
a. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum,
dan letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan

7
peningkatan suhu 39,50C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut
dan leukositosis meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 39oC – 40oC menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang
jarang.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang post operasi apendiktomi menurut Wijaya
dan Putri (2013), yaitu:
a. Laboratorium Pada pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang
10.000 –hingga 18.000 / mm3, kemudian neutrofil meningkat 75%,
dan WBC meningkat sampai 20.000 mungkin indikasi terjadinya
perforasi (jumlah sel darah merah).
b. Data Pemeriksaan Diagnostik Radiologi yaitu pada pemeriksaan ini
foto colon menunjukkan adanya batu feses pada katup. Kemudian
pada pemeriksaan barium enema :menunjukkan apendiks terisi
barium hanya sebagian.
2.1.8 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga
(Brunner & Suddarth, 2010), yaitu:
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi
ketat karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien
diminta tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan
dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan
antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak
memerlukan antibiotik. Bidan berkolaborasi dengan dokter

8
dalam pemberian antibbiotik. Penundaan tindakan bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
b. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu
apendiktomi. Apendiktomi harus segera dilakukan untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum dengan pembedahan abdomen bawah atau dengan
laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat
efektif (Brunner & Suddarth, 2010). Apendiktomi dapat dilakukan
dengn menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik
terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik
laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive
dengan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth,
2010).
1) Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam
rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah.
Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif, laparatomi semakin
kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya
dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan
operasi, seperti laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat
invasifnya juga membuat laparatomi tidak sesering terdahulu.
Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat
dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus
segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi
laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat
pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien
mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal
yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti

9
usus buntu, tukak peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi
maka dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya
sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat berkembang
menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan
perawatan intensif
2) Laparaskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh
mulai dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi
laparoskopi ini bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan
juga mengetahui penyakit yang belum diketahui diagnosanya
dengan jelas.
Keuntungan bedah laparoskopi :
a) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali,
memudahkan dokter dalam pembedahan.
b) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka
operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi
berukuran 3 sampai 10 mm akan hilang kecuali klien
mempunyai riwayat keloid.
c) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga
penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih
setelah pembedahan lebih cepat sehingga klien dapat
beraktivitas normal lebih cepat.
Dokter umumnya akan melakukan operasi laparoskopi jika usus
buntu terjadi pada kehamilan trimester pertama dan kedua, yang
dilakukan dengan membuat sayatan kecil. Namun, jika gangguan
ini terjadi pada trimester ketiga, operasi yang dilakukan akan
menggunakan sayatan yang lebih besar. Wanita hamil yang akan
mendapatkan operasi usus buntu akan terus mendapatkan
monitor pasca dilakukannya pembedahan tersebut.

c. Setelah Operasi

10
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan
pernafasan. Baringkan klien dalam posisi semi fowler. Klien
dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari
setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat
tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk
di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang
(Mansjoer, 2010).

2.2 Trauma Abdomen Pada Kehamilan


2.2.1 Pengertian
Sacara umum trauma didefiniskan sebagai benturan, tekanan, atau
singgungan yang menimbulkan dampak berupa perlukaan baik luka
terbuka, tertutup, maupun luka memar. Tekanan bisa berasal dari benda
tumpul maupun benda tajam. Trauma tidak hanya bersifat fisik melainkan
bisa berupa tekanan psikologis yang lebih banyak berefek pada kelainan
psikologis seperti rasa cemas, gelisah, takut, sulit tidur sampai depresi.
Secara khusus trauma dalam kehamilan adalah trauma yang berdampak
tidak hanya pada ibu tetapi juga pada janinnya.
Berdasar akibat yang ditimbulkan, trauma bisa diklasifikasi
sebagai trauma mayor dan trauma minor. Trauma mayor adalah trauma
yang dampaknya mengancam kehidupan, memerlukan perawatan di
rumah sakit, menimbulkan cacat fisik yang permanen sampai disabilitas
atau menyebabkan kehidupan janin terganggu. Beberapa tanda klinis
untuk sebuah trauma mayor antara lain adalah adanya gejala shock
maternal seperti penurunan kesadaran, tekanan sistolik 30 kali per menit,
SpO2 120 kali per menit. Trauma minor adalah trauma yang tidak
memenuhi kriteria mayor atau trauma yang hanya berdampak ringan
seperti luka memar, lecet, nyeri, atau luka tajam yang penanganannya
selesai dengan penjahitan dan tidak memerlukan pemondokan. Meskipun

11
demikian trauma minor bisa berdampak serius pada janin dalam
kandungan.

2.2.2 Jenis Trauma Dalam Kehamilan


Ibu hamil memang rentan terhadap trauma karena perubahan-
perubahan anatomis dan fisiologis selama kehamilan. Pada kehamilan
muda, dengan kenaikkan kadar ßhCG, maka mual dan muntah adalah
gejala yang hampir selalu dijumpai. Demikian juga kenaikan volume
plasma yang lebih besar dibanding kenaikan korpuskuli darah
menyebabkan terjadinya pengenceran darah yang berakibat terjadi
penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah juga mengakibatkan
keluhan pusing. Pada kehamilan yang lebih tua, dengan makin
membesarnya uterus, maka perut lebih menonjol ke depan dan terjadilah
hiperlordosis lumbalis. Perubahan-perubahan tersebut di atas lebih
memudahkan seorang ibu hamil mengalami trauma dalam bentuk jatuh
dibanding ibu yang tidak hamil.
2.2.3 Pemeriksan Dan Diagnosis
Diagnosis selalu dimulai dengan anamnesis. Bila pasien sadar
maka anamnesis bisa dilakukan langsung dengan pasiennya. Bila pasien
tidak sadar maka pengantar atau orang terdekat dapat menjadi sumber
informasi. Setiap wanita hamil yang mengalami trauma harus dicari
kemungkinan terjadinya domestic violence (kekerasan dalam rumah
tangga, KDRT).
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan umum
pasien, tanda vital, tingkat kesadaran. Juga untuk mengetahui letak, jenis,
dan intensitas trauma. Pemeriksaan kehamilan dilakukan sebagaimana
pemeriksaan ibu hamil pada umumnya, meliputi pemeriksaan obstetrik
dan penunjang lain, pemeriksaan kesejahteraan janin termasuk komplikasi
kehamilan yang mungkin telah ada sebelumnya (misal preeklamsia,
plasenta previa dll). Pemeriksaan secara khusus ditujukan terhadap
kemungkinan akibat trauma seperti pecahnya selaput ketuban, abruptio
placentae, ruptur uterus, partus prematurus iminens, kematian janin, baik
yang terjadi akibat trauma tumpul maupun trauma tajam.

12
Diagnosis ditegakkan berdasar hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan obstetrik, pemeriksan penunjang yang pada umumnya menyangkut
kondisi ibu dan janin. Perhatian terutama ditujukan untuk melihat ada
tidaknya kegawat-daruratan ibu dan atau janinnya, sehingga pertolongan
pertama adalah tindakan life saving baik untuk ibu dan atau janin yang
dikandung.
2.2.4 Akibat Yang Timbul Karena Trauma Pada Kehamilan
Akibat yang timbul dari sebuah trauma tergantung pada umur
kehamilan, jenis, intensitas (berat atau ringan) dan letak trauma. Trauma
mayor dapat terjadi karena beberapa kejadian seperti luka tusuk atau
ledakan, luka tumpul yang keras baik di luar regio abdomen maupun yang
mengenai abdomen, pukulan yang mengenai tulang belakang, luka bakar
>20%, kecelakaan lalu lintas yang serius, fraktur tulang panggul atau
tulang panjang lebih dari dua.
Pada trauma minor perhatian utama adalah pada kesejahteraan
janin (fetal wellbeing). Bila rekaman kardiotokografi normal, kondisi ibu
stabil, tidak ada kontraksi, hasil pemeriksaan laboratrium juga dalam
batas normal, tidak ada perdarahan vaginal, tidak ada rembesan air
ketuban maka ibu dapat dipulangkan. Ibu harus segera dikonsutasikan
dengan ahli obstetrik karena risiko fetal demise, kelahiran prematur,
placental abruption dan BBLR meningkat.
Pada kehamilan muda (trimester pertama), trauma mayor yang
mengenai perut bisa terjadi karena jatuh dengan perut mengenai tanah
atau lantai, dan bisa juga karena pukulan atau sebuah tendangan langsung
pada perut. Meskipun kejadiannya jarang trauma semacam ini bisa
mengakibatkan terjadinya keguguran (abortus, miscarriage). Tanda yang
utama adalah perdarahan vaginal, kontraksi rahim disertai dengan
keluarnya produk kehamilan. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan ginekologis dan ultasonografi. Terapi tergantung kondisi
klinis ibu dan hasil konsepsi, secara umum tindakan kuretase cukup
memadai. Trauma tumpul yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih

13
tua bisa berakibat terjadinya ruptur uterus, abruptio placentae, ketuban
pecah dini, kelahiran preterm, kematian ibu dan atau janin.
2.2.5 Manajemen Trauma
Manajemen trauma pada ibu hamil menuntut pertimbangan yang
masak karena adanya perubahan baik anatomis maupun fisiologis,
keterbatasan beberapa cara pemeriksaan (seperti X-ray, CT scan),
kemungkinan terjadinya Rh isoimminization, placental abruption sampai
disseminated intravascular coagulation. Beberapa cara diagnosis dan
bahan kontras juga berpotensi mengakibatkan kelainan bawaan karena
berpotensi sebagai bahan teratgenik. Trauma juga berpotensi
mengakibatkan kematian janin dan seksio sesarea perimortem. Oleh sebab
di atas, penanganan trauma dalam kehamilan membutuhkan kerjasama
interdisiplin menyangkut ahli bedah trauma, ahli obstetrik,
anesthesiologist, ahli penyakit dalam, radiologist, neonatologist, bidan
dan perawat mahir. Peranan ahli obstetrik memang paling menonjol
karena dia yang akan menghitung umur kehamilan, memeriksa dan
memonitor kesejahteraan janin, memilih jenis obat-obatan, menentukan
jenis intervensi obstetrik (terminasi kehamilan) sampai memutuskan
untuk melakukan atau tidaknya seksio sesarea perimortem.
a. Airway.
Sebagaimana pasien trauma pada umumnya, prinsip ABC perlu
diterapkan. Pasien dengan kesadaran yang menurun atau ada masalah
dengan jalan nafas harus selalu dilakukan intubasi. Intubasi pada
wanita hamil lebih sulit dilakukan karena adanya perubahan-
perubahan fisik maupun fisiologis, seperti kenaikan berat badan,
edema mukosa saluran nafas, penurunan kapasitas residu fungsional,
kenaikan tahanan saluran nafas dan kebutuhan oksigen yang
meningkat.
b. Breathing.
Pasokan oksigen 100% dengan kecepatan tinggi harus diberikan yang
bisa menjamin saturasi oksigen >95%. Volume ventilasi perlu
dikurangi karena letak diafragma yang meningkat. Kalau

14
memungkinkan tempat tidur di arah kepala sedikit dinaikkan
sehingga tekanan uterus kearah rongga dada berkurang dan ini akan
melonggarkan pernafasan.
c. Circulation.
Pemberian cairan harus mengikuti protokol standar pada
trauma. Double IV line harus dipasang dengan kateter vena ukuran
14 atau 16, sehingga siap untuk melakukan transfusi darah kalau
diperlukan. Vasopresor agent sebaiknya tidak diberikan kecuali
hipotensinya tidak bisa diatasi dengan pemberian cairan, karena
pemberian obat vasopressor akan menurunkan sirkulasi
uteroplasenta, sehingga berefek buruk pada janin.
2.2.6 Kecelakaan akibat kendaraan bermotor (MVC, motor vehicle
crashes)
Berikut adalah kiat-kiat mengurangi angka kecelakaan pada saat
mengemudi dan cara pemakaian alat pengaman yang benar:
a. Penggunaan sabuk pengaman
1) Kencangkan sabuk pengaman anda dengan sabuk bawah (lap
bealt) di bawah perut, sehingga ia melindungi panggul kiri dan
kanan. Jangan sekali-kali menaruh sabuk di depan perut yang
sedang hamil.
2) Taruh sabuk atas (shoulder bealt) menyilang dada di antara kedua
payudara dan jauh dari leher.
3) Tetap memasang sabuk pengaman meskipun mobil anda
dilengkapi kantong udara (air bag).
b. Tips mengemudi aman
1) Tulang dada berjarak setidak-tidaknya 10 inci (25,4 cm) dari
lingkar kemudi bila anda mengemudi dan 10 inci (25,4 cm) dari
dasboard bila anda sebagai penumpang.
2) Jangan berbicara menggunakan handphone, atau menulis di
handphone (SMS WA dll).
3) Jangan makan atau memberi makan bayi.
4) Jangan menyisir rambut atau berhias.

15
5) Jangan mengganti CD, DVD ataupun mencari gelombang radio
lain.
6) Jangan melihat layar monitor GPS maupun video.
7) Jangan mengkonsumsi alkohol atau obat lain.
2.2.7 Perimotem Cesarean Section
Konsep melakukan sectio cesarea (SC) yang berhubungan dengan
resusitasi maternal pertama dikenalkan tahun 1986. Pada prisipnya SC
harus dilakukan tidak lebih dari 4 menit setelah maternal cardiac arrest,
atau jika dalam waktu 4 menit melakukan resusitasi jantung paru tidak
terjadi tandatanda adanya sirkulasi dan atau nafas spontan muncul
kembali. Kegagalan melakukan resusitasi maternal dalam waktu tersebut
memperkecil kemungkinan meyelamatkan ibu dan atau janin.
Persiapan melakukan perimortem cesarean section. Idealnya team
operasi haruslah mereka yang telah mendapatkan tidak hanya pelatihan
advanced training life sipport (ATLS) dan advanced cardiac life support
(ACLS) tetapi juga pelatihan managing obstetric emergency and trauma
(MOET) dan juga advance life support in obstetrics (ALSO). Telah
tersedia model untuk simulasi perimortem CS. Meskipun ini prosedur
invasif, perimortem CS tidak boleh ditunda hanya untuk mendapatkan
informed consent.
2.2.8 Manajemen Penyelamatan Ibu Hamil Dalam Bencana
Penanganan perempuan korban bencana sangat membutuhkan
perlakuan khusus, dikarenakan perempuan memiliki kondisi khusus pula,
termasuk pentingnya antisipasi penyediaan layanan dan memberikan
penanganan khusus pada ibu hamil dan menyusui.
Evakuasi dan pelayanan kesehatan pada korban pasca bencana peru
dilakukan tindakan triage sebagai upaya pemilahan prioritas pasien
berdasarkan urgensi dilakukannya tatalaksana dan pertimbangan sumber
daya yang tersedia untuk tatalaksana tersebut. Dalam triage perlu
dilakukan pencatatan usia, tanda vital, mekanisme cedera, urutan
kejadian, dan perjalanan penyakit pada fase pra Rumah Sakit. Pembagian
triage sebagai berikut:

16
1) Prioritas Nol (Hitam): Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
2) Prioritas Pertama (Merah): Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap
hidup (misal : gagal nafas, cedera torakoabdominal, cedera kepala
atau maksilofasial berat, syok atau perdarahan berat, luka bakar berat,
ibu hamil).
3) Prioritas Kedua (Kuning): Pasien memerlukan bantuan, namun
dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin
mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa syok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktur
mayor tanpa syok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak
berat, serta luka bakar ringan).
4) Prioritas Ketiga (Hijau): Pasien dengan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera
jaringan lunak, fraktur dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-
fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Untuk melakukan evakuasi pada ibu hamil diperlukan teknik yang tepat
dan aman untuk ibu dan calon bayinya. Berikut beberapa teknik evakuasi
secara umum:
1) Firefighter’s Carry
Teknik evakuasi dengan satu penolong atau biasa disebut dengan
teknik repling. Namun teknik ini dilakukan saat sudah dipastikan
korban tidak mengalami patah tulang punggung karna akan
memperparah keadaan.
2) Pack-strap Carry
Teknik ini digunakan ketika firefighter carry tidak aman digunakan,
metode ini lebih disarankan untuk jarak jauh daripada cradle carry.
Dapat dilakukan pada korban yang tidak sadar.
3) Chair lift

17
Mobilisasi dengan kursi bisa digunakan untuk korban sadar maupun
tidak, tanpa cedera kepala/ spinal. Metode ini bagus untuk mobilisasi
korban melalui tangga/ turunan/ naikan dengan dua penolong.
4) Two-handed Seat Carry
Metode ini digunakan untuk mobilisasi jarak jauh. Korban dapat
sadar maupun tidak, tetapi tidak dapat berjalan atau menopang tubuh
bagian atas.
5) Hammock Carry
Metode ini bisa digunakan oleh tiga penolong atau lebih. Anggota
yang paling kuat berada di sisi dengan jumlah penolong yang paling
sedikit (jika jumlah ganjil).
6) Logroll
Pada kasus cedera spinal, digunakan teknik logroll dengan tujuan
memindahkan korban tanpa menggerakkan vertebra atau istilah
lainnya adalah inline immobilisation (posisi leher dan batang badan
harus segaris, amankan leher dengan neck collar atau yang sejenis
(sandal bag), jika tidak tersedia dapat diamankan dengan dipegang).

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kegawatan non-obstetri sendiri adalah keadaan serius yang harus segera


dilakukan tindakan, disebabkan oleh penyakit atau gangguan pada fungi tubuh
manusia diluar masalah kehamilan dan persalinan.

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(Sjamsuhidajat, 2010). Diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis akut dalam
kehamilan dapat menjadi sebuah tantangan karena gambaran klinis tidak klasik, dan

18
komplikasi apendisitis perforasi yang mengakibatkan tinginya angka kematian
maternal dan janin.

Ibu hamil memang rentan terhadap trauma karena perubahan-perubahan


anatomis dan fisiologis selama kehamilan. Perubahan-perubahan tersebut di atas lebih
memudahkan seorang ibu hamil mengalami trauma dalam bentuk jatuh dibanding ibu
yang tidak hamil.

3.2 Saran

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan dan dapat
penyusunan makalah maupun karya tulis lainnya tentang kegawatdaruratan non-
obstetric pada kehamilan, khususnya kehamilan dengan apendisitis dan trauma
abdomen saat kehamilan.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/98792/Claresta%20Kurnia
%20Nur%20Huda%20-%20152010101102.pdf?sequence=1&isAllowed=y

http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/2381/Besnia%20Jul
%20Triani%20Hutagalung.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Empat. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, Jakarta 2010. Hal. 823-824

https://www.slideshare.net/Philjeuwbens/apendisitis-akut-pada-kehamilan

https://id.scribd.com/doc/157548175/Apendisitis-selama-kehamilan

https://id.scribd.com/doc/265046903/Apendisitis-Akut-Dalam-Kehamilan

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1368/4/4.%20BAB%20II.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1368/4/4.%20BAB%20II.pdf

Guidelines QC. Queensland Clinical Guideline: Trauma in pregnancy


[Internet]. 2014. Available from: https://www.health.qld.gov.au/qcg/documents/g-
trauma.pdf
BNPB. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019. Jakarta: BNPB. 2014

Sugiantono, Anung, dkk. Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM),
Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI. 2014

20

Anda mungkin juga menyukai