Oleh:
0
BAB I PENDAHULUAN
1
achalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal (Schatzki) ring,
(Muyassaroh,2016).
Modalitas utama untuk menangani KLL adalah pembedaan dan
radioterapi, dan kemoterapi juga semakin banyak dilakukan. Pemilihan
modalitas dilakukan berdasarkan variabel pasien, lokasi primer, dan
stadium klinis (Manikantan, 2009).Pada penelitian yang dilakukan oleh
Suarantari (2019), modalitas yang paling banyak digunakan adalah
kemoterapi disertai radioterapi yaitu sebesar 41,3%, diikuti kemoterapi
sebesar 34,8% , pembedahan disertai kemoterapi, dan radioterapi
sebanyak 15,2%, pembedahan dan kemoterapi 6,5%, pembedahan dan
radioterapi sebesar 2,2%. Dengan meningkatnya penggunaan terapi
kombinasi modalitas yang agresif dan teknik radiasi untuk pengobatan
kanker kepala leher lanjut lokal, efek akut dan lambat menjadi perhatian
khusus. Salah satu masalah yaitu disfagia yang berhubungan dengan
teknik radiasi. Disfagia sering terlihat pada pasien yang menjalani terapi
radiasi stadium lanjut lokal karsinoma kepala dan leher. Dalam waktu 4
sampai 5 minggu setelah terapi dimulai, banyak ditemukan keluhan
mukositis, dermatitis radiasi, edema dari jaringan lunak, nyeri, produksi
lendir berlebihan, xerostomia, dan pembengkakan jaringan yang berakibat
terjadinya disfagia akut (Muyassaroh,2016).
Penilaian terhadap proses menelan digunakan untuk penilaian
awal dari pasien dengan disfagia, terutama menilai resiko aspirasi saat
intake oral dan untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Dikenal
beberapa pemeriksaan terhadap proses menelan seperti Videofluoroskopi
Swallow Studies (VFSS) dan Fiberoptic Endoscopic Evaluation of
Swallowing (FEES) atau FEES. FEES pertama kali diperkenalkan oleh
Susan Langmore, Schatz dan Olson pada tahun 1988 dan mulai
diterapkan sebagai pemeriksaan standard oleh the American Speech-
Language-Hearing Association (ASHA) sejak tahun 1992. Tujuan dari
pemeriksaan FEES adalah memberikan penilaian fungsional yang
komprehensif terutama pada fase faringeal sehingga dapat mengarah
2
pada rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan kemampuan
makan secara oral (Nayoan, 2017).
Sebuah penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang menemukan
bahwa terdapat 28 pasien dengan keluhan disfagia menjalani
pemeriksaan FEES pada tahun 2015-2016 (Nayoan, 2017), sedangkan di
klinik THT-KL RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar terdapat 50
kasus disfagia yang menjalani pemeriksaan FEES pada Juni 2013-
Februari 2014 (Iqbal, Akil dan Djamin, 2014). Sebuah penelitian oleh
Simon dkk dilakukan pada 90 pasien kanker kepala leher (KKL) dengan
keluhan disfagia. Pada penelitian tersebut dilakukan pemeriksaan FEES
pada subjek penelitian dan diperoleh hasil bahwa lokasi dan stadium
tumor tidak memiliki hubungan dengan aspirasi bolus, namun tindakan
penaganan memiliki efek pada kejadian aspirasi (p=0.003) (Simon, 2019).
Hasil penelitian Muyassaroh pada tahun 2016 membuktikan
bahwa stadium yang lanjut merupakan faktor risiko terjadinya disfagia.
Pasien dengan KKL stadium lanjut memiliki risiko 2,96 kali lebih besar
untuk mengalami disfagia akibat kemoradiasi daripada penderita KKL
stadium awal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Machtay et al pada tahun 2008 yang menyatakan dari tiga penelitian yang
dilakukan oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) ditemukan
bahwa stadium keganasan lanjut merupakan faktor risiko terjadinya
disfagia akibat kemoradiasi pada KKL.
Dari hasil penelitian Muyassaroh pada tahun 2016 disimpulkan
bahwa usia, lokasi primer tumor, dan jenis kemoterapi bukan merupakan
faktor risiko kejadian disfagia akibat kemoradiasi. Berdasarkan hal-hal
yang telah diuraikan di atas, penulis ingin melakukan Analisis Keluhan
Disfagia pada Pasien Kanker Kepala Leher akibat Radioterapi dengan
Pemeriksaan FEES.
3
B. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
E. Hipotesis Penelitian
F. Manfaat Penelitian
4
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
6
Gambar 1. Lokasi kanker kepala dan leher (National Cancer Institute,
2012)
Etiologi
Kanker kepala dan leher umumnya disebabkan karena kebiasaan
merokok dengan tembakau dan konsumsi alkohol yang berlebihan.
Kanker ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
presentase sebesar 52,7% berbanding 47,2%. Perbandingan ini tidak
terlalu jauh dikarenakan tingginya perokok pasif di Indonesia yang terjadi
pada perempuan.Tingginya kebiasaan merokok dan minum alkohol
umumnya menyebabkan terjadinya mutasi pada tumor supersor gen
p53.Mutasi gen p53 ini akan mempengaruhi fungsinya sendiri untuk
menghambat pertumbuhan tumor. Dan diketahui pula bahwa infeksi
human papillomavirus (HPV) juga menjadi salah satu penyebab terjadinya
kanker kepala dan leher. Kanker kepala dan leher yang berasosiasi
dengan HPV ini sangat terkait dengan infeksi HPV secara oral dan praktik
seksual tertentu yang memfasilitasi paparan virus secara berulang (Adam,
2017).
Epidemiologi
Kanker kepala dan leher merupakan kanker yang paling banyak
terjadi keenam di seluruh dunia, dengan insiden pertahun diperkirakan
sebanyak 563.826 kasus (termasuk 274.850 kanker rongga mulut, kanker
laring 159.363, dan 52.100 kanker oropharyngeal) dan angka
kematiannya di perkirakan sebanyak 301.408 kematian per tahun. Di
Amerika Serikat pada tahun 2006, kanker kepala dan leher adalah kanker
yang paling umum kesembilan pada pria, dengan insiden sebesar 14,97
per 100.000 pada pria dan 6,24 per 100.000 pada wanita dan angka
7
kematian yang berkaitan dengan usia sebesar 3,78 per 100.000 pada pria
dan 1,39 per 100.000 pada wanita. Sedangkan pada tahun 2009 terdapat
35.720 kasus kanker kepala dan leher dan 7.600 kematian diperkirakan
telah terjadi (Adam, 2017).
Dua pertiga dari kasus kanker kepala dan leher di dunia terjadi di
negara-negara berkembang. Di negara berkembang, insiden kanker
tersebut lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Di Indonesia prevalensi kanker kepala leher cukup
tinggi dengan insiden sebesar 4,7 per 100.000 penduduk. Kanker kepala
dan leher menduduki urutan ke-4 pada pria dan wanita sedangkan pada
pria saja menempati urutan ke-2 (Adam, 2017)
8
pada kelainan neuromuskular, sumbatan mekanik sepanjang saluran
mulai dari rongga mulut sampai lambung serta gangguan emosi. Disfagia
dapat disertai dengan rasa nyeri yang disebut odinofagia (Saputro, 2011)
Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis
Evaluasi pasien kanker kepala dan leher dimulai dari anamnesis
pasien. Riwayat ini harus dicari, dengan memperhatikan perjalanan waktu
timbulnya gejala dan perkembangannya. Gejala seperti sesak napas,
suara serak, disfagia, odinofagia, otalgia, sensasi globus, gangguan
pendengaran, auralfullness, epifora, atau trismus dapat ditimbulkan saat
memperoleh riwayat dan sering mengarahkan pemeriksa ke keganasan
primer. Massa di leher, atau wajah, kulit kepala, mulut, atau hidung,
mungkin merupakan keluhan utama (Georgopoulos, 2015).
Riwayat keganasan sebelumnya dan perawatan sebelumnya harus
diperoleh. Pasien dengan keganasan kepala dan leher sebelumnya
memiliki risiko besar untuk mengembangkan lesi primer kedua. Risiko
tahunan pasien dengan kanker kepala dan leher berkembang menjadi
keganasan primer kedua metachronous diperkirakan antara 1,5% dan
5,1%.5,6 Selain itu, berbagai tumor dapat bermetastasis ke kepala dan
leher, dengan melanoma, payudara, paru-paru, ginjal, dan keganasan
ginekologi telah dilaporkan dalam literatur (Georgopoulos, 2015).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kepala dan leher yang lengkap harus dilakukan untuk
semua pasien yang dicurigai menderita kanker kepala dan leher,
meskipun lokasi keganasan primer sudah diketahui. Dari pasien dengan
kanker kepala dan leher, 3% sampai 4% datang dengan lesi primer kedua
yang sinkron di kepala dan leher (Georgopoulos, 2015).
Evaluasi dimulai dengan penilaian penampilan umum pasien.
Kesulitan bernapas atau stridor, status gizi, afek, dan mood dapat dinilai
9
dengan observasi saja. Bau asap dan gigi bernoda tar mungkin
merupakan tanda penggunaan tembakau berat.Stridor muncul sebagai
suara pernapasan bernada tinggi yang dihasilkan dari aliran udara
turbulen melalui jalan napas yang tersumbat sebagian. Stridor inspirasi
biasanya berhubungan dengan massa supraglotis obstruktif, sedangkan
stridor bifasik biasanya menyertai obstruksi tetap baik pada trakea atau
pada tingkat glotis (seperti pada paralisis pita suara bilateral). Individu
dengan disfagia yang signifikan dan kesulitan menoleransi sekresi
mungkin ngiler. Air liur harus dianggap sebagai tanda yang
mengkhawatirkan. Semua pasien tersebut harus menjalani evaluasi tepat
waktu termasuk inspeksi jalan napas dengan laringoskopi tidak langsung
(Georgopoulos, 2015).
Stertor adalah suara inspirasi yang sebanding dengan mendengkur
dan terjadi ketika ada obstruksi jalan napas di atas tingkat laring. Stertor
sering terjadi dengan presentasi jinak seperti apnea tidur obstruktif, atau
pada pasien dengan sindrom Pickwickian. Ini juga bisa menjadi tanda
keganasan. Misalnya, stertor onset baru dapat dilaporkan dengan kanker
uvula, tonsil, atau nasofaring (Georgopoulos, 2015).
Periksa kesimetrisan wajah. Massa kelenjar parotis dapat dinilai.
Tumor yang menyebabkan paralisis nervus fasialis inkomplit dapat muncul
dengan kerutan wajah asimetris, kedipan mata asimetris, lipatan
nasolabial tumpul, atau ptosis komisura oral (Georgopoulos, 2015).
Laringoskopi Fiber-Optic
10
Gambar 3. Anatomi Nasofaring (Fossa Rossenmuler) (Wei,2006)
Laringoskopi fleksibel harus dimulai dengan endoskopi hidung
bilateral. Rongga hidung anterior diperiksa di setiap sisi, perhatikan
struktur hidung, termasuk septum, turbinat, dan meatus masing-masing.
Rongga hidung diperiksa untuk mencari massa atau polip. Konka inferior
dan konka tengah diperiksa, serta meatus tengah. Sebagai lingkup maju
superior, reses sphenoethmoidal dapat dihargai. Lingkup ini kemudian
dimajukan ke nasofaring. Torus tubarius harus terlihat bilateral, dan
nasofaring harus diperiksa untuk mencari massa. Kanker nasofaring
sering muncul di fossa Rosenmuller, yang posterior dan superior torus
tubarius. (Limfoma nasofaring dan tumor lain dapat timbul dari dinding
posterior nasofaring. Menginstruksikan pasien untuk berbicara suara plosif
(misalnya, "coca cola") memungkinkan untuk evaluasi fungsi
velopharyngeal dan penutupan Sebagai lingkup maju, vallecula, dasar
lidah, dan hipofaring mulai terlihat. Pemeriksaan dasar lidah dapat
ditingkatkan dengan meminta pasien mengeluarkan lidahnya. Epiglotis
harus memiliki tepi yang tajam. Penyimpangan pada mukosa
meningkatkan kecurigaan untuk karsinoma. Lipatan aryepiglottic,
arytenoids, false, dan true cords harus diperiksa satu per satu. Meminta
pasien mengatakan “ee” mengaduksi pita suara, memungkinkan penilaian
mobilitas pita suara. Inspirasi singkat (mengendus) menyebabkan adduksi
pita suara. Menggembungkan pipi dengan udara menyebabkan distensi
sinus piriformis. Pengumpulan sekret pada piriformis adalah abnormal dan
dapat terlihat pada kasus penurunan sensasi laring dan imobilitas pita
suara. Sinus piriformis tidak sepenuhnya terlihat selama FFL
(Georgopoulos, 2015).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker kepala dan leher yang utama meliputi
operasi dan kemoterapi baik secara tunggal maupun kombinasi (Adam,
2017). Terapi pada KKL stadium lanjut adalah tambahan kemoterapi yang
11
diberikan bersamaan dengan radioterapi (concurrent). Kemoradiasi
concurrent meningkatkan overall survival rate yang signifikan
dibandingkan hanya radiasi. Hui et al.menyatakan pemberian kemoterapi
sebelum radioterapi (neoadjuvant) dilanjutkan dengan kemoradiasi
concurrent dapat meningkatkan overall survival rate secara signifikan
dibandingkan 4 kemoradiasi saja (Hui, 2009).
Di Bali pasien kanker kepala dan leher seringkali datang ke rumah
sakit sudah pada stadium lanjut sehingga pilihan terapi yang diberikan
hanya radioterapi dan kemoterapi. Radioterapi adalah salah satu
modalitas pengobatan penting bagi pasien kanker kepala dan leher, baik
dengan cara tertentu atau kombinasi dengan operasi dan/atau kemoterapi
(Suarantari, 2019).
Pengobatan dari kanker adalah tergantung dari stadium kanker
yang dialami. Terapi kanker mempunyai tiga terapi dasar, yaitu
pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan terapi kombinasi. Radioterapi
semakin sering digunakan sebagai bentuk terapi primer dalam
penatalaksanaan keganasan pada kepala dan leher. Dipekirakan 50 %
kasus keganasan kepala dan leher dinegara maju atau sekitar 70 %
dinegara berkembang, memerlukan radioterapi baik sebagai terapi yang
berdiri sendiri ataupun kombinasi dengan pembedahan ataupun
kemoterapi. Radioterapi dapat digunakan sebagai terapi primer bila pada
tindakan bedah merupakan kontraindikasi dan dapat menghilangkan
fungsi vital dari organ di area kepala dan leher. Contohnya kanker
nasofaring, tidak mungkin dilakukan pembedahan karena letaknya yang
sulit dijangkau. Terapi utamanya adalah radioterapi (Fithrony, 2012).
Kanker Sinonasal
Tumor ganas atau kanker sinonasal menjadi penyebab kesakitan
dan kematian di bidang otorinolaringologi seluruh dunia.(Salim,2011)
Kanker sinonasal adalah penyakit kedua yang sering terjadi setelah
12
kanker nasofaring. (Munir, 2007). Sinus maksila adalah yang paling sering
terkena (65%-80%). (Roezin, 2007)
13
terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis
kronis sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter. (Roezin, 2007)
Sebuah kasus dilaporkan oleh Sienna et al (2017) dengan
presentasi klinis sebagai berikut. Seorang pasien laki-laki berusia 80
tahun didiagnosis dengan Sinonasal undifferentiated carcinoma / SNUC
(T4N2M0). Pada kasus ini pasien mengalami disfagia.
14
ekstensi dengan melibatkan region terdekat disertai
kompleks nasoetmoidalis, dengan atau tanpa invasi ke
tulang
T3 Tumor ekstensi untuk menginvasi dinding media atau dasar
orbita, sinus maksilaris, palatum, atau palatum kribriformis
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi salah satu struktur berikut : isi orbita
anterior, kulit hidung atau pipi, ekstensi minimal ke fossa
kranialis anterior, palatum pterigoideus, sinus sfenoidalis
atau frontalis
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi salah satu dari stuktur berikut : apeks
orbita, dura, otak, fossa kranialis media, nervus kranialis
selain cabang maksilaris nervus trigeminalis (V2),
nasofaring, atau klivus
Kanker Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa
yang berasal dari epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai
area di nasofaring namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa
Rosenmuller, yang merupakan daerah transisional, di mana epitel
kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa. Kasus KNF pertama kali
dilaporkan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921 (Probst, 2006).
Di Indonesia angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah.
Prevalensi KNF di Indonesia mencapai 4,7 per 100.000 penduduk
pertahun dengan prevalensi tertinggi pada dekade 4-5 dengan rasio
15
antara laki-laki dan perempuan yaitu 2-3:1 (Murtiono, 2013). Di RSCM
Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus baru dalam setahun dan di RS
Hasan Sadikin Bandung ditemukan sekitar 60 kasus baru per tahunnya
(Wahyono, 2010).
Penyebab KNF masih belum diketahui secara pasti. Studi
epidemiologi menduga karsinoma nasofaring terkait dengan faktor
lingkungan dan kerentanan genetik serta infeksi, namun hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Di daerah endemik, KNF merupakan
penyakit yang komplek yang disebabkan oleh interaksi faktor onkogenik
akibat infeksi kronis virus EBV, faktor lingkungan dan faktor genetik
(Zeng,2016).
Adanya keluhan berupa nyeri pada kepala dan keluhan lain yang
berhubungan dengan keterlibatan saraf intrakranial merupakan tanda
bahwa KNF telah mencapai stadium lanjut. Keterlibatan saraf kranialis
yang paling sering adalah saraf V dan VI dimana akan menimbulkan
keluhan berupa baal pada wajah dan diplopia. Pada KNF stadium lanjut
dapat muncul keterlibatan saraf kranialis IX, X, XI dan XII. Dapat pula
ditemukan adanya keluhan berupa trismus yang terjadi akibat infiltrasi
pada otot pterygoid. Gejala lainnya yaitu disfagia dan proptosis
(Faisal,2014).
16
paranasal
T4 Tumor dengan ekstensi ke intracranial, keterlibatan nervus
kranialis, hipofaring, orbita, kelenjar parotis, dan/atau
infiltrasi pada jaringan lunak yang ekstensif sepanjang
permukaan lateral otot pterigoideus
Kanker Laring
17
Karsinoma laring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel
laring. Laring terdiri dari supraglotis, glottis dan subglotis. Laring berperan
dalam koordinasi fungsi menelan dan bernafas termasuk berbicara,
bernafas, aliran makanan dan minuman (Vasan, 2008).
Karsinoma laring adalah urutan kedua terbanyak keganasan kepala
dan leher di seluruh dunia, dengan kejadian diperkirakan lebih
dari151.000 kasus yang mengakibatkan sekitar 82.000 kematian setiap
tahun (Vasan,2008).
Di FKUI/RSCM selama periode 2000- 2005 ditemukan 3.344 kasus
tumor ganas di daerah kepala dan leher, dimana karsinoma laring
menempati urutan kedua yaitu sekitar 213 kasus (6,73%). Di RS. M.
Djamil Padang periode Januari 2011-Desember 2012 tercatat 13 kasus, di
Manado angka kejadian karsinoma laring sebanyak 26,9%. Di Bandung
didapatkan sebanyak 100 (6,95%) penderita karsinoma laring dari 1,439
keganasan kepala leher (Irvandy, 2015).
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti.Dikatakan
oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok
orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian
epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga
menyebabkanterjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol
dan terpajan oleh sinar radioaktif (Munir, 2007)
Pengumpulan data yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo
menunjukkan bahwa karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang
tidak merokok, sedangkan risiko untuk mendapatkan karsinoma laring
naik, sesuai dengan kenaikan jumlah rokok yang dihisap (Munir,2007).
Tanda dan gejala awal dari karsinoma laring biasanya suara serak,
stridor, nyeri tenggorokan, batuk persisten, atau terdapat suatu massa di
leher. Semua gejala tersebut tergantung dari lokasi anatomi laring bagian
mana yang terkena. Biasanya tumor glotis didiagnosis pada tahap awal
karena sering terjadi perubahan suara. Namun tumor supraglotis dan
18
subglotis sering terlambat didiagnosis sehingga pasien didiagnosis
dengan gejala lanjut (Salvador-Coloma & Cohen, 2016).
Pasien tumor ganas laring datang dengan berbagai keluhan seperti
disfonia, obstruksi jalan napas, disfagia, odinofagi dan hemoptisis.
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan
sinus piriformis.Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada
tumor ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagi)
menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra
laring (Munir,2007).
19
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau terdapat salah satu hal berikut : area posterikoid,
rongga preepiglotis, rongga paraglotis, dan/atau korteks
sebelah dalam dari kartilago tiroid
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang yang menginvasi
melalui korteks terluar dari kartilago tiroid dan/atau invasi
jaringan di luar laring (misal trakea, jaringan lunak leher
termasuk otot ekstrinsik profunda lidah, otot pengikat, tiroid,
atau esofagus
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum
Glotis
Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada korda vokalis (dapat melibatkan
komisura anterior atau posterior) dengan mobilitas yang
masih normal
T1a Tumor terbatas pada satu sisi korda vokalis
T1b Tumor melibatkan kedua sisi korda vokalis
T2 Tumor ekstensi ke supraglotis dan/atau subglotis, dan/atau
disertai gangguan mobilitas korda vokalis
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau invasi ke rongga paraglotis dan/atau korteks bagian
dalam dari kartilago tiroid
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi melalui korteks terluar dari kartilago tiroid
dan/atau invasi jaringan di luar laring (misal trakea, jaringan
lunak leher termasuk otot ekstrinsik profunda lidah, otot
pengikat, tiroid, atau esofagus
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum
Subglotis
Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada subglotis
T2 Tumor ekstensi ke korda vokalis dengan mobilitas yang
20
masih normal atau sudah terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau invasi ke rongga paraglotis dan/atau korteks bagian
dalam dari kartilago tiroid
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi melalui krikoid atau kartilago tiroid
dan/atau invasi jaringan di luar laring (misal trakea, jaringan
lunak leher termasuk otot ekstrinsik profunda lidah, otot
pengikat, tiroid, atau esophagus)
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum
21
Hal serupa, ENE secara klinis dan patologis harus tercatat sebagai ENE
(-) atau ENE (+)
22
Catatan : Penandan “U” atau “L” dapat digunakan untuk kategori N
apapun untuk menunjukkan metastasis di atas batas bawah dari krikoid
(U) atau di bawah batas bawah dari krikoid (L)
Hal serupa, ENE secara klinis dan patologis harus tercatat sebagai ENE
(-) atau ENE (+)
23
Tumor parotis maupun kanker rongga mulut (KRM) merupakan
tumor di daerah kepala-leher yang termasuk jarang diketemukan. Diantara
tumor kelenjar liur yang terbanyak adalah tumor parotis (75-85%),
sedangkan KRM yang terbanyak adalah kanker lidah (25-45%).
Kebanyakan penderita, terutama KRM datang berobat sudah dalam
keadaan lanjut sehingga ada kesukaran dalam hal penanganannya,
khususnya dalam segi pembedahannya (Vermey, 1988; Pedersen, 1992).
Gambar 6 Pasien Tumor Parotis
24
4. Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran bila lobus
profundus parotis terlibat
5. Parese nervus glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus,
pleksus simpatikus pada karsinoma parotis lanjut
25
Gambar 7 Klasifikasi TNM Kanker Kelenjar Parotis (Harrish, 2004)
26
7 berdasarkan pada stadium kanker pada saat pertama kali didiagnosis,
disebutkan bahwa kanker tiroid tipe papiler stadium I dan II mempunyai
angka kelangsungan hidup relatif 5 tahun mencapai 100% sedangkan
stadium II mencapai 93% (AJCC, 2010).
Karsinoma Orofaring
Kanker orofaring relatif jarang terjadi, terhitung kurang dari 1% dari
semua kanker yang baru (Pou, 2014). Data kanker yang diperoleh dari
rongga mulut dengan orafaring. Diperkirakan lebih dari 39.000 kasus
kanker rongga mulut dan faring didiagnosis di Amerika Serikat pada tahun
2010 (Siegel, 2011).
Sekitar sepertiga dari jumlah tersebut diperkirakan berasal dari
orofaring. Angka kejadian yang tinggi terjadi antara dekade keenam dan
ketujuh kehidupan. Namun demikian, pada dekade kelima dan keempat
kehidupan tidak ditemukan kasus. Penyakit ini banyak terjadi pada laki-
laki, namun berdasarkan data terbaru menunjukkan peningkatan kejadian
pada wanita.
Etiologi yang paling penting adalah paparan tembakau dan alkohol.
Namun, sebagian besar kasus yang terlihat saat ini terkait dengan infeksi
HPV (Olatwvedi, 2008). Lebih dari 90 % dari kanker orofaring adalah
karsinoma sel skuamosa (SCC). Pertumbuhan dari sel datar bersisik yang
melapisi rongga mulut dan orofaring. Kanker ini seringnya dilakukan
pembedahan dengan radiasi sebagai terapi lanjutan dan kemoterapi.
Karsinoma sel skuamosa berkembang sangat cepat dan sangat
berbahaya (Pou, 2014).
Metastasis limfatik dapat terjadi pada umumnya karena orofaring
kaya akan limfatik dan perkembangan dari tumor itu sendiri. Tumor
orofaring mungkin asimtomatik. Gejala sakit tenggorokan, otalgia, dan
disfagia biasanya disalahartikan atau diabaikan. Pada beberapa pasien,
metastasis yang paling sering ditemui adalah metastasis servikalis
(Saputri,2015).
27
Klasifikasi TNM karsinoma orofaring (Saputri, 2015).
TX - Karsinoma in situ.
T1 - tumor ≤ 2 cm dalam dimensi terbesar.
T2 – tumor 2 cm sampai 4 cm dalam dimensi terbesar.
T3 - tumor> 4 cm dalam dimensi terbesar
T4a - Tumor menginvasi laring, otot dalam/ekstrinsik lidah, pterygoideus
medial, palatum durum.
T4b -Tumor menginvasi otot pterygoideus lateral, lempeng pterygoideus,
nasofaring lateral, atau dasar
tengkorak, atau melukai arteri karotis.
M - metastatis jauh
28
MX - metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - tidak ada metastasis jauh
M1- terdapat metastasis jauh
29
Gambar 8 Leukoplakia Lesi Pra-Kanker Rongga Mulut
Diagnosis kanker rongga mulut ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis bisa
didapatkan keluhan pembengkakan atau ulkus yang teraba, rasa nyeri
pada lesi, warna putih dan/atau merah pada lidah, rasa nyeri menyebar ke
leher atau telinga, pembengkakan di leher, dan sulit atau nyeri saat
menelan (Medawati, 2013).
B. Radioterapi
Definisi
30
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel
tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor
agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Radioterapi adalah jenis
terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-
sel kanker (Fithrony, 2012).
Efek Samping
31
lebih kental, xerostomia, dan pembengkakan jaringan menyebabkan
disfagia akut. Dalam 3 bulan setelah pengobatan, secara klinis sebagian
besar efek akut telah teratasi, dan fungsi menelan mulai berangsur angsur
kembali pada sebagian besar pasien. Meskipun demikian, kaskade yang
berkelanjutan dari stimulasi sitokin masih memperpanjang efek samping
radiasi. Jaringan menjadi fibrosis dan kaku dan menyebabkan gangguan
fungsi (Saputro, 2011).
Beberapa faktor resiko telah diidentifikasi untuk mengetahui
kelainan menelan akibat radiasi. Struktur yang masuk dalam lapangan
radiasi dan tehnik radiasi mempengaruhi efek lambat. Eisbruch dkk telah
mengidentifikasi Disfagia/aspiration-related structures (DARSs), yaitu
terjadi kerusakan struktur anatomi karena terapi radiasi yang
menyebabkan disfagia dan aspirasi (Saputro, 2011).
Telah diketahui sejak lama bahwa pengobatan untuk kanker kepala
leher menyebabkan perubahan dari fungsi menelan. Terapi radiasi
kemungkinan juga bisa menimbulkan disfagia. Etiologi disfagia pasca
radiasi adalah multifaktor dan dapat dibagi sebagai efek akut dan efek
lambat. Efek akut timbul segera pada saat atau selama radiasi, sementara
efek lambat timbul dari beberapa bulan sampai tahun setelah radiasi
selesai (Murphy, 2009).
Secara klinis, radiasi menyebabkan mukositis, dermatitis radiasi,
dan edema jaringan lunak, nyeri, penebalan dan produksi mukosa yang
lebih kental, xerostomia, dan pembengkakan jaringan menyebabkan
disfagia akut. Dalam 3 bulan setelah pengobatan, secara klinis sebagian
besar efek akut telah teratasi, dan fungsi menelan mulai berangsur angsur
kembali pada sebagian besar pasien. Meskipun demikian, kaskade yang
berkelanjutan dari stimulasi sitokin masih memperpanjang efek samping
radiasi. Jaringan menjadi fibrosis dan kaku dan menyebabkan gangguan
fungsi. Hal ini memunculkan hipotesis bahwa hipoksia yang masih
berlangsung dan stres oksidatif kronis dapat menyebabkan kerusakan
jaringan permanen setelah rangkaian terapi radiasi selesai. Demikian
32
menjelaskan mengapa beberapa pasien mengalami disfagia selama
setahun setelah radiasi selesai (Lewin, 2007).
Indikasi
Tujuan terapi radiasi adalah memaksimalkan dosis radiasi ke sel
kanker abnormal dan meminimalkan paparan terhadap sel normal yang
berdekatan dengan sel kanker atau yang berada pada jalur radiasi,
meskipun pada kenyataannya radiasi mampu merusak sel kanker maupun
sel normal (Fitriatuzzakiyyah, 2017).
Berdasarkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dari suatu
terapi, terdapat kriteria sebagai berikut (Fitriatuzzakiyyah, 2017). :
Tingkat 1: Ringan, gejala asimtomatik atau ringan, hanya terjadi
pada pengamatan klinis atau diagnostik, tidak diindikasikan untuk
intervensi;
Tingkat 2: Sedang, diindikasikan intervensi lokal atau non-invasif;
Tingkat 3: Parah atau signifikan secara medis namun tidak
mengancam jiwa, diindikasikan rawat inap atau perpanjangan rawat
inap;
Tingkat 4: Konsekuensi yang mengancam jiwa, diindikasikan untuk
melakukan intervensi mendesak;
Tingkat 5: Berupa kejadian tidak diinginkan yang terkait dengan
kematian.
Pemberian radiasi dengan dosis terbagi (bukan dosis tunggal) menjadi
beberapa fraksi dalam jangka waktu tertentu, diharapkan diperoleh
penghentian proses keganasan dengan tingkat cedera jaringan sehat
yang masih dapat diterima. Pemilihan skema fraksinasi yang akan
diterapkan dan digunakan tentunya dengan mempertimbangkan beberapa
faktor, seperti: jenis karakteristik sel tumor berdasarkan hasil pemeriksaan
patologi-anatomis, keadaan umum fisik penderita,dan kondisi sosial dari
pasien yang bersangkutan (Evans, 2003).
33
Konvensional: Pemberian radiasi dilakukan 5 kali dalam seminggu,
dengan dosis per fraksi antara 1,8 Gy dan 2 Gy. Jumlah total dosis sangat
bergantung pada jenis kanker, tujuan pengobatan dan sebagainya, namun
pada umumnya untuk sejumlah kanker diberikan sebanyak 25 sampai 30
kali atau 50 Gy samapai 60 Gy. Selanjutnya diketahui bahwa efek pada
jaringan lebih tergantung jumlah fraksi daripada waktu keseluruhan
pengobatan. Suatu jumlah dosis radiasi total yang diberikan dalam jumlah
fraksi yang banyak akan mengakibatkan efek yang lebih rendah terhadap
jaringan berespon lambat daripada yang berespon akut. Pada jaringan
normal metode ini berguna untuk memberi kesempatan perbaikan pada
cedera yang subletal sifatnya di antara fraksi satu ke fraksi berikutnya dan
juga yang mengalami repopulasi. Hal yang sama juga berlaku untuk
jaringan kanker, namun berbeda dengan jaringan sehat pada umunya,
reoksigenasi yang mungkin terjadi di antara fraksi-fraksi akan
meningkatkan kepekaan sel kanker terhadap radiasi (Wondergem, 2010).
Hiperfraksinasi: Pemberian fraksi ganda atau multipel per hari
diharapkan dapat mengurangi efek lambat. Dengan unit dosis per fraksi
lebih kecil (1-1,15 Gy) Pada umumnya pemberian radiasi per hari 2 atau 3
kali dengan jarak paling sedikit 6 jam. Bila dosis total mengacu pada efek
lambat, maka dengan metode ini dapat diberikan dosis total yang lebih
tinggi daripada biasa. Diharapkan pula bahwa dosis ini dapat
meningkatkan kendali tumor dengan lebih baik (Hunter, 2006).
Hipofraksinasi: Metode ini biasanya diberikan pada kasus-kasus
terminal untuk tidak membebani pasien datang ke radioterapi, tetapi masih
diperoleh efek paliatif yang cukup baik. Pada umumnya radiasi dilakukan
tiga kali (antara 1-4x) seminggu, dengan dosis per fraksi yang lebih dari
200cGy (3-5Gy) (Evans, 2003).
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening
leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO (Asroel, 2002) :
34
a. Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening
yang besar.
b. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih.
c. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
d. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25%
atau lebih
C. Disfagia
Klasifikasi Disfagia
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia
orofaring (atau transfer Disfagia) dan disfagia esofagus. Disfagia orofaring
35
timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus, dapat
disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,
xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik
(keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,
radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin)
(World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).
Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk
ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran meletakkan
makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan
dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan
tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang,
perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal. Setelah pemeriksaan,
dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural, swallowing
maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensory
awareness technique, vitalstim therapy, dan pembedahan. Bila tidak
diobati, disfagia dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, atau
dehidrasi (World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).
Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter
esofagus bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh
striktur esofagus, keganasan esofagus, esophageal rings and webs,
akhalasia, skleroderma, kelainan motilitas spastik termasuk spasme
esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus nonspesifik.Makanan
biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, danakan berada setinggi
suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi obstruksi,
regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan
pneumonia berulang (World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines, 2014). Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair,
kemungkinan besar merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada
awalnya pasien mengalami disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya
36
disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan besar merupakan
suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat dibedakan antara masalah
motilitas dan obstruksi mekanik, penting untuk memperhatikan apakah
disfagianya sementara atau progresif. Disfagia motilitas sementara dapat
disebabkan spasme esofagus difus atau kelainan motilitas esofagus
nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat disebabkan skleroderma
atau achalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang kronis,
regurgitasi, masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia
mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring. Disfagia mekanik
progresif dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan
esofagus. Bila sudah dapat disimpulkan bahwa kelainannya
adalahdisfagia esofagus, maka Langkah selanjutnya adalah dilakukan
pemeriksaan barium atau endoskopi bagian atas. Pemeriksaan barium
harus dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi untuk menghindari
perforasi. Bila dicurigai adanya akhalasia pada pemeriksaan barium,
selanjutnya dilakukan manometri untuk menegakkan diagnosa akhalasia.
Bila dicurigai adanya striktur esofagus, maka dilakukan endoskopi. Bila
tidak dicurigai adanya kelainan-kelainan seperti di atas, maka endoskopi
dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi
yang normal, harus dilanjutkan dengan manometri; dan bila manometri
juga normal, maka diagnosanya adalah disfagia fungsional.Foto thorax
merupakan pemeriksaan sederhana untuk pneumonia. CT scan dan MRI
memberikan gambaran yang baik mengenai adanya kelainan struktural,
terutama bila digunakan untuk mengevaluasi pasien disfagia yang
sebabnya dicurigai karena kelainan sistem saraf pusat. Setelah diketahui
diagnosanya, penderita biasanya dikirim ke Bagian THT, Gastrointestinal,
Paru, atau Onkologi, tergantung penyebabnya. Konsultasi dengan Bagian
Gizi juga diperlukan, karena kebanyakan pasien me-merlukan modifikasi
diet (World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).
Penilaian Disfagia
37
Penilaian disfagia dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Pandaleke, 2014).
1. Anamnesia
Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum penderita.
Riwayat
neurologik yang mungkin berhubungan dengan beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan disfagia seperti multiple sclerosis, stroke,
serta penyakit Parkinson dan Alzheimer harus ditanyakan. Operasi
yang pernah dialami penderita pada kepala dan leher juga perlu
ditanyakan. Semua pengobatan yang sedang dijalani penderita
harus dicatat. Obat-obatan dengan efek samping seperti sedasi,
kelemahan otot, dan disorientasi dapat menyebabkan disfagia.
Selain itu, faktor psikososial juga dapat memengaruhi proses
menelan, terutama pada orangtua (Pandaleke,2014). Keluhan
subyektif penderita dapat membantu menegakkan diagnosis
disfagia, yaitu antara lain: air liur yang mengalir berlebihan; batuk
atau kesedakan saat makan; terkumpulnya makanan pada pipi, di
bawah lidah, atau pada palatum durum;suara serak; suara cegukan
setelah makan atau minum atau beberapa kali membersihkan
kerongkongan; susah mengontrol gerakan lidah; kelemahan otot
wajah; harus menelan beberapa kali untuk satu bolus makanan;
slurred speech;adanya perasaan makanan seperti tertahan di leher
atau dada; dan waktu mengunyah serta waktu makan yang lebih
lama (Pandaleke, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk melihat
adanya penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal, atau neurologik
yang dapat memengaruhi fungsi menelan. Pemeriksaan dilakukan
juga terhadap status mental, kemampuan bekerjasama, dan fungsi
bahasa penderita. Saraf kranialis harus dinilai secara teliti.
Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan meliputi tanda-tanda
38
obstruksi atau restriksi seperti takipnea, stridor, penggunaan otot
pernapasan tambahan, dan pergerakan dinding dada yang
asimetris (Pandaleke, 2014).
Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan
leher perlu dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara
bilateral; juga kekuatan otot-otot wajah. Otot maseter dan
temporalis dipalpasi saat penderita diminta menggigit atau
mengunyah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada saat
pemeriksaan saraf kranialis. Pemeriksaan intraoral dilakukan
dengan inspeksi intraoral untuk melihat lesi, sisa makanan, atau
kelainan struktural. Palpasi dengan sarung tangan pada dasar
mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah,untuk menyingkirkan adanya
tumor. Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi lidah dicatat.
Kekuatan lidah bisa diukur dengan menempatkan jari pada pipi
bagian luar dan menahan lidah penderita yang diminta untuk
menekan pipi dari dalam (Pandaleke, 2014)
Palatum diinspeksi untuk melihat posisi simetris pada saat istirahat
dan saat fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi untuk menimbulkan
refleks muntah, sambil memperhatikan apakah palatum mole dan
dinding faring berkontraksi secara simetris. Adanya refleks primitif
(sucking, biting,dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya refleks-
refleks ini pada orang dewasa mengindikasikan adanya kerusakan
pada kedua hemisfer atau lobus frontalis yang menyebabkan
kelemahan oral motor control (Pandaleke,2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis
gangguan menelan ialah: videofluorographic swallowing study
(VFSS), fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES),
dan ultrasonografi (Pandaleke, 2014) Salah satu metode
pemeriksaan penunjang diaganostik disfagia adalah dengan
menggunakan endoskop fleksibel yang disebut Flexible Endoscopic
39
Examination of Swallowing (FEES). FEES sekarang ini menjadi
pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia karena
mudah, dapat dilakukan di tempat mana saja, dan lebih murah
(Iqbal, 2014).
FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu
hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop
dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di
dalam laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair
dan padat diberi warna hijau sehingga mudah dilihat (Pandaleke,
2014). Komplikasi dari pemeriksaan FEES memiliki kasus yang
cukup rendah. Pada tahun 1995, dari 600 prosedur FEES hanya
tercatat 27 kasus komplikasi yang terjadi. Angka pembatalan
prosedur FEES sebesar 3,7% sedangkan pada prosedur video-
fluoroskopi sebesar 3,1% sebagai akibat adanya muntah atau
aspirasi yang memerlukan tindakan penghisapan untuk
pembersihan jalan napas (Iqbal, 2014).
40
disfagia awal dan untuk memantau respons terhadap pengobatan pada
orang dengan berbagai gangguan menelan (Belafsky, 2008).
41
Gambar 10. Eating Assessment Tool (EAT-10) (Belafsky, 2008)
42
D. Pemeriksaan FEES
Proses menelan adalah suatu proses yang memungkinkan
makanan dan minuman atau cairan bergerak dari rongga mulut ke gaster.
Proses menelan terdiri dari 3 fase yaitu fase oral, faringeal, dan esofageal.
Bila timbul keluhan disfagia (kesulitan menelan) maka perlu dilakukan
evaluasi terhadap proses menelan. Evaluasi proses menelan pada fase
orofaringeal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing (FEES), sedangkan untuk mendiagnosis
kelainan-kelainan struktural disfagia pada fase orofaringeal sampai
esofageal dapat dilakukan melalui esofagoskopi transnasal. Sedangkan
esofagoskopi kaku (rigid) lebih banyak dilakukan untuk tindakan terapi
pada beberapa kelainan di esofagus.
Fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) adalah
pemeriksaan dengan menggunakan nasolaringoskop yang dimasukkan
melalui hidung untuk mengevaluasi proses menelan fase orofaring.
Nasolaringoskop serat optic pertama kali digunakan pada tahun 1960
untuk mengevaluasi struktu di daerah laring dan pada tahun 1980-an
untuk menilai produksi suara yang dinamis. Pada tahun 1988, Langmore,
Schatz, dan Olsen menerbitkan artikel tentang kebutuhan akan perangkat
portable untuk mengvaluasi pasien dengan gangguan menelan. FEES
dapat melihat adanya kelainan struktur dan gerakan dari velofaring,
nasofaring, faring dan laring. Pemeriksaan ini merupakan teknik yang
sensitif untuk mendeteksi premature bolus loss/pre swallowing leakage
(kebocoran pra menelan), penetrasi ke alring, aspirasi trakea serta residu
di faring dan hipofaring.
Secara umum indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien
dengan kesulitan menelan dan kemungkinan resiko aspirasi dalam proses
menelan. Metode ini juga dapat menentukan intake nutrisi yang optimal
untuk meminimalkan resiko aspirasi serta menilai integritas sensorik
struktur faring dan laring. Indikasi lain adalah untuk : (1) menilai struktur
anatomi orofaring, nasofaring dan laringofaring, (2) Menilai integritas
43
sensorik struktur faring dan laring, dan (3) Menilai kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas pada saat menelan. Kontraindikasinya
adalah pasien dengan kelainan darah dan etiologic disfagia berlokasi di
esofagus (Hafner, 2008).
44
Gambar 11. Pemeriksaan FEES menunjukkan kumpulan bolus makanan
halus pada valekula (Imamura, 2016)
Gambar 12 Fiber Optic Flexible Endoscopic
45
Gambar 13 Pemeriksaan FEES
Teknik Pemeriksaan
Ada 3 tahap pemeriksaan FEES yaitu preswallowing assessment,
swallowing assessment, dan swallowing therapy.
1. Preswallowing assessment
FEES dilakukan di poliklinik atau ruang perawatan. Pasien dalam
posisi duduk menghadap pemeriksa atau bias juga dengan posisi
berbaring. Pada tahap preswallowing assessment dilakukan
penilaian terhadap fungsi muscular pada fase oral (kekuatan otot-
otot lidah, otot-otot bukal, palatum mole). Setelah itu endoskopi
dimasukkan ke dalam vestibulum nasi menelusuri dasar hidung, ke
arah velofaringeal masuk ke dalam orofaring. Pada pemeriksaan ini
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Evaluasi kompetensi velofaringeal
b. Evaluasi faring, meliputi dasar lidah, epiglottis, valekula,
dinding posterior dan lateral faring serta sinus piriformis.
c. Evaluasi laring dan supra glotis meliputi plika ariepiglotik,
insisura interaritenoid plika vokalis dan plika ventrikularis,
subglotik dan bagain proksimal trakea.
d. Evaluasi pergerakan laring pada saat respirasi dan fonasi.
e. Evaluasi pengaturan sekret.
46
2. Swallowing assessment
Setelah evaluasi kemampuan proteksi jalan napas, selanjutnya
dilakukan penilaian transport bolus makanan. Pasien menelan
berbagai variasi konsistensi makanan dan cairan yang telah diberi
pewarna. Konsistensi makanan yang diberikan berdasarkan diet
yang terakhir diberikan dan temuan evaluasi disfagia sebelumnya.
Makanan diberikan dengan ukuran bolus yang makin besar mulai
dari ¼ sendok teh (sdt), ½ sdt, dan 1 sdt. Cairan diberikan lewat
sendok the, cangkir dan sedotan. Proses menelan dievaluasi untuk
masing-masing presentasi. Urutan pemberian makanan mulai dari
cairan, makanan lunak dan makanan padat. Factor-faktor yang
dinilai adalah transit time oral, tepatnya waktu inisiasi
menelan,elevasi laring, spillage, residu, kekuatan dan koordinasi
menelan, penutupan laring (retrofleksi epligotis dan penutupan plika
vokalis), refluks, penetrasi dan aspirasi. Kebocoran dinilai pada
saat pasien menahan makanan 1 sendok makanan cair dalam
mulut selama 10 detik. Perhatikan kemampuan membersihkan
residu makann atau minuman, penetrasi dan aspirasi, baik secara
spontan ataupu dengan cara-cara tertentu misalnya dengan
merubah posisi kepala ke kiri atau ke kanan, menelan beberapa
kali atau menelan kuat-kuat.
3. Swallowing therapy
Pemeriksaan FEES sangat berguna untuk mengetahui strategi atau
manuver yang aman dalam proses menelan. Dari pemeriksaan ini
dapat ditentukan makanan oral untuk tingkat optimal (yang paling
aman, dapat dipertahankan asupan makanan yang adekwat dan
mencegah terjadinya aspirasi).
1. Postural change
i. Chin Tuck
Cara ini dilakukan pada keadaan :
Fase faringeal yang terlambat.
47
Retraksi dasar lidah yang berkurang ke arah
dinding posterior faring
Penurunan proteksi jalan napas
Adanya aspirasi saat menelan
Menuver ini dengan cara dagu diarahkan ke dada
dengan maksud dasar lidah dapat tertekan kea rah
dinding posterior faring, resesus valekula melebar
serta menyempitnya vestibulum laring oleh karena
pergerakan epiglottis ke posterior.
48
laring dan meningkatkan tekanan plika vokalis secara
ekstrinsik.
2. Swallow maneuvers
i. Supraglotic Swallow
Cara ini digunakan pada keadaan menurunnya
proteksi jalan nafas pada level plika vokalis dan
adanya aspirasi saat menelan. Tujuan dari cara ini
adalah menahan nafas secara sadar untuk menutup
plika vokalis selama dan sebelum menelan.
ii. Super-Supraglotic Swallow
Cara ini digunakan pada keadaan adanya aspirasi
sebelum dan sesudah menelan serta menurunnya
penutupan jalan nafas pada level vestibulum laring.
iii. Mendelsohn Maneuver
Cara ini digunakan pada keadaan menurunnya durasi
elevasi hiolaringeal, pembukaan krikofaring dan
koordinasi fase faringeal.
3. Behavioural Strategies
i. Liquid Wash
Digunakan pada keadaan adanya residu setelah
menelan(valekula, dinding faring, sinus piriformis
sinus).
Cara : memberikan secara berseling antara makanan
padat / semi padat dengan makanan cair.
ii. Larger Bolus
Digunakan pada keadaan fase faringeal terlambat
trpicu. Pemberian bolus makanan yang lebih besar
akan dapat meningkatkan input sensoris pada pasien.
iii. Multiple Swallows/Bolus
Digunakan pada keadaan adanya residu yang
signifikan pada orofaring.
Cara : pasien diinstruksikan menelan 2-3 kali tiap kali
menyuap makanan. Dengan cara ini dapat
menurunkan resiko aspirasi oleh adanya residu
sebelum makanan berikutnya (Anderson, 2013)
49
E. Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel terikat
: Variabel bebas
: Variabel antara
50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
C. Populasi penelitian
51
Dari perhitungan didaparkan besar sampel minimal 40 orang
52
a. Penjelasan terkait penelitian diberikan kepada pasien
dan pasien yang bersedia diminta menandatangani
lembar persetujuan informed consent
b. Dilakukan anamnesis: onset, rekurensi, perlangsungan,
gejala lain yang menyertai
c. Pemeriksaan FEES dengan menggunakan alat
endoskopi.
d. Pasien diposisikan duduk dan kavum nasi kanan kiri
diberi dekongestan.
e. Pasien diminta menelan tiga macam bolus yang berbeda,
yaitu lunak, cairan kenta, dan cairan encer.
f. Hasil pemeriksaan FEES dicatat pada lembar pengumpul
data
I. Definsi Operasional
1. KKL adalah kanker yang mengenai bagian rongga mulut,
saluran cerna bagian atas, laring, hidung, kelenjar parotis
serta kelenjer tiroid.
2. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit –penyakit
maligna dengan menggunakan sinar pengion.
3. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau
makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada
proses menelan
4. Skor EAT 10. EAT adalah suatu tes standard, laporan ukur
sendiri untuk gejala dan menyangkut sifat yang berkaitan
dengan gangguan makan
5. FEES adalah ( pre swallowing dan swallowing) adalah
pemberian penilaian fungsional yang komprehensif terutama
pada fase faringeal sehingga dapat mengarah pada
53
rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan
kemampuan makan secara oral
6. Swallowing Therapy adalah latihan menelan menggunakan
metode tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung
J. Alur Penelitian
Populasi Penelitian
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis THT-KL
Pemeriksaan penunjang
Kankerkepala leher
Pengumpulan Data
Analisis
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel SG, Shah JP. TNM staging of cancers of the head and neck:
striving for uniformity among diversity. CA Cancer J Clin. 2005 Jul-
Aug;55(4):242-58; quiz 261-2, 264. doi: 10.3322/canjclin.55.4.242.
PMID: 16020425.
2. Poltenen JK, Helppi HM, Pääkkö P,Turpeenniemi-
Hujanen,Vähäkangas KH.2010. p53 in Head and Neck
Cancer:Functional Consequences andEnvironmental Implications of
TP53Mutations. Head and Neck Oncology. vol36(36): 1-10
3. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. 2005.Global Cancer Statistic,
2002. CA Cancer Journal Clinical vol.55;74-108 Journal Clinical. vol
55: 74-108.
4. Muyassaroh.2016. Faktor risiko kejadian disfagia pada penderita
keganasan kepala dan leher yang menjalani kemoradiasi. ORLI Vol. 46
No. 1
5. Manikantan K, Khode S, Sayed SI, Roe J, Nutting CM, Rhys-Evans P,
et al.Dysphagia in head and neck cancer. Cancer Treat Rev.
2009;35:724–32.doi:10.1016/j.ctrv.2009.08.008.
6. Suarantari, N., & Winata, A. (2019). GAMBARAN SKOR OHIP-14
PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN
RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN
2016. E-Jurnal Medika Udayana, 8(5).
7. Nayoan.2017. GAMBARAN PENDERITA DISFAGIA YANG
MENJALANI PEMERIKSAAN FIBEROPTIC ENDOSCOPIC
EVALUATION OF SWALLOWING DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG
PERIODE 2015 – 2016. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 3 No. 2, Juli
2017 : 1-75
8. Iqbal M, Akil A, Djamin R,(2014) Evaluasi proses menelan disfagia
orofaring dengan fiberoptic endoscopic examination of swallowing
(FEES) 44: 137-45 : ORLI
9. S. R. Simon et al.Association Between Pharyngeal Pooling and
Aspiration.2019. Dysphagia (2020) 35:42–51
10. Rahmaeni, Freddy Kuhuwael, Sutji Pratiwi Rahardjo. Validitas dan
reliabilitas EORTC QLQ-H&N35 sebagai alat ukur kualitas hidup
penderita kanker kepala leher.2015. ORLI Vol. 45 No. 2 Tahun 2015
11. Mohammad Lutfi Ramadhani Adam, Arif Winata. FAKTOR-FAKTOR
KETERLAMBATAN PENATALAKSANAAN PADA PASIEN KANKER
KEPALA DAN LEHER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
56
TAHUN 2016.2017. E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO.2, FEBRUARI,
2017
12. JNCI: Journal of the National Cancer Institute, Volume 104, Issue 9, 2
May 2012
13. Kuhn MA, Belafsky PC. Functional assessment of swallowing In:
Johnson JT, Rosen CA, editors. Bailey's head and neck surgery
-otolaryngology. Fifth ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
2014. p. 825-37.
14. D. Marliyawati, W. Wiratno, and W. Yusmawan, "PENGARUH
PEMBERIAN POLIFENOL MADU TERHADAP MUKOSITIS ORAL
AKIBAT KEMORADIASI PADA PENDERITA KANKER KEPALA DAN
LEHER," Media Medika Muda, vol. 1, no. 1, Apr. 2016.
15. Suherman Hadi Saputro, R. Susworo. Pencegahan dan Tatalaksana
Disfagia Akibat Radiasi pada Kanker Kepala Leher.2011. Radioterapi &
Onkologi Indonesia Vol 2(2) Jul 2011:54-61
16. Georgopoulos. Examination of the Patient with Head and Neck Cancer.
2015. Surg Oncol Clin N Am 24 (2015) 409–421
http://dx.doi.org/10.1016/j.soc.2015.03.003surgonc.theclinics.com1055
-3207/15.
17. William I. Wei. Nasopharyngeal Cancer. In : Bailey Byron J, Johnson
Jonas T,Newlands Shawn D, editors. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology.Lippincott Williams & Wilkins, 4thEdition 2006 ; 7 : 117
18. Hui EP, Ma BB, Leung SF, King AD, MO F, Kam MK, et al.
Randomized phase II trial of concurrent cisplatinradiotherapy with or
without neoadjuvant docetaxel and ciaplatin in advanced
nasopharyngeal carcinoma. J Clin Oncol 2009;27(2):242-49.
19. Fithrony, et al. PENGARUH RADIOTERAPI AREA KEPALA DAN
LEHER TERHADAP CURAH SALIVA. 2012. https://core.ac.uk/search?
q=repositories.id:(379)
20. Munir M. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher: Keganasan di Bidang Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 162-173.
21. Roezin, A., Anida, S., 2007, Karsinoma Nasofaring, dalam ; Elfiaty,
A.S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok : FK UI, 149-
153
22. Chan, J.K.C., Bray, F., McCarron, P., Foo, W., 2005. Nasopharyngeal
carcinoma.In: Barnes, L., Eveson, J.W., Reichart, P., Sidrasky, D.,
editors. WHO classification of tumours: Pathology and genetiks head
and neck tumours.Lyon: IARCPress ; p. 85-97.
57
23. Sienna J, Nguyen N, Arsenault J, et al. (March 13, 2018) A Case of
Sinonasal Undifferentiated Carcinomawith Brain Metastases. Cureus
10(3): e2320. DOI 10.7759/cureus.2320
24. Zeng MS &Yi Xin Zeng. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma.In: Cancer Center of Sun Yat-sen University.
25. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Prognosis. Di Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Universitas Indonesia.2014
26. Lee, S.W., Cho, K.J., Park, J.H., Kim, S.Y., Nam, S.Y., Lee, B.J., Kim,
S.B.,Choi, S.H., Kim, J.H., Ahn, S.D., Shin, S.S., Choi, E.K., Yu, E.,
2005,Expressions of Ku70 and DNA-PKcs as prognostic indicators of
localcontrol in nasopharyngeal carcinoma, IntJ Radiat Oncol Biol Phys,
1451–1457.
27. Vasan NR. 2008. Cancer of the Larynx. In: Lee KJ, ed, Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 9th. New York, McGraw-Hill,
p. 676-06
28. Irvandy D, Rahman S. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor
Ganas Laring. Jurnal Kesehatan Andalas. Padang. 618-624
29. Salvador-Coloma, C., & Cohen, E. (2016). Multidisciplinary Care of
Laryngeal Cancer. Journal of Oncology
Practice.https://doi.org/10.1200/jop.2016.014225
30. Williamson, J. S., Biggs, T. C., & Ingrams, D. (2012). Laryngeal cancer:
an overview. Trends in Urology & Men’s Health, 3(6), 14–
17.https://doi.org/10.1002/tre.295
31. Vissink A, ‘s-Gravenmade EJ, Panders AK, Vermey A. Treatment
ofhyposalivation. Ear Nose Throat J 1988;67:179–85.
32. Eisele David W. Chronic aspiration. In: Cummings CW et al.,
editors.Otolaryngology head and neck surgery. 3rd ed. St. Louis:
Mosby-Year Book;1998. p. 1989–90.
33. Lester LDR. Salivary Gland Acinic Cell Carcinoma. ENT Journal.
November. 2010: 530-32.
34. Harrish K. Management of primary malignant epithelial parotid tumour.
Surg Oncol 2004; 12:7-16.
35. Subakti I. Karsinoma Tiroid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Ilmu Penyakit Dalam jilid 3. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2031-7
36. Handayani SHS, Purnami SW. Pendekatan Metode Classification and
Regression Tree untuk Diagnosis Tingkat Keganasan Kanker pada
Pasien Kanker Tiroid. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2014;3:24-29.
58
37. Baldwin, Keith M. 2016. Papillary Thyroid Carcinoma Clinical
Presentation. Medscape.
38. Amin MB, Greene FL, Edge SB, Compton CC, Gershenwald JE,
Brookland RK, Meyer L, Gress DM, Byrd DR, Winchester DP. The
Eighth Edition AJCC Cancer Staging Manual: Continuing to build a
bridge from a population-based to a more "personalized" approach to
cancer staging. CA Cancer J Clin. 2017 Mar;67(2):93-99. doi:
10.3322/caac.21388. Epub 2017 Jan 17. PMID: 28094848.
39. Pou AM, Johnson JT. Oropharyngeal Cancer. Bailey BJ, Johnson JT,
Newlands SD. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th edition:
Lippincott Williams & Wilkins. 2014.p :1898–1915
40. Siegel R, Ma J, Zou Z, et al. Cancer statistics. CA Cancer J Clin
2014;64:9–29.
41. Olatwvedi AK. Engels EA. AndersonWF, et al. Incidence trends for
human papillomavirusrelated and un-related oral squamous cell
carcinomas in the United States. J Clin Oncol. 2008;26:612–619.
42. R. Ayu Hardianti Saputri.Tumor Orofaring.2015.Universitas Padjajaran.
43. Saman Warmkulasuriya. Global Epidemiology of Oral an
Oripharyngeal Cancer. Oral Oncology, 2009; 45: 309-316
44. Ferlay J; Pisani P; Parkin DM. Globocan 2002. Cancer Incidence,
Mortality and Prevalence Worldwide. IARC, Cancer Base (2002
estimates), Lyon 2004. IARC, Press.
45. R.A. Cawson, E.W. Odell. Oral cancer 6th ed. London : Churchill
Livingstone, 2000 : 228 ± 238
46. Khandekar SP, Badgey PS, Tiwari RR. Oral cancer and some
epidemiological factors : a hospital based study. Indian J Community,
2006; 31 (3): 157 ± 159
47. Medawati A. Kanker rongga mulut dan permasalahannya. Insisivia
Dental J. 2013;1:87–90.
48. Taufiqurrahman T, Herdini C. Metastasis leher tersembunyi pada
karsinoma lidah T1-T2. J Kes Andalas 2014;3(3):549–62.
49. Murphy A, Gilbert J (2009) Dysphagia in head and neck cancer
patients treated with radiation: assessment, sequelae and
rehabilitation. Seminars in radiation oncology. WB Saunders 19:35
50. Forastiere AA, Ismaila N, Lewin JS et al (2017) Use of larynx-
preservation strategies in the treatment of laryngeal cancer: American
society of clinical oncology clinical practice guideline update. J Clin
Oncol 35:1–27
59
51. Fitriatuzzakiyyah. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. 2017. Jurnal Farmasi
Klinik Indonesia Volume 6, Nomor 4, Desember 2017
52. Evans, P.H.R, Montgomery P.Q, Gullane P.J., Principles and Practice
of Head and Neck Oncology, Martin Dunitz, 2003
53. Wondergem J., Radiation Biology, International Atomic Energy
Agency,2010
54. Hunter R, Radiotherapy Dose-Fravtionation, The Royal College of
Radiologist, 2006
55. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring
[serial online]. 2002 [cited 2012 Jan 13].
56. Pandaleke.2014.Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164
57. Malagelada JR, Bazzoli F, Boeckxstaens G, De Looze D, Fried M,
Kahrilas,P et al. World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines Dysphagia —Global Guidelines and Cascades Update. J.
Clinical Gastroenterol;49:370–8
58. Langmore.2006. Endoscopic evaluation of oral and pharyngeal phases
of swallowing. GI Motility online
60