Anda di halaman 1dari 89

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS KELUHAN DISFAGIA PADA PASIEN KANKER KEPALA


LEHER AKIBAT RADIOTERAPI DENGAN PEMERIKSAAN FEES

Oleh:

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN


MAKASSAR
2021

0
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu jenis kanker yang menyebabkan kematian dalam


jumlah besar di Indonesia adalah kanker kepala dan leher (KKL). Kanker
kepala dan leher adalah kanker yang mengenai daerah bibir, rongga
mulut, sinonasal, palatum, faring dan laring (Patel & Shah, 2005). Kanker
ini umumnya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
yang berakibat pada terjadinya mutasi genetik. Mutasi genetik yang
menyertai KKL umumnya terjadi pada akson 5-8 pada gen p53, yang
merupakan gen supressor tumor (Poltenen et al., 2010). Perkiraan jumlah
kejadian kanker kepala dan leher secara global adalah sekitar 533.100
kasus per tahun (Parkin et al., 2005). Kanker ini menduduki urutan ke-
enam dari seluruh keganasan di dunia dengan persentase mencapai 6%,
dan sekitar 650.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya
(Muyassaroh,2016).
Salah satu gejala yang sering dialami oleh penderita KKL adalah
disfagia. Gejala ini dialami sekitar 60-75% pasien KKL yang disebabkan
oleh adanya tumor yang menghambat proses menelan dan sebagai efek
samping dari tatalaksana KKL (Manikantan, 2009). Disfagia didefinisikan
sebagai kesulitan makan. Kata disfagia berasal dari bahasa Yunani terdiri
dari kata dys yang berarti kesulitan atau gangguan, dan phagia yang
berarti makan. Disfagia berhubungan dengan kesulitan makan akibat
gangguan dalam proses menelan. Gejala ini juga dapat ditemukan pada
penyebab lain selain KKL, diantaranya adalah keganasan esophagus,
striktur esofagus, dan penyakit neurologic progresif seperti penyakit
Parkinson, multiple sclerosis atau amyotrophic lateral sclerosis,
scleroderma, achalasia, spasme esofagus difus, dan adanya lower
esophageal (Schatzki) ring (Muyassaroh,2016).

1
Disfagia juga sering terlihat pada pasien KKL yang menjalani
terapi radiasi. Radioterapi ini merupakan salah satu modalitas
penanganan pasien KLL selain pembedaan dan kemoterapi. Pemilihan
modalitas ini dilakukan berdasarkan variabel pasien, lokasi primer, dan
stadium klinis (Manikantan, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Suarantari (2019), modalitas yang paling banyak digunakan pada pasien
KKL adalah kemoterapi disertai radioterapi yaitu sebesar 41,3%, diikuti
kemoterapi sebesar 34,8% , pembedahan disertai kemoterapi, dan
radioterapi sebanyak 15,2%, pembedahan dan kemoterapi 6,5%,
pembedahan dan radioterapi sebesar 2,2%. Penggunaan terapi kombinasi
yang agresif dengan teknik radiasi untuk pengobatan KKL semakin
meningkat, sehingga efek akut dan kronik menjadi perhatian khusus.
Keluhan-keluhan yang ditemukan 4 hingga 5 minggu setelah radoterapi
dimulai adalah mukositis, dermatitis radiasi, edema dari jaringan lunak,
nyeri, produksi lendir berlebihan, xerostomia, dan pembengkakan jaringan
yang berakibat terjadinya disfagia akut (Muyassaroh,2016).
Penilaian terhadap proses menelan digunakan untuk penilaian
awal dari pasien dengan disfagia, terutama menilai resiko aspirasi saat
intake oral dan untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
Pemeriksaan terhadap proses menelan dapat dilakukan dengan
melakukan Videofluoroskopi Swallow Studies (VFSS) dan Fiberoptic
Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES). FEES pertama kali
diperkenalkan oleh Susan Langmore, Schatz dan Olson pada tahun 1988
dan mulai diterapkan sebagai pemeriksaan standard oleh the American
Speech-Language-Hearing Association (ASHA) sejak tahun 1992. Tujuan
dari pemeriksaan FEES adalah memberikan penilaian fungsional yang
komprehensif terutama pada fase faringeal sehingga dapat mengarah
pada rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan kemampuan
makan secara oral (Nayoan, 2017).
Sebuah penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang menemukan
bahwa terdapat 28 pasien dengan keluhan disfagia menjalani

2
pemeriksaan FEES pada tahun 2015-2016 (Nayoan, 2017), sedangkan di
klinik THT-KL RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar terdapat 50
kasus disfagia yang menjalani pemeriksaan FEES selama periode Juni
2013-Februari 2014 (Iqbal, Akil dan Djamin, 2014). Simon, dkk (2019)
melakukan penelitian pada 90 pasien kanker kepala leher (KKL) dengan
keluhan disfagia yang menjalani pemeriksaan FEES. Hasil penelitian
didapatkan bahwa lokasi dan stadium tumor tidak memiliki hubungan
dengan kejadian aspirasi bolus, namun tindakan radioterapi memiliki efek
pada kejadian aspirasi (p=0.003). Penelitian Muyassaroh (2016)
menyatakan bahwa stadium yang lanjut merupakan faktor risiko terjadinya
disfagia. Pasien dengan KKL stadium lanjut memiliki risiko 2,96 kali lebih
besar untuk mengalami disfagia akibat kemoradiasi daripada penderita
KKL stadium awal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Machtay, et al (2008) yang mendapatkan hasil bahwa dari tiga penelitian
yang dilakukan oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG),
stadium keganasan lanjut merupakan faktor risiko terjadinya disfagia
akibat kemoradiasi pada pasien KKL. Keluhan disfagia pada pasien KKL
yang menjalani tindakan radioterapi perlu menjadi perhatian khusus
karena dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Berdasarkan hal-hal
yang telah diuraikan di atas, penulis ingin melakukan Analisis Keluhan
Disfagia pada Pasien Kanker Kepala Leher akibat Radioterapi dengan
Pemeriksaan FEES.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat


dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimanakah hubungan keluhan disfagia berdasarkarkan pemeriksaan
FEES dengan radioterapi pada pasien KKL?

3
D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui analisis keluhan disfagia pada pasien kanker


kepala leher akibat radioterapi dengan pemeriksaan FEES
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui keluhan disfagia pasien KKL sebelum dan
setelah radioterapi berdasarkan pemeriksaan FEES
b. Mengetahui hubungan keluhan disfagia pasien KKL dengan
radioterapi berdasarkan pemeriksaan FEES

E. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan keluhan disfagia dengan radioterapi pada


pasien kanker kepala-leher.

F. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi mengenai

analisis keluhan disfagia pada pasien kanker kepala leher akibat

radioterapi dengan pemeriksaan FEES

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian

selanjutnya terkait analisis keluhan disfagia pada kanker kepala

leher akibat radioterapi.

3. Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam meningkatkan kualitas

penanganan keluhan disfagia pada pasien kanker kepala leher

yang menjalani radioterapi.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Kepala Leher

Definisi

Kanker kepala leher adalah berbagai jenis tumor ganas yang


secara spesifik mengenai traktus aerodigestif yang letaknya dari dasar
tengkorak sampai bagian bawah laring, dari anterior kavum nasi dan bibir
sampai posterior faring. Kanker kepala leher mempunyai kesamaan dalam
hal etiologi, cara penyebaran, metode pemeriksaan, diagnostik,
pengobatan, dan rehabilitasi. Pada umumnya tumor ganas THT-KL
ditemukan pada rongga mulut, orofaring, nasofaring, hidung, dan sinus
paranasal, hipofaring, laring, dan telinga (Rahmaeni, 2015).
Kanker kepala dan leher adalah keganasan epitel dari saluran
aerodigestif bagian atas (UADT) yang di dalamnya terdapat sinus
paranasal, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Kanker kepala
dan leher memiliki jenis tumor yang beragam yang timbul dari berbagai
struktur anatomi termasuk tulang kraniofasial, jaringan lunak, kelenjar
ludah, kulit, dan membran mukosa. Sebagian besar atau lebih dari 90%
adalah karsinoma sel skuamosa (Adam, 2017).
Berdasarkan lokasi anatomisnya, berikut distribusi insidensi masing-
masing subtype kanker kepala dan leher (Cancer Research UK, 2012) :
a. Kanker Laring : 39.3 %
b. Kanker Lidah : 13.2 %
c. Kanker Kelenjar Parotis : 11 %
d. Kanker Rongga Mulut : 9.9 %
e. Kanker Sinonasal : 6.6 %
f. Karsinoma Orofaring : 5.7 %
g. Kanker Nasofaring : 4.6 %
h. Kanker Kelenjar Tiroid : 3.3 %

5
Etiologi
Kanker kepala dan leher umumnya disebabkan karena kebiasaan
merokok dengan tembakau dan konsumsi alkohol yang berlebihan.
Kanker ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
presentase sebesar 52,7% berbanding 47,2%. Perbandingan ini tidak
terlalu jauh dikarenakan tingginya perokok pasif di Indonesia yang terjadi
pada perempuan.Tingginya kebiasaan merokok dan minum alkohol
umumnya menyebabkan terjadinya mutasi pada tumor supersor gen
p53.Mutasi gen p53 ini akan mempengaruhi fungsinya sendiri untuk
menghambat pertumbuhan tumor. Dan diketahui pula bahwa infeksi
human papillomavirus (HPV) juga menjadi salah satu penyebab terjadinya
kanker kepala dan leher. Kanker kepala dan leher yang berasosiasi
dengan HPV ini sangat terkait dengan infeksi HPV secara oral dan praktik
seksual tertentu yang memfasilitasi paparan virus secara berulang (Adam,
2017).

Epidemiologi
Kanker kepala dan leher merupakan kanker yang paling banyak
terjadi keenam di seluruh dunia, dengan insiden pertahun diperkirakan
sebanyak 563.826 kasus (termasuk 274.850 kanker rongga mulut, kanker
laring 159.363, dan 52.100 kanker oropharyngeal) dan angka
kematiannya di perkirakan sebanyak 301.408 kematian per tahun. Di
Amerika Serikat pada tahun 2006, kanker kepala dan leher adalah kanker
yang paling umum kesembilan pada pria, dengan insiden sebesar 14,97
per 100.000 pada pria dan 6,24 per 100.000 pada wanita dan angka
kematian yang berkaitan dengan usia sebesar 3,78 per 100.000 pada pria
dan 1,39 per 100.000 pada wanita. Sedangkan pada tahun 2009 terdapat
35.720 kasus kanker kepala dan leher dan 7.600 kematian diperkirakan
telah terjadi (Adam, 2017).

6
Dua pertiga dari kasus kanker kepala dan leher di dunia terjadi di
negara-negara berkembang. Di negara berkembang, insiden kanker
tersebut lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Di Indonesia prevalensi kanker kepala leher cukup
tinggi dengan insiden sebesar 4,7 per 100.000 penduduk. Kanker kepala
dan leher menduduki urutan ke-4 pada pria dan wanita sedangkan pada
pria saja menempati urutan ke-2 (Adam, 2017)
Gambar 1. Epidemiologi Kanker Kepala-Leher (Johnson, 2014)
Gejala
Gejala yang paling sering adalah nyeri pada rongga mulut dan nyeri
telan (odinofagia). Nyeri pada rongga mulut akibat (Mukositis Oral) MO
menyebabkan gangguan saat mengunyah, menelan, makan dan bicara.
MO mempengaruhi keseluruhan traktus gastrointestinal yang
menyebabkan diare sehingga terjadi malabsorbsi, gangguan cairan dan
elektrolit. Gejala lain yang juga dapat dikeluhkan antara lain disfagia yang
kemudian menyebabkan asupan gizi kurang (Marliyawati, 2016).
Disfagia merupakan gejala kegagalan memindahkan bolus
makanan dari rongga mulut sampai ke lambung. Kegagalan dapat terjadi
pada kelainan neuromuskular, sumbatan mekanik sepanjang saluran
mulai dari rongga mulut sampai lambung serta gangguan emosi. Disfagia
dapat disertai dengan rasa nyeri yang disebut odinofagia (Saputro, 2011)

Diagnosis
Anamnesis
Evaluasi pasien kanker kepala dan leher dimulai dari anamnesis
pasien. Riwayat ini harus dicari, dengan memperhatikan perjalanan waktu
timbulnya gejala dan perkembangannya. Gejala seperti sesak napas,

7
suara serak, disfagia, odinofagia, otalgia, sensasi globus (rasa
mengganjal di tenggorokan) , gangguan pendengaran, auralfullness
(telinga terasa penuh), epifora, atau trismus dapat ditimbulkan saat
memperoleh riwayat dan sering mengarahkan pemeriksa ke keganasan
primer. Massa di leher, atau wajah, kulit kepala, mulut, atau hidung,
mungkin merupakan keluhan utama (Georgopoulos, 2015).
Riwayat keganasan sebelumnya dan perawatan sebelumnya harus
diperoleh. Pasien dengan keganasan kepala dan leher sebelumnya
memiliki risiko besar untuk mengembangkan lesi primer kedua. Risiko
tahunan pasien dengan kanker kepala dan leher berkembang menjadi
keganasan primer kedua metachronous diperkirakan antara 1,5% dan
5,1%.5,6 Selain itu, berbagai tumor dapat bermetastasis ke kepala dan
leher, dengan melanoma, payudara, paru-paru, ginjal, dan keganasan
ginekologi telah dilaporkan dalam literatur (Georgopoulos, 2015).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kepala dan leher yang lengkap harus dilakukan untuk
semua pasien yang dicurigai menderita kanker kepala dan leher,
meskipun lokasi keganasan primer sudah diketahui. Dari pasien dengan
kanker kepala dan leher, 3% sampai 4% datang dengan lesi primer kedua
yang sinkron di kepala dan leher (Georgopoulos, 2015).
Evaluasi dimulai dengan penilaian penampilan umum pasien.
Kesulitan bernapas atau stridor, status gizi, afek, dan mood dapat dinilai
dengan observasi saja. Bau asap dan gigi bernoda tar mungkin
merupakan tanda penggunaan tembakau berat.Stridor muncul sebagai
suara pernapasan bernada tinggi yang dihasilkan dari aliran udara
turbulen melalui jalan napas yang tersumbat sebagian. Stridor inspirasi
biasanya berhubungan dengan massa supraglotis obstruktif, sedangkan
stridor bifasik biasanya menyertai obstruksi tetap baik pada trakea atau
pada tingkat glotis (seperti pada paralisis pita suara bilateral). Individu
dengan disfagia yang signifikan dan kesulitan menoleransi sekresi

8
mungkin ngiler. Air liur harus dianggap sebagai tanda yang
mengkhawatirkan. Semua pasien tersebut harus menjalani evaluasi tepat
waktu termasuk inspeksi jalan napas dengan laringoskopi tidak langsung
(Georgopoulos, 2015).
Stertor adalah suara inspirasi yang sebanding dengan mendengkur
dan terjadi ketika ada obstruksi jalan napas di atas tingkat laring. Stertor
sering terjadi dengan presentasi jinak seperti apnea tidur obstruktif, atau
pada pasien dengan sindrom Pickwickian. Ini juga bisa menjadi tanda
keganasan. Misalnya, stertor onset baru dapat dilaporkan dengan kanker
uvula, tonsil, atau nasofaring (Georgopoulos, 2015).
Periksa kesimetrisan wajah. Massa kelenjar parotis dapat dinilai.
Tumor yang menyebabkan paralisis nervus fasialis inkomplit dapat muncul
dengan kerutan wajah asimetris, kedipan mata asimetris, lipatan
nasolabial tumpul, atau ptosis komisura oral (Georgopoulos, 2015).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang radiologis berupa computed tomography
(CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk
melihat adanya pertumbuhan tumor yang bersifat lokal dan perluasan
intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CTuntuk mendeteksi tumor primer
dan adanya metastasis ke kelenjar getah bening danperineural sehingga
mejadi pilihan dalam mengevaluasi penyebab lokoregional. CT lebih baik
daripada MRI dalam hal mengidentifikasi adanya erosi tulang (Tabuchi et
al, 2011).
Untuk menentukan diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan
penunjang yaitu histopatologi yang diperoleh dari hasil biopsi nasofaring.
Biopsi nasofaring dikerjakan di ruang tindakan dengan atau tanpa bantuan
alat endoskopi, kemudian sampel hasil biopsi tersebut di kirim ke
laboratorium patologi anatomi guna dilakukan pemeriksaan histopatologi
di bawah mikroskop untuk melihat sel kanker. Biopsi merupakan gold
standard untuk menegakkan diagnosis (Tabuchi et al, 2011).

9
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker kepala dan leher yang utama meliputi
operasi dan kemoterapi baik secara tunggal maupun kombinasi (Adam,
2017). Terapi pada KKL stadium lanjut adalah tambahan kemoterapi yang
diberikan bersamaan dengan radioterapi (concurrent). Kemoradiasi
concurrent meningkatkan overall survival rate yang signifikan
dibandingkan hanya radiasi. Hui et al.menyatakan pemberian kemoterapi
sebelum radioterapi (neoadjuvant) dilanjutkan dengan kemoradiasi
concurrent dapat meningkatkan overall survival rate secara signifikan
dibandingkan 4 kemoradiasi saja (Hui, 2009).
Di Bali pasien kanker kepala dan leher seringkali datang ke rumah
sakit sudah pada stadium lanjut sehingga pilihan terapi yang diberikan
hanya radioterapi dan kemoterapi. Radioterapi adalah salah satu
modalitas pengobatan penting bagi pasien kanker kepala dan leher, baik
dengan cara tertentu atau kombinasi dengan operasi dan/atau kemoterapi
(Suarantari, 2019).
Pengobatan dari kanker adalah tergantung dari stadium kanker
yang dialami. Terapi kanker mempunyai tiga terapi dasar, yaitu
pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan terapi kombinasi. Radioterapi
semakin sering digunakan sebagai bentuk terapi primer dalam
penatalaksanaan keganasan pada kepala dan leher. Dipekirakan 50 %
kasus keganasan kepala dan leher dinegara maju atau sekitar 70 %
dinegara berkembang, memerlukan radioterapi baik sebagai terapi yang
berdiri sendiri ataupun kombinasi dengan pembedahan ataupun
kemoterapi. Radioterapi dapat digunakan sebagai terapi primer bila pada
tindakan bedah merupakan kontraindikasi dan dapat menghilangkan
fungsi vital dari organ di area kepala dan leher. Contohnya kanker
nasofaring, tidak mungkin dilakukan pembedahan karena letaknya yang
sulit dijangkau. Terapi utamanya adalah radioterapi (Fithrony, 2012).

10
Kemoterapi berbasis platinum (misalnya cisplatin) telah terbukti,
bila digunakan bersamaan dengan radioterapi, memiliki efek
radiosensitiser. Ini digunakan pada tumor stadium lanjut di semua lokasi.
Peningkatan yang dilaporkan dalam kelangsungan hidup selama
radioterapi saja adalah 6-8% selama 5 tahun. Kemoradioterapi sering
disebut perawatan pengawetan organ karena tidak ada jaringan yang
diangkat. Kanker laring lanjut yang diobati dengan kemoradioterapi
bersamaan sebagai pengobatan utama memiliki kelangsungan hidup yang
serupa secara keseluruhan dengan mereka yang diobati dengan
pembedahan dan dua pertiga pasien akan mempertahankan laringnya.
Dari sepertiga yang menjalani laringektomi, beberapa akan untuk
menyelamatkan tumor berulang dan beberapa akan mengalami disfungsi
atau kerusakan laring sebagai akibat dari pengobatan (Lester, 2015).
Tujuan dari pembedahan dengan tujuan kuratif pada kanker kepala
dan leher (HNC) adalah eksisi bedah mikroskopis lengkap. Margin eksisi
merupakan faktor prognostik yang konsisten dan pertimbangan utama
untuk terapi ajuvan pasca operasi yang lebih radikal (dan karenanya lebih
banyak morbiditas yang menyertai), dengan kemungkinan pengecualian
kanker tiroid. Prinsip dasar yang sangat penting dalam bedah kepala dan
leher adalah bahwa reseksi bedah mencapai pembersihan mikroskopis
tumor yang lengkap dengan batas aman yang sesuai dengan jenis, lokasi,
dan stadium kanker. Hampir tidak ada peran onkologis untuk operasi
debulking untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan dengan
kemoradiasi berikutnya (Smits, 2016).
Salah satu kemajuan bedah yang paling menonjol akhir-akhir ini
adalah pengembangan dan mempopulerkan teknik akses transoral untuk
kanker orofaringeal, supraglotis dan glotis, melalui bedah mikro laser
transoral (TLM) dan bedah robotik transoral (TORS). Bedah robotik
transoral harus dilihat sebagai penyempurnaan evolusioner TLM, terutama
berguna untuk reseksi dasar lidah dan supraglotis, dan bukti untuk
prosedur ini harus dipertimbangkan bersama. Ketika operasi akses

11
minimal dibandingkan dengan teknik terbuka, keuntungan yang berkaitan
dengan pengurangan morbiditas jelas. Ini berlaku untuk pendekatan
endoskopi untuk reseksi tumor sinonasal, baik dengan atau tanpa
kraniotomi. Di sini, perbandingan yang relevan adalah untuk membuka
teknik akses transfacial, dan keuntungan dari akses yang kurang radikal
jelas, tanpa kompromi dalam prognosis (setidaknya dalam kasus-kasus
tertentu). Setiap ahli bedah yang mengelola tumor sinonasal harus dapat
menawarkan rangkaian lengkap teknik bedah, terbuka dan endoskopi,
dan, sebagai ahli bedah onkologi, menjadi anggota inti dari tim
multidisiplin (Meccariello et al, 2016).

a. Kanker Laring
Anatomi Laring

Gambar 2. Potongan
Koronal Laring
(Moore, 2003).

12
Gambar 3 Vakskularisasi Laring (Tucker, 1987)

Gambar 4.Persarafan Laring (Tucker, 1987)


Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakansuatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan
wanita letaknya relatif lebih tinggi.Laring pada umumnya selalu terbuka,

13
hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Lokasi
laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana
didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol
kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple
atau jakun (Ballenger, 1993).
Definisi
Karsinoma laring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel
laring. Laring terdiri dari supraglotis, glottis dan subglotis. Laring berperan
dalam koordinasi fungsi menelan dan bernafas termasuk berbicara,
bernafas, aliran makanan dan minuman (Vasan, 2008).
Epidemiologi
Karsinoma laring adalah urutan kedua terbanyak keganasan kepala
dan leher di seluruh dunia, dengan kejadian diperkirakan lebih
dari151.000 kasus yang mengakibatkan sekitar 82.000 kematian setiap
tahun (Vasan,2008).Di FKUI/RSCM selama periode 2000- 2005
ditemukan 3.344 kasus tumor ganas di daerah kepala dan leher, dimana
karsinoma laring menempati urutan kedua yaitu sekitar 213 kasus
(6,73%). Di RS. M. Djamil Padang periode Januari 2011-Desember 2012
tercatat 13 kasus, di Manado angka kejadian karsinoma laring sebanyak
26,9%. Di Bandung didapatkan sebanyak 100 (6,95%) penderita
karsinoma laring dari 1,439 keganasan kepala leher (Irvandy, 2015).
Etiologi
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti.Dikatakan
oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok
orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian
epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga
menyebabkanterjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol
dan terpajan oleh sinar radioaktif (Munir, 2007)Pengumpulan data yang
dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa karsinoma
laring jarang ditemukan pada orang yang tidak merokok, sedangkan risiko

14
untuk mendapatkan karsinoma laring naik, sesuai dengan kenaikan
jumlah rokok yang dihisap (Munir,2007).
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala awal dari karsinoma laring biasanya suara serak,
stridor, nyeri tenggorokan, batuk persisten, atau terdapat suatu massa di
leher. Semua gejala tersebut tergantung dari lokasi anatomi laring bagian
mana yang terkena. Biasanya tumor glotis didiagnosis pada tahap awal
karena sering terjadi perubahan suara. Namun tumor supraglotis dan
subglotis sering terlambat didiagnosis sehingga pasien didiagnosis
dengan gejala lanjut (Salvador-Coloma & Cohen, 2016).
Pasien tumor ganas laring datang dengan berbagai keluhan seperti
disfonia, obstruksi jalan napas, disfagia, odinofagi dan hemoptisis.
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan
sinus piriformis.Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada
tumor ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagi)

menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra


laring (Munir,2007).
Gambar 5.CT Scan Koronal Laring pada kasus Kanker Laring

15
Gambar 6.Foto Pasien Kanker Laring setelah dipasangkan canul
trakeostomi (Ta’uro 2019)
Penatalaksanaan
Pengobatan pada pasien karsinoma laring dapat diobati
berdasarkan stadium. Biasanya pengobatan dilakukan dengan cara
radioterapi, operasi dan kemoterapi. Dimana operasi disini dibagi menjadi
3 tipe yaitu reseksi endoskopi, laringektomi parsial, dan laringektomi total
(Med dkk., 2014). Kemudian untuk pasien yang didiagnosis dini biasanya
mempunyai progonosis yang baik terutama untuk karsinoma laring bagian
glotis. Dan secara keseluruhan pasien karsinoma laring bertahan hidup
60% lebih lama (Williamson dkk., 2012)

Staging Karsinoma Laring


Definisi Tumor Primer (T)
Supraglotis
Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada salah satu sisi supraglotis dengan
mobilitas korda vokalis yang masih normal
T2 Tumor menginvasi mukosa lebih dari satu sisi supraglotis
atau glottis atau region di luar supraglotis (misal mukosa
dari dasar lidah, valekula, dinding medial sinus piriformis)
tanpa fiksasi laring
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau terdapat salah satu hal berikut : area posterikoid,
rongga preepiglotis, rongga paraglotis, dan/atau korteks

16
sebelah dalam dari kartilago tiroid
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang yang menginvasi
melalui korteks terluar dari kartilago tiroid dan/atau invasi
jaringan di luar laring (misal trakea, jaringan lunak leher
termasuk otot ekstrinsik profunda lidah, otot pengikat,
tiroid, atau esofagus
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum

Glotis
Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada korda vokalis (dapat melibatkan
komisura anterior atau posterior) dengan mobilitas yang
masih normal
T1a Tumor terbatas pada satu sisi korda vokalis
T1b Tumor melibatkan kedua sisi korda vokalis
T2 Tumor ekstensi ke supraglotis dan/atau subglotis, dan/atau
disertai gangguan mobilitas korda vokalis
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau invasi ke rongga paraglotis dan/atau korteks
bagian dalam dari kartilago tiroid
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi melalui korteks terluar dari kartilago
tiroid dan/atau invasi jaringan di luar laring (misal trakea,
jaringan lunak leher termasuk otot ekstrinsik profunda
lidah, otot pengikat, tiroid, atau esofagus
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum

Subglotis
Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada subglotis
T2 Tumor ekstensi ke korda vokalis dengan mobilitas yang
masih normal atau sudah terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
dan/atau invasi ke rongga paraglotis dan/atau korteks
bagian dalam dari kartilago tiroid

17
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi melalui krikoid atau kartilago tiroid
dan/atau invasi jaringan di luar laring (misal trakea,
jaringan lunak leher termasuk otot ekstrinsik profunda
lidah, otot pengikat, tiroid, atau esophagus)
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi rongga prevertebralis, pembungkus
karotis interna, atau invasi ke struktur mediastinum

Definisi Nodus Limfatikus Regional (N)


N Klinis (clinical N, cN)
Kategori N Kriteria N
NX Nodus limfatikus regional tidak dapat diperiksa
N0 Tidak ada metastasis ke nodus limfatikus regional
N1 Metastasis nodus limfatikus ipsilateral tunggal, 3 cm atau
lebih kecil pada dimensi terbesar dan ENE (-)
N2 Metastasis nodus limfatikus ipsilateral tunggal, lebih besar
dari 3 cm tetapi tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi
terbesar dan ENE (-);
atau metastasis pada nodus limfatikus ipsilateral multipel,
tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan
ENE (-);
atau metastasis nodus limfatikus bilateral atau
kontralateral, tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi
terbesar, dan ENE (-)
N2a Metastasis pada nodus ipsilateral tunggal, tidak lebih besar
dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N2b Metastasis pada nodus ipsilateral multipel, tidak lebih
besar dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N2c Metastasis pada nodus bilateral atau kontralateral, tidak
lebih besar dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N3 Metastasis pada nodus limfatikus, lebih besar dari 6 cm
pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N3a Metastasis pada nodus limfatikus, lebih besar dari 6 cm
pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N3b Metastasis pada nodus limfatikus dengan klinis
menunjukkan ENE (+)
Catatan : Penandan “U” atau “L” dapat digunakan untuk kategori N
apapun untuk menunjukkan metastasis di atas batas bawah dari krikoid
(U) atau di bawah batas bawah dari krikoid (L)
Hal serupa, ENE secara klinis dan patologis harus tercatat sebagai ENE
(-) atau ENE (+)

18
N Patologis (pathological N, pN)
Kategori N Kriteria N
NX Nodus limfatikus regional tidak dapat diperiksa
N0 Tidak ada metastasis ke nodus limfatikus regional
N1 Metastasis nodus limfatikus ipsilateral tunggal, 3 cm atau
lebih kecil pada dimensi terbesar dan ENE (-)
N2 Metastasis nodus limfatikus ipsilateral tunggal, 3 cm atau
lebih kecil pada dimensi terbesar dan ENE (+);
atau metastasis pada nodus limfatikus ipsilateral tunggal,
lebih besar dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm pada
dimensi terbesar, dan ENE (-);
atau metastasis pada nodus limfatikus ipsilateral multipel,
tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi terbesar dan
ENE (-);
atau metastasis nodus limfatikus bilateral atau
kontralateral, tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi
terbesar, dan ENE (-)
N2a Metastasis pada nodus ipsilateral atau kontraleteral
tunggal, lebih kecil dari 3 cm pada dimensi terbesar, dan
ENE (+);
atau metastasis pada nodus ipsilateral tunggal, tidak lebih
besar dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N2b Metastasis pada nodus ipsilateral multipel, tidak lebih
besar dari 6 cm pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N2c Metastasis pada nodus limfatikus bilateral atau
kontralateral, tidak lebih besar dari 6 cm pada dimensi
terbesar, dan ENE (-)
N3 Metastasis pada nodus limfatikus, lebih besar dari 6 cm
pada dimensi terbesar, dan ENE (-);
atau metastasis pada nodus ipsilateral tunggal, lebih besar
dari 3 cm pada dimensi terbesar dan ENE (+);
atau metastasis pada nodus limfatikus ipsilateral multipel,
kontralateral, atau bilateral dan salah satunya terdapat
ENE (+)
N3a Metastasis pada nodus limfatikus, lebih besar dari 6 cm
pada dimensi terbesar, dan ENE (-)
N3b Metastasis pada nodus ipsilateral tunggal, lebih besar dari
3 cm pada dimensi terbesar dan ENE (+);
atau metastasis pada nodus limfatikus ipsilateral multipel,
kontralateral, atau bilateral dan salah satunya bterdapat
ENE (+)
Catatan : Penandan “U” atau “L” dapat digunakan untuk kategori N
apapun untuk menunjukkan metastasis di atas batas bawah dari krikoid
(U) atau di bawah batas bawah dari krikoid (L)

19
Hal serupa, ENE secara klinis dan patologis harus tercatat sebagai ENE
(-) atau ENE (+)
Definisi Metastasis Jauh (M)
Kategori M Kriteria M
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

KELOMPOK GRADING PORGNOSTIK AJCC


Ketika T… Dan N… Dan M… Sehingga
kelompok
gradingnya ….
Tis N0 M0 0
T1 N0 M0 I
T2 N0 M0 II
T3 N0 M0 III
T1, T2, T3 N1 M0 III
T4a N0,N1 M0 IVA
T1,T2,T3,T4a N2 M0 IVA
Semua T N3 M0 IVB
T4b Semua N M0 IVB
Semua T Semua N M1 IVC

b. Kanker Lidah
Anatomi Lidah
Lidah merupakan organ muskuler yang terletak di atas dasar mulut.
Lidah dibagi menjadi 2 bagian oleh sulkus terminalis yaitu dua pertiga
anterior lidah yang merupakan bagian dari rongga mulut dan sepertiga
posterior lidah yang merupakan bagian dari orofaring (Netter, 2006).

20
Gambar 7 Anatomi Lidah (Netter, 2006).

Gambar 8 Vaskularisasi Lidah (Grant’s Atlas, 2009), Persarafan


Lidah (Netter, 2006).
Epidemiologi
Karsinoma lidah merupakan keganasan yang paling sering
ditemukan diantara keganasan rongga mulut. Menurut data dari RS
Kanker Universitas Kedokteran Zhongshan, karsinoma lidah menempati
39,95% dari keganasan rongga mulut atau 0,94% dari keganasan seluruh
tubuh. Laporan dari luar negeri menyebutkan pada umumnya karsinoma
lidah menempati 2,3 - 5% dari keganasan seluruh tubuh. Insiden

21
karsinoma lidah di India mencapai 14%. Perbandingan antara laki-laki dan
wanita adalah 1,2-1,8 : 1. Lebih sering ditemukan pada usia lanjut
daripada usia muda (Zhuming et al, 2008).
Etiologi
Penggunaan tembakau dalam waktu lama merupakan faktor utama
yang penting dan berhubungan erat dengan timbulnya karsinoma lidah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir 90% penderita
karsinoma lidah mempunyai riwayat penggunan tembakau dan meningkat
dengan kebiasaan merokok. Insiden karsinoma lidah pada penderita yang
merokok diperkirakan 6 kali lebih sering terjadi dibandingkan pada
penderita yang tidak merokok (Gosselin, 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara konsumsi
alkohol yang tinggi terhadap terjadinya karsinoma sel skuamosa lidah.
Minuman alcohol mengandung bahan karsinogen seperti etanol,
nitrosamin, urethane contaminant. Alkohol merupakan zat pelarut yang
dapat meningkatkan permeabilitas sel terhadap bahan karsinogen dari
tembakau. Alkohol merupakan salah satu faktor yang memudahkan
terjadinya leukoplakia karena penggunaan alkohol dapat menimbulkan
iritasi pada mukosa (Ganly et al, 2009).
Manifestasi Klinis
Gejala klinis karsinoma lidah adalah bercak atau benjolan pada
lidah, kadang-kadang disertai nyeri, disfagi, odinofagi, disartria, nyeri yang
menjalar ke telinga ipsilateral, kadang-kadang trismus serta benjolan di
leher. Pada pemeriksaanfisik lidah didapatkan leukoplakia atau
eritroplakia yang harus dicurigai bila tidak sembuh dengan pengobatan
biasa. Kelainan lain adalah penebalan atau bentuk ulkus yang merupakan
kelainan yang paling sering ditemukan serta pembesaran kelenjar getah
bening pada level I, II, III dan IV. Pemeriksaan palpasi bimanual tumor
primer sangat penting untuk menentukan besar tumor dan diagnosis pasti
berdasarkan pemeriksaan histopatologi.

22
Gambar 9 Bentuk Ulkus Karsinoma Lidah (Dhingra, 2007).

Gambar 10 Gambaran tumor lidah pada CT scan. Pada tomograf


potongan aksial (a) massa tumor tampak hiperdens mengisi rongga mulut
bagian belakang. Pada potongan sagital (b) dan potongan koronal (c),
masa tumor tampak melekat pada pangkal lidah, bentuk tidak teratur,
dengan ukuran cukup besar (Sumber: RS UGM).

Penatalaksanaan
Tindakan pembedahan karsinoma lidah pada bagian anterior lidah
dilakukan dengan pendekatantransoral berupa eksisi luas, hemiglosektomi
atau glosektomi subtotal. Eksisi luas merupakan teknikpengambilan
jaringan lidah kurang dari separuh lidah. Hemiglosektomi adalah
pengambilan separuh jaringan lidah. Glosektomi subtotal adalah
pengambilan jaringan lidah lebih dari separuh tetapi tidak sampai seluruh
lidah terambil (Ganly et al, 2009).

23
Karsinoma lidah dapat dilakukan dengan terapi radiasi eksternal
maupun radiasi internal. Sebelum radioterapi harus diperhatikan higiene
rongga mulut yang baik dengan membersihkan atau mencabut gigi yang
karies, mencegah dan mengeliminasi sumber infeksi dari dental.Pada
tumor primer T1 dengan lokasi dimana saja pada lidah dapat dilakukan
radioterapi dengan menggunakan brakiterapi implant jarum Ir-192. Pada
tumor primer T2 dan T3 yang eksofitik atau dengan infiltrasi minimal
diberikan radioterapi eksternal menggunakan radiasi sinar X, Co-60
dengan dosis 40-60 Gy selama 4-6 minggu selanjutnya diberikan radiasi
internal implan interstisial. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan
tindakan pembedahan diberikan radiasi ekternal paliatif dengan dosis total
70 Gy/7 minggu. Dosis yang diterima medula spinal dibatasi kurang dari
40 Gy untuk mencegah mielitis radiasi (Zhuming et al, 2008).
Kemoterapi digunakan pada karsinoma stadium lanjut dan sebagai
terapi paliatif pada tumor rekuren untuk mengurangi rasa nyeri. Regimen
yang digunakan adalah cisplatin dan 5-fluorouracil (Zhuming et al, 2008).
Staging Karsinoma Lidah
Stadium Kanker
Tumor primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak tampak tumor
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor berukuran < 2 cm
T2 Tumor berukuran > 2 cm tetapi < 4
cm
T3 Tumor berukuran > 4 cm
T4 (Bibir) Tumor melibatkan tulang kortikal,
nervus alveolar inferior, dasar
rongga mulut, kulit muka (seperti
dagu dan hidung)
T4a (rongga mulut) Tumor menginvasi struktur yang
berdekatan (tulang kortikal,
muskulus entrinsik lidah, sinus
maksila, dan kulit muka)
T4b Tumor menginvasi masticator
space,pterygoid plates, atau skull
base

24
Pembesaran Limfonodi regional (N)
NX Limfonodi regional tidak dapat
dinilai
N0 Tidak ada metastasis limfonodi
regional
N1 Metastasis ipsilateral tunggal, < 3
cm
N2a Metastasis ipsilateral tunggal
berukuran > 3 cm, tetapi < 6 cm
N2b Metastasis ipsilateral multiple
berukuran < 6 cm
N2c Metastasis bilateral atau
kontralateral < 6 cm
N3 Metastasis limfonodi regional
berukuran > 6 cm
Metastasis Jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Pengelompokan Stadium Karsinoma Lidah (TNM) (Sano, 2007)

c. Kanker Kelenjar Parotis


Anatomi
Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva berpasangan terbesar yang
terletak diantara preaurikular dan di belakang ramus mandibula (Whelton,
2012). Kelenjar parotis rata-rata memiliki panjang 6 cm dan lebar 3,3 cm,
atau sama dengan volume 2,5 kali kelenjar submandibularis atau 8 kali
kelenjar sublingualis (Ekstrom, 2012). Kelenjar ini terdiri dari serus acini
dan diselubungi oleh kapsul fibrosa. Bentuk dari kelenjar parotis
bervariasi, tetapi yang paling sering terdapat adalah bentuk triangular
dengan apeks menghadap inferior (Carlson dan Ord, 2008). Duktus
parotis atau biasa disebut duktus Stensen menyekresikan saliva serus ke
vestibulum di dalam rongga mulut. Kelenjar parotis diinervasi oleh N.
Fascialis (VII) (Holsinger dan Bui, 2007).

25
Gambar 11 Anatomi Kelenjar Saliva
Epidemiologi
Tumor parotis maupun kanker rongga mulut (KRM) merupakan tumor
di daerah kepala-leher yang termasuk jarang diketemukan. Diantara tumor
kelenjar liur yang terbanyak adalah tumor parotis (75-85%), sedangkan
KRM yang terbanyak adalah kanker lidah (25-45%). Kebanyakan
penderita, terutama KRM datang berobat sudah dalam keadaan lanjut
sehingga ada kesukaran dalam hal penanganannya, khususnya dalam
segi pembedahannya (Vermey, 1988; Pedersen, 1992).
Etiologi
Sampai saat ini informasi tentang etiologi tumor masih sangat
terbatas. Beberapa faktor yang dicurigai antara lain paparan radiasi,
genetik, pemakai tembakau, paparan kimia, dan virus. Tumor ini tumbuh
lambat, berupa massa yang terus membesar pada daerah parotis dengan
gejala penekanan yang minimal ke jaringan sekitarnya (Kertanadi, 2014).
Manifestasi Klinis

26
Gambar 12 Pasien Tumor Parotis (Budiman, 2011)
Gambar 13 CT Scan Kanker Kelenjar Parotis (Budiman, 2011)

Tumor parotis tergolong tumor yang "unik" karena banyaknya


variasi sehingga seringkali ada ketidak sesuaian antara jenis histopatologi
dengan sifat / gambaran kliniknya. Biasanya tumor terdapat pada lobus
superfisial (90%), Tumor bentuk bulat di lobus profunda dapat ekstensi ke
posterior melalui celah diantara mandibula dengan ligamen

stilomandibular sehingga tampak benjolan di parafaring, disebut Dumbbell


tumor (Eisele dan Johns, 1993).
Manifestasi klinis tumor kelenjar liur antara lain (Lester, 2010) :
1. Benjolan soliter, tidak nyeri, di pre, infra, atau retro aurikula (tumor
parotis), atau di submandibula (tumor sumandibula), atau intraoral
(tumor kelenjar liur minor),

27
2. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri sedang sampai hebat terutama
pada keganasan parotis atau submandibula,
3. Parase nervus fasialis 2-3% pada keganasan parotis,
4. Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran bila lobus
profundus parotis terlibat
5. Parese nervus glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus,
pleksus simpatikus pada karsinoma parotis lanjut
Penatalaksanaan
Standar pengobatan adalah eksisi komplit tumor melalui total atau
superfisial parotidektomi. Bagian bedah FKUI/RSCM menemukan
komplikasi kelumpuhan nervus fasialis sebanyak 18% dari operasi pada
tumor jinak dan 25% dari operasi tumor ganas. Kelumpuhan saraf fasialis
setelah operasi parotidektomi dapat bersifat sementara yaitu sekitar 9,3%
sampai 64,6% yang dapat sembuh sendiri dalam waktu 6 bulan,
sedangkan kelumpuhan menetap ditemukan sekitar 8% kasus. Frey’s
syndrome setelah parotidektomi terjadi karena reinervasi silang jalur
otonom ke kelenjar parotis sehingga serabut parasimpatis yang
dirangsang oleh penciuman dan pengecapan, mempersarafi kelenjar
keringat dan pembuluh darah. Akibatnya timbul keringat dan kemerahan di
sekitar kulit pada regio parotis saat mengunyah. Pada penderita ini telah
dilakukan operasi parotidektomi superfisial tanpa komplikasi kelumpuhan
saraf fasialis maupun Frey’s syndrome. Telah dilakukan follow up
penderita selama 4 tahun dan belum dilaporkan adanya kekambuhan,
mengingat angka kekambuhan setelah 5 tahun sekitar 3,4% dan setelah
10 tahun sekitar 6,8% (Ragona et al, 2005).

d. Kanker Rongga Mulut


Anatomi
Rongga mulut terdiri dari lidah bagian oral (dua pertiga bagian
anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras), dasar dari mulut,
trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva.

28
Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi
rongga mulut. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi
dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit.
Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membrane mukosa,
yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot
businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di
antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi
berakhir pada bagian bibir.

Gambar 14 Anatomi Rongga Mulut (American Cancer Society, 2016).


Epidemiologi
Kanker rongga mulut merupakan suatu masalah yang serius di
berbagai negara dan bila digabung antara kanker rongga mulut dan
tenggorokan merupakan urutan ke-enam terbanyak dari seluruh kanker
yang dilaporkan di dunia (Saman, 2009). Diperkirakan insiden setiap
tahunnya sekitar 275.000 untuk kanker rongga mulut dan 130.300 untuk
kanker tenggorokan dan hampir 75% terjadi di negara sedang
berkembang (Ferlay, 2002).
Etiologi
Penyebab kanker rongga mulut sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti, hal ini disebabkan karena penyebab terjadinya kanker
adalah multi faktorial dan kompleks (Cawson, 2000). Namun ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker rongga mulut yaitu
faktor lokal meliputi kebersihan rongga mulut yang jelek, iritasi kronis dari

29
restorasi, karies gigi, faktor luar antara lain merokok, peminum alkohol,
menyirih, virus, faktor host meliputi usia, jenis kelamin, nutrisi imunologik
dan genetik. Risiko terjadinya kanker ini akan lebih meningkat apabila
digabung antara faktor-faktor predisposisi tersebut, misalnya merokok
dengan minum alcohol (Cawson, 2000), menyirih dengan tembakau
(Khandekar, 2006).
Manifestasi Klinis
Gambar 15 Leukoplakia Lesi Pra-Kanker Rongga Mulut (Laskaris, 2006).
Diagnosis kanker rongga mulut ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis bisa
didapatkan keluhan pembengkakan atau ulkus yang teraba, rasa nyeri
pada lesi, warna putih dan/atau merah pada lidah, rasa nyeri menyebar ke
leher atau telinga, pembengkakan di leher, dan sulit atau nyeri saat
menelan (Medawati, 2013).
Penatalaksanaan
Modalitas terapi dapat sebagai monoterapi ataupun kombinasi
tergantung stadium dan lokasi tumor. Secara umum, pembedahan
merupakan modalitas utama dan dapat diikuti baik dengan radiasi
maupun kombinasi radiasi dan kemoterapi. Kanker orofaring biasanya
menggunakan modalitas terapi kemoterapi dan radiasi (Taufiqurraman,
2014).
Staging

30
e. Kanker Sinonasal

31
Anatomi
Gambar 16. Gambaran rongga hidung dan sinus paranasal pada
potongan sagital (Rangkuti, 2013)

Salah satu organ tubuh pada manusia yang bentuknya bervariasi


pada setiap individu adalah sinus paranasal. Terdapat empat pasang
sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga membentuk rongga di dalam tulang. Setiap
sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2017).
Epidemiologi
Tumor ganas atau kanker sinonasal menjadi penyebab kesakitan
dan kematian di bidang otorinolaringologi seluruh dunia.(Salim,2011)
Kanker sinonasal adalah penyakit kedua yang sering terjadi setelah
kanker nasofaring. (Munir, 2007). Sinus maksila adalah yang paling sering
terkena (65%-80%). (Roezin, 2007)
Etiologi
Riwayat sinusitis kronis, polip hidung, penggunaan sediaan obat
hidung, merokok, Riwayat pekerjaan kayu, kulit dan pemurnian nikel
dilaporkan sebagai faktor- faktor untuk perkembangan tumor tersebut.
Sebuah hubungan yang kuat antara kanker sinonasal dengan paparan
debu kayu, debu kulit, dan senyawa nikel telah ada hubungannya sejak

32
lama dan baru-baru ini dikonfirmasi. Faktor penyebab atau diduga yang
lain juga baru dikonfirmasi termasuk hexavalent chromium 2, asap las,
arsenik, minyak mineral, pelarut organik, dan debu tekstil oleh
International Journal of Otalaryngology Compounds. (Mensi,2013)
Efeknya hadir setelah 40 tahun atau lebih sejak paparan pertama dan
berlanjut setelah penghentian dari paparan tersebut. (Barnes, 2005)
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari asal primer tumor serta arah dan
perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala.
Gejala timbul setelah tumor membesar, mendorong atau hingga
menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung, rongga mulut,
pipi atau orbita. Biasanya pasien akan datang dengan kondisi tumor
sudah dalam fase lanjut. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosis
terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis
kronis sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter. (Roezin, 2007)

Gambar 17 Foto Pasien Tumor Sinonasal (Sienna, 2017))

33
Sebuah kasus dilaporkan oleh Sienna et al (2017) dengan
presentasi klinis sebagai berikut. Seorang pasien laki-laki berusia 80
tahun didiagnosis dengan Sinonasal undifferentiated carcinoma / SNUC
(T4N2M0). Pada kasus ini pasien mengalami disfagia.

Gambar 18 Foto MRI Pasien Tumor Sinonasal dengan keluhan disfagia


(Sienna, 2017).
Penatalaksanaan
Sampai saat ini, pembedahan atau lebih sering bersama dengan
modalitas terapi lainnya seperti radiasi dan kemoterapi masih menjadi
pilihan utama pengobatan tumor sinonasal. Pada tumor yang jinak
dilakukan ekstiparsi tumor sebersih mungkin dengan cara pendekatan
rinotomi lateral atau degloving (peningkapan), sedangkan pada tumor
ganas, tindakan operasi harus dilakukan seradikal mungkin. Meskipun
angka morbiditas akibat pembedahan tinggi, pembedahan masih tetap
diindikasikan (Roezin dan Armiyanto, 2017).

34
Tambahan untuk kemoterapi bersamaan dengan post-operative
radiotherapy harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki risiko
tinggi seperti pada gambaran tumor dengan perluasan extracapsular dan
margin positif. Radioterapi juga harus diberikan setelah pembedahan
resectable T3/T4 dan node-positive. Radioterapi definitif dan kemoterapi
adalah pilihan pengobatan ketika pasien tidak ingin menjalankan
pembedahan atau jika tumor tidak dapat dilakukan reseksi atau recurrent
(Elliot et al., 2018). Respon dari tumor sinonasal tract terhadap terapi
radiasi dapat berbeda-beda tergantung dari jenis tumornya. Terapi radiasi
bisa menjadi modalitas tunggal, sebagai kombinasi dengan kemoterapi,
membantu terapi setelah operasi maupun dalam faliatif terapi (Day, 2013).
Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat
dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi
lebih dapat diperkirakan. (Salim, 2011)
Kemoterapi (dengan carboplatin, cisplatin, 5-fluorouracil, docetaxel
[Taxotere], paclitaxel [Taxol], bleomycin, cyclophosphamide [Cytoxan],
vinblastin, dan metotreksat) dapat digunakan bersamaan dengan
pembedahan dan/ atau radiasi untuk stadium yang lebih lanjut, tidak
menyebar, sedangkan kemoterapi sendiri diterapkan pada kasus dengan
penyebaran yang jelas. Efek samping kemoterapi terdiri dari mual dan
muntah, kehilangan nafsu makan,rambut rontok, sariawan, diare, dan
anemia (Liu, 2018).

Staging Kanker Sinonasal


Definisi Tumor Primer (T)
Sinus Maxillaris

Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat diperiksa
Tis Karsinoma in situ

35
T1 Tumor terbatas mukos sinus maksilaris tanpa disertai erosi
atau dekstruksi tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang termasuk
ekstensi pada palatum durum dan/atau meatus nasalis
media, kecuali ekstensi ke dinding posterior sinus maksilaris
dan palatum pterigoideus.
T3 Tumor menginvasi salah satu dari stuktur berikut : tulang
dinding posterior sinus maksilaris, jaringan subkutan, dinding
dasar atau media orbita, fossa pterigoideus, sinus etmoidalis

T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut


T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi isi kavum orbita anterior, kulit pipi,
palatum pterigoideus, fossa intratemporal, palatum
kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontalis
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi salah satu dari stuktur berikut : apeks
orbita, dura, otak, fossa kranialis media, nervus kranialis
selain cabang maksilaris nervus trigeminalis (V2), nasofaring,
atau klivus

Kavum Nasal dan Sinus Etmoidalis


Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat diperiksa
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada salah satu lokasi manapun, dengan
atau tanpa invasi ke tulang
T2 Tumor invasi ke dua lokasi pada region tunggal atau ekstensi
dengan melibatkan region terdekat disertai kompleks
nasoetmoidalis, dengan atau tanpa invasi ke tulang

T3 Tumor ekstensi untuk menginvasi dinding media atau dasar


orbita, sinus maksilaris, palatum, atau palatum kribriformis
T4 Stadium lanjut sedang atau sangat lanjut
T4a Penyakit tumor stadium lanjut sedang
Tumor menginvasi salah satu struktur berikut : isi orbita
anterior, kulit hidung atau pipi, ekstensi minimal ke fossa

36
kranialis anterior, palatum pterigoideus, sinus sfenoidalis atau
frontalis
T4b Penyakit lokal stadium sangat lanjut
Tumor menginvasi salah satu dari stuktur berikut : apeks
orbita, dura, otak, fossa kranialis media, nervus kranialis
selain cabang maksilaris nervus trigeminalis (V2), nasofaring,
atau klivus

f. Karsinoma Orofaring
Anatomi

Gambar 19 Struktur jalan nafas bagian atas (Tortora and Derrickson,


2009)
Orofaring adalah bagian tengah dari faring yang menghubungkan
bagian superior nasofaring ke rongga mulut bagian anterior dan ke
hipofaring bagian inferior. Orofaring meluas melalui garis imajiner pada
bidang horisontal melalui palatum durum melalui tulang hyoid. Seperti
membuka ke dalam rongga mulut, dibatasi oleh papila sirkumvalata, pilar
tonsil anterior, dan pertemuan antara palatum durum dan palatum mole.
Batas posterior orofaring adalah dinding faring posterior, yang terletak
pada bagian anterior fasia prevertebral. Batas lateral yang meliputi fossae
tonsil dan pilar, dan dinding faring lateral. Batas superior berdekatan
dengan batas inferior dari nasofaring. Secara klinis, orofaring dibagi

37
menjadi empat subsitus: dasar lidah, palatum mole, fossa tonsil palatine
dan pilar, dan dinding faring (Saputri, 2015).
Epidemiologi
Kanker orofaring relatif jarang terjadi, terhitung kurang dari 1% dari
semua kanker yang baru (Pou, 2014). Data kanker yang diperoleh dari
rongga mulut dengan orafaring. Diperkirakan lebih dari 39.000 kasus
kanker rongga mulut dan faring didiagnosis di Amerika Serikat pada tahun
2010 (Siegel, 2011).
Sekitar sepertiga dari jumlah tersebut diperkirakan berasal dari
orofaring. Angka kejadian yang tinggi terjadi antara dekade keenam dan
ketujuh kehidupan. Namun demikian, pada dekade kelima dan keempat
kehidupan tidak ditemukan kasus. Penyakit ini banyak terjadi pada laki-
laki, namun berdasarkan data terbaru menunjukkan peningkatan kejadian
pada wanita.
Etiologi
Etiologi yang paling penting adalah paparan tembakau dan alkohol.
Namun, sebagian besar kasus yang terlihat saat ini terkait dengan infeksi
HPV (Olatwvedi, 2008). Lebih dari 90 % dari kanker orofaring adalah
karsinoma sel skuamosa (SCC). Pertumbuhan dari sel datar bersisik yang
melapisi rongga mulut dan orofaring. Kanker ini seringnya dilakukan
pembedahan dengan radiasi sebagai terapi lanjutan dan kemoterapi.
Karsinoma sel skuamosa berkembang sangat cepat dan sangat
berbahaya (Pou, 2014).
Metastasis limfatik dapat terjadi pada umumnya karena orofaring kaya
akan limfatik dan perkembangan dari tumor itu sendiri. Tumor orofaring
mungkin asimtomatik. Gejala sakit tenggorokan, otalgia, dan disfagia
biasanya disalahartikan atau diabaikan. Pada beberapa pasien,
metastasis yang paling sering ditemui adalah metastasis servikalis
(Saputri,2015).
Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dari kanker orofaring adalah:

38
- rasa sakit pembengkakan atau benjolan di leher bagian atas
- sakit tenggorokan yang tidak kunjung sembuh
- kesulitan menelan
- sakit telinga unilateral yang tidak kunjung sembuh
- kesulitan membuka mulut dan rahang (dikenal sebagai trismus)
- perubahan suara
- penurunan berat badan (Saputri, 2015).
Penatalaksanaan
Pengobatan kanker oropharyngeal yang kompleks dan membutuhkan
pendekatan multidisiplin, memberikan kesempatan bagi pasien untuk
rencana perawatan terbaik yang komprehensif. Tim ini termasuk bedah
kepala dan leher, ahli bedah rekonstruksi, ahli radiasi onkologi, ahli
onkologi medis, onkologi gigi, prosthodontist, dan ahli bicara dan patologi
bahasa. Dokter bedah harus mempertimbangkan berbagai faktor ketika
memutuskan jenis pengobatan untuk masing-masing pasien. Ini termasuk
jenis perawatan yang dibutuhkan untuk tumor primer dan leher, modalitas
paling cocok untuk preservasi fungsional atau restorasi, kondisi medis
umum pasien, dan, yang paling penting, keinginan pasien. Ketersediaan
fasilitas, keahlian, dan dukungan sosial juga memainkan peran. Semua
pasien harus diberi konseling dan dibantu untuk berhenti merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Sementara hubungan infeksi HPV dengan tumor
ini umumnya diterima, sedikit yang diketahui tentang potensi penularan
(Saputri, 2015).

Staging
Klasifikasi TNM karsinoma orofaring (Saputri, 2015).
TX - Karsinoma in situ.
T1 - tumor ≤ 2 cm dalam dimensi terbesar.
T2 – tumor 2 cm sampai 4 cm dalam dimensi terbesar.
T3 - tumor> 4 cm dalam dimensi terbesar
T4a - Tumor menginvasi laring, otot dalam/ekstrinsik lidah, pterygoideus

39
medial, palatum durum.
T4b -Tumor menginvasi otot pterygoideus lateral, lempeng
pterygoideus, nasofaring lateral, atau dasar
tengkorak, atau melukai arteri karotis.

N0 - Metastasis getah bening regional tidak ada.


N1 - Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral, ≤ 3 cm dalam
dimensiterbesar.
N2 - Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral,> 3 cm tapi ≤ 6
cm dalam dimensi terbesar,
atau metastasis di beberapa kelenjar getah bening ipsilateral,≤ 6 cm
dalam dimensi terbesar, atau pada kelenjar getah bening bilateral atau
kontralateral, ≤ 6 cm dalam dimensi terbesar.
N2a - Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral> 3 cm tapi ≤ 6
cm dalam dimensi terbesar.
N2b - Metastasis dalam beberapa kelenjar getah bening ipsilateral, ≤ 6
cm dalam dimensi terbesar.
N2c - Metastasis bilateral atau kontralateral, ≤ 6 cmdalam dimensi
terbesar.
N3 - Metastasis dalam kelenjar getah bening> 6 cm dalam dimensi
terbesar.

M - metastatis jauh
MX - metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - tidak ada metastasis jauh
M1- terdapat metastasis jauh

40
g. Kanker Nasofaring
Anatomi

Gambar 20 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping (Maulana,


2010).
Nasofaring merupakan celah sempit berbentuk tabung yang
terletak di bagian bawah dasar tengkorak pada bagianfossa nasalis
posterior. Bagian anteriornya berbatasan dengan nares posterior, dimana
terletak di bagian ujung posterior konka media dan inferior. Bagian
atapnya cenderung membentuk permukaan yang konkaf dan dibentuk
oleh bagian posterior tulang sphenoid, komponen basilar tulang occipital
dan cabang anterior dari atlas. Otot konstriktor faringeal superior dan fasia
terletak di dinding posterior. Atap nasofaring terdiri dari palatum yang
lunak. Dinding lateral terdiri dari struktur yang penting seperti tuba
faringotimpanikum, yang terletak 10-12 mm di belakang dan sedikit ke
arah bawah bagian posterior konka inferior. (Ondrey et al, 2003)
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa
yang berasal dari epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai
area di nasofaring namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa
Rosenmuller, yang merupakan daerah transisional, di mana epitel

41
kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa. Kasus KNF pertama kali
dilaporkan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921 (Probst, 2006).

Epidemiologi
Di Indonesia angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah.
Prevalensi KNF di Indonesia mencapai 4,7 per 100.000 penduduk
pertahun dengan prevalensi tertinggi pada dekade 4-5 dengan rasio
antara laki-laki dan perempuan yaitu 2-3:1 (Murtiono, 2013). Di RSCM
Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus baru dalam setahun dan di RS
Hasan Sadikin Bandung ditemukan sekitar 60 kasus baru per tahunnya
(Wahyono, 2010).
Etiologi
Penyebab KNF masih belum diketahui secara pasti. Studi epidemiologi
menduga karsinoma nasofaring terkait dengan faktor lingkungan dan
kerentanan genetik serta infeksi, namun hal ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Di daerah endemik, KNF merupakan penyakit yang
komplek yang disebabkan oleh interaksi faktor onkogenik akibat infeksi
kronis virus EBV, faktor lingkungan dan faktor genetik (Zeng,2016).
Manifestasi Klinis

42
Adanya keluhan berupa nyeri pada kepala dan keluhan lain yang
berhubungan dengan keterlibatan saraf intrakranial merupakan tanda

bahwa KNF telah mencapai stadium lanjut. Keterlibatan saraf kranialis


yang paling sering adalah saraf V dan VI dimana akan menimbulkan
keluhan berupa baal pada wajah dan diplopia. Pada KNF stadium lanjut
dapat muncul keterlibatan saraf kranialis IX, X, XI dan XII. Dapat pula
ditemukan adanya keluhan berupa trismus yang terjadi akibat infiltrasi
pada otot pterygoid. Gejala lainnya yaitu disfagia dan proptosis
(Faisal,2014).
Gambar 21. Pasien Kanker Nasofaring (Dwi Sari, 2014)

Gambar 22 CT Scan Kanker Nasofaring (Dwi Sari, 2014)


Penatalaksanaan

43
Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF oleh karena sangat
radiosensitif.KNF stadium I-II dapat diterapi dengan menggunakan
radioterapi saja, sedangkan stadium III-IV dapat diberikan kemoterapi dan
radioterapi. Untuk radioterapi, sebagian besar pasien menjalani fraksi
radioterapi konvensional dengan energi tinggi 6-8 MV X-ray dengan
percepatan linear. Terdapat empat teknologi radioterapi yang dapat
digunakan yaitu, (1).Radioterapi konvensional dua dimensi (2D-RT),
(2).CT simulation treatment planning radiotherapy, (3). Radioterapi
konformal tiga
dimensi (3D-CRT) dan (4).Intensity-modulated radiotherapy (IMRT).
Akumulasi dosis yang digunakan untuk tumor primer yang besar termasuk
pembesaran kelenjar getah bening di leher adalah sebesar 66-70 Gy dan
daerah sekitar yang benjolan sebesar 50-60 Gy.
Kemoterapi diberikan pada pasien KNF stadium III-IV dan biasanya
dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan melalui
beberapa cara yaitu neoadjuvant, adjuvant dan concomitant kemoterapi.
Kemoterapi neoadjuvant diberikan sebelum tindakan definitif dan diberikan
pada kanker stadium lanjut dengan maksud mengecilkan volume kanker
dan mengurangi mikrometastasis. Kemoterapi neoadjuvant ini biasanya
menggunakan cisplatin atau karboplatin ditambahkan docetaxel. Adjuvant
chemotherapy diberikan pada pasien KNF oleh karena ukuran tumor yang
terlampau besar atau respon terhadap radioterapi sangat rendah.
Kemoradiasi yang diikuti adjuvant kemotrapi dapat digunakan cisplatin +
radioterapi diikuti cisplatin/5-FU atau karboplatin/5-FU. Pasien KNF
dengan ukuran tumor yang sangat besar dapat diberikan pula
concomitnant chemotherapy dengan cisplatin tiap minggu (40 mg/m2 )
selama radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan > 64,5 Gy. Pada
KNF non keratin didapatkan komplit respon 70-90% (Xiao, 2013).
Pilihan operasi pada KNF jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh
karena lokasinya yang rumit disertai letaknya yang sangat berdekatan
dengan organ penting sekitarnya hampir tidak memungkinkan untuk tepi

44
sayatan bebas tumor. Tindakan operatif dapat dilakukan teutama pada
kasus yang rekuren lokal atau regional yang masih dapat dieksisi dengan
tepi sayatan bebas kanker. Adapun beberapa pendekatan operasinya
yaitu transnasal, palatal split, transpalatal flap, trascervico-mandibulo-
palatal, infratemporal, maxillary swing. (Xiao, 2013).

Staging Karsinoma Nasofaring

Definisi Tumor Primer (T)

Kategori T Kriteria T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada tumor yang teridentifikasi, tetapi terdapat
keterlibatan nodus (s) servikal yang EBV-positif
T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau ekstensi ke orofaring
dan/atau kavum nasi tanpa keterlibatan parafaringeal
T2 Tumor dengan ekstensi ke rongga parafaring, dan/atau
keterlibatan jaringan lunak terdekat (pterigoid medial,
pterigoid lateral, otot prevertebralis
T3 Tumor dengan infiltrasi pada struktur tulang basis kranii,
vertebra servikalis, strukutr pterigoid, dan/atau sinus
paranasal
T4 Tumor dengan ekstensi ke intracranial, keterlibatan nervus
kranialis, hipofaring, orbita, kelenjar parotis, dan/atau infiltrasi
pada jaringan lunak yang ekstensif sepanjang permukaan
lateral otot pterigoideus

Definisi Kelenjar Getah Bening Regional (N)

Kategori N Kriteria N
NX KGB regional tidak dapat dinilai

45
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis unilateral pada nodus (s) limfatikus servikal
dan/atau unilateral atau bilateral metastasis pada nodus (s)
limfatikus retrofaringeal, 6 cm atau lebih kecil pada dimensi
terbesar, di atas batas kaudal dari kartilago krikoid
N2 Metastasis bilateral pada nodus (s) limfatikus servikal, 6 cm
atau lebih kecil pada dimensi terbesar, di atas batas kaudal
dari kartilago krikoid
N3 Metastasis unilateral atau bilateral pada nodus (s) linfatikus
servikal, lebih besar dari 6 cm pada dimensi terbesar,
dan/atau ekstensi di bawah batas kaudal kartilago krikoid

Definisi Metastasis Jauh (M)


Kategori M Kriteria M
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Untuk KNF dengan stadium I dilakukan radioterapi saja, dan KNF


stadium II,III, IV dilakukan kombinasi radioterapi dan kemoterapi (Lee,
2003). Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit keganasan
dengan menggunakan sinar pengion yang bertujuan untuk mematikan sel-
sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar
tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. KNF bersifat
radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.
Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5000
sampai 7000 cGy (Bailey, 2006)

h. Kanker Kelenjar Tiroid

46
Anatomi

Gambar 23 Anatomi Kelenjar Tiroid (Cambridge, 1999).


Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang terdiri dari dua lobus dan
terdapat di dalam leher yang dihubungkan oleh isthmus yang sempit.
Letak kelenjar ini di sebelah kanan dan kiri trakea. Ujung atas lobus
mencapai kartilago tiroidea. Kelenjar ini lunak, berwarna cokelat dan
ditutupi oleh kapsul. Tiroid terbentuk atas massa kosong yang berbentuk
sferis, disebut folikel. Setiap folikel mempunyai dinding satu sel tebal, dan
mengandung koloid seperti jeli yang merupakan tempat utama konsentrasi
yodium.Kelenjar ini dalam keadaan normal tidak teraba, dan apabila
terjadi pembesaran, akan teraba benjolan pada bagian bawah atau
samping jakun (John Gibson, 2008).
Epidemiologi
Kanker tiroid merupakan penyakit keganasan yang tidak jarang
ditemukan. Sebagian besar pertumbuhan dan perjalanan penyakit lambat,
sehingga morbiditas dan mortalitasnya rendah namun ada yang
pertumbuhannya sangat cepat dengan prognosa yang fatal (Subakti,
2009).
Kanker tiroid merupakan kelenjar tiroid yang berada pada bagian
depan leher sedikit di bawah laring berbentuk kupu-kupu. Terjadi 0,85%
dan 2,5% dari seluruh keganasan kanker tiroid pada laki-laki dan

47
perempuan dengan perbandingan 1:3. Dengan kata lain kanker tiroid lebih
sering terjadi pada perempuan. Umumnya, kanker tiroid paling sering
muncul pada usia 20-50 tahun, namun kanker ini dapat terjadi pada
semua usia (Handayani, 2014).
Manifestasi Klinis
Menurut hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu sebanyak
41 pasien (67,2%) tidak mengeluhkan adanya gejala klinis seperti suara
serak, sesak nafas, sulit menelan, ataupun nyeri. Sedangkan sisaya 20
pasien (32,8%) mengeluhkan adanya gejala klinis seperti di atas saat
terjadinya karsinoma tiroid papiler.Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dikemukakan oleh Baldwin (2016) yang mengatakan bahwa 80% seluruh
kasus keganasan pada tiroid terutama tipe papiler hampir tidak memiliki
gejala (Asimptomatik) namun hanya berupa munculnya benjolan di bagian
leher (Baldwin, 2016).
Hal ini juga diperkuat oleh artikel oleh Wirsma Arif Harahap (2011)
yang menjelaskan bahwa sebagian besar kanker tiroid tidak memiliki
gejala, jika sudah terjadi gejala seperti suara serak, disfagia, dypsnea
disebabkan oleh adanya invasi dari sel kanker pada struktur anatomis di
sekitar kelenjar tiroid.
Data statistik mengenai tingkat kelangsungan hidup yang
diterbitkan pada tahun 2010 pada AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-
7 berdasarkan pada stadium kanker pada saat pertama kali didiagnosis,
disebutkan bahwa kanker tiroid tipe papiler stadium I dan II mempunyai
angka kelangsungan hidup relatif 5 tahun mencapai 100% sedangkan
stadium II mencapai 93% (AJCC, 2010).

B. Radioterapi

Definisi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel

48
tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor
agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Radioterapi adalah jenis
terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-
sel kanker (Fithrony, 2012).

Efek Samping

Efek samping dari radioterapi berasal dari paparan sinar terhadap


epitel, jaringan penyokong, dan reaksi vaskular di sekitar area penyinaran
(Murtiono, 2013). Pada penelitian Jager-Wittenaar, dkk (2010) dari semua
gejala oral, disfagia dan asupan makan secara signifikan terkait dengan
kejadian malnutrisi setelah pengobatan. Setelah 2 minggu radioterapi 18%
mengalami disfagia (grade 3) dan 25% mengalami xerostomia (grade 2)
dan keduanya terkait secara signifikan dengan kejadian malnutrisi.
Disfagia sering terlihat pada pasien yang menjalani terapi radiasi
stadium lanjut lokal karsinoma kepala dan leher. Dalam waktu 4 sampai 5
minggu setelah terapi dimulai, banyak ditemukan keluhan mukositis,
dermatitis radiasi, edema dari jaringan lunak, nyeri, produksi lendir
berlebihan, xerostomia, dan pembengkakan jaringan yang berakibat
terjadinya disfagia akut (Saputro, 2011).
Telah diketahui sejak lama bahwa pengobatan untuk kanker kepala
leher menyebabkan perubahan dari fungsi menelan. Terapi radiasi
kemungkinan juga bisa menimbulkan disfagia. Etiologi disfagia pasca
radiasi adalah multifaktor dan dapat dibagi sebagai efek akut dan efek
lambat. Efek akut timbul segera pada saat atau selama radiasi, sementara
efek lambat timbul dari beberapa bulan sampai tahun setelah radiasi
selesai (Saputro, 2011).
Secara klinis, radiasi menyebabkan mukositis, dermatitis radiasi,
dan edema jaringan lunak, nyeri, penebalan dan produksi mukosa yang
lebih kental, xerostomia, dan pembengkakan jaringan menyebabkan
disfagia akut. Dalam 3 bulan setelah pengobatan, secara klinis sebagian

49
besar efek akut telah teratasi, dan fungsi menelan mulai berangsur angsur
kembali pada sebagian besar pasien. Meskipun demikian, kaskade yang
berkelanjutan dari stimulasi sitokin masih memperpanjang efek samping
radiasi. Jaringan menjadi fibrosis dan kaku dan menyebabkan gangguan
fungsi (Saputro, 2011).
Beberapa faktor resiko telah diidentifikasi untuk mengetahui
kelainan menelan akibat radiasi. Struktur yang masuk dalam lapangan
radiasi dan tehnik radiasi mempengaruhi efek lambat. Eisbruch dkk telah
mengidentifikasi Disfagia/aspiration-related structures (DARSs), yaitu
terjadi kerusakan struktur anatomi karena terapi radiasi yang
menyebabkan disfagia dan aspirasi (Saputro, 2011).
Telah diketahui sejak lama bahwa pengobatan untuk kanker kepala
leher menyebabkan perubahan dari fungsi menelan. Terapi radiasi
kemungkinan juga bisa menimbulkan disfagia. Etiologi disfagia pasca
radiasi adalah multifaktor dan dapat dibagi sebagai efek akut dan efek
lambat. Efek akut timbul segera pada saat atau selama radiasi, sementara
efek lambat timbul dari beberapa bulan sampai tahun setelah radiasi
selesai (Murphy, 2009).
Secara klinis, radiasi menyebabkan mukositis, dermatitis radiasi,
dan edema jaringan lunak, nyeri, penebalan dan produksi mukosa yang
lebih kental, xerostomia, dan pembengkakan jaringan menyebabkan
disfagia akut. Dalam 3 bulan setelah pengobatan, secara klinis sebagian
besar efek akut telah teratasi, dan fungsi menelan mulai berangsur angsur
kembali pada sebagian besar pasien. Meskipun demikian, kaskade yang
berkelanjutan dari stimulasi sitokin masih memperpanjang efek samping
radiasi. Jaringan menjadi fibrosis dan kaku dan menyebabkan gangguan
fungsi. Hal ini memunculkan hipotesis bahwa hipoksia yang masih
berlangsung dan stres oksidatif kronis dapat menyebabkan kerusakan
jaringan permanen setelah rangkaian terapi radiasi selesai. Demikian
menjelaskan mengapa beberapa pasien mengalami disfagia selama
setahun setelah radiasi selesai (Lewin, 2007).

50
Indikasi
Tujuan terapi radiasi adalah memaksimalkan dosis radiasi ke sel
kanker abnormal dan meminimalkan paparan terhadap sel normal yang
berdekatan dengan sel kanker atau yang berada pada jalur radiasi,
meskipun pada kenyataannya radiasi mampu merusak sel kanker maupun
sel normal (Fitriatuzzakiyyah, 2017).
Berdasarkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dari suatu
terapi, terdapat kriteria sebagai berikut (Fitriatuzzakiyyah, 2017). :
· Tingkat 1: Ringan, gejala asimtomatik atau ringan, hanya terjadi
pada pengamatan klinis atau diagnostik, tidak diindikasikan untuk
intervensi;
· Tingkat 2: Sedang, diindikasikan intervensi lokal atau non-invasif;
· Tingkat 3: Parah atau signifikan secara medis namun tidak
mengancam jiwa, diindikasikan rawat inap atau perpanjangan rawat
inap;
· Tingkat 4: Konsekuensi yang mengancam jiwa, diindikasikan untuk
melakukan intervensi mendesak;
· Tingkat 5: Berupa kejadian tidak diinginkan yang terkait dengan
kematian.
Pemberian radiasi dengan dosis terbagi (bukan dosis tunggal) menjadi
beberapa fraksi dalam jangka waktu tertentu, diharapkan diperoleh
penghentian proses keganasan dengan tingkat cedera jaringan sehat
yang masih dapat diterima. Pemilihan skema fraksinasi yang akan
diterapkan dan digunakan tentunya dengan mempertimbangkan beberapa
faktor, seperti: jenis karakteristik sel tumor berdasarkan hasil pemeriksaan
patologi-anatomis, keadaan umum fisik penderita,dan kondisi sosial dari
pasien yang bersangkutan (Evans, 2003).
Konvensional: Pemberian radiasi dilakukan 5 kali dalam seminggu,
dengan dosis per fraksi antara 1,8 Gy dan 2 Gy. Jumlah total dosis sangat
bergantung pada jenis kanker, tujuan pengobatan dan sebagainya, namun

51
pada umumnya untuk sejumlah kanker diberikan sebanyak 25 sampai 30
kali atau 50 Gy samapai 60 Gy. Selanjutnya diketahui bahwa efek pada
jaringan lebih tergantung jumlah fraksi daripada waktu keseluruhan
pengobatan. Suatu jumlah dosis radiasi total yang diberikan dalam jumlah
fraksi yang banyak akan mengakibatkan efek yang lebih rendah terhadap
jaringan berespon lambat daripada yang berespon akut. Pada jaringan
normal metode ini berguna untuk memberi kesempatan perbaikan pada
cedera yang subletal sifatnya di antara fraksi satu ke fraksi berikutnya dan
juga yang mengalami repopulasi. Hal yang sama juga berlaku untuk
jaringan kanker, namun berbeda dengan jaringan sehat pada umunya,
reoksigenasi yang mungkin terjadi di antara fraksi-fraksi akan
meningkatkan kepekaan sel kanker terhadap radiasi (Wondergem, 2010).

Fraksinasi dan Dosis (Hunter, 2006;Aguinik, 2012).


Hiperfraksinasi: Pemberian fraksi ganda atau multipel per hari
diharapkan dapat mengurangi efek lambat. Dengan unit dosis per fraksi
lebih kecil (1-1,15 Gy) Pada umumnya pemberian radiasi per hari 2 atau 3
kali dengan jarak paling sedikit 6 jam. Bila dosis total mengacu pada efek
lambat, maka dengan metode ini dapat diberikan dosis total yang lebih
tinggi daripada biasa. Diharapkan pula bahwa dosis ini dapat
meningkatkan kendali tumor dengan lebih baik (Hunter, 2006).
Hipofraksinasi: Metode ini biasanya diberikan pada kasus-kasus
terminal untuk tidak membebani pasien datang ke radioterapi, tetapi masih
diperoleh efek paliatif yang cukup baik. Pada umumnya radiasi dilakukan
tiga kali (antara 1-4x) seminggu, dengan dosis per fraksi yang lebih dari
200cGy (3-5Gy) (Evans, 2003).
a. Kanker Nasofaring
Dosis diberikan 180-200 cGy per fraksi, yang diberikan 5 kali dalam
seminggu sehingga dosis mencapai 66-70 Gy dengan memperhatikan
lapangan radiasi (Susworo, 2007)
b. Kanker Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

52
Dosis radiasi yang diperlukan adalah 50 Gy mencakup lapangan
radiasi sesuai dengan keadaan prabedah.(Wondergem, 2010)
c. Kanker Kelenjar Parotis
Pemberian radiasi hiperfarksinasi dengan dosis per kali 160 cGy
yang diberikan dua kali dalam sehari, dengan dosis total sebanyak 65-70
Gy (Hunter, 2006)
d.Kanker Orofaring
Pasien dengan T1-2N0 diberikan radioterapi definitif dengan fraksi
konvensional sebesar 70 Gy dengan 2Gy/fraksinya. Pada pasien T1N1
dan T2N0-1 diberikan radioterapi definitif modifikasi:6 fraksi/minggu pada
minggu kedua hingga keenam dengan total dosis 70 Gy (2 Gy/fraksi)
untuk tumor primer dan kelenjar. Pasien stadium III-IV dilakukan
kemoiradiasi konkomitan dengan dosis total 70 Gy dalam fraksinasi harian
bersama cisplatin (Susworo, 2007)
e. Rongga Mulut
Pada lesi > 2cm dan ≤ 4 cm (T2) dan secara klinis tidak disertai
keterlibatan KGB dapat diterapi dengan radiasi eksterna (50 Gy) serta
pemasangan implan interstitial (20-25 Gy) (Hunter, 2006)
f.Kanker Lidah
Brakhiterapi diberikan sebagai booster setelah radiasi eksterna
50Gy dengan dosis implan sebanyak 30 Gy dengan 192 Ir HDR interstisial
pendekatan melalui dasar mulut (Hansen, 2010)
g.Kanker Laring
Supraglotis :Diberikan fraksinasi konvensional dengan dosis total 70 Gy
untuk lesi primer dan 50-54 Gy untuk radiasi KGB.
Glotis : Pada lesi laring glotis T1-2N0 lebih baik diberikan dosis >2
Gy/fraksi (T1N0 hingga 63 Gy sedangkan T2N0 sebesar
65,25 Gy). Jika diberikan 2 Gy/fraksi total dosis mencapai
lebih dari 66 Gy
Subglotis : pemberian kemoterapi dengan cisplatin pada hari ke-1 dan

53
22 disertai radioterapi fraksinasi akselerasi dengan dosis
total 70 Gy pada lesi primer (Hansen, 2010)
h.Kanker Kelenjar Tiroid
Untuk kanker tiroid tipe papilare/folikular/medulare pada volume
tumor klinis risiko rendah diberikan 54 Gy sedangkan area risiko tinggi
mikroskopis mendapat 59,4-63 Gy, pada margin terdapat tumor diberikan
63-66 Gy dan penyakit makroskopis memperoleh radiasi hingga 66-70 Gy
(Hunter, 2006)

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon


terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening
leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO (Asroel, 2002) :
a. Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening
yang besar.
b. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih.
c. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
d. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25%
atau lebih

54
C. Disfagia

Salah satu gejala yang sering dialami oleh penderita KKL adalah
disfagia. Gejala ini dialami sekitar 60-75% pasien KKL yang disebabkan
oleh adanya tumor yang menghambat proses menelan dan sebagai efek
samping dari tatalaksana KKL (Manikantan, 2009). Disfagia akibat
kemoradiasi merupakan efek samping yang banyak dikeluhkan oleh
penderita KKL, dengan angka kejadian lebih dari 50% (Platteaux etal,
2010).

Dysphagia didefinisikan sebagai resultant makan. Disfagia adalah


perkataan yang berasal dari bahasa Yunani dys yang berarti kesulitan
atau gangguan, dan phagia berarti makan. Disfagia berhubungan dengan
kesulitan makan akibat gangguan dalam proses menelan. Kesulitan
menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari kelainan
kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah
dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang
berusia lanjut, dan insiden disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut
dan pasien stroke. Kurang lebih 51-73% pasien stroke menderita disfagia.
Penyebab lain dari disfagia termasuk keganasan kepala- leher, penyakit
neurologic progresif seperti penyakit Parkinson, multiple sclerosis, atau
amyotrophic lateral sclerosis, scleroderma, achalasia, spasme esofagus
difus, lower esophageal (Schatzki) ring, striktur esofagus, dan keganasan
esofagus. Disfagia merupakan gejala dari berbagai penyebab yang
berbeda, yang biasanya dapat ditegakkan diagnosanya dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, di
antaranya pemeriksaan radiologi dengan barium, CT scan, dan MRI
(Pandaleke, 2014).

Klasifikasi Disfagia
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia
orofaring (atau transfer Disfagia) dan disfagia esofagus. Disfagia orofaring

55
timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus, dapat
disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,
xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik
(keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,
radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin)
(World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).
Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk
ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran meletakkan
makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan
dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan
tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang,
perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal. Setelah pemeriksaan,
dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural, swallowing
maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensory
awareness technique, vitalstim therapy, dan pembedahan. Bila tidak
diobati, disfagia dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, atau
dehidrasi (World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).
Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter
esofagus bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh
striktur esofagus, keganasan esofagus, esophageal rings and webs,
akhalasia, skleroderma, kelainan motilitas spastik termasuk spasme
esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus nonspesifik.Makanan
biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, danakan berada setinggi
suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi obstruksi,
regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan
pneumonia berulang (World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines, 2014). Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair,
kemungkinan besar merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada
awalnya pasien mengalami disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya

56
disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan besar merupakan
suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat dibedakan antara masalah
motilitas dan obstruksi mekanik, penting untuk memperhatikan apakah
disfagianya sementara atau progresif. Disfagia motilitas sementara dapat
disebabkan spasme esofagus difus atau kelainan motilitas esofagus
nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat disebabkan skleroderma
atau achalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang kronis,
regurgitasi, masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia
mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring. Disfagia mekanik
progresif dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan
esofagus. Bila sudah dapat disimpulkan bahwa kelainannya
adalahdisfagia esofagus, maka Langkah selanjutnya adalah dilakukan
pemeriksaan barium atau endoskopi bagian atas. Pemeriksaan barium
harus dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi untuk menghindari
perforasi. Bila dicurigai adanya akhalasia pada pemeriksaan barium,
selanjutnya dilakukan manometri untuk menegakkan diagnosa akhalasia.
Bila dicurigai adanya striktur esofagus, maka dilakukan endoskopi. Bila
tidak dicurigai adanya kelainan-kelainan seperti di atas, maka endoskopi
dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi
yang normal, harus dilanjutkan dengan manometri; dan bila manometri
juga normal, maka diagnosanya adalah disfagia fungsional.Foto thorax
merupakan pemeriksaan sederhana untuk pneumonia. CT scan dan MRI
memberikan gambaran yang baik mengenai adanya kelainan struktural,
terutama bila digunakan untuk mengevaluasi pasien disfagia yang
sebabnya dicurigai karena kelainan sistem saraf pusat. Setelah diketahui
diagnosanya, penderita biasanya dikirim ke Bagian THT, Gastrointestinal,
Paru, atau Onkologi, tergantung penyebabnya. Konsultasi dengan Bagian
Gizi juga diperlukan, karena kebanyakan pasien me-merlukan modifikasi
diet (World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2014).

Penilaian Disfagia

57
Penilaian disfagia dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Pandaleke, 2014).
1. Anamnesia
Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum penderita.
Riwayat
neurologik yang mungkin berhubungan dengan beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan disfagia seperti multiple sclerosis, stroke,
serta penyakit Parkinson dan Alzheimer harus ditanyakan. Operasi
yang pernah dialami penderita pada kepala dan leher juga perlu
ditanyakan. Semua pengobatan yang sedang dijalani penderita
harus dicatat. Obat-obatan dengan efek samping seperti sedasi,
kelemahan otot, dan disorientasi dapat menyebabkan disfagia.
Selain itu, faktor psikososial juga dapat memengaruhi proses
menelan, terutama pada orangtua (Pandaleke,2014). Keluhan
subyektif penderita dapat membantu menegakkan diagnosis
disfagia, yaitu antara lain: air liur yang mengalir berlebihan; batuk
atau kesedakan saat makan; terkumpulnya makanan pada pipi, di
bawah lidah, atau pada palatum durum;suara serak; suara cegukan
setelah makan atau minum atau beberapa kali membersihkan
kerongkongan; susah mengontrol gerakan lidah; kelemahan otot
wajah; harus menelan beberapa kali untuk satu bolus makanan;
slurred speech;adanya perasaan makanan seperti tertahan di leher
atau dada; dan waktu mengunyah serta waktu makan yang lebih
lama (Pandaleke, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk melihat
adanya penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal, atau neurologik
yang dapat memengaruhi fungsi menelan. Pemeriksaan dilakukan
juga terhadap status mental, kemampuan bekerjasama, dan fungsi
bahasa penderita. Saraf kranialis harus dinilai secara teliti.
Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan meliputi tanda-tanda

58
obstruksi atau restriksi seperti takipnea, stridor, penggunaan otot
pernapasan tambahan, dan pergerakan dinding dada yang
asimetris (Pandaleke, 2014).
Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan
leher perlu dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara
bilateral; juga kekuatan otot-otot wajah. Otot maseter dan
temporalis dipalpasi saat penderita diminta menggigit atau
mengunyah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada saat
pemeriksaan saraf kranialis. Pemeriksaan intraoral dilakukan
dengan inspeksi intraoral untuk melihat lesi, sisa makanan, atau
kelainan struktural. Palpasi dengan sarung tangan pada dasar
mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah,untuk menyingkirkan adanya
tumor. Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi lidah dicatat.
Kekuatan lidah bisa diukur dengan menempatkan jari pada pipi
bagian luar dan menahan lidah penderita yang diminta untuk
menekan pipi dari dalam (Pandaleke, 2014)
Palatum diinspeksi untuk melihat posisi simetris pada saat istirahat
dan saat fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi untuk menimbulkan
refleks muntah, sambil memperhatikan apakah palatum mole dan
dinding faring berkontraksi secara simetris. Adanya refleks primitif
(sucking, biting,dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya refleks-
refleks ini pada orang dewasa mengindikasikan adanya kerusakan
pada kedua hemisfer atau lobus frontalis yang menyebabkan
kelemahan oral motor control (Pandaleke,2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis
gangguan menelan ialah: videofluorographic swallowing study
(VFSS), fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES),
dan ultrasonografi (Pandaleke, 2014) Salah satu metode
pemeriksaan penunjang diaganostik disfagia adalah dengan
menggunakan endoskop fleksibel yang disebut Flexible Endoscopic

59
Examination of Swallowing (FEES). FEES sekarang ini menjadi
pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia karena
mudah, dapat dilakukan di tempat mana saja, dan lebih murah
(Iqbal, 2014).
FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu
hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop
dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di
dalam laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair
dan padat diberi warna hijau sehingga mudah dilihat (Pandaleke,
2014). Komplikasi dari pemeriksaan FEES memiliki kasus yang
cukup rendah. Pada tahun 1995, dari 600 prosedur FEES hanya
tercatat 27 kasus komplikasi yang terjadi. Angka pembatalan
prosedur FEES sebesar 3,7% sedangkan pada prosedur video-
fluoroskopi sebesar 3,1% sebagai akibat adanya muntah atau
aspirasi yang memerlukan tindakan penghisapan untuk
pembersihan jalan napas (Iqbal, 2014).

Pemeriksaan FEES
Proses menelan adalah suatu proses yang memungkinkan
makanan dan minuman atau cairan bergerak dari rongga mulut ke gaster.
Proses menelan terdiri dari 3 fase yaitu fase oral, faringeal, dan esofageal.
Bila timbul keluhan disfagia (kesulitan menelan) maka perlu dilakukan
evaluasi terhadap proses menelan. Evaluasi proses menelan pada fase
orofaringeal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing (FEES), sedangkan untuk mendiagnosis
kelainan-kelainan struktural disfagia pada fase orofaringeal sampai
esofageal dapat dilakukan melalui esofagoskopi transnasal. Sedangkan
esofagoskopi kaku (rigid) lebih banyak dilakukan untuk tindakan terapi
pada beberapa kelainan di esofagus.

60
Fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) adalah
pemeriksaan dengan menggunakan nasolaringoskop yang dimasukkan
melalui hidung untuk mengevaluasi proses menelan fase orofaring.
Nasolaringoskop serat optic pertama kali digunakan pada tahun 1960
untuk mengevaluasi struktu di daerah laring dan pada tahun 1980-an
untuk menilai produksi suara yang dinamis. Pada tahun 1988, Langmore,
Schatz, dan Olsen menerbitkan artikel tentang kebutuhan akan perangkat
portable untuk mengvaluasi pasien dengan gangguan menelan. FEES
dapat melihat adanya kelainan struktur dan gerakan dari velofaring,
nasofaring, faring dan laring. Pemeriksaan ini merupakan teknik yang
sensitif untuk mendeteksi premature bolus loss/pre swallowing leakage
(kebocoran pra menelan), penetrasi ke alring, aspirasi trakea serta residu
di faring dan hipofaring.
Secara umum indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien
dengan kesulitan menelan dan kemungkinan resiko aspirasi dalam proses
menelan. Metode ini juga dapat menentukan intake nutrisi yang optimal
untuk meminimalkan resiko aspirasi serta menilai integritas sensorik
struktur faring dan laring. Indikasi lain adalah untuk : (1) menilai struktur
anatomi orofaring, nasofaring dan laringofaring, (2) Menilai integritas
sensorik struktur faring dan laring, dan (3) Menilai kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas pada saat menelan. Kontraindikasinya
adalah pasien dengan kelainan darah dan etiologic disfagia berlokasi di
esofagus (Hafner, 2008).

61
Gambar 24. Pemeriksaan FEES menunjukkan kumpulan bolus makanan
halus pada valekula (Imamura, 2016)
Gambar 25. Fiber Optic Flexible Endoscopic

62
Gambar 26. Pemeriksaan FEES
Teknik Pemeriksaan
Ada 3 tahap pemeriksaan FEES yaitu preswallowing assessment,
swallowing assessment, dan swallowing therapy.
1. Preswallowing assessment
FEES dilakukan di poliklinik atau ruang perawatan. Pasien dalam
posisi duduk menghadap pemeriksa atau bias juga dengan posisi
berbaring. Pada tahap preswallowing assessment dilakukan
penilaian terhadap fungsi muscular pada fase oral (kekuatan otot-
otot lidah, otot-otot bukal, palatum mole). Setelah itu endoskopi
dimasukkan ke dalam vestibulum nasi menelusuri dasar hidung, ke
arah velofaringeal masuk ke dalam orofaring. Pada pemeriksaan ini
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Evaluasi kompetensi velofaringeal
b. Evaluasi faring, meliputi dasar lidah, epiglottis, valekula,
dinding posterior dan lateral faring serta sinus piriformis.
c. Evaluasi laring dan supra glotis meliputi plika ariepiglotik,
insisura interaritenoid plika vokalis dan plika ventrikularis,
subglotik dan bagain proksimal trakea.
d. Evaluasi pergerakan laring pada saat respirasi dan fonasi.
e. Evaluasi pengaturan sekret.

63
2. Swallowing assessment
Setelah evaluasi kemampuan proteksi jalan napas, selanjutnya
dilakukan penilaian transport bolus makanan. Pasien menelan
berbagai variasi konsistensi makanan dan cairan yang telah diberi
pewarna. Konsistensi makanan yang diberikan berdasarkan diet
yang terakhir diberikan dan temuan evaluasi disfagia sebelumnya.
Makanan diberikan dengan ukuran bolus yang makin besar mulai
dari ¼ sendok teh (sdt), ½ sdt, dan 1 sdt. Cairan diberikan lewat
sendok the, cangkir dan sedotan. Proses menelan dievaluasi untuk
masing-masing presentasi. Urutan pemberian makanan mulai dari
cairan, makanan lunak dan makanan padat. Factor-faktor yang
dinilai adalah transit time oral, tepatnya waktu inisiasi
menelan,elevasi laring, spillage, residu, kekuatan dan koordinasi
menelan, penutupan laring (retrofleksi epligotis dan penutupan plika
vokalis), refluks, penetrasi dan aspirasi. Kebocoran dinilai pada
saat pasien menahan makanan 1 sendok makanan cair dalam
mulut selama 10 detik. Perhatikan kemampuan membersihkan
residu makann atau minuman, penetrasi dan aspirasi, baik secara
spontan ataupu dengan cara-cara tertentu misalnya dengan
merubah posisi kepala ke kiri atau ke kanan, menelan beberapa
kali atau menelan kuat-kuat.
2. Swallowing therapy
Pemeriksaan FEES sangat berguna untuk mengetahui strategi atau
manuver yang aman dalam proses menelan. Dari pemeriksaan ini
dapat ditentukan makanan oral untuk tingkat optimal (yang paling
aman, dapat dipertahankan asupan makanan yang adekwat dan
mencegah terjadinya aspirasi).
1. Postural change
i. Chin Tuck
Cara ini dilakukan pada keadaan :
· Fase faringeal yang terlambat.

64
· Retraksi dasar lidah yang berkurang ke arah
dinding posterior faring
· Penurunan proteksi jalan napas
· Adanya aspirasi saat menelan
Menuver ini dengan cara dagu diarahkan ke dada
dengan maksud dasar lidah dapat tertekan kea rah
dinding posterior faring, resesus valekula melebar
serta menyempitnya vestibulum laring oleh karena
pergerakan epiglottis ke posterior.

i. Head Turn (to weak side)


Cara ini dilakukan pada keadaan :
· Kelemahan faring unilateral
· Kelemahan laring unilateral
· Disfungsi krikofaring
Cara melakukan manuver ini adalah kepala diputar ke
samping seolah-olah pasien melihat bahunya. Cara
ini dimaksudkan agar (1)Memblok bolus makanan
yang mengalir dari sisi lemah dengan cara memuntir
faring, (2)Memberikan tekanan pada plika vokalis dan
(3)Mengurangi tekanan istirahat pada krikofaring
dengan menarik laring jauh dari dinding faring
posterior (melebarkan ruang).
i. Head Tilt
Cara ini dilakukan pada keadaan :
· Kelemahan oral unilateral
· Kelemahan dinding faring unilateral
Dilakukan dengan cara memiringkan kepala seolah-
olah telinga dekat pada bahu pasien. Cara ini
dimaksudkan agar bolus makanan langsung melewati
daerah yang kuat dari kavum oris atau faring.
i. Head Back
Cara ini digunakan pada keadaan disfungsi transit
time pada fase oral. Dilakukan dengan cara
memiringkan kepala ke belakang. Dengan adanya
gravitasi membantu pembersihan kavum oris.
ii. Chin Tuck with Head Turn
Cara ini digunakan pada keadaan menurunnya
penutupan jalan nafas. Dilakukan dengan cara
mengarahkan dagu ke dada sambal memutar kepala
ke arah sisi yang lemah. Cara ini akan meningkatkan
defleksi epiglottis sehingga menyempitkan vestibulum

65
laring dan meningkatkan tekanan plika vokalis secara
ekstrinsik.
1. Swallow maneuvers
iii. Supraglotic Swallow
Cara ini digunakan pada keadaan menurunnya
proteksi jalan nafas pada level plika vokalis dan
adanya aspirasi saat menelan. Tujuan dari cara ini
adalah menahan nafas secara sadar untuk menutup
plika vokalis selama dan sebelum menelan.
iv. Super-Supraglotic Swallow
Cara ini digunakan pada keadaan adanya aspirasi
sebelum dan sesudah menelan serta menurunnya
penutupan jalan nafas pada level vestibulum laring.
v. Mendelsohn Maneuver
Cara ini digunakan pada keadaan menurunnya durasi
elevasi hiolaringeal, pembukaan krikofaring dan
koordinasi fase faringeal.
2. Behavioural Strategies
i. Liquid Wash
Digunakan pada keadaan adanya residu setelah
menelan(valekula, dinding faring, sinus piriformis
sinus).
Cara : memberikan secara berseling antara makanan
padat / semi padat dengan makanan cair.
ii. Larger Bolus
Digunakan pada keadaan fase faringeal terlambat
trpicu. Pemberian bolus makanan yang lebih besar
akan dapat meningkatkan input sensoris pada pasien.
iii. Multiple Swallows/Bolus
Digunakan pada keadaan adanya residu yang
signifikan pada orofaring.
Cara : pasien diinstruksikan menelan 2-3 kali tiap kali
menyuap makanan. Dengan cara ini dapat
menurunkan resiko aspirasi oleh adanya residu
sebelum makanan berikutnya (Anderson, 2013)

Kuisioner Penentuan Disfagia


a. Eating Assessment Tool (EAT)
Disfagia merupakan menelan. Ini adalah gejala, bukan penyakit.
Pasien dengan gejala disfagia dapat memiliki beragam diagnosis klinis,
mulai dari refluks asam ringan hingga kanker esofagus terminal. Karena
disfagia merupakan gejala, penting bagi klinisi untuk dapat
mendokumentasikan tingkat keparahan persepsi diri pasien tentang

66
kecacatan yang disebabkan oleh masalah menelan. EAT-10 adalah
instrumen survei yang dikelola sendiri untuk penilaian subjektif disfagia.
Data normatif menunjukkan bahwa skor EAT-10 3 atau lebih besar tidak
normal. Instrumen telah menunjukkan konsistensi internal yang sangat
baik, reproduktifitas tes-tes ulang, dan validitas berbasis kriteria. EAT-10
telah digunakan di pusat kami untuk mendokumentasikan keparahan
disfagia awal dan untuk memantau respons terhadap pengobatan pada
orang dengan berbagai gangguan menelan (Belafsky, 2008).

67
68
Gambar 27. Eating Assessment Tool (EAT-10) (Belafsky, 2008)
b. MDADI Score
MDADI terdiri dari 20 pertanyaan, dibagi menjadi satu pertanyaan
global yang menilai keseluruhan aspek Quality of Life / QOL yang
terkait dengan menelan, dan tiga subskala (domain) di mana 19 item
lainnya didistribusikan: emosional (E), fisik (P), dan fungsional (F). ).
Lima jawaban dimungkinkan untuk setiap pertanyaan (sangat setuju,
setuju, tidak berpendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju), dan setiap
item domain diberi skor dari 1 hingga 5. Semua item, kecuali F2, diberi
skor dengan satu poin untuk sangat setuju dan lima poin untuk sangat
tidak setuju. Item F2 pada domain fungsional diberi skor dengan lima
poin untuk sangat setuju dan satu poin untuk sangat tidak setuju.
Pertanyaan global diberi skor secara individual, dan skor rata-rata dari
setiap subskala (emosional, fisik, dan fungsional) dikalikan dengan 20
untuk mendapatkan skor total dengan rentang dari nol (berfungsi
sangat rendah) hingga 100 (berfungsi tinggi). Skor MDADI yang lebih
tinggi menunjukkan fungsi sehari-hari dan kualitas hidup yang lebih
baik.
MDADI memiliki beberapa keunggulan dibandingkan skor penilaian
gejala lainnya:
 Menilai tingkat keparahan gejala dan gangguan gejala dalam
kehidupan sehari-hari
 Berlaku secara luas di seluruh jenis dan perawatan kanker
 Dapat disesuaikan dengan jenis, lokasi, dan perawatan
kanker tertentu (modul MDADI)
 Nilainya 0 -10 skala mudah dipahami dan diselesaikan
pasien.
 Mudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain

69
My swallowing ability limits my day-to-day activities
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E2.I am embarrassed by my eating habits
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
F1.People have difficulty cooking for me
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P2.Swallowing is more difficult at the end of the day
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E7.I do not feel self-conscious when I eat
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E4. I am upset by my swallowing problem
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P6. Swallowing takes great effort
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E5.I do not go out because of my swallowing problem
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
F5. My swallowing difficulty has caused me to lose income
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P7. It takes me longer to eat because of my swallowing problem
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P3. People ask me, “Why can’t you eat that?”
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E3. Other people are irritated by my eating problem
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P8. I cough when I try to drink liquids
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
F3. My swallowing problems limit my social and personal life
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree

70
F2. I feel free to go out to eat with my friends, neighbors, and relatives
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P5. I limit my food intake because of my swallowing difficulty
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P1. I cannot maintain my weight because of my swallowing problems
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
E6. I have low self-esteem because of my swallowing problems
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
P4. I feel that I am swallowing a huge amount of food
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
F4. I feel excluded because of my eating habits
Strongly Agree No Opinion Disagree Strongly
Agree Disagree
MDADI Score

c. OHIP 14
Salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur kesehatan
mulut pasien kanker kepala dan leher terkait kualitas hidupnya adalah
Oral Health Impact Profile atau disingkat OHIP. OHIP dikembangkan
dengan tujuan untuk memberikan penilaian komprehensif mengenai
disfungsi, ketidaknyamanan, dan ketidakmampuan yang diakibatkan oleh
kondisi rongga mulut. OHIP berisi 49 pertanyaan, yang terbagi menjadi 7
dimensi yaitu; limitasi fungsional, rasa nyeri, ketidaknyamanan psikologis,
ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikologis, ketidakmampuan
social, dan kecacatan. Dalam pengembangannya untuk kepentingan
klinis, indeks ini disingkat menjadi 14 pertanyaan (OHIP-14) dan telah
teruji validitasnya dalam bahasa Inggris dan CIna.(Allen, 2003).

Gambaran setiap pertanyaan pada kuesioner OHIP-14


1. Keterbatasan fungsi

71
a. Apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam mengucapkan
kata/kalimat (berbicara) karena permasalahan pada rongga
mulut Anda?
b. Apakah Anda pernah merasa tidak dapat mengecap rasa
dengan baik karena permasalahan pada rongga mulut Anda?
2. Rasa sakit fisik
a. Apakah Anda pernah merasakan sakit pada rongga mulut
Anda?
b. Apakah Anda pernah merasa tidak nyaman saat mengunyah
makanan karena permasalahan pada rongga mulut Anda?
3. Ketidaknyamanan psikis
a. Apakah Anda pernah merasa khawatir/cemas karena
permasalahan pada rongga mulut Anda?
b. Apakah Anda pernah merasa ‘tegang’ karena permasalahan pada
rongga mulut Anda?
4. Ketidaknyamanan fisik
a. Apakah Anda pernah merasa tidak puas dengan makanan yang
Anda konsumsi karena permasalahan pada rongga mulut
Anda?
b. Pernahkah Anda harus berhenti secara tiba-tiba saat sedang
mengunyah makanan karena permasalahan pada rongga mulut
Anda?
5. Ketidakmampuan psikis
a. Apakah Anda pernah mengalami kesulitan untuk merasa
‘rileks’/santai karena permasalahan pada rongga mulut Anda?
b. Apakah Anda pernah merasa malu karena permasalahan pada
rongga mulut Anda?
6. Ketidakmampuan sosial
a. Apakah Anda pernah menjadi mudah tersinggung karena
permasalahan pada rongga mulut Anda?

72
b. Apakah Anda pernah mengalami kesulitan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari karena permasalahan pada rongga mulut
Anda?
7. Hambatan
a. Apakah Anda pernah merasa hidup Anda ‘kurang memuaskan’
karena permasalahan pada rongga mulut Anda?
b. Apakah Anda pernah merasa susah untuk melakukan apapun
karena permasalahan pada rongga mulut Anda?
Interpretasi OHIP
 skor OHIP-14 antara 0-18 (kualitas hidup baik),
 skor OHIP-14 antara 19-37 (kualitas hidup sedang),
 skor OHIP-14 antara 35-56 (kualitas hidup buruk).

d. EORTC QLQ-H&N35
Di Indonesia secara umum belum ada alat ukur yang valid dan
reliabel untuk mengevaluasi kualitas hidup penderita kanker kepala leher,
namun di luar negeri telah dikenal, dipakai secara luas dan dianggap
efektif, salah satunya adalah European Organization For Research And
Treatment Of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire
(EORTC QLQ-H&N35). Alat ukur tersebut merupakan kuesioner yang
secara spesifik diperuntukkan penderita kanker kepala leher yang terdiri
dari 7 skala gejala (nyeri, menelan, masalah indera, masalah bicara,
masalah makan, interaksi sosial, dan seksualitas) dan 6 kuesioner tunggal
(masalah gigi, masalah membuka mulut lebar, mulut kering, ludah kental,
batuk, dan perasaan sakit). EORTC QLQ-H&N35 adalah kuesioner yang
dibuat dan dikembangkan dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan
dalam 11 bahasa dan digunakan di berbagai negara (Beaton et al, 2000).

73
Penilaian kualitas hidup menggunakan sistem skoring dari 0
sampai 120, dimana semakin rendah skor maka semakin baik kualitas
hidupnya dan semakin tinggi skor maka semakin buruk kualitas hidupnya.
Skor >60 menunjukkan keadaan yang sudah mengganggu dan bertambah
buruk dengan bertambahnya skor.

Gambar 29 Kuisioner EORTC QLQ-H&N35

74
E. Kerangka Teori

Gangguan
Kanker Kepala Leher Disfagia
Mekanik akibat
perubahan struktur
Ti anatomi Gejala
nd
ak
an

Efek samping
Radioterapi
Efek samping
lain : Xerostomia,
Mukositis,
Dermatitis
Radiasi
F. Kerangka Konsep

Radioterapi Gangguan Mekanik: Disfagia


xerostomia
Penebalan mukosa mulut
Fibrosis jaringan

Keterangan:
: Variabel terikat
: Variabel bebas
: Variabel antara

75
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka jenis penelitian yang


akan digunakan dalam penelitian ini adalah Eksperimental dengan
rancangan pre and post test design.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

· Tempat penelitian dilaksanakan di Makassar


· Waktu penelitian dilakukan mulai tahun 2021

C. Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua Pasien Kanker Kepala Leher


yang menjalani radioterapi di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar

D. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling

E. Besar Sampel Penelitian

Besar Sampel Penelitian

Estimasi jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus :


n= NZ2P(1-P)
d2(N-1) + Z2 P (1-P)
Keterangan :
N = Perkiraan populasi penelitian
Z = Nilai standar deviasi normal = 1,96
P = Perkiraan proporsi atribut yang diteliti = 0,5
d = tingkat ketelitian yang akan diteliti = 0,05
n = 40 sampel.

76
Dari perhitungan didaparkan besar sampel minimal 40 orang

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi :
a. Pasien kanker kepala-leher yang mengalami disfagia
b. Pasien kanker kepala-leher yang menjalani
radioterapi
2. Kriteria Eksklusi :
a. Pasien dengan penyakit sistemik berat
b. Pasien yang tidak kooperatif untuk menjalani
pemeriksan FEES.
c. Pasien kanker kepala-leher yang tidak selesai
menjalani radioterapi

G. Izin Penelitian dan Ethical Clearance

Permintaan izin dari penderita yang memenuhi kriteria untuk

dijadikan sampel penelitian dengan mengisi lembar informed consent dan

dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi

Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) RSPTN UH – RSWS.

H. Metode Pengumpulan Data

1. Bahan dan Alat Penelitian


a. Alat endoskopi
b. Bolus yang berbeda konsistensinya (lunak, cairan kental,
cairan encer)
c. Lembar pengumpul data
2. Cara kerja

77
a. Penjelasan terkait penelitian diberikan kepada pasien
dan pasien yang bersedia diminta menandatangani
lembar persetujuan informed consent
b. Dilakukan anamnesis: onset, rekurensi, perlangsungan,
gejala lain yang menyertai
c. Pemeriksaan FEES dengan menggunakan alat
endoskopi.
Prosedur Pemeriksaan (Langmore, 2006).
Agar pemeriksaan FEES ini dapat berlangsung
dengan baik dan untuk menghindari komplikasi yang
mungkin timbul, perlu diperhatikan persiapan yang
optimal. Persiapan ini meliputi persiapan pasien, anestesi
dan alat.
1. Persiapan pasien
Sebelum tindakan FEES perlu dilakukan anamnesis
lengkap dan cermat, pemeriksaan THT rutin,
pemeriksaan darah terutama dengan kecurigaan
gangguan penyakit perdarahan, pemeriksaan tanda-
tanda vital sesaat sebelum pemeriksaan.
2. Anestesi
Anestesi dan atau dekongestan topikal digunakan untuk
mengurangi rasa tidak nyaman. Namun demikian
penggunaannya tidak dianjurkan karena dapat
mempengaruhi aspek sensoris dari menelan. Pemakaian
lubrikan (K-Y Jelly) di ujung endoskop dapat
memudahkan insersi endokop.
3. Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan adalah
endoskop fleksibel, sumber cahaya, stimulator sensoris
pada ujung endoksop monitor televisi, kamera dan video
untuk merekam dan minuman serta makanan yang
berwarna dengan berbagai konsistensi.

78
d. Pasien diposisikan duduk dan kavum nasi kanan kiri
diberi dekongestan.
e. Pasien diminta menelan tiga macam bolus yang berbeda,
yaitu lunak, cairan kenta, dan cairan encer.
f. Hasil pemeriksaan FEES dicatat pada lembar pengumpul
data

I. Definsi Operasional
1. KKL adalah kanker yang mengenai bagian rongga mulut,
saluran cerna bagian atas, laring, hidung, kelenjar parotis
serta kelenjer tiroid.
2. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit –penyakit
maligna dengan menggunakan sinar pengion.
3. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau
makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada
proses menelan
4. Skor EAT 10. EAT adalah suatu tes standard, laporan ukur
sendiri untuk gejala dan menyangkut sifat yang berkaitan
dengan gangguan makan
5. FEES adalah ( pre swallowing dan swallowing) adalah
pemberian penilaian fungsional yang komprehensif terutama
pada fase faringeal sehingga dapat mengarah pada
rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan
kemampuan makan secara oral
6. Swallowing Therapy adalah latihan menelan menggunakan
metode tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung

79
J. Alur Penelitian

Populasi Penelitian

Anamnesis
Pemeriksaan Fisis THT-KL
Pemeriksaan penunjang

Kankerkepala leher

Memenuhi kriteria Inklusi


Informed Consent

Skor EAT 10 Pemeriksaan FEES

Pengumpulan Data

Analisis

Hasil dan Kesimpulan

80
K. Analisis Data
Menggunakan SPSS versi uji statistik yang digunakan adalah chi-
square, dimana bermakna signifikan jika (P<0,05).

81
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel SG, Shah JP. TNM staging of cancers of the head and neck:
striving for uniformity among diversity. CA Cancer J Clin. 2005 Jul-
Aug;55(4):242-58; quiz 261-2, 264. doi: 10.3322/canjclin.55.4.242.
PMID: 16020425.
2. Poltenen JK, Helppi HM, Pääkkö P,Turpeenniemi-
Hujanen,Vähäkangas KH.2010. p53 in Head and Neck
Cancer:Functional Consequences andEnvironmental Implications of
TP53Mutations. Head and Neck Oncology. vol36(36): 1-10
3. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. 2005.Global Cancer Statistic,
2002. CA Cancer Journal Clinical vol.55;74-108 Journal Clinical. vol
55: 74-108.
4. Muyassaroh.2016. Faktor risiko kejadian disfagia pada penderita
keganasan kepala dan leher yang menjalani kemoradiasi. ORLI Vol. 46
No. 1
5. Manikantan K, Khode S, Sayed SI, Roe J, Nutting CM, Rhys-Evans P,
et al.Dysphagia in head and neck cancer. Cancer Treat Rev.
2009;35:724–32.doi:10.1016/j.ctrv.2009.08.008.
6. Suarantari, N., & Winata, A. (2019). GAMBARAN SKOR OHIP-14
PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN
RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN
2016. E-Jurnal Medika Udayana, 8(5).
7. Nayoan.2017. GAMBARAN PENDERITA DISFAGIA YANG
MENJALANI PEMERIKSAAN FIBEROPTIC ENDOSCOPIC
EVALUATION OF SWALLOWING DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG
PERIODE 2015 – 2016. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 3 No. 2, Juli
2017 : 1-75
8. Iqbal M, Akil A, Djamin R,(2014) Evaluasi proses menelan disfagia
orofaring dengan fiberoptic endoscopic examination of swallowing
(FEES) 44: 137-45 : ORLI
9. S. R. Simon et al.Association Between Pharyngeal Pooling and
Aspiration.2019. Dysphagia (2020) 35:42–51
10. Rahmaeni, Freddy Kuhuwael, Sutji Pratiwi Rahardjo. Validitas dan
reliabilitas EORTC QLQ-H&N35 sebagai alat ukur kualitas hidup
penderita kanker kepala leher.2015. ORLI Vol. 45 No. 2 Tahun 2015
11. Mohammad Lutfi Ramadhani Adam, Arif Winata. FAKTOR-FAKTOR
KETERLAMBATAN PENATALAKSANAAN PADA PASIEN KANKER
KEPALA DAN LEHER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

82
TAHUN 2016.2017. E-JURNAL MEDIKA, VOL. 6 NO.2, FEBRUARI,
2017
12. JNCI: Journal of the National Cancer Institute, Volume 104, Issue 9, 2
May 2012
13. Kuhn MA, Belafsky PC. Functional assessment of swallowing In:
Johnson JT, Rosen CA, editors. Bailey's head and neck surgery
-otolaryngology. Fifth ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
2014. p. 825-37.
14. D. Marliyawati, W. Wiratno, and W. Yusmawan, "PENGARUH
PEMBERIAN POLIFENOL MADU TERHADAP MUKOSITIS ORAL
AKIBAT KEMORADIASI PADA PENDERITA KANKER KEPALA DAN
LEHER," Media Medika Muda, vol. 1, no. 1, Apr. 2016.
15. Suherman Hadi Saputro, R. Susworo. Pencegahan dan Tatalaksana
Disfagia Akibat Radiasi pada Kanker Kepala Leher.2011. Radioterapi
& Onkologi Indonesia Vol 2(2) Jul 2011:54-61
16. Georgopoulos. Examination of the Patient with Head and Neck Cancer.
2015. Surg Oncol Clin N Am 24 (2015) 409–421
http://dx.doi.org/10.1016/j.soc.2015.03.003surgonc.theclinics.com1055
-3207/15.
17. William I. Wei. Nasopharyngeal Cancer. In : Bailey Byron J, Johnson
Jonas T,Newlands Shawn D, editors. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology.Lippincott Williams & Wilkins, 4thEdition 2006 ; 7 : 117
18. Hui EP, Ma BB, Leung SF, King AD, MO F, Kam MK, et al.
Randomized phase II trial of concurrent cisplatinradiotherapy with or
without neoadjuvant docetaxel and ciaplatin in advanced
nasopharyngeal carcinoma. J Clin Oncol 2009;27(2):242-49.
19. Fithrony, et al. PENGARUH RADIOTERAPI AREA KEPALA DAN
LEHER TERHADAP CURAH SALIVA. 2012. https://core.ac.uk/search?
q=repositories.id:(379)
20. Munir M. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher: Keganasan di Bidang Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 162-173.
21. Roezin, A., Anida, S., 2007, Karsinoma Nasofaring, dalam ; Elfiaty,
A.S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok : FK UI, 149-
153
22. Chan, J.K.C., Bray, F., McCarron, P., Foo, W., 2005. Nasopharyngeal
carcinoma.In: Barnes, L., Eveson, J.W., Reichart, P., Sidrasky, D.,
editors. WHO classification of tumours: Pathology and genetiks head
and neck tumours.Lyon: IARCPress ; p. 85-97.

83
23. Sienna J, Nguyen N, Arsenault J, et al. (March 13, 2018) A Case of
Sinonasal Undifferentiated Carcinomawith Brain Metastases. Cureus
10(3): e2320. DOI 10.7759/cureus.2320
24. Zeng MS &Yi Xin Zeng. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma.In: Cancer Center of Sun Yat-sen University.
25. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Prognosis. Di Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Universitas Indonesia.2014
26. Lee, S.W., Cho, K.J., Park, J.H., Kim, S.Y., Nam, S.Y., Lee, B.J., Kim,
S.B.,Choi, S.H., Kim, J.H., Ahn, S.D., Shin, S.S., Choi, E.K., Yu, E.,
2005,Expressions of Ku70 and DNA-PKcs as prognostic indicators of
localcontrol in nasopharyngeal carcinoma, IntJ Radiat Oncol Biol Phys,
1451–1457.
27. Vasan NR. 2008. Cancer of the Larynx. In: Lee KJ, ed, Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 9th. New York, McGraw-Hill,
p. 676-06
28. Irvandy D, Rahman S. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor
Ganas Laring. Jurnal Kesehatan Andalas. Padang. 618-624
29. Salvador-Coloma, C., & Cohen, E. (2016). Multidisciplinary Care of
Laryngeal Cancer. Journal of Oncology
Practice.https://doi.org/10.1200/jop.2016.014225
30. Williamson, J. S., Biggs, T. C., & Ingrams, D. (2012). Laryngeal cancer:
an overview. Trends in Urology & Men’s Health, 3(6), 14–
17.https://doi.org/10.1002/tre.295
31. Vissink A, ‘s-Gravenmade EJ, Panders AK, Vermey A. Treatment
ofhyposalivation. Ear Nose Throat J 1988;67:179–85.
32. Eisele David W. Chronic aspiration. In: Cummings CW et al.,
editors.Otolaryngology head and neck surgery. 3rd ed. St. Louis:
Mosby-Year Book;1998. p. 1989–90.
33. Lester LDR. Salivary Gland Acinic Cell Carcinoma. ENT Journal.
November. 2010: 530-32.
34. Harrish K. Management of primary malignant epithelial parotid tumour.
Surg Oncol 2004; 12:7-16.

84
35. Subakti I. Karsinoma Tiroid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Ilmu Penyakit Dalam jilid 3. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2031-7
36. Handayani SHS, Purnami SW. Pendekatan Metode Classification and
Regression Tree untuk Diagnosis Tingkat Keganasan Kanker pada
Pasien Kanker Tiroid. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2014;3:24-29.
37. Baldwin, Keith M. 2016. Papillary Thyroid Carcinoma Clinical
Presentation. Medscape.
38. Amin MB, Greene FL, Edge SB, Compton CC, Gershenwald JE,
Brookland RK, Meyer L, Gress DM, Byrd DR, Winchester DP. The
Eighth Edition AJCC Cancer Staging Manual: Continuing to build a
bridge from a population-based to a more "personalized" approach to
cancer staging. CA Cancer J Clin. 2017 Mar;67(2):93-99. doi:
10.3322/caac.21388. Epub 2017 Jan 17. PMID: 28094848.
39. Pou AM, Johnson JT. Oropharyngeal Cancer. Bailey BJ, Johnson JT,
Newlands SD. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th edition:
Lippincott Williams & Wilkins. 2014.p :1898–1915
40. Siegel R, Ma J, Zou Z, et al. Cancer statistics. CA Cancer J Clin
2014;64:9–29.
41. Olatwvedi AK. Engels EA. AndersonWF, et al. Incidence trends for
human papillomavirusrelated and un-related oral squamous cell
carcinomas in the United States. J Clin Oncol. 2008;26:612–619.
42. R. Ayu Hardianti Saputri.Tumor Orofaring.2015.Universitas Padjajaran.
43. Saman Warmkulasuriya. Global Epidemiology of Oral an
Oripharyngeal Cancer. Oral Oncology, 2009; 45: 309-316
44. Ferlay J; Pisani P; Parkin DM. Globocan 2002. Cancer Incidence,
Mortality and Prevalence Worldwide. IARC, Cancer Base (2002
estimates), Lyon 2004. IARC, Press.
45. R.A. Cawson, E.W. Odell. Oral cancer 6th ed. London : Churchill
Livingstone, 2000 : 228 ± 238
46. Khandekar SP, Badgey PS, Tiwari RR. Oral cancer and some
epidemiological factors : a hospital based study. Indian J Community,
2006; 31 (3): 157 ± 159

85
47. Medawati A. Kanker rongga mulut dan permasalahannya. Insisivia
Dental J. 2013;1:87–90.
48. Taufiqurrahman T, Herdini C. Metastasis leher tersembunyi pada
karsinoma lidah T1-T2. J Kes Andalas 2014;3(3):549–62.
49. Murphy A, Gilbert J (2009) Dysphagia in head and neck cancer
patients treated with radiation: assessment, sequelae and
rehabilitation. Seminars in radiation oncology. WB Saunders 19:35
50. Forastiere AA, Ismaila N, Lewin JS et al (2017) Use of larynx-
preservation strategies in the treatment of laryngeal cancer: American
society of clinical oncology clinical practice guideline update. J Clin
Oncol 35:1–27
51. Fitriatuzzakiyyah. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. 2017. Jurnal Farmasi
Klinik Indonesia Volume 6, Nomor 4, Desember 2017
52. Evans, P.H.R, Montgomery P.Q, Gullane P.J., Principles and Practice
of Head and Neck Oncology, Martin Dunitz, 2003
53. Wondergem J., Radiation Biology, International Atomic Energy
Agency,2010
54. Hunter R, Radiotherapy Dose-Fravtionation, The Royal College of
Radiologist, 2006
55. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring
[serial online]. 2002 [cited 2012 Jan 13].
56. Pandaleke.2014.Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164
57. Malagelada JR, Bazzoli F, Boeckxstaens G, De Looze D, Fried M,
Kahrilas,P et al. World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines Dysphagia —Global Guidelines and Cascades Update. J.
Clinical Gastroenterol;49:370–8
58. Langmore.2006. Endoscopic evaluation of oral and pharyngeal phases
of swallowing. GI Motility online
59. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition.
Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 241-242.

86
60. Imelda Friska Ta’uro dkk. Tracheostomy sebagai Penanganan
Obstruksi Jalan Napas pasienTumor Laring : Laporan Kasus. Medical
Profession Program, Faculty of Medicine, Tadulako University.2019.
61. Netter FH. Atlas of human anatomy. 4th edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2006.p.58.
62. Agur AMR, Dalley AF. Grant’s atlas of anatomy.12th edition.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009.p.677-783
63. Dhingra PL. Diseases of ear, nose and throat 4th edition. New Delhi:
Elsevier; 2007.p.211-3
64. Holsinger FC, Bui DT.Anatomy, function, and evaluation of salivary
glands.Dalam: Myers EN, Ferris RL,penyunting. Salivary
glanddisorders. Berlin: Springer-Verlag; 2007. h. 1-15.
65. American Cancer Society. Laryngeal and Hypopharyngeal Cancers.
Washington: American Cancer Society; 2016.
66. Maulana AS, dkk.Kasus Karsinoma Nasofaring di RSUD dr. Soebandi
Jember Periode 2009-2010.2010
67. Ondrey FG, Simon K, K.Wright. Neoplasm of the Nasopharynx.In
:Ballanger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sixteenth
Edition.2003.p. 1392-1407
68. Susworo, R., Radioterapi: Dasar-dasar Radioterapi dan Tata Laksana
Radioterapi Penyakit Kanker, UI Press, 2007
69. Evans, P.H.R, Montgomery P.Q, Gullane P.J., Principles and Practice
of Head and Neck Oncology, Martin Dunitz, 2003
70. Wondergem J., Radiation Biology, International Atomic Energy
Agency,2010
71. Hunter R, Radiotherapy Dose-Fravtionation, The Royal College of
Radiologist, 2006
72. Aguinik, M., Head an Neck Cancer, INTECH, 2012
73. Chong, LM, Head and Neck Radiation Oncology. Kluwer academic
press. 2004
74. Hansen, E.K, Roach, M., Hanbook of Evidence-Based Radiation
Oncology, 2nd ed., Springer, 2010

87
88

Anda mungkin juga menyukai