Anda di halaman 1dari 16

Peran Teknologi Kinerja Dalam Rangka Peningkatan Kinerja di Masa Pandemi:

Alternatif Flexible Working Space

A. Pendahuluan
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan tantangan yang belum pernah terjadi
sebelumnya pada sistem kesehatan masyarakat dan ekonomi global (McKibben & Fernando,
2020). Dampak terhadap dunia kerja adalah penerapan bekerja dari rumah. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah modern, pekerja pengetahuan di seluruh dunia dipaksa untuk bekerja
dari rumah setiap hari melalui penguncian yang diberlakukan oleh pemerintah dan
menghadapi banyak tantangan teknologi baru yang mungkin belum mereka siapkan. Kerja
yang dipaksakan dari rumah tersebut berdampak pada orang-orang yang tidak pernah
berkeinginan atau tidak diizinkan bekerja dari rumah karena kebijakan organisasi
(Waizenegger et al., 2020). Pemerintah telah menerapkan jarak sosial melalui langkah
angkah pengendalian pada banyak aspek masyarakat, khususnya mobilitas (Walker et al.,
2020). Kehidupan sosial dan pekerjaan kita tiba-tiba telah berubah, dan banyak negara
sedang mempertimbangkan tindakan penguncian (pemerintah memaksa orang untuk tinggal
di rumah) atau jarak sosial (orang-orang yang tinggal pada jarak tertentu dari satu sama lain)
untuk berlanjut sampai masa mendatang (Gallagher, 2020).
Penerapan Work From Home (WFH) pun menghadapi tantangan karena selain tidak
semua jenis pekerjaan dapat dikerjakan dari rumah tetapi juga dihadapkan oleh hambatan
seperti alat kerja, koordinasi, gangguan dari dalam rumah misalnya pekerjaan rumah tangga
merawat anak, masalah jaringan dan lain sebagainya. Bekerja di ruang yang digunakan
bersama dengan penghuni rumah lainnya, yang menyebabkan gangguan dan kesulitan untuk
fokus pada tugas-tugas pekerjaan (Waizenegger et al., 2020). Kehidupan masyarakat yang
serba dilakukan dari rumah ini kemudian menjadi “New Normal” atau aktivitas normal baru
(Ahmad, 2020). Kondisi tersebut merupakan dampak dari pandemi.
Pandemi mengubah batas yang ada dan menantang praktik yang “biasa”. Pandemi
mengaburkan batas mikro, lintas domain yang membentuk perilaku kerja sehari-hari. Karena
Covid-19 telah mendorong adopsi pekerjaan jarak jauh (Duffy, 2020), banyak orang bekerja
dari rumah sambil menjalankan berbagai tuntutan non kerja, misalnya, membantu anak-anak
belajar dari rumah, menjalankan tugas untuk anggota keluarga lanjut usia yang disarankan
tinggal di rumah setiap saat, dan lain sebagainya. "New Normal" telah mengubah bisnis
menjadi kasual di rumah, pertemuan langsung menjadi konferensi web, dan ruang sekolah
tatap muka menjadi tugas online dan pelajaran virtual (Davis et al., 2020).
Pegawai yang berpengetahuan dipaksa untuk menggunakan teknologi dengan cara
baru untuk melakukan pekerjaan mereka, terlibat dengan rekan kerja mereka,
dikombinasikan dengan tekanan tambahan dalam mengelola lingkungan rumah yang
mungkin tidak sesuai untuk tujuan kerja (Waizenegger et al., 2020). Karyawan menjadi
lebih mahir dalam menggunakan alat kerja digital, yang membawa rutinitas dan kebiasaan
baru ke dalam kehidupan mereka. Penting untuk diingat bahwa perangkat kerja digital dapat
ditempa, mereka dalam fleksibilitas dan keterbukaan yang melekat di perusahaan saat
mengaktifkan dan mendukung berbagai praktik kerja tanpa perlu penyesuaian teknis
(Richter & Riemer, 2013). Perubahan-perubahan ini cenderung mempengaruhi hasil kerja
dan karier individu dengan cara yang berbeda (Cho, 2020). Secara teori, gagasan
"fleksibilitas" mencakup sejumlah besar praktik kerja seperti pembagian tugas, "ruang
fleksibel", "waktu fleksibel" dan bekerja di rumah (Burnett et al., 2011). Praktik kerja yang
fleksibel telah diidentifikasi oleh pemerintah kontemporer sebagai elemen kunci dalam
kebijakan keluarga dan ketenagakerjaan serta menunjukkan bahwa mereka umumnya
ditafsirkan dan diberlakukan oleh politisi, organisasi dan karyawan sehubungan dengan
keinginan untuk memfasilitasi peningkatan keseimbangan kehidupan kerja (Burnett et al.,
2011). Himbauan Presiden tentang bekerja dari rumah ditindaklanjuti dengan Peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melalui
Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil
Negara dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah. Poin
penting dari surat edaran tersebut adalah ASN dapat bekerja di rumah atau tempat tinggal
namun ada dua level pejabat struktural tertinggi yang bekerja di kantor serta penundaan atau
pembatalan penyelenggaraan kegiatan tatap muka dengan banyak peserta.
Tepat pada tanggal 15 Mei 2020, dalam berita Medcom.id Menteri Keuangan
Republik Indonesia Sri Mulyani merilis Kebijakan Flexible Working Space (FWS) sebagai
aktivitas normal baru (New Normal) pegawai Kemenkeu karena adanya Covid-19.
Menurutnya keberadaan pandemi memberikan banyak pelajaran baru dan memaksa
lingkungan untuk berubah dan beradaptasi dengan cepat. Kebijakan FWS yang diterapkan
untuk pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan telah disahkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/2020. FWS ini merupakan pengaturan pola kerja
pegawai yang memberikan fleksibilitas lokasi bekerja. Setelah pandemi Covid-19 berakhir
konsep FWS yang merupakan sebuah terobosan penting ini kedepannya akan diberlakukan
sebagai new normal di lingkungan Kementerian Keuangan. Menurut Anderson dan Kelliher,
opsi-opsi kerja yang fleksibel menawarkan kepada para karyawan suatu tingkat pilihan
mengenai dimana dan seberapa banyak mereka bekerja. Biasanya opsi tersebut mungkin
termasuk waktu kerja, kerja jarak jauh (biasanya dari rumah), jam kerja dikurangi atau
waktu kerja yang terkompresi atau ditekan (Anderson & Kelliher, 2009). Hal ini diperkuat
dengan Crouncher dan Kelliher dalam Anderson dan Kelliher yang mengatakan bahwa bagi
banyak pengusaha, motivasi untuk memperkenalkan pekerjaan yang fleksibel adalah untuk
meningkatkan daya tarik mereka di pasar tenaga kerja dan untuk membantu mereka
merekrut dan mempertahankan staf berkualitas tinggi.
Prinsip utama pekerjaan yang fleksibel adalah pilihan karyawan, yang dapat menjadi
faktor kontribusi dalam peningkatan keterlibatan karyawan. Para eksekutif telah
mendapatkan kenyamanan bahwa pekerjaan terus berlanjut ketika karyawan mereka jauh
secara fisik. Sebagai contoh yang menonjol, twitter.com mengumumkan bahwa karyawan
mereka akan diizinkan untuk 'bekerja dari rumah selamanya' (Paul, 2020).
Menurut Anderson dan Kelliher (2009:14-15) kerja fleksibel atau flexible working
dapat membangun komitmen, yaitu pekerja yang fleksibel memiliki tingkat komitmen
organisasi yang lebih tinggi, ditunjukkan oleh kebanggaan mereka sebagai bagian dari
organisasi dan kontribusi mereka terhadap keberhasilan organisasi. Karyawan merasa lebih
berkomitmen dan loyal kepada atasan mereka karena pekerjaan yang fleksibel
memungkinkan kebutuhan mereka dapat diakomodasi.
Karyawan yang melakukan flexible working akan bekerja lebih keras daripada
biasanya. Dalam hal ini, flexible working menuntut karyawan untuk menghabiskan waktu
lebih lama saat bekerja di rumah. Organisasi yang menerapkan flexible working dipandang
sebagai bagian penting dari strategi yang digunakan oleh departemen SDM untuk menarik
kandidat terbaik dan mempertahankan karyawan yang dihargai. Konsep Flexible Working
Space (FWS) ini merupakan sebuah konsep yang baru bagi masyarakat kita dan seperti apa
tantangan dalam penerapan FWS ini untuk kementerian atau lembaga negara lainnya. Paper
ini akan membahas konsep FWS dan penerapannya untuk organisasi pemerintah.
B. Kajian Teoritik
1. Keragaman Istilah
Penamaan konsep bekerja jarak jauh sendiri beragam tetapi hanya beberapa yang
masih sering dipergunakan. Awalnya istilah yang dipergunakan adalah ‘electronic
homework’ yang terdengar kuno sekarang. Istilahnya berkembang menjadi
‘telecommuting’, menggunakan konsep Jack Nilles pada tahun 1973, karena terkait erat
dengan penglaju dari rumah ke kantor berikut masalah kemacetannya (Nilles dkk. 1976).
Kemudian ‘flexiwork’, sebuah istilah yang lebih dikenal di Eropa. Penamaan yang
beragam ini disesuaikan dengan fokus dari penerapan bekerja jarak jauh. Penggunaan
istilah flexy (flexywork, flexibility working) dengan mempertimbangkan kondisi
keleluasaan dalam bekerja, yang artinya jam kerja disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Lainnya seperti ‘homework’, ‘alternative officing’ dan ‘mobile working’ berdasarkan
keragaman bentuk bekerja jarak jauh misal bekerja dari rumah dengan kantor pusat,
gabungan bekerja pada kantor pusat dan kantor cabang, dan nomaden tanpa kantor
(Stanworth dan Stanworth, 1991; dan Gordon, 1996).
2. Keragaman Bentuk
Bentuk yang paling mudah dikenali dari bekerja jarak jauh adalah bekerja dari
rumah (home-based telecommuting) dan bekerja dari kantor cabang (center-based
telecommuting). Seperti namanya, bekerja dari rumah menunjukkan lokasi kerja di
rumah dengan berkomunikasi ke kantor, sementara bekerja dari kantor cabang/satelit
menunjukkan lokasi bekerja bukan di rumah tapi di kantor yang terdekat dari rumah.
Menggunakan perspektif transportasi, bekerja dari rumah mengurangi sepenuhnya
perjalanan penglaju, sementara bekerja dari kantor cabang hanya mengurangi jarak
perjalanan (Asgari, 2015).
Teo dkk. (1998) menggambarkan bekerja jarak jauh sebagai menyelesaikan tugas
jauh dari lokasi kantor reguler setidaknya satu sampai dua hari per minggu. Perlu juga
diingat bahwa bekerja jarak jauh tidak perlu melibatkan bekerja di rumah, tetapi bisa
juga termasuk memanfaatkan pusat bekerja jarak jauh (telework center), berlokasi di luar
rumah dan kantor regular.
Penelitian pada tahun 2001, The International Telework Association and Council
ITAC- 2 menemukan bahwa bekerja jarak jauh dapat dilakukan di rumah, jalan, lokasi
pelanggan, atau kantor satelit (cabang). Sebagai tambahan, beragam peneliti
menyepakati bahwa bekerja jarak jauh mengarah pada substitusi sebagian atau
seluruhnya dari penglaju harian (Nilles, 1988; Mokhtarian, 1991; Sampath dkk., 1991;
Handy dan Mokhtarian, 1995; Walls dan Safirova, 2004).
Menurut Heathfield (2019) terdapat beragam skema bekerja diantaranya bekerja
leluasa (flexible schedule), dan bekerja jarak jauh (telecommuting), tentu saja selain
bekerja penuh waktu sampai bekerja sementara. Selanjutnya, bekerja leluasa dimaknai
sebagai pekerja dimungkinkan bekerja berbeda dari waktu kerja konvensional sehingga
pekerja dapat menyeimbangkan bekerja dan berkehidupan. Bekerja jarak jauh (dari
rumah dan/atau lokasi lain di luar kantor) adalah pengaturan bekerja leluasa yang
memungkinkan bekerja jauh dari kantor sepanjang atau sebagian waktu (Mungkasa,
2020).
Literatur mengategorikan praktek kerja leluasa (flexible work) sebagai praktek
kerja kantoran (office-based) dan lokasi leluasa (flexi-place) (Grobler dan De Bruyn,
2011); atau waktu leluasa (flexitime) dan lokasi leluasa (flexi-place) (Munsch, Ridgeway
dan Williams, 2014). Kelly, Moen dan Tranby (2011) mengacu pada keleluasaan
terhadap kendali jadwal, sebab pilihan kerja leluasa dapat mencakup kerja darurat
(contingent work), kerja kontrak (contract work) dan pegawai sesaat (just-in-time
staffing) (Mungkasa, 2020).
Keleluasaan waktu kerja (Flexible Working Time) atau waktu kerja leluasa (Flexi
Time) adalah sistem pengaturan kerja yang memberi lebih banyak kebebasan kepada
karyawan dalam mengatur jam kerja sendiri. Flexi Time banyak digunakan oleh
perusahaan berskala global yang sulit jika harus menyamakan waktu bekerja karena
adanya perbedaan zona waktu di beberapa negara. Flexi Time memegang prinsip bahwa
jam berapapun karyawan masuk, asalkan pekerjaan selesai dan waktu yang digunakan
memenuhi jumlah jam yang sudah disepakati dalam perjanjian kerja. Di bawah ini
adalah beberapa jenis Flexi Time yang sering digunakan:
a. Fixed Working Hours
Sistem kerja yang memungkinkan pegawai dapat bebas memilih sesi kerjanya setiap
hari sesuai ketetapan perusahaan sepanjang memenuhi jumlah minimal 40 jam
seminggu. Sebagai contoh, perusahaan memberi kebebasan kepada karyawan untuk
memilih jam kerja dengan ketentuan 25% karyawan bekerja pada jam 07.00-15.00;
25% karyawan bekerja pada jam 08.00-16.00; 25% karyawan bekerja pada jam
09.00- 17.00; dan 25% terakhir dari karyawan bekerja pada jam 10.00-18.00.
b. Flexible Working Hours
Sistem kerja yang memungkinkan pegawai bekerja leluasa sepanjang memenuhi
jumlah waktu minimal adalah 40 jam per minggu. Jumlah jam kerja tidak harus sama
setiap harinya.
c. Variable Working Hours
Sistem kerja yang mengharuskan pegawai hadir pada jam tertentu di kantor dan
pegawai dapat menetapkan sendiri waktu selebihnya. Sebagai contoh, karyawan
diwajibkan masuk setiap hari jam 09.00-13.00, dan selebihnya dapat bekerja jarak
jauh sampai memenuhi minimal 40 jam seminggu (Ayuna, 2019)

Penelitian lain menyimpulkan terdapat 3 (tiga) kategori bekerja leluasa (flexible work
arrangement/FWA) yaitu flexi-time (leluasa jadwal), tele-homeworking (leluasa tempat),
dan part time (paruh waktu/leluasa lama bekerja). Dalam kenyataannya ketiganya dapat
digabungkan dan saling melengkapi disesuaikan kebutuhan (Possenried dan Plantenga,
2011). Sehingga bekerja leluasa diartikan sebagai kemampuan pekerja mengendalikan
sendiri lamanya bekerja, tempat bekerja jauh dari kantor, penjadwalan kerja yang
ditawarkan perusahaan (Atkinson dan Hall, 2011). Walaupun beragam bentuk bekerja
jarak jauh, namun secara sederhana, bekerja jarak jauh dapat dikategorikan dalam 3
(tiga) jenis yaitu (i) bekerja di rumah (telecommuting); (ii) bekerja dari kantor cabang
yang berlokasi dekat rumah atau kantor satelit (satellite offices); (iii) bekerja di mana
saja di luar kantor sesuai kebutuhan (mobile work) (Mungkasa, 2020).

3. Konsep Flexible Working Space


Terdapat banyak interpretasi tentang fleksibilitas dengan konteks organisasi yang
terbagi kedalam tiga perspektif. Perspektif pertama adalah perspektif strategis dimana
organisasi mendesain kembali struktur organisasinya. Yang kedua adalah munculnya
masalah tentang keseimbangan kehidupan dan kerja, didorong oleh karyawan yang ingin
dapat menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka serta pengusaha yang
ingin mempertahankan staf inti dan meningkatkan perekrutan secara keseluruhan (Dex &
Scheibl, 1999). Perdebatan ini telah diambil oleh Pemerintah (DfEE, 2000) yang
berusaha mendorong pengusaha untuk mengadopsi kebijakan ketenagakerjaan yang
lebih fleksibel. Termasuk dalam inisiatif ini adalah fleksibilitas dalam jam kerja,
kemampuan mengambil cuti untuk memenuhi tujuan pribadi, dan memungkinkan staf
untuk bekerja dari rumah (Hogarth et al., 2000). Perspektif ketiga fleksibilitas organisasi
berhubungan dengan dimana dan ketika orang bekerja terlepas dari kontrak kerja
mereka. Fokus dari topik ini adalah pada perubahan pola kerja dimana individu didorong
diizinkan untuk bekerja pada waktu dan tempat yang paling tepat untuk memenuhi
kebutuhan bisnis dan individu (McGregor and Then, 1999; (Gibson, 2003).
Memang pekerjaan yang fleksibel lebih berhasil ketika kekuatan pendorong bukan
ruang dan penghematan biaya tetapi penekanan diberikan pada manfaat lain (Oseland et
al., 2012). Pengaturan kerja yang fleksibel telah diidentifikasi sebagai salah satu cara
penting untuk menyeimbangkan pekerjaan dan komitmen lainnya (Russell et al., 2009).
Deskripsi fleksibilitas dalam ruang fisik konsisten dengan gagasan bekerja dari rumah.
Keinginan akan ruang fleksibel menggambarkan bahwa pekerjaan juga tidak lagi
dipandang sebagai tempat (Cowan & Hoffman, 2007). Menurut Gibson dari perspektif
organisasi ada tiga jenis fleksibilitas (Gibson, 2003):
1) Fleksibilitas kontrak: staf dipekerjakan pada berbagai kontrak termasuk kontraktor
outsourcing, kontak jangka tetap dan konsultan wiraswasta;
2) Fleksibilitas waktu: staf bekerja pada waktu yang sesuai dengan pemberi kerja dan
karyawan;
3) Fleksibilitas lokasi: staf bekerja di lokasi yang paling tepat seperti bekerja di rumah,
di lokasi klien, di kantor satelit, dan lingkungan non kantor lainnya.
Skryme berpendapat bahwa 3 jenis fleksibilitas tersebut berbeda dengan prinsip
pengaturan kantor konvensional (Skyrme, 1994). Berikut prinsip dari pengaturan kantor
konvensional:
1) Tempat Kerja: tempat kerja fleksibel dan tidak diperbaiki. Sumber daya dapat
dibagikan daripada pribadi. Karena itu, pertimbangan harus diberikan pada
pengaturan penyimpanan dan artefak pribadi;
2) Waktu: banyak jenis pekerjaan fleksibel melibatkan bekerja di zona waktu atau jam
kerja yang fleksibel. Hal ini membutuhkan manajemen waktu yang efektif dan
sarana yang efektif untuk menyerahkan dan mengoordinasi pekerjaan. Sistem
komputer biasanya mendukung kebutuhan ini;
3) Komunikasi: tetap berkomunikasi, terlepas dari lokasi kerja dan waktu kerja
membutuhkan sistem penanganan pesan yang lebih canggih. Prosedur dalam tim
kerja perlu dikembangkan dan dipahami dengan baik;
4) Hubungan: sifat peer to peer ke hubungan manajer berubah. Kontak insidental atau
pertemuan ad hoc yang terjadi di lingkungan kantor informal mungkin memerlukan
pengganti telekomunikasi;
5) Teknologi: layanan dukungan teknologi dan ke rumah mungkin tidak berkembang
sebaik di kantor. Tim pendukung sistem informasi harus peka terhadap kebutuhan
baru;
6) Keamanan: pertimbangan keamanan menjadi sangat penting dengan meja bersama
atau pekerjaan yang dilakukan di rumah. Dengan perencanaan yang matang,
mereka biasanya dapat dikelola;
7) Gaya Manajemen: gaya manajemen dalam lingkungan kerja yang fleksibel harus
menjadi salah satu pemberdayaan daripada kontrol;
8) Keterampilan baru: ada pergeseran keterampilan dari orang-orang yang murni tugas
yang berkaitan dengan orang-orang yang bersifat operasional dan pribadi. Ini
termasuk penanganan teknologi komunikasi baru, perencanaan alur kerja, dan
pengembangan jejaring sosial baru
4. Kinerja Organisasi
Chaizi Nasucha dalam Fahmi (2013:3) mengemukakan bahwa kinerja organisasi
adalah sebagai efektifitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan
yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan dengan usaha-usaha yang sistemik
dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus mencapai kebutuhannya
secara efektif. Sedangkan Callahan dalam Keban (2014:211) menyebutkan bahwa
kinerja organisasi menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapi
hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance),
dibandingkan dengan organisasi lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh
pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Dari pendapat tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kinerja organisasi menggambarkan efektifitas sebuah organisasi
dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhannya serta
bagaimana meningkatkan kemampuan organisasi tersebut. Efektif atau tidaknya sebuah
organisasi dalam memanfaatkan sumberdayanya ketika organisasi tersebut memenuhi
kebutuhan maka itulah kinerja mereka, jika efektif maka kinerja organisasi tersebut
dibilang baik namun sebaliknya jika terjadi inefektifitas maka kinerja organisasi tersebut
kurang baik.
5. Budaya Kerja
Budaya kerja, merupakan kelompok pola perilaku yang melekat secara keseluruhan
pada diri setiap individu dalam sebuah organisasi. Membangun budaya berarti juga
meningkatkan dan mempertahankan sisi-sisi positif, serta berupaya membiasakan
(habituating process) pola perilaku tertentu agar tercipta suatu bentuk baru yang lebih
baik. Adapun pengertian budaya kerja menurut Nawawi (2003:65) adalah kebiasaan
yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan
dengan kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi
secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang
harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Dari uraian di
atas bahwa, budaya kerja merupakan perilaku yang dilakukan berulang-ulang oleh setiap
individu dalam suatu organisasi dan telah menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan
pekerjaan. Adapun menurut Prasetya (2001:13) budaya kerja diartikan sebagai suatu
falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat,
kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok
masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan,
cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu
dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang dalam
organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan bermanfaat karena
setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan
kritik yang bersifat membangun dari ruang lingkup pekerjaaannya demi kemajuan di
lembaga pendidikan tersebut, namun budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai
dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan adanya
perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan pikirannya, karena
setiap individu mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidangnya masing-
masing.
6. Faktor yang Mempengaruhi Produktifitas Kinerja
Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja pegawai/karyawan di suatu
instansi/perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja karyawan tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja karyawan baik hubungan dengan tenaga kerja itu sendiri maupun
faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan perusahaan dan kebijakan
pemerintah secara keseluruhan. Menurut Sutrisno (2011) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas kerja karyawan, yaitu faktor yang ada pada diri individu
seperti umur, temperamen, keadaan fisik individu, kelemahan dan motivasi. Faktor yang
diluar individu, seperti kondisi fisik seperti suara, penerangan, waktu istirahat, lama
kerja, upah, bentuk organisasi, lingkungan sosial dan keluarga. Yuniarsih (2013:159)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal daneksternal. Secara lebih rinci dapat
diuraikan sebagai berikut: diri individu seperti umur, temperamen, keadaan fisik
individu, kelemahan dan motivasi. Faktor yang diluar individu, seperti kondisi fisik
seperti suara, penerangan, waktu istirahat, lama kerja, upah, bentuk organisasi,
lingkungan sosial dan keluarga. Yuniarsih (2013:159) menyebutkan bahwa faktorfaktor
yang mempengaruhi produktivitas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1) Komitmen kuat terhadap visi dan misi institusional;
2) Struktur dan desain pekerjaan;
3) Motivasi, disiplin dan etos kerja yang mendukung ketercapaian target;
4) Dukungan sumber daya yang bisa digunakan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas;
5) Kebijakan perusahaan yang bisa merangsang kreativitas dan inovasi;
6) Perlakuan menyenangkan yang bisa diberikan pimpinan dan/atau rekan kerja;
7) Praktik manajemen yang diterapkan oleh pimpinan;
8) Budaya organisasi/kerja, dan lingkungan kerja yang ekonomis;
9) Kesesuaian antara tugas yang diemban dengan latar belakang pendidikan,
pengalaman, minat, keahlian, dan keterampilan yang dikuasai;
10) Komunikasi antar individu dalam membangun kerja sama.
b. Faktor Eksternal
1) Peraturan perundangan, kebijakan pemerintah, dan situasi politis;
2) Kemitraan (networking) yang dikembangkan;
3) Kultur dan mindset lingkungan sekitar organisasi;
4) Dukungan masyarakat dan stakeholder secara keseluruhan;
5) Tingkat persaingan;
6) Dampak globalisasi.
Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Bogdan & Taylor sebagaimana dikutip Moleong (2014:4) mengemukakan
bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dalam
hal ini, peneliti menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan gambaran secara
holistik mengenai konsep Flexible Working Space dalam meningkatkan produktivitas
dan kinerja organisasi. Data dalam artikel ini bersumber dari data sekunder dan teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan studi literatur atau kepustakaan.
Menurut Sarwono (2006:225), studi pustaka yaitu bersumber dari hasil bacaan literatur
atau buku-buku atau data terkait dengan topik penelitian. Dalam artikel ini, studi pustaka
yang dilakukan penulis adalah dengan cara mengumpulkan data dan informasi dengan
membaca buku-buku, artikel, jurnal, publikasi majalah, publikasi berita, perundang-
undangan dan catatan lainnya yang berhubungan dengan konsep Flexible Working Space
(FWS).
7. Manfaat, Kerugian dan Dampak
Secara singkat, manfaat bagi pekerja adalah (i) keseimbangan antara bekerja dan
kehidupan keluarga; (ii) mengurangi waktu perjalanan ke kantor dan penghematan bahan
bakar; (iii) dapat mengendalikan jadwal kerja dan suasana kerja; (iv) dapat memilih
bekerja ketika suasana hati sedang baik. Sementara manfaat bagi pemberi kerja adalah
(i) mendorong semangat bekerja; (ii) mengurangi kemalasan dan ketidakhadiran; (iii)
mengurangi pergantian pekerja; (iv) memperkuat citra perusahaan sebagai tempat
bekerja yang ramah keluarga. Beragam manfaat yang diperoleh dari bekerja jarak jauh
namun bukannya tanpa kendala dan masalah. Bagi pekerja beberapa masalah
diantaranya adalah (i) pekerja yang terbiasa dengan suasana kantor konvensional
menjadi kesulitan dalam berkoordinasi dengan rekan kerja. Dibutuhkan penjadwalan
kerja yang lebih rapi bahkan mungkin perlu ditetapkan waktu tetap untuk berkumpul di
kantor; (ii) tidak terlihat batasan jelas antara kantor dan rumah, bahkan cenderung waktu
kerja menjadi tanpa batasan; (iii) pekerja jarak jauh cenderung terlihat seperti
pengangguran dan berdampak pada hubungan dengan tetangga dan keluarga. Keluarga
dan tetangga mungkin menjadi marah ketika pekerja jarak jauh tidak ikut serta dalam
pekerjaan rumah tangga dan lingkungan walaupun kenyataannya berada di rumah.
Sementara bagi pimpinan perusahaan/organisasi, beberapa kendala yang mungkin timbul
diantaranya adalah (i) beberapa pimpinan mengalami kesulitan menyesuaikan diri
terutama bagi pimpinan yang cenderung kurang percaya kepada bawahan; (ii) pada
pekerjaan yang membutuhkan intensitas kerjasama kelompok yang tinggi, dibutuhkan
pengaturan jadwal pertemuan yang akan merepotkan; (iii) jenis pekerjaan yang
membutuhkan bertemu langsung dengan pelanggan hanya memungkinkan bekerja
leluasa secara terbatas, tidak mungkin sepanjang waktu berada jauh dari kantor.
Sementara ketika hanya sebagian pekerja yang bisa bekerja jarak jauh maka ini akan
menimbulkan rasa ketidakadilan diantara pekerja. (iv) beberapa pekerja tidak dapat
bekerja tanpa pengawasan.
8. Kebijakan Organisasi
Pada saat pandemik Covid-19 yang mengharuskan bekerja jarak jauh untuk mengurangi
pergerakan penduduk, ternyata secara umum regulasi yang mendukung sudah cukup
memadai. Namun masih dibutuhkan aturan perusahaan atau organisasi yang
mempekerjakan pegawai jarak jauh. Untuk itu, penyusunan kebijakan
organisasi/perusahaan menjadi suatu keniscayaan. Berdasar pembelajaran pada beberapa
perusahaan di Amerika Serikat, sejak dimulainya penerapan bekerja jarak jauh era
pandemik Covid-19, penyusunan kebijakan perusahaan didasari oleh beberapa isu
mendasar, yaitu:
(i) Kelayakan. Perusahaan perlu menentukan posisi yang layak untuk bekerja jarak
jauh, dan secara jelas ditetapkan dalam kebijakan. Melalui analisis model jenis
pekerjaan dan operasional kantor, perusahaan dapat menetapkan skema bekerja
jarak jauh seluruh kantor yang mencakup jenis pekerjaan, posisi, bahkan
pengaturan waktu yang tepat untuk bekerja jarak jauh (termasuk kemungkinan
skema bergiliran) Walaupun kemudian dapat terjadi tidak ada satupun pekerjaan
yang dapat dilaksanakan di luar kantor. Namun sepanjang ditetapkan dengan
jelas dalam kebijakan perusahaan maka hal ini tidak akan menjadi sumber
pertanyaan di masa depan. Namun dalam kondisi pandemik Covid-19 ketika
kantor ditutup dan pegawai diarahkan bekerja dari rumah, terdapat kondisi
pegawai tidak dapat melakukannya berdasar kondisi/alasan tertentu. Sebagai
ilustrasi, ketika kemudian sekolah juga diliburkan dan membuat orang tua tidak
dapat bekerja untuk menjaga sang anak. Di Amerika Serikat, berdasar Families
First Coronavirus Response Act ("FFCRA"), sejak 1 April 2020 pegawai yang
tidak dapat bekerja atau tidak dapat bekerja jarak jauh karena alasan tertentu
terkait pandemik Covid-19 (termasuk dalam daftar kelayakan FFCRA) akan
memperoleh kompensasi dan dianggap cuti dengan gaji tetap dbayarkan.
(ii) (ii) ketersediaan. Jika perusahaan membolehkan bekerja jarak jauh, maka dalam
kebijakan perusahaan perlu dinyatakan secara jelas bentuk pengaturannya
termasuk jadwal, pengaturan kehadiran di kantor jika tidak bekerja di luar
kantor, dukungan perusahaan atau pekerja menyiapkan perlengkapannya sendiri
di rumah.
(iii) Pengaturan jadwal perlu disepakati sejak awal untuk menghindari kecemburuan
dan perasaan diperlakukan tidak adil dari pegawai yang tetap bekerja di kantor
atau sedang dapat giliran bekerja di kantor. Selain itu, perlu dipikirkan
kompensasi bagi pekerja yang tidak mempunyai peluang bekerja di luar kantor.
(iv) kecepatan tanggapan. Keberadaan pegawai yang jauh dari pengamatan langsung
pimpinan kadang memunculkan rasa kecurigaan atau kekhawatiran bahwa
pegawai tidak melaksanakan tugasnya sesuai aturan. Untuk itu, kecepatan
pegawai dalam menanggapi pertanyaan atau permintaan dari kantor maupun
sesama pegawai akan membantu menghilangkan kekhawatiran tersebut.
Pengaturan kecepatan tanggapan tersebut secara tertulis, maupun bentuk
perangkat komunikasi yang dipergunakan menjadi bagian penting dalam
kebijakan perusahaan. Penetapan kebijakan yang jelas dapat menghindari
terjadinya hubungan yang kurang harmonis diantara atasan dengan pegawai dan
sesama pegawai.
(v) ukuran produktivitas. Salah satu faktor yang mendorong maraknya bekerja jarak
jauh adalah hasil penelitian yang menunjukkan peningkatan produktivitas
bekerja jarak jauh lebih baik dari bekerja konvensional. Namun keberadaan
pegawai yang jauh dari pantauan langsung pimpinan membutuhkan pemilihan
metode baru pengukuran produktivitas pegawai. Terdapat banyak pilihan metode
pengukuran mulai dari lamanya waktu pelaksanaan pekerjaan, jumlah masalah
yang terselesaikan, sampai jumlah rekanan yang tertangani. Tentu saja metode
pengukuran tidak sesederhana sekedar menghitung jumlah lamanya bekerja,
tetapi lebih berfokus pada keluaran yang dihasilkan. Walaupun demikian,
pemantauan lamanya bekerja dan penyerahan laporan perkembangan pekerjaan
tetap diperlukan. Absensi daring termasuk lokasinya dilakukan awal dan akhir
dilengkapi dengan laporan harian. Beberapa perusahaan telah dilengkapi dengan
aplikasi yang dapat mengakomodasi absensi, pelaporan, diskusi daring, berbagi
informasi dan lainnya. Pemantauan terhadap kemajuan pekerjaan dapat
dilakukan secara daring dan berkala. Hal ini juga sebagai pengganti pertemuan
tatap muka diantara pegawai yang sering terjadi di kantor.
C. Kesimpulan
Flexibel Working Space merupakan sebuah konsep yang baru bagi masyarakat. Secara
umum konsep flexible working dapat membangun komitmen, yaitu pekerja yang fleksibel
memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi, ditunjukkan oleh kebanggaan
mereka sebagai bagian dari organisasi dan kontribusi mereka terhadap keberhasilan
organisasi. Karyawan merasa lebih berkomitmen dan loyal kepada atasan mereka karena
pekerjaan yang fleksibel memungkinkan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Karyawan
yang melakukan flexible working akan bekerja lebih keras daripada biasanya. Organisasi
yang menerapkan flexible working dipandang sebagai bagian penting dari strategi yang
digunakan oleh departemen SDM untuk menarik kandidat terbaik dan mempertahankan
karyawan yang dihargai. Konsep flexibel working space terbagi kedalam tiga perspektif.
Perspektif pertama adalah perspektif strategis dimana organisasi mendesain kembali struktur
organisasinya. Yang kedua adalah munculnya masalah tentang keseimbangan kehidupan dan
kerja dan yang ketiga adalah fleksibilitas organisasi berhubungan dengan dimana dan ketika
orang bekerja terlepas dari kontrak kerja mereka.
Munculnya konsep baru pastilah tidak luput dengan adanya tantangan dan peluang.
Tantangan yang dihadapi ketika pelaksanaan flexibel working space adalah bahwasannya
keseimbangan kerja tidak dapat dihubungkan dengan kehidupan. Sedangkan peluang
pelaksanaan flexibel working space adalah terdapat berbagai manfaat ketika konsep tersebut
diterapkan dalam lingkungan kerja.

Daftar Pustaka

Ahmad, T. (2020). Corona Virus (COVID-19) Pandemic and Work from Home: Challenges
of Cybercrimes and Cybersecurity. SSRN Electronic Journal.
https://doi.org/10.2139/ssrn.3568830
Anderson, D., & Kelliher, C. (2009). Flexible working and engagement: the importance of
choice. Strategic HR Review, 8(2), 13–18. https://doi.org/10.1108/14754390910937530
Burnett, S., Gatrell, C., Cooper, C., & Sparrow, P. (2011). Fatherhood and flexible working:
A contradiction in terms? In Creating Balance?: International Perspectives on the Work-
Life Integration of Professionals (pp. 157–171). Springer Berlin Heidelberg.
https://doi.org/10.1007/978-3-642- 16199-5_9
Cho, E. (2020). Examining boundaries to understand the impact of COVID-19 on vocational
behaviors.Journal of Vocational Behavior, 119(xxxx), 2011–2013.
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2020.103437
Davis, K. G., Kotowski, S. E., Daniel, D., Gerding, T., Naylor, J., & Syck, M. (2020). The
Home Office:Ergonomic Lessons From the “New Normal.” Ergonomics in Design,
28(4), 4–10.https://doi.org/10.1177/1064804620937907
Duffy, C. (2020). Big tech firms ramp up remote working orders to prevent coronavirus
spread. CNN. Retrieved from https://edition.cnn.com/2020/03/10/tech/ google-work-
from-homecoronavirus/index.html
Gallagher, J. (2020). Analysis: How do we get out of lockdown? BBC News.
https://www.bbc.com/news/ health-52183295
Hartati, I. & Arfin. (2020). Strategi Pembangunan SDM Kementerian Keuangan Republik
Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Era Disrupsi 4.0. Jurnal BPPK, Vol. 13 No. 1,
hal. 109-129.
Hogarth T, Hasluck C, Pierre G, Vivian D. (2001). Work-Life Balance 2000: Results from
the Baseline. Department for Education and Employment Research, Report RR249.
Hyman, J., Baldry, C., Scholarios, D., & Bunzel, D. (2003). Work-life imbalance in call
centres and software development. British Journal of Industrial Relations, 41(2), 215–
239. https://doi.org/10.1111/1467-8543.00270
Idris, M. (2020). Usai Corona, Sri Mulyani Bebaskan PNS Kemenkeu Kerja dari Mana Saja,
Ini Syaratnya. https://money.kompas.com/read/2020/05/17/111323626/usai-corona-sri-
mulyanibebaskan-pns-kemenkeu-kerja-dari-mana-saja ini?page =all
McKibben, W., & Fernando, R. (2020). Centre for Applied Macroeconomic Analysis The
Global Macroeconomic Impacts of COVID-19: Seven Scenarios. Centre for Applied
Macroeconomic Analysis, 1–45.
https://cama.crawford.anu.edu.au/sites/default/files/publication/cama_crawford_anu_ed
u _au/2020-03/19_2020_mckibbin_fernando_0.pdf
Paul, K. (2020). Twitter announces employees will be allowed to work from home ‘for-
ever’. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2020/may/12/ twitter-
coronavirus-covid19-work-from-home.
Waizenegger, L., McKenna, B., Cai, W., & Bendz, T. (2020). An affordance perspective of
team collaboration and enforced working from home during COVID-19. European
Journal of Information Systems, 29(4), 429–442.
https://doi.org/10.1080/0960085X.2020.1800417
Walker, A., Gt, P., Walker, P. G. T., Whittaker, C., & Watson, O. (2020). O impacto global
do COVID-19 e as estratégias de atenuação e supressão ok. 1–16

Anda mungkin juga menyukai