Breakdown yang saya rasakan pada malam ulang tahun saya yang ke-19
itu ternyata tidak berakhir dalam semalam. Saya merasakan semua yang saya
rasakan itu hingga saat ini, dan saya rasa akan terus berlanjut. Saya merasa
bingung, saya merasa ketakutan. Apakah saya gila? Apakah saya tidak normal?
Apakah saya berbeda? Semua pertanyaan ini muncul. Namun pada bagian diri
saya lainnya juga menjawab semua pertanyaan itu. Bagian dari diri saya
mencoba meyakinkan diri saya secara keseluruhan bahwa saya normal. Saya bisa
melewati semua ini, saya bisa berjuang melewati semua perasanaan aneh ini dan
saya yakin bisa menjadi diri saya lagi.
Setelah mengalami semua kesulitan yang saya rasakan sendirian, saya
rasa saya perlu membagi keresahan ini kepada orang lain. Teman saya, lebih
tepatnya lima teman saya, menjadi samsak saya untuk melampiaskan semua
kegelisahan yang saya rasakan selama beberapa tahun kebelakang. Saya
menceritakan semuanya secara berantakan, gamblang, dan tentunya air mata
yang tak terkendalikan. Respon yang saya dapatkan pun sangat jauh dari
ekspektasi saya. Kelima teman saya menangis. Mereka menangis sejadi-jadinya.
Saya berfikir karena mereka iba terhadap penderitaan saya selama ini, ternyata
mereka menangis karena merasakan hal yang sama seperti saya. Mereka
menangis karena memikul beban yang sama seperti saya. Mereka menangis
karena merasa tidak bisa membuka perasaannya seperti saya. Mereka
mengasihani diri sendiri.
Hal ini tentu membuat saya merasa… lega. I feel such a relief knowing all
my friends in my age feel the same as me. Tentu saya bukan merasa lega karena
mereka memiliki masalah, tapi saya merasa lega karena saya memperbaiki
semua ini bersama mereka. Ternyata yang bisa saya simpulkan dari pengalaman
saya ini adalah bahwa hanya karena saya merasa berbeda, bukan berarti saya
adalah outsider. Bukan berarti saya aneh, bodoh, atau bahkan gila. Hal yang
perlu dilakukan hanyalah untuk bisa berdamai dengan diri sendiri, dan mencoba
membuka diri untuk orang lain.
THE END