Anda di halaman 1dari 9

DINAMIKA SOSIAL PETANI GAMPING PUGER

TAHUN 1960 – 2013

(Karya Ini dibuat Guna Memenuhi Tuntutan Tugas Mata Kuliah Metodologi dan Teori
Sejarah Kelas A)

Muhammad Syahrul Mudlofar

Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Jember

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menambang merupakan aktifitas pengambilan sumber daya alam dari


dalam tanah melalui proses penggalian. Menambang berasal dari kata “Tambang”
berarti tempat galian di dalam tanah yang diambil hasil geologisnya untuk
dimanfaatkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “tambang”
sebagai tempat yang diambil hasil buminya dari dalam bumi atau menggali
barang tambang dari dalam tanah. Pada intinya menambang berarti aktifitas
penggalian tanah dengan tujuan mengambil sumber daya yang tersedia di
dalamnya agar dapat diambil manfaatnya. UU Minerba tahun 2009 menyebutkan
bahwa pertambangan merupakan

Sejauh ini aktivitas pertambangan pertama yang dapat diketahui yakni


pada masa peradaban Mesir Kuno. Pada masa tersebut aktivitas pertambangan
masih menggunakan alat-alat sederhana dari batu untuk menggali lapisan kerak
bumi. Alat penggalian kemudian berkembang dengan logam sebagai bahan baku
pembuatannya. Penggunaan logam sebagai bahan baku peralatan manusia kala itu
membuktikan adanya aktivitas penambangan logam dan juga berarti dalam
periodisasi sejarah peradaban manusia saat itu telah memasuki zaman logam.
Tambang Nubia merupakan lokasi pertambangan yang terkenal dan terbesar pada
zaman logam.1

Aktivitas petambangan di Indonesia diduga telah ada sejak 700 SM,


namun kemungkinan yang lebih terbukti yakni dimulai sejak masuknya
kebudayaan Hindu serta kedatangan orang Cina di Indonesia pada ratusan tahun
yang lalu. Bahan galian yang diambil masa itu adalah emas. Kemudian setelah

1
Martini Sitompul, Mendulang Sejarah Tambang di Indonesia, Artikel dalam Historia.id,
https://historia.id/politik/articles/mendulang-sejarah-tambang-nusantara-p4WOp, diakses pada
Kamis, 25 September 2019.

1
emas menjadi bahan galian tertua logam berjenis timah menjadi bahan galian
tertua kedua yang diproduksi pada pertambangan lama di Indonesia. Pada masa
VOC (1619-1799) aktivitas pertambangan semakin massif terjadi, jauh berbeda
dengan pola pertambangan masyarakat lokal yang lebih memilih bertani dengan
resiko lebih kecil ketimbang menggantungkan hidup dari hasil pertambangan.
kebutuhan untuk mencetak uang menimbulkan kebutuhan yang cukup besar
terhadap logam berjenis perak, tambang perak pertama terletak di Salida,
Sumatera Barat dan diketahui mulai aktif pada sekitar tahun 1670. Pada sekitar
tahun 1710 VOC membeli Timah dari Sultan Palembang, timah tersebut berasal
dari hasil perdagangan dengan orang Cina di Pulau Bangka.2

Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno yakni pada tahun 1951,


sebuah perusahaan pertambangan nasional didirikan. Perusahaan Tambang
Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI) dan Perusahaan Tambang
Minyak Nasional (PTMN) memperoleh hak tambang atas kilang minyak
peninggalan pemerintah Hindia Belanda. PTMNRI berhak menguasai kilang
minyak Pangkalan Brandan, Langkat dan Langsa di Sumatera, sedangkan PTMN
memperoleh hak tambang kilang minyak Ledok, Nlobo, dan Semanggi, Jawa
Timur.3

Gunung Sadeng terletak di Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Gunung


Sadeng merupakan bukit Karst yang mengandung bahan galian tambang
golongan C dengan luas bidang sebesar kurang lebih 279 hektare serta
ketinggian sekitar 80 meter. Kandungan bahan tambang Gunung sadeng yakni
berupa batuan kapur atau biasa disebut sebagai “Gamping” di daerah tersebut.
Kegiatan pertambangan di Gunung Sadeng telah dilakukan secara turun temurun
oleh masyarakat lokal kemungkinan sejak tahun 1960-an. Masyarakat lokal
mengksplorasi Gunung Sadeng dengan peralatan sederhana seperti cangkul, palu,

2
Sigit S, Sepenggal Sejarah perkembangan PERTAMBANGAN INDONESIA, (Jakarta:
Yayasan Minergy Informasi Indonesia, 2004) dalam Arif Zulkifli, Pengelolaan Tambang
Berkelanjutan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014) hlm. 2.
3
Op., Cit.

2
dan linggis. Kemudian sejak maraknya pabrik penggilingan batu didirikan
aktivitas penambangan mulai menggunakan bahan peledak berupa dinamit.

Masyarakat penambang tradisional (selanjutnya disebut petani


“gamping”) sebagian besar tinggal di sekitar Gunung Sadeng, tepatnya di Desa
Grenden Kecamatan Puger dimana merupakan daerah yang paling banyak
memiliki “Tumang” atau tungku perapian bervolume besar sebagai alat
pembakaran batu gamping untuk memproduksi bubuk kapur secara tradisional.
Dalam struktur masyarakat petani gamping terdapat beberapa kelas sosial,
sebutan petani gamping bukan berdasarkan spesifikasi pekerjaan melainkan lebih
kepada penambang secara umum, dan dalam hal ini temasuk penambang batu
gamping (bahan mentah), pemilik alat penggilingan (pabrik penggilingan),
pekerja Tumang, pemodal/pemilik Tumang. Hubungan diantara ke empat peran
tersebut saling berhubungan satu sama lain, namun sama sekali tidak ada
hubungan antara pekerja tumang dan penambang batu, karena keduanya sama-
sama berstatus sebagai bawahan dalam hubungan dengan atasannya. Lalu media
massa menyebut semua kelompok tersebut sebagai petani gamping, sehingga
sebutan petani gamping yang dikenal saat ini bersifat lebih umum bagi
masyarakat yang beraktivitas diseputar produksi dan reproduksi tambang batu
gamping, yakni ke empat kelompok tersebut.

Utamanya pada proses produksi gamping agar menjadi kapur alurnya


cukup rumit, sehingga membutuhkan modal yang cukup besar. Setidaknya
sebuah tumang memerlukan waktu selama kurang lebih satu minggu untuk
menyelesaikan alur produksi satu kali. Dua sampai tiga hari untuk proses
pembakaran tergantung kualitas batu gamping, sisanya untuk proses penataan
batu dalam tumang sebelum pembakaran, kemudian pasca pembakaran proses
ngentas atau mengangkat dan meniriskan batu gamping, melebur batu menjadi
bubuk kapur, mewadahi bubuk kapur dengan karung plastik, serta nguras atau
membersihkan tumang dari residu pasca pembakaran. Setidaknya untuk
menyelesaikan alur proses tersebut membutuhkan 15 – 25 orang tenaga kerja,
sehingga modal produksi bubuk kapur secara tradisional menjadi cukup mahal.

3
Laporan liputan6.com menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 terjadi
kemorosotan aktivitas penambangan kapur komersial tradisional sehingga
produktivitas menurun. Selain keterbatasan SDM, menurunnya produktivitas
turut disebabkan oleh kemerosotan harga produk olahan kapur, peningkatan biaya
produksi, dan persaingan modal, teknologi serta kualitas dan kuantitas produksi
dengan perusahaan swasta yang memiliki hak konsesi lahan di Gunung Sadeng. 4
Berdasarkan data Caves.id, sebuah organisasi yang berfokus pada bidang
Speleologi, sebanyak 20 ijin pertambangan baru diterbitkan pada tahun 2010,
kemudian 4 ijin baru terbit di tahun 2013.5

Meningkatnya keberadaan korporasi tambang belum tentu meningkatkan


kesejahteraan masyrakat sekitar. Lapangan pekerjaan yang dibuka perusahaan
memiliki standar kualifikasi sehingga tidak serta merta dapat diakses seluruh
kalangan. Kuantitas produksi petani gamping tradisional pun tidak mungkin
dibandingkan dengan korporasi yang bermodal lebih besar dan teknologi lebih
maju. Kualitas produksi petani gamping sebatas berupa bubuk kapur, jauh
berbeda dengan korporasi seperti PT. Semen Puger Jaya Raya Sentosa misalnya
yang dapat mengolah lebih lanjut menjadi bubuk semen. Fakta tersebut cukup
membahayakan eksistensi petani gamping di Gunung Sadeng, Puger. Disamping
itu bahaya kerusakan lingkungan akan membayangi masyarakat sekitar dengan
masifnya aktivitas pertambangan akibat masuknya korporasi besar di Gunung
Sadeng, Puger.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan beberapa pokok


permasalahan, yaitu:

1.2.1. Bagaimana Perkebangan Aktivitas Pertambangan di Gunung Sadeng?

4
Dikutip dari laman liputan6.com,
https://www.liputan6.com/news/read/55602/Penambang-Batu-Kapur-di-Grenden-Terancam-
Bangkrut, diakses pada 25 September 2019.
5
Dikutip dari laman Caves.id,
https://peta.caves.or.id/search/2k=Puger&bPencarian&page=33, diakses pada 25 September
2019

4
1.2.2. Bagaimana Proses Masuknya Korporasi Tambang di Gunung Sadeng?
1.2.3. Bagaimana Dinamika Sosial Petani Gamping di Gunung Sadeng?
1.3 Tujuan

Maka tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah tesebut ialah:

1.3.1. Untuk Mengetahui Perkebangan Aktivitas Pertambangan di Gunung


Sadeng.
1.3.2. Untuk Mengetahui Proses Masuknya Korporasi Tambang di Gunung
Sadeng.
1.3.3. Untuk Mengetahui Kondisi Sosial Petani Gamping di Gunung Sadeng.
1.4 Manfaat

Manfaat penelitian berdasarkan rumusan masalah tersebut ialah:

1.4.1. Menambah Wawasan Mengenai Dinamika Pertambangan di Gunung


Sadeng.
1.4.2. Menjadi Referensi Peneliti Menyangkut Dinamika Pertambangan di
Gunung Sadeng.
1.4.3. Memperkaya Khazanah Historigrafi Indonesia Khususnya di Bidang
Pertambangan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam proses penulisan sejarah hendaknya dilakukan pembatasan untuk


menghindari kesalahan serta keluar pembahasan dari inti permasalahan. Ruang
lingkup dalam kajian ditetapkan dalam tiga hal, yakni lingkup spasial, lingkup
temporal serta lingkup kajian.

Dalam hal spasial ruang lingkup kajian ini terbatas pada sekitar wilayah
Gunung Sadeng di Kecamatan Puger, Kabupaten jember. Lingkup ini dipilih
dengan pertimbangan kesesuaian dengan ruang lingkup kajian.

Dalam hal temporal tahun 1960 dipilih sebagai permulaan penelitian ini
sebab diketahui aktivitas pertambangan bermula pada sekitar tahun tersebut, serta
tahun 2013 sebagai akhir temporal sebab terjadinya pembaruan 4 ijin tambang

5
yang berarti sebelum tahun tersebut telah ada beberapa korporasi dengan
demikian subjek untuk tujuan peneliti telah tercukupi.

Akhirnya pembatasan terhadap ruang lingkup kajian pun dirasa perlu,


dalam hal ini peneliti membatasi lingkup kajian disekitar kajian sosial sebab
kajian tersebutlah yang sesuai dan menarik untuk dibahas dalam tema
pembahasan kali ini.

1.6 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai aktivitas pertambangan di Gunung Sadeng sejauh ini


belum banyak dibahas. Kajian sejarah masih membahas secara umum atau secara
spesifik pada tema tertentu namun tidak bersangkutan dengan tema kali ini,
sedangkan kajian berdasarkan program studi lain mayoritas berasal dari program
studi pertambangan yang berbicara mengenai komposisi bahan baku pembuatan
semen, kualitas kandungan kimiawi dan sebagainya yang tidak terlalu substansial
bagi penelitian sejarah.

Jurnal Geografi Pengaruh Lahan Karst di Gunung Sadeng Kecamatan


Puger Kabupaten jember Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat
berbicara tentang pengaruh lahan karst gunung sadeng terhadap kondisi sosial
ekonomi masyakat.6

Kemudian Jurnal Pendidikan Sejarah Pasca Sarjana UM yang berjudul


Puger: Sejarah dan Potensi Ekonomi membicarakan sejarah puger beserta
potensi ekonominya secara singkat, namun belum menyentuh potensi
pertambangan secara kronologis. Atau dalam artian kajian tersebut masih berupa
kajian Puger secara umum.7 Bahkan dalam kajian kali ini jurnal Geografi di atas

6
Hofhidotul Aulia dkk, Jurnal Geografi “Pengaruh Lahan Karst di Gunung Sadeng Kecamatan
Puger Kabupaten jember Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat” dalam
repository.unej.ac.id , (Jember: Majalah pembelajaran Geografi).
7
Imam Ahmadi dkk, Jurnal Pendidikan “Puger: Sejarah dan Potensi Ekonomi” (Malang:
Pasca Sarjana UM, 2016), diunduh dari laman
http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/gtk/article/199/187, diakses pada 25 September
2019.

6
lebih substansial sekalipun berupa kajian sinkronis bukan sebagaimana sejarah
yang bersifat diakronis.

1.7 Pendekatan dan Kerangka Teori

Pendekatan dan teori merupakan poin penting untuk mempertajam


analisis dalam proses penelitian sejarah. Pendekatan dan teori berfungsi untuk
memperkokoh konsep dan kerangka penelitian serta memberikan kemudahan
untuk mengeksekusi data yang diperoleh.

Dalam pembahasan kali ini peneliti menggunakan pendekatan sosial


ekonomi dimana struktur sosial masyarakat terbentuk oleh hasrat untuk hidup
yang kemudian berubah menjadi beragam kepentingan ekonomis serta
mempengaruhi corak interaksi masyarakat.

Meninjau dari pola kehidupan petani gamping sebelum dan setelah


masuknya korporasi disekitar aktivitas mereka, barangkali terdapat beberapa teori
sosial yang dapat dipergunakan. Misalnya George Simmel mengemukakan bahwa
masyarakat merupakan suatu proses yang senantiasa berjalan dan berkembang,
didalamnya terdapat interaksi sosial dan interaksi tersebut disebabkan oleh
dorongan dan kepentingan tertentu. Kemudian untuk memperkuatnya akan
dipergunakan teori dari William Graham Sumner dimana menurutnya
kepentingan dari 4 dorongan universal yaitu rasa lapar, rasa cinta, rasa takut dan
rasa hampa yang kesemuanya menggambarkan hasrat hidup manusia,
menyebabkan terjadinya pola-pola kegiatan budaya.8 Hingga kemudian teori
tentang adanya perbedaan kelas sosial di masyarakat yang dikemukakan oleh
pitirim A. Sorokin.9

1.8 Metode Penelitian

Dalam proses penelitian sejarah peneliti diharuskan untuk mematuhi


kaidah-kaidah penulisan sejarah yang ada, hal ini untuk menghindari terjadinya
8
Sorjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, (Depok: Raja
Grafindo Persada, 2013), hlm. 358.

9
Ibid., hlm 197-198.

7
kesalahan serta penyelewangan dalam karya tulis sejarah. Kaidah tersebut dikenal
sebagai Metode Sejarah. Metode Sejarah mengajarkan secara ketat bagaimana
sikap peneliti sejarah seharusnya, terbagi dalam 4 tahapan yakni Heuristik, Kritik
sumber, Interpretasi, dan Historiografi. Keempat tahapan tersebut sama sekali
tidak boleh ditinggalkan atau diloncati, baik salah satunya apalagi semuanya.

Secara singkat dimulai dari yang pertama, yakni Heuristik merupakan


tahap pencarian, penelusuran dan pengumpulan data untuk kemudian
diklasifikasikan secara berurutan berdasarkan dua hal, yakni sumber primer dan
sumber sekunder. Kedua adalah tahap kritik sumber atau yang juga dikenal
sebagai tahap verifikasi merupakan tahapan untuk mengetahui orisinalitas serta
otentitas sumber yang berhasil diperoleh, selain itu kritik sumber atau verifikasi
dilakukan secara intern dan ekstern. Ketiga yakni interpretasi merupakan
menghimpun data-data yang telah diperoleh untuk dicari keterkaitannya satu
sama lain sehingga menjadi sebuah jalinan peristiwa yang kronologis. Kemudian,
tahap terakhir adalah proses historiografi yakni proses penulisan hasil penilitian
sejarah, dalam tahap ini peneliti dituntut untuk mengerahkan imajinasinya
bersamaan dengan analisis terhadap jalinan data yang telah diperoleh. Semua
tahapan tersebut membutuhkan kefokusan peneliti dalam menjalankan
penelitiannya sehingga menghasilkan Analisa tajam serta karya tulis yang
substansial.

Anda mungkin juga menyukai