INDUSTRIALISASI, SWASTANISASI, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Penulis Sugeng P. Syahrie Penerbit Jurnal Sejarah Lontar 1 Vol. 6 No. 1 Januari - Juni 2009 Deskripsi DOI: 10.21009/LONTAR.061.01. 11 hlm;
Secara ringkas jurnal tersebut berbicara ihwal transformasi ekonomi yang
dilakukan pemerintah Orde Baru pada awal 1980-an, dari perekonomian non- industrial ke perekonomian industrial, ternyata gagal menghasilkan sumber pembiayaan pembangunan. Sebagai akibat, pemerintah melakukan reorientasi pada akhir 1980-an dalam rangka mempertahankan lajupertumbuhan ekonomi. Pada kalangan birokrasi pemerintahan, reorientasi inikemudian menjelma menjadi suatu pemahaman yang mementingkan pemasukan uang bagi setiap daerah (Pendapatan Asli Daerah—PAD). Namun pada dasarnya artikel tersebut merupakan telaah pustaka yang memaparkan argumen bahwa ketika sektor industri yang semula diandalkan sebagai sumber PAD tidak dapat memenuhi harapan, langkah yang diambil pemerintah, terutama di tingkat daerah (kabupaten dan kota), pada umumnya menjadi sangat pragmatis, yakni mengkomersialisasikan semua aset, seperti tanah dan lokasi atau ruang yang memiliki nilai tinggi bagi kepentingan orang banyak. Kebijakan seperti ini sering kali mengesampingkan hak-hak publik atas ruang atau lokasi strategis serta mengesampingkan dampak sosial ekonomi dari bisnis yang mengeksplotasi nilai ruang dan lokasi tersebut.
Karya tersebut mencoba untuk memaparkan persoalan tersebut melalui
penelaahan kepustakaan (literature review) terhadap dua buah buku. Buku pertama, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia (2001), ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, pengamat ekonomi politik dari Universitas Indonesia. Sedangkan pustaka kedua berupa artikel yang ditulis oleh Budhy Tjahjati S. Soegijoko, perencana di Bappenas dan pengajar di Institut Teknologi Bandung, berjudul “Pertumbuhan Urban, Pembangunan Perin-dustrian, dan Migrasi” yang dipublikasikan dalam buku yang disunting oleh Frans Husken, Mario Rutten, dan Jan-Paul Dirkse, Pembangunan dan Kesejahteraaan Sosial: Indonesia di bawah Orde Baru, (1997). Pembahasan pertama karya tersebut mengenai orientasi pemerintah yang menitikberatkan pada PAD atau Pendapatan Asli Daerah. Mengutip Chaniago, kecenderungan terebut muncul sejak awal 1990-an, terutama pasca UU Penanaman Modal diterbitkan pada dasawarsa 1980-an. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya dimaknai sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata bertransformasi menjadi pembangunan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar-besarnya. Sejak tahun 1980-an, gelagat transformasi peran pemerintah tersebut sejatinya sudah mulai tampak, terbukti dengan terjadinya penurunan peran pemerintah secara ekonomi. Peran pemerintah dan swasta dalam ekonomi nasional bergeser. Penyebabnya adalah perubahan cara pemerintah yang cenderung untuk meningkatkan retribusi dan penerimaan pajak daerah. Akibatnya, seiring berjalannya waktu penerimaan negara semakin bergantung pada sektor swasta. Hal ini dapat menjadi lebih buruk lagi. Sejak akhir tahun 1980-an, pihak swasta telah mengambil peran untuk turut andil dalam menentukan arah kebijakan dan model pembangunan. Komersialisasi ruang sebagai salah satu dampak nyata merebak di sekitar pusat pemerintahan nasional hingga tingkat kebupaten atau kota. Proyek-proyek non-trade seperti; perumahan, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan, menjadi jejaring kapital yang mempersempit ruang gerak unit-unit usaha rakyat informal. Sebaliknya bagi usaha kecil informal tersebut, tidak ada pilihan yang lebih baik bagi mereka agar menjadi lebih produktif kecuali menerima kenyataan yang demikian adanya. Selanjutnya karya tersebut berupaya mengupas percepatan pembangunan perkotaan. Mengacu kajian mendalam Budhy Thajati, penulis karya tersebut melihat adanya kontra dengan kajian Chaniago. Budhy Thajati nampak memaklumi transformasi peran pemerintah dalam konteks ekonomi nasional. Menurutnya, hal ini karena Budhy Thajati melihat dari sisi positif industrialisasi dan swastanisasi bagi keberhasilan arah kebijakan pemerintah saat itu yang menekankan pada pertumbuhan GNP. Terbukti dengan proyeksi total penduduk pada tahun 2025 disertai dengan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan bagi sektor ekonomi informal, selain itu terdapat pula proyek terpadu melalui pendekatan sektoral seperti; program-program penyedian air bersih dan sanitasi. “...pentingnya pembangunan perkotaan digambarkan dengan investasi pemerintah yang meningkat dalam infrastruktur perkotaan dan pembangunan perkotaan lainnya. Kemajuan yang mantap dibuat dalam memajukan infrastruktur perkotaan selama Repelita IV. Strategi dasar dapat dilangsungkan selama Repelita V (1989- 1994), dengan memberi tekanan atau memajukan kaum miskin perkotaan secara terus-menerus, memajukan perencanaan finansial, manajemen, operasi, dan pemeliharaan. Pendekatan ini, disebut sebagai pembangunan infrastrktur perkotaan terpadu, telah diterapkan di kotamadya-kotamadya pada hampir setiap provinsi, juga di kota-kota besar.”
Terlihat bagaimana optimisme Budhy Thajati terhadap kebijakan
pemerintah. Ia terlihat sepenuhnya mendukung kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selanjutanya, ia memandang bahwa peningkatan pendapatan pajak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan finansial pemerintah. Sehingga dalam hal ini, jurnal tersebut menyimpulkan bahwa Budhy Thajati menyatakan bahwa dalam 25 tahun masa pembangunan jangka panjang pertama, Indonesia telah sukses. Sekalipun memiliki banyak persoalan, namun arahnya sudah dalam jalur yang benar.
Kembali pada Chaniago, sebagai sebuah kajian kontra pemerintah, dalam
kalangan mahasiswa penulis yakin kajian tersebut lebih laku daripada kajian Budhy Thajati. Terima kasih kepada Sugeng P. Sjahrie yang bersedia meluangkan waktunya mengkomparasikan kedua kajian tersebut. Chaniago, dalam review komparatif tersebut selanjutanya digambarkan menguraikan pertumbuhan yang tidak merata. Menurut jurnal tersebut berdasarkan uraian Chaniago, hasil kajian sejarah perkotaan di Indonesia telah berhasil menunjukkan kegagalan transformasi kota-kota di Indonesia untuk menjadi kota modern. Urbanisasi yang digambarkan dengan indah Budhy Thajati sebaliknya bagi penulis jurnal ini dan Chaniago malah berimplikasi pada wujud perkotaan yang tidak terencana dan tidak terantisipasi, sehingga menampilkan dua wajah yang saling berlawanan sedang sisi yang paling mendekati kemodernan cenderung setengah hati. Untuk argumen ini, penulis jurnal ini memperkuatnya dengan catatan kaki berupa artikel opini karangan Yayat Supriyatna tentang “Watak kampung(an) dan Metro(pelitan)” yang telah diterbitkan Kompas pada 10 Juli 2007.
Mencermati Jurnal tersebut, penulis jurnal cukup berhasil menggambarkan
pernyataan-pernyataan Chaniago dan Budhy Thajati. Juga, cukup berhasil membangun opini pembaca sehingga cenderung mengamini kajian mendalam Chaniago yang propagandis daripada kajian Budhy Thajati yang terlihat menjilat dan cari aman saja. menyikapi pandangan Budhy Thajati, penulis menyertakan komentar Husken, Rutten, dan Dirkse sebagai kreator buku“Kemiskinan di Indonesia: kebijakan dan Penelitian” dimana kajian Budhy Thajati termasuk di dalamnya. Komentar tersebut melihat bahwa bagaimanapun juga kebijakan tersebut tidak secara otomatis mengubah kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Para pembuat kebijakan terlalu sedikit memperhatikan kesenjangan sosial yang demikian lebar, sebaliknya malah mengkonsetrasikan arah kebijakan pada pertumbuhan ekonomi. penulis jurnal ini mencontohkannya dengan pertumbuhan angka pengangguran akibat modernisasi pertanian. Kebijakan tersebut merupakan akibat dari kesimpulan yang salah dimana tenaga dan uang telah dipindahkan dari sektor pertanian ke sektor perindustrian yang terkonsentrasi dari perkotaan. Juga, tidaklah mengherankan bila artikel Budhy Thajati cenderung membenarkan kebijakan pemerintah dan sesuai dengan peryataan tadi sebab ia merupakan salah satu anggota Bappenas. Hal ini bukan berarti Budhy lebih memahami seluk-beluk pembangunan nasional namun tentang seberapa berani ia mengkritik dirinya dan kelompoknya sendiri.
Kesimpulan
Berdasarkan artikel review tersebut, melalui buku Chaniago kita
memperoleh pemahaman mengenai bahaya dari orientasi pembangunan yang terlalu kuat kepada pertumbuhan ekonomi, karena orientasi ini kemudian menjelma menjadi suatu pemahaman yang mementingkan pemasukan uang bagi setiap daerah (PAD). Ketika sektor industri yang semula diandalkan sebagai sumber PAD ternyata tidak dapat memenuhi harapan, langkah yang diambil pemerintah pada umumnya menjadi sangat pragmatis, yakni mengkomersialisasikan semua aset, seperti tanah dan lokasi atau ruang yang memiliki nilai tinggi bagi kepentingan orang banyak. Kebijakan seperti ini sering kali mengesampingkan hak-hak publik atas ruang atau lokasi strategis serta mengesampingkan dampak sosial ekonomi dari bisnis yang mengeksplotasi nilai ruang dan lokasi tersebut. Dengan kebijakan yang sangat pragmatis tersebut, akibatnya pemerintah kehilangan visi dalam membangun perkotaan. Kalaupun apa yang terjadi sekarang ingin dikatakan tetap berdasarkan wacana pembangunan tertentu, maka bunyi wacana itu adalah: pembangunan sebagai bisnis! Pembangunan prasarana ekonomi, yang dalam pengertian lama adalah untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan sosial, kini telah bergeser menyempit menjadi semata-mata pembangunan prasarana bisnis. Dengan prasarana bisnis inilah pemerintah dapat mengandalkan perolehan PAD-nya melalui penerimaan pajak daerah dan retribusi. Perilaku birokrasi seperti ini menjadikan negara bertingkah laku mengadopsi watak perusahaan swasta, yakni hanya ingin untung. Kemudian mengenai kajian Budhy Thajati, jurnal review tersebut lebih mengarahkan saya yang memang malas membaca menjadi lebih tidak penasaran dengan kajian tersebut. Namun terlepas dari hal ini, kajian Budhy Thajati tidak kurang penting sebagaimana fungsi kajian lain sebagai bahan rujukan. Pada dasarnya, review ini hanya menimpali argumentasi penulis jurnal review komparatif tersebut. Hal ini membuktikan keberhasilan penulis dalam membangun kesepahaman dengan pembaca. Penulis tersebut seakan duduk bersama disisi para pembaca, terutama bagi kalangan mahasiswa yang meletup dengan gairah “ghibah” terhadap kebijakan pemerintah, terkecuali mahasiswa pragmatis seperti saya.
Analisis Potensi Ekonomi Pariwisata Di Kota Bukittinggi Dan Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Meningkatkan Perekonomian Di Kota Bukittinggi (Fatwa Budiyanti 121012201006)
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro