Anda di halaman 1dari 15

KONTRA PEMINDAHAN IBUKOTA KE KALIMANTAN

pemindahan ibukota hanya sebuah wacana yang diungkapkan oleh Presiden seperti wacana-wacana
pemindahan ibukota yang sudah pernah dikatkan oleh presiden pertama. Pada saat periode Presiden
Soekarno sudah pernah mengalami pemindahan ibukota sebanyak 3 kali yaitu yang pertama di
Yogyakarta, selanjutnya di Bukit Tinggi, dan di Bireun Aceh namun pemindahan ibukota tersebut tidak
berlangsung lama. Sampai akhirnya ibukota benar-benar ditetapkan di Jakarta lewat Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1064. Wacana pemindahan ibukota ini juga pernah dibincangkan kembali pada saat
masa penjabatan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto sempat merencanakan pembindahan ibukota di
Jonggol, Bogor. Hingga pada saat masa penjabatan presiden SBY yang pernah menawarkan untuk
mengatasi masalah kemacetan yang ada di ibukota yaitu dengan memindahkan ibukota lama ke ibukota
yang baru. Namun berita ini memang benar-benar bukan lagi sebuah wacana, pasalnya presiden telt
meresmikan pemindahan ibukota ini pada Senin, 26 agustus 2019 dan mengumumkan kembali perihal
pemindahan ibukota saat pidato kenegaraan di gedung DPR, MPR RI 2019 .

 apabila ibukota dipindahkan bagaimana kondisi perekonomian yang terjadi di Indonesia?Apakah


berpengaruh kondisi perekonomian kita akan baik-baik saja, atau malah akan semakin memperburuk
keadaan ekonomi Negara kita?. Sebelumnya jika melihat dari pernyataan Presiden Jokowi alasan
mengapa ibukota harus dipindahkan karena Jakarta sudah terlalu banyak menanggung beban sebagai
pusat pemerintahan pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Sehingga
membuat Jakarta jauh dari kondisi ideal baik dari segi kualitas lingkungan sampai dengan kemacetan.
Pertimbangan pemindahan ibukota di Kalimantan Timur ini pertama dengan alasan luas wilayah
Kalimantan Timur yang masih cukup luas serta lahan yang ada kebanyakan adalah milik pemerintah,
sehingga dari pemerintah tidak perlu menyisihkan anggaran lebih untuk ganti rugi lahan milik swasta.
Pembayaran untuk pemindahan ibukota baru ini diharapkan seminimal mungkin tergantung pada APBN,
ditambah dengan pembiayaan alternatif lainnya untuk membangun ibukota baru ini. Pasalnya perkiraan
biaya untuk ibukota baru ini kurang lebih 466 Trilliun.

dari sudut pandang aspek sejarah yang disampaikan oleh H. M. Jazir, ASP. Dalam penuturannya
pemindahan suatu ibukota bukanlah sebatas persoalan teknis, akan tetapi persoalan filosofis
ideologis. Menurut Jazir pemindahan ibukota sama halnya dengan memindahkan roh negara.
Sehingga butuh menanamkan jiwa negara. 
“Jakarta adalah pusat persebaran ideologis Pancasila dan Jakarta adalah tempat lahirnya pergerakan
nasional,” tegasnya. 
Kajian dari segi historis didukung dengan penjelasan dari aspek sosiologis yang dipaparkan oleh
Prof. Dr. Siti Irene A.D.,M.SI menunjukkan keputusan memindahkan ibukota membutuhkan proses.
Garis besar dari pemindahan ibukota terletak pada pembangunan dengan tujuan pemerataan dan
menjadi hal yang sangat mendasar. Irene menerangkan dalam pembangunan harus memiliki nilai-
nilai yang tidak hanya membicarakan soal pemindahan ibukota negara tetapi proses sosial yang
terjadi membutuhkan kajian secara bertahap. 
“Secara sosiologis saya menawarkan resiliensi masyarakat, modal sosial dan literasi sosial,”
pungkasnya. 
Mengakhiri penuturannya, Irene menyampaikan empat hal mengenai hasil kajiannya. “Semua aspek
harus dipahami secara komprehensif, kelayakan harus dilihat dalam pendekatan murni dimensional,
perlu pemilihan bidang-bidang yang paling utama untuk dipindahkan dan perlunya analisa waktu
karena tidak sebatas mempersoalkan pemindahan ibukota tetapi Indonesia memiliki masalah sosial
ekonomi yang sangat luar biasa” pungkasnya. 

Aspek ekonomi juga membutuhkan pengkajian yang dalam dan disampaikan oleh Dr. Wing Wahyu
W.,MAFIS. “Pemindahan ibukota sulit dan membutuhkan biaya besar,” tuturnya mengawali diskusi.
Sehingga secara langsung Wing menyampaikan ide untuk memindahkan kementerian bukan ibukota.
Tentu ide ini dilandasi dengan alasan biaya yang lebih murah, dapat dilakukan secara bertahap dan
masing-masing kementerian dapat berkembang sesuai dengan fungsinya. Wacana pemindahan
ibukota tidak memberikan jawaban pasti akan tingkat keberhasilannya yang juga memiliki
kemungkinan untuk gagal sesuai pernyataan Wing. 
“Jika tetap dipindah, siapa yang bisa menjanjikan pemindahan ibukota ini akan lebih berhasil
dibanding di Jakarta? Justru hal ini tidak menyelesaikan masalah tetapi menunda masalah.”
ungkapnya. 

Minoritas besar responden memberikan tanggapan tidak setuju terkait pemindahan Ibukota. Hal itu
dikarenakan, minoritas besar responden menganggap bahwa belum ada persiapan yang matang dan
maximal dari Pemerintah terkait kebijakan itu. Jawaban diatas menjadi dominan karena masyarakat
menilai bahwa pemerintah terkesan terburu-buru terhadap keputusan itu. Hal itu dikarenakan keputusan
yang dibuat baru diketahui oleh masyarakat pada beberapa bulan terakhir dan masyarakat menganggap
pemerintah kurang terbuka terutama tidak adanya sosialisasi secara terbuka oleh pemerintah kepada
masyarakat luas terkait kebijakan itu.

Mayoritas responden beranggapan bahwa persiapan pemindahan ibu kota yang dilakukan oleh
pemerintah dinilai belum maksimal. Hal ini terjadi karena pemerintah dirasa kurang terbuka terhadap
opini masyarakat mengenai isu tersebut, sehingga membawa kesan bahwa pemerintah belum siap
terhadap pemindahan ibu kota. Selain itu juga dibarengi dengan banyaknya problem di bidang ekonomi,
pendidikan, sosial budaya serta masalah krusial lainnya yang belum teratasi secara maksimal. Maka, hal-
hal seperti itulah dapat menggiring opini masyarakat bahwasannnya pemerintah belum saip serta dirasa
gegabah dalam pemnagmbilan kebijakan mengenai pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Hal itu
dapat dilihat dari banyaknya permasalahan dan pekerjaan yang belum terselesaikan secara tuntas di
Indonesia.

Sikap rasional dari pemerintah yang diharapkan oleh responden sebelum memutuskan untuk
memindahkan Ibukota dari DKI Jakarta minoritas besar adalah melakukan kajian dan audiensi terbuka
kepada masyarakat. Dari jawaban minoritas besar tersebut dapat diketahui bahwa ketertebukaan dari
pemerintah dengan memberikan kajian dan audiensi terbuka dapat memberikan wawasan pada
masyarakat mengenai point penting diadakannya pemindahan Ibukota oleh pemerintah serta yang paling
penting ialah pertimbangan pemerintah dalam memilih lokasi yang nantinya akan dijadikan ibu kota baru
negara Indonesia.

Dalam menanggapi kebijakan pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur dari pemerintah, minoritas besar
responden berharap agar kelestarian hutan di Pulau Kalimantan tetap terjaga kelestariannya. Hal itu
berkaitan dengan adanya pembangunan infratruktur yang nantinya akan dibangun guna melengkapi
fasilitas berupa sarana dan prasarana di Ibukota yang baru. Selain itu, sebagian kecil responden
berharap agar pemerintah dapat menyelasikan permasalahan yang ada sekarang dulu dan
merealisasikan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia.

Megenai hal itu, mereka beralasan bahwa pemerintah belum menyiapkan sistem perencanaan yang
matang, apalagi dalam segi pembangunan. Masyarakat menilai masih banyak hal-hal yang perlu
disiapkan secara matang seperti aspek geopolitik &geostrategis, kesiapan infrastruktur, serta anggaran
dana yang dibutuhkan. Selain itu masih banyak permasalahan lain yang belum diselesaikan baik di
bidang ekonomi, sosial dan lainnya.

Dari hasil survey di atas, sikap rasional yang seharusnya dilakukan pemerintah mengenai pemindahan
Ibu Kota yaitu melakukan kajian/audiensi secara terbuka dengan masyarakat disertai melakukan kajian
secara mendalam dan akurat. Mereka menilai hal ini akan efektif dan dapat menrima respon positif dari
masyarakat dalam hal pemindahan ibu kota.

Dengan demikian solusi yang diharapkan dari masyarakat untuk meminimalisir dampak negative dari
pemindahan ibu kota yaitu untuk tetap menjaga kelestarian hutan di Kalimantan. Masalah lingkungan bisa
saja menjadi masalah krusial sebagai dampak negative adanya pembangunan infrastruktur. Maka dari itu
untuk kedepannya, pemerintah tetap menjaga serta memelihara kelestarian hutan/populasi hutan di
Kalimantan.

Dalam mengambil kebijakan tersebut, masyarakat ingin pemerintah untuk melakukan kajian (analissi
sosail) secara mendalam dan aktual serta melibatkan para ahli atau akademisi di bidangnya masing-
masing.

Mayoritas masyarakat berharap mengenai solusi guna meminimalisir dampak negative dari kebijak
tersebut yaitu, dengan tetap menjaga kelestarian alam/hutan di Kalimantan. Hal itu dikarenakan karena
Kalimantan sendiri dijuluki sebagai paru-paru dunia, sehingga masalah ini menjadi masalah yang krusial
atau turut menjadi perhatian masyarakat.

Dalam menyikapi adanya kebijakan publik pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, seharusnya
pemerintah tetap mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, melakukan kajian/analisis
sosial secara actual demi keberlangsungan kebijakan ini dan respon positif dari masyarakat. Sehingga
dalam hal ini, tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Dari segi anggaran pun juga begitu, diharapkan
pemerintah sudah mecanangkan anggaran pemindahan ibu kota sebagaimana semestinya. Karena hal
tersebut tidak bisa dipungkiri dalamsegi pembangunan infrastruktur, yang memerlukan anggrana cukup
besar meskipun hanya 19% sekian di ambil dari dana APBN. Tak lupa juga pemerintah untuk
memepersiapkan segala hal dengan matang di berbagai aspek serta memperhitungkan resiko yang akan
dihadapi kedepannya, seperti juga resiko kerusakan hutan/ekosistem di Kalimantan.

Pemindahan ibu kota negara menelan biaya yang tidak sedikit. Ada dua skema pemindahan yang
diusulkan Bappenas, yaitu skema rightsizing dan tidak. Dengan skema rightsizing, biaya yang diperlukan
sekitar Rp 323 triliun dan untuk skema non-rightsizing sekitar Rp 466 triliun .
PRO PEMINDAHAN IBU KOTA KE KALIMANTAN

Skema untuk pembiayaan ibukota baru didapatkan dari pengelolaan asset dari ibukota baru maupun di
Jakarta, kerjasama pemerintah badan usaha, investasi langsunng baik swasta maupun BUMN. Namun
porsi pembiayaan yang paling banyak didapat nantinya dari KPBU sekitar 340,6 Trilliun dan investasi
langsung. Diharapkan dengan adanya pemindahan ibukota baru di Kalimantan Timur ini akan mengatasi
permasalahan mengenai kesenjangan dan pemerataan sehingga akan mendororng pada kawasan
ekonomi khusus dan industri yang ada pada pulau-pulau diluar Jawa. Dengan adanya pembangunan
pusat pemerintahan di Kalimantan Timur nantinya juga diharapkan akan menambah produk domestic
bruto sebesar 0,1 dari realisasi PDB karena untuk memanfaatkan sumber daya potensial yang belum
bermanfaatkan. Serta akan mengurangi kesenjangan sosial dari aspek ekonomi yang terjadi pada individu
maupun kelompok, yaitu dengan melihat adanya kenaikan harga modal sebesar 0,23% dan terjadi
kenaikan harga modal sebesar 1,37% serta mendorong adanya investasi khususnya disektor jasa. Calon
ibukota baru yang berada di Kalimantan Timur tepatnya di Kutai Kartanegara merupakan salah satu
wilayah penyumbang devisa Negara terbesar bagi penambahan dana APBN. Kutai Kartanegara adalah
kontribusi terbesar perekonomian daerah di Kalimantan Timur. Perlu diketahui bahwa Kalimantan Timur
memiliki 5,2 juta (ha) tambang dari 24% luas wiayah daratan Kalimantan Timur serta sumbangan 26%
PDRB di Kalimantan Timur. Meihat dari total kekayaan yang dimiliki Kutai Kartanegara tidak salah lagi bila
Kutai merupakan kota terkaya di Indonesia. Selain Kutai Kartanegara yang dijadikan sebagai ibukota baru ,
Panajem Peser Utara juga nantinnya akan menjadi wilayah dari pemindahan ibukota baru. Peluang
ekonomi bagi masyarakat dan investor merupakan salah satu dampak dari pemindahan ibukota ke
Penajam Paser Utara. Perekonomian masyarakat nantinya akan pindah pada sector barang dan jasa, dari
pemindahan ibukota ini diharapkan nantinya akan banyak perusahaan serta investor yang
menginvestasikan di daerah Penajam Paser Utara sehingga akan meningkatkan perekonomian yang ada
pada wilayah tersebut.(dr)

mengatakan bahwa Kaltim adalah provinsi yang sangat kaya raya, akan tetapi proses pembangunan infrastruktur
belum memadai sepenuhnya. Di balik penyampaian prolog tersebut, ia mencoba menyampaikan bahwa dengan
adanya pemindahan ibukota merupakan awal dari kebangkitan pemerataan pembangunan. 
Di hadapan para audience, Heru bertutur bahwa Kalimantan Timur memiliki banyak keunggulan sehingga menjadi
pilihan yang tepat untuk dijadikan ibukota baru. Lokasi Kaltim yang aman dari resiko bencana gempa, gunung
meletus dan tsunami.
Keunggulan lainnya bahwa kondisi lahan yang masih sangat memadai, ketersediaan sumber air dan dari segi
pertahanan sangat didukung oleh tri matra terpadu. Kelebihan lain yang dimiliki dari segi kependudukan yang
heterogen, sehingga potensi konflik sangat rendah dan bahkan keterbukaan terhadap pendatang sangat tinggi. 

Di lain sisi dengan adanya pemindahan Ibukota itu, sebagian besar responden yang memberi tanggapan
setuju berharap agar semakin mudah untuk melakukan pemerataan di Indonesia. Dan tanggapan lainnya
dari responden ialah DKI Jakarta dianggap sudah terlalu padat. Hal itu dikarenakan sebagian besar
populasi masyakarat Indonesia, banyak yang bertempat tinggal dan bekerja di Jakarta. Selain itu, seperti
yang sudah kita ketahui dan menjadi rahasia umum kalau perekonomian, pembangunan, dan lain
sebagainya terfokus di Pulau Jawa atau yang biasa disebut Java Sentris. Oleh karena itu dapat dipahami
dari jawaban responden bahwa, dengan adanya pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur diharapkan
dapat terjadi pemerataan yang menyeluruh di Negara Indonesia ini yang sekaligus menjadi salah satu
bentuk dari pengamalan sila kelima Pancasila terkait keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seperti kutipan dari beberapa berita di media massa yaitu untuk menghilangkan atau merubah konsep
pembangunan Jawasentris. Dengan hal ini pindahnya Ibu Kota ke Kalimantan Timur dinilai tepat untuk
bisa mengatasi masalah tersebut. Selain itu alasan lain yang mendukung berdasarkan hasil survey yaitu,
kondisi DKI Jakarta yang sangat padat. Hal ini sejalan dengan perkataan Jokowi, yaitu DKI Jakarta yang
menanggung 2 beban sekaligus, sebagai pusat pemerintahan/layanan publik, serta pusat bisnis. Dimana
hal itu mengakibatkan DKI Jakarta semakin padat. Pindahnya Ibu Kota ke Kalimantan Timur, pemerintah
ingin memfokuskan untuk menjadi pusat pemerintahan saja.

Sementara Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan, pemindahan ibu kota sudah dipikir matang
untuk 100 tahun ke depan. Dia meminta masyarakat menyikapi dengan positif. Kemudian, rencana
tersebut kata dia sudah dibicarakan sejak lama. Jika tidak direalisasikan, menurut dia, tidak akan
terjadi pemindahan ibu kota.

"Kalau dipikirkan terus kan tidak terealisasi. Terus kapan mau move on-nya? Ini mau di-move on-kan,"
ungkap Moeldoko.

 "Sebagai negara besar menyongsong kompetisi global ketika kita sepakat menuju negara maju untuk
pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apakah di masa yang akan datang DKI Jakarta sebagai
ibu kota negara mampu memikul dua beban sekaligus yaitu sebagai pusat pemerintahan dan pelayanan

publik sekaligus pusat bisnis?" kata Jokowi.

Indonesia harus mencontohi negara lain di dunia dalam mengantisipasi perkembangan

zaman. Jokowi mencontohkan Korea Selatan memindahkan ibu kota negaranya dari Seoul ke Sejong.

Kemudian Brasil memindahkan ibu kota dari Rio de Janiero ke Brasilia. Demikian juga dengan

Kazakhastan yang memindahkan dari Almaty ke Astana.

"Jadi sekali lagi kita ingin berpikir visioner untuk kemajuan negara ini," ujarnya.
KONTRA POLITIK IDENTITAS

Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran seiring menguatnya politik identitas. Direktur Eksekutif
Indonesia Public Institute Karyono Wibowo mengatakan bahwa tes baca kitab suci yang diwacanakan
akhir-akhir ini tidak tercantum dalam undang-undang tentang Pemilu maupun Peraturan KPU (PKPU).
Oleh karena itu, tuturnya, tidak ada kewajiban bagi capres untuk menghadiri undangan dari Dewan Ikatan
Dai Aceh. “Namun demikian, jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan
rakyat Aceh, hal itu berpulang kepada masing-masing capres,” ujarnya pada Selasa (1/1/2019).
Menurutnya, munculnya ide tes baca kitab suci bagi pasangan capres ini tidak terlepas dari menguatnya
politik identitas yang ditandai dengan mencuatnya simbul-simbul agama. Sejak pilkada DKI Jakarta
hingga pilkada serentak dan kini memasuki pemilu serentak isu politik berbasis agama kian mendominasi
ruang publik. Pada mulanya, paparnya, Joko Widodo dihantam berbagai isu yang berbau identitas dan
kini Prabowo Subianto pun tak luput dari isu agama yang meragukan keislamannya. Lanjutnya, pihak-
pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu 2019 mulai terjebak dengan suasana politik identitas. Hal ini,
menurutnya, membuat demokrasi Indonesia mengalami kemunduran lantaran pemilihan yang
seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas dan
berintegritas akhirnya bergeser menjadi sekadar caci maki yang penuh ujaran kebencian serta hanya
dipahami sekadar kalah atau menang dalam kontestasi elektoral. Akhirnya, ujar Karyono, pelaksanaan
demokrasi jauh dari substansi. Dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi
dan mendorong segregasi sosial. Lebih dari itu, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
“Oleh sebab itu, semua pihak terutama elit politik harus segera menghentikan semua jenis narasi
kampanye yang berbau SARA kKarena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan
bangsa,” tuturnya.

Politik identitas menurut Abdilah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan
permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh,
politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan atau bahasa.

Identitas bukan hanya persoalan belonging semata, tetapi saat ini identitas bertransformasi sebagai alat
politik dalam menarik simpati publik. Semakin lama, identitas menjadi alat komoditi bagi kandidat yang
maju dalam pemilihan khususnya dalam area lokal.Kontestasi demokrasi yang sifatnya lokal membuat
banyaknya kandidat yang mengusung tema etnis dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Hal ini
menyebabkan kandidat yang berasal dari kelompok tertentu menggunakan sentimen etnis untuk
mendapat dukungan dari pemilih.

Pada kontestasi demokrasi baik di tingkat nasional maupun lokal, peran politik identitas etnis memiliki
peran andil sebagai basis mencapai kekuasaan.

Peran politik identitas etnis dalam merebut kekuasaan politik pada prakteknya dinilai berhasil, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa peran etnisitas sebagai jargon dalam mempengaruhi pemilih menjadi
bagian terpenting dalam kontestasi politik. Eksistensi etnis oleh sebagian politisi dimanfaatkan demi
mencapai kekuasaan. Dalam hal ini, komunikasi politik yang dilakukan oleh politisi dengan
masyarakatnya cenderung menekankan terbentuknya suatu persepsi yang sama. Realitas kontribusi
etnis dalam politik, disadari atau tidak sudah membudaya dalam setiap ajang kontestasi
demokrasi.Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa dampak dari peran politik identitas yang
diterapkan menimbulkan disintegrasi atau perpecahan dalam kelompok masyarakat. Hal tersebut oleh
sebagian pemikir seperti Fahri Hamzah dinilai sebagai cacat atau kemunduran dalam berdemokrasi.
Melihat fenomena yang terjadi demikian, ada penguatan dan pengentalan identitas sebagai basis
perebutan kekuasaan politik. Politisasi identitas ini terjadi sebab identitas dijadikan alat untuk
memperoleh kekuasaan bagi elit-elit politik. Politik identitas pada awalnya berangkat dari persamaan
baik nasib, teritorial dan sebagainya, telah dijadikan instrumen untuk mendapatkan simpati publik. Dari
sini dapat dilihat bahwa politik identitas mengalami transformasi pemaknaan identitas karena proses
identitas dibuat untuk kepentingan orang-orang yang membuatnya. Segala elemen-elemen etnisitas
dapat menjadi kekuatan untuk memperoleh legitimasi dan menghegemoni masyarakat. Elemen etnis
bukan lagi sesuatu yang tidak penting dan tertinggal tetapi justru menjadi kekuatan yang ampuh dalam
pemilihan khususnya kontestasi di tingkat lokal.

Tionghoa pada perhelatan perpolitikan di Indonesia semakin berkembang dan semakin mendominasi hal
ini dapat terlihat jelas diera presiden Jokowi yang berhasil memenangkan pemilu tahun 2014. Identitas
Tionghoa pada masa ini mulai mendominasi di berbagai wilayah yang berada di Indonesia. Ada beberapa
fakta yang menguatkan pendapat tersebut, seperti pada kasus reklamasi kita dapat melihat bagaimana
dominasi etnis Tionghoa memainkan peranan dalam pembangunan reklamasi tersebut.Hal lain yang
dapat di jadikan bukti tersebut adalah peranan para etnis Tionghoa yang kebanyakan memegang
peranan pada penguatan ekonomi nasional.Salah satu hal yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini
adalah diangkatnya Ahok menjadi gubernur DKI menggantikan Jokowi yang pada waktu itu berhenti
karena ikut kontestasi politik menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Sebagai negara yang majmuk dengan keberagaman agama, suku, dan ras, posisi Indonesia memang
sulit untuk bersih dari politik identitas. Hanya saja, menjadikannya sebagai sarana utama dalam merebut
kekuasaan merupakan bentuk dari kejahatan.
Disadari bahwa kontestasi Pilkada DKI 2017 merupakan salah satu pilkada yang sarat dengan politik
identitas, utamanya identitas agama dan etnisitas. Gelombang seruan untuk tidak memilih salah satu
calon yang mempunyai perbedaan latar belakang agama dan ras terus bergulir dan tak jarang berakhir
pada ujaran kebencian, saling memfitnah satu sama lain. Dan, kabar buruknya luka akibat politik identitas
di Pilkada DKI Jakarta belum bisa sembuh, dan merambah ke mana-mana.

Ruang-ruang publik dipenuhi narasi keagamaan yang berbau politis; mimbar khotbah yang seharusnya
memuat ajakan takwa dan pentingnya persatuan mulai dimanipulasi menjadi podium kampanye. Pada
akhirnya, pesta demokrasi yang seharusnya berlangsung dengan suka cita seakan menjadi medan
perang yang taruhannya hidup dan mati seseorang.

Kondisi ini terus menjamur tidak hanya terjadi di Jakarta; di berbagai daerah pun keberadaan politik
identitas terus digunakan sebagai jurus jitu untuk merebut simpati publik dan menjatuhkan lawan
politiknya dengan cara yang tidak sehat dan culas.

Dampak dari masifnya politik identitas ini sangatlah terasa kaitannya dengan relasi sosial
antarmasyarakat. Perbedaan pilihan politik yang mula-mula sebagai sebuah keniscayaan dari sistem
demokrasi yang dianut, justru melahirkan istilah mana yang minna (golongan kita) dan mana yang
minhum (golongan mereka).

Pada titik tertentu, sense of plurality di tengah masyarakat mulai memudar. Sehingga publik dibuat lupa
bahwa Indonesia terdiri atas entitas yang beragam, serta fanatisme politik dan sentimen identitas
membuat sebagian besar masyarakat berperilaku intoleran pada kelompok yang tidak sehaluan politik.

Jangan sampai negara yang kita cintai ini hancur seperti Rwanda yang terporak poranda disebabkan
kebencian dan genosida, dan seperti kelahiran etno-nasionalisme Yugoslavia, sehingga terhapus dari
peta dunia selamanya sebagai dampak nyata dari ganasnya politik identitas.

Merajut Politik Berkualitas

Keberadaan politik identitas telah menjadi jurang pembatas antara pemilih dengan akal sehatnya.
Sehingga dalam setiap pemilihan calon pemimpin baru pertimbangan kualitas mulai dikesampingkan,
objektivitas mulai dikaburkan. Yang tersisa hanyalah sentiment politik yang berujung pada pesta saling
membenci bukan pesta demokrasi.

Bahaya dari politik identitas ini tidaklah main-main, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ray Rangkuti
bahwa politik identitas lebih bahaya daripada politik uang. Alasannya cukup sederhana; jika politik uang
hanya berlaku pada waktu tertentu saja dan bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, maka politik
identitas kendati kasusnya temporal, lokalistik, tapi efeknya justru menyebar, dan panjang --terjadi di satu
tempat, tapi meluas efeknya sampai ke seluruh Indonesia.

Dan, ini bisa kita rasakan dampak Pilkada DKI 2017 ke Pilpres 2019.

Melihat realitastas kontestasi 2019 yang masih dipenuhi dengan polarisasi berbasis irasionalitas,
diperparah lagi dengan hiruk-pikuk penyambutan kepulangan Rizieq Shihab kemarin, maka tak menutup
kemungkinan pada Pilkada 9 Desember nanti jurus mabuk politik identitas yang bermuara pada berita
bohong (hoax), saling fitnah, dan polarisasi agama akan menyeruak kembali.

Maka dari itu, tidak ada jalan lain selain membangun kesadaran bersama (common interest) bahwa
pilkada adalah ruang pemilihan pemimpin daerah yang mempunyai visi dan misi jelas, berintegritas, dan
mempunyai solusi konkrit terhadap permasalahan kehidupan masyarakat, bukan pemilihan ketua suku
ataupun tokoh agama. Diperlukan proses yang fair, adil, dan terbuka, serta tidak adanya praktik polarisasi
agama dan etnis ataupun modus operandi lainnya yang mendengungkan isu identitas.

Kesadaran tentang bahaya politik identitas ini setidaknya harus dimulai dari calon kepala daerah yang
ikut berlaga di Pilkada 9 Desember nanti dengan tidak menggunakan politik identitas sebagai strategi
kampanye untuk mendulang suara masyarakat, serta menyerukan kepada para tim sukses parpol
pengusung dan pendukung untuk menutup rapat isu politik identitas sebagai jurus sapu jagat guna
meraih kemenangan.

Di samping itu, penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum harus benar-benar menjalankan
amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69 huruf (b) tentang Pilkada yang secara tegas
melarang praktik politik identitas, dan Pasal 69 huruf (c) tentang larangan untuk melakukan kampanye
berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau juga kelompok
masyarakat, serta melakukan sanksi secara tegas kepada pelaku sebagaimana yang diatur dalam Pasal
187 ayat (2).

Dan, yang tak kelah pentingnya untuk selalu diingat oleh semua elemen bangsa bahwa demokrasi
Pancasila tidak dilahirkan dalam spectrum yang hanya bicara soal "kalah dan menang". Terlalu mahal
harga yang harus kita bayar sebagai anak bangsa, jika kita saling berseteru hanya demi identitas diri
dengan mengorbankan identitas orang lain.

Politik identitas baik berupa isu agama maupun etnisitas akan menjadi beban sejarah bangsa yang kita
cintai ini dan kelak akan menjadi warisan yang tidak baik bagi generasi selanjutnya. Kehadirannya akan
menjadi pembunuh berdarah dingin yang secara sadis akan merusak kebhinnekaan yang selama ini kita
rajut bersama. Sudah saatnya, Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan 9 Desember nanti menjadi
ajang masyarakat Indonesia memilih pemimpinnya berdasarkan preferensi prestasinya, dan katakan
"tidak" untuk politik identitas.
PRO PRESIDENTIAL TRHESHOLD

Dalam prespektif konstitusi, menggunakan atau tidak menggunakan presidential threshold


sesungguhnya tidak bertentangan dengan konstitusi, karena presidential threshold merupakan
kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang

Namun, apabila pembentuk Undang-Undang menghendaki adanya presidential threshold, maka jalan
tengah yang dapat dipilih adalah menerapkan presidential threshold dengan menggunakan perolehan
suara pemilu legislatif 2014 dengan catatan melembagakan koalisi.

Presidential threshold ini menjadi salah satu cara penguatan sistem presidensial melalui
penyederhanaan partai politik. Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak
menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan di dalam mengambil kebijakan dengan
lembaga legislatif. Penerapan presidential threshold menurut penilaian Mahkamah Konstitusi melalui
putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 merupakan kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam
eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Presidential
threshold dianggap tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak menegasikan prinsip
kedaulatan rakyat, serta tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik.16
Sedangkan menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ketentuan mengenai
presidential threshold dianggap merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari
pembentuk Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan
bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan hokum

elebihan dari penerapan presidential threshold dalam pemilu. Pertama, penerapan presidential
threshold dalam pemilu dapat memunculkan figur Presiden dan Wakil Presiden yang kuat, karena
Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan mendapat basis dukungan politik yang besar di parlemen,
sehingga pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan efektif dan stabil. Dalam derajat tertentu, kondisi ini
dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia. Kedua, penghapusan presidential
threshold sebagai syarat pencalonan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat menyebabkan parlemen
cenderung dominan, sehingga memperlemah sistem presidensial. Ketiga, penerapan presidential
threshold yang tetap tinggi memaksa partai politik atau gabungan partai politik menyeleksi calon
Presiden dan Wakil Presiden dengan sungguh-sungguh, sehingga akan memunculkan Presiden dan Wakil
Presiden yang berkualitas. Keempat, penerapan presidential threshold akan melahirkan koalisi untuk
memperkuat pelaksanaan pemerintahan, sehingga akan membangun pemerintahan yang efektif.
Kelima, presidential threshold dalam pengajuan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan
untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Partai politik pasca pemilihan umum akan membentuk dua
poros, yaitu poros pemerintah sebagai pengusung dan poros oposisi. Sehingga dalam parlemen hanya
akan ada dua kekuasaan dan partai-partai politik akan berafiliasi dengan partai lain. Dengan model ini,
kinerja presiden sebagai eksekutif dalam hal penyelenggaraan pemerintahan akan semakin efektif
KO NTRA PRESIDENTIAL TRESHOLD

Pembentuk Undang-Undang perlu memikirkan kembali tentang ketentuan presidential threshold


terutama dalam hubungannya denga pemilu serentak, dengan mempertimbangkan kelebihan dan
kekurangan dalam penerapan atau penghapusan presidential threshold, agar tujuan untuk memperkuat
sistem presidensial tercapai. Adanya pemilu serentak sejatinya secara substansi telah menghapuskan
ketentuan presidential threshold, sehingga persyaratan ambang batas untuk mencalonkan Presiden dan
Wakil Presiden menjadi tidak relevan.

Namun penerapan presidential threshold mengandung konsekuensi hilangnya kesempatan dan hak
warga negara melalui partai politik yang tidak memenuhi besaran angka yang ditentukan untuk
mengajukan calonnya. Oleh karena itu perlu diperhatikan, sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam
penentuan ambang batas besaran presidential threshold tidak boleh merugikan kelompok masyarakat
tertentu terutama minoritas. Penentuan ambang batas presidential threshold harus memperhatikan
keragaman masyarakat yang tercermin dalam aspirasi politik.18 Penentuan presidential threshold perlu
dilakukan secara proporsional serta memperhatikan keseimbangan antara politik hukum
penyederhanaan partai dan perlindungan terhadap keragaman politik. Penentuan besaran ambang
batas presidential threshold tidak boleh dilakukan berdasarkan pertimbangan keuntungan dan kerugian
yang akan didapat oleh partai politik.1

Namun demikian dibalik beberapa kelebihan penerapan presidential threshold dalam pemilu serentak
juga memiliki banyak kelemahan, antara lain: pertama, dengan adanya koalisi partai politik dalam
mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sangat rentan terjadi tukar menukar kepentingan (politik
transaksional). Dalam derajat tertentu koalisi partai politik yang seperti ini justru akan memperlemah
sistem presidensial, karena Presiden tersandera oleh partai politik dalam koalisinya. Kedua, penerapan
presidential threshold akan membatasi partai politik yang baru berpartisipasi dalam pemilihan umum
serentak 2019 tidak dapat berkoalisi untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, karena belum
memiliki jumlah parliamentary threshold. Hal ini dapat menghilangkan hak partai politik untuk
mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden yang notabene hak tersebut dijamin dalam UUD NRI
Tahun 1945. Ketiga, dalam prespektif konstitusi, sebagian pihak menilai bahwa penerapan presidential
threshold bertentang dengan UUD NRI Tahun 1945. Presidential threshold dianggap telah
menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum. Lebih jauh dari itu, ketentuan
tentang mekanisme syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan sebagai
cara untuk membentuk pemerintahan yang efektif serta sebagai solusi dalam rangka penyederhanaan
atau rasionalisasi partai politik, telah menghilangkan hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan
efisien ³political efficiency

Menurut Refly Harun, pernyataan yang menyatakan bahwa penerapan presidential threshold dilakukan
untuk memperkuat sistem presidensial juga tidak bisa dibuktikan. Apabila Presiden yang terpilih berasal
dari partai kecil, pembentukan kabinet juga pasti akan dilakukan secara koalisi. Contohnya adalah Partai
Demokrat dengan suara minoritas pada tahun 2009 akhirnya mengajak partai Golkar masuk dalam
kabinet meski dalam pemilihan Presiden harus berkompetisi.25 Menurut Syamsuddin Harris, secara
teoritis basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi
politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial
adalah dua intitusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda.26 Dengan demikian, sistem
presidensial akan tetap efektif dan kuat dalam pemerintahan, meskipun pemilu serentak dilaksanakan
tanpa harus ada persyaratan ambang batas (presidential threshold) bagi partai politik pengusung calon
Presiden dan

Konsekuensi dari adanya penetapan ambang batas perolehan kursi di DPR bagi partai politik yang
hendak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di dalam Pasal 9 Undang-Undang No.
42 Tahun 2008 dengan sendirinya mereduksi makna pemilu sebagai suatu mekanisme politik yang adil
dan demokratis dalam menentukan pemimpin bangsa yang dipercaya, dan berimplikasi terhadap
kualitas partisipasi politik rakyat dan upaya perlindungan bagi hak pemilih.31 Pembatasan calon berarti
membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong pemilih tidak ikut
berpartisipasi dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden, karena calon terbaik menurut mereka tidak
dapat menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya,
penghapusan presidential threshold berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu
meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih banyak
pilihan alternatifnya.32

SOLUSI:

Kedua, menghapuskan ketentuan presidential threshold dengan membuka ruang seluas-luasnya kepada
partai politik untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dengan catatan memberikan
pengetatan terhadap syarat-syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden untuk mendorong
munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas. Pengetatan terhadap syarat calon
Presiden dan Wakil Presiden ini dapat dituangkan di dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.

leh karena itu, jalan tengah terhadap persoalan ini adalah dengan melembagakan koalisi. Yang dimaksud
melembagakan koalisi adalah membuat koalisi permanen, setidaknya untuk jangka waktu lima tahun.
Sehingga koalisi yang dibangun sejak awal ketika mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden tidak
terbelah ditengah jalan. Dengan demikian, peta kekuasaan parlemen sudah dapat diketahui sejak awal
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pola ini juga dapat menjadi jalan tengah atas 33 Lihat alasan
Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PUU-XI/2013 34 Janpatar Simamora, Op.Cit.,
hlm. 15 Jurnal Yuridis Vol. 4 No. 1, Juni 2017 : 15-27 ISSN 1693-4458 25 persoalan multi partai di
Indonesia yang dianggap tidak sejalan dengan sistem presidensial. Partai-partai akan berkoalisi dengan
partai lain secara permanen setidaknya dalam waktu lima tahun. Kondisi ini akan memaksa partai politik
untuk berkoalisi berdasarkan ideologi, visi, dan cita-cita partai, karena setelah berkoalisi partai politik
tidak dapat berpindah haluan setidaknya dalam jangka waktu lima tahun

Untuk menjamin keberadaan lembaga koalisi, konsep melembagakan koalisi ini perlu dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
netral

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, yakni Putusan Nomor 14/PUUXI/2013, menegaskan bahwa
ketentuan mengenai presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi
kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi menyerahkan persoalan presidential threshold kepada pembentuk
undangundang, yakni pemerintah dan DPR. Dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut dapat dimaknai bahwa penerapan presidential threshold dalam pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tidaklah bertentangan dengan konstitusi, demikian pula dengan penghapusan presidential
threshold juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Maka ada atau tidak adanya presidential threshold
dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesungguhnya tetap konstitusiona

Anda mungkin juga menyukai