Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/358550207

Meneropong Pemindahan Ibu Kota Dari Perspektif Kebijakan Publik

Preprint · February 2022

CITATIONS READS

0 211

1 author:

Boy Anugerah
School of Government and Public Policy - Indonesia
106 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Boy Anugerah on 25 February 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

Meneropong Pemindahan Ibu Kota Dari Perspektif Kebijakan Publik


Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P.1

Alumnus School of Government and Public Policy Indonesia (SGPP Indonesia)

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) akhirnya disahkan


sebagai undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR RI pada 18 Januari yang
lalu. Pengesahan ini bisa dikatakan berlangsung sangat cepat karena pembahasan
hanya berlangsung selama 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021 (Kompas.com,
2022). Yang menarik pasca pengesahan UU IKN ini, ada banyak sekali resistensi
yang ditunjukkan oleh publik. Penolakan publik ini dilayangkan dari banyak aspek,
mulai dari waktu pembahasan yang dinilai tidak memadai, substansi regulasi, hingga
aspek keterlibatan rakyat atau publik sebagai prasyarat utama penyusunan sebuah
regulasi. Salah satu bentuk konkret dari resistensi publik ini adalah diajukannya UU
IKN ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial review. Pemohonnya
adalah sejumlah warga yang menamakan diri mereka sebagai Poros Nasional
Kedaulatan Negara (PNKN).

Penolakan publik

Menyoal masalah resistensi, penolakan tidak hanya berasal dari PNKN saja.
Sebelum pengesahan di parlemen, RUU IKN mendapat penolakan dari Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera. Dalam perspektif F-PKS, RUU IKN ini bermasalah secara formil
atau prosedural, juga bermasalah secara materil atau subtansial (Kompas.com,
2022). Penolakan juga muncul dari tokoh masyarakat, Din Syamsuddin, Mantan
Ketua Umum PP Muhamamdiyah. Beliau berpendapat bahwa pemindahan ibu kota
ini tidak sesuai dengan aspirasi publik dan dilakukan dalam sirkumstansi yang tidak
tepat, yakni ketika masyarakat Indonesia masih berjuang agar terlepas dari pandemi
Covid-19 dan berbagai dampak negatifnya (Republika.co.id, 2022). Banyaknya
penolakan publik ini memunculkan sebuah pertanyaan besar: apakah pengesahan
UU IKN ini merupakan kehendak rakyat atau aspirasi publik? adakah cacat formulasi
dalam pengesahan UU IKN ini? Kedua pertanyaan mendasar ini yang akan dianalisis
lebih jauh dalam artikel ini.

Pemindahan ibu kota negara ke tempat yang baru dengan berpijak pada
sebuah undang-undang sebagai dasar hukum dapat dikatakan sebagai sebuah
kebijakan publik, yakni respons pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan
kepentingan publik. Sebagai kebijakan publik, pemindahan ibu kota ini sudah tentu
memiliki efek yang sangat besar terhadap publik karena menyentuh hampir seluruh
gatra kehidupan masyarakat (publik), baik yang sifatnya dinamis seperti ideologi,

1
Alamat surel: b.anugerah@sgpp.ac.id, nomor seluler: 081212735156.
2

politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbudhankam),


maupun yang sifatnya statis seperti geografi, demografi, dan sumber daya alam.
Dalam bahasa yang lebih ringkas, pemindahan ibu kota negara adalah sebuah
kebijakan yang berdampak langsung terhadap ketahanan nasional Indonesia. Begitu
tingginya urgensi yang dikandung dari kebijakan ini, serta dampak potensial yang
ditimbulkannya, proses perumusannya sebagai sebuah kebijakan publik perlu
diformulasikan bukan saja secara tepat, tapi juga komprehensif. Partisipasi publik
sebagai bahan baku utama perumusan bukan saja penting, melainkan sebuah
keharusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Argumentasi pemerintah

Hal pertama yang perlu ditelisik dari UU IKN ini adalah apa yang menjadi
dasar pemerintah untuk merumuskan kebijakan pemindahan ibu kota. Menurut Ketua
Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, pertama, pemindahan ibu kota
memerlukan kepastian hukum dalam bentuk undang-undang agar swasta dan
investor dapat bergerak. Kedua, Pulau Jawa pada umumnya, dan Jakarta pada
khususnya, tidak lagi cukup mampu untuk menampung pertumbuhan penduduk yang
semakin besar. Oleh sebab itu, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur
diharapkan melahirkan episentrum baru di daerah lain di luar Pulau Jawa. Selain itu,
ia menegaskan bahwa isu ini bukanlah isu baru karena usulan pemindahan ibu kota
ini sudah ada dari rezim-rezim sebelumnya, dan di era saat ini, Presiden Joko
Widodo berupaya untuk merealisasikannya (DPR RI, 2022).

Merujuk pada pernyataan tersebut dan merunut pada pertimbangan-


pertimbangan yang dituangkan dalam UU IKN, proses perumusan kebijakan
pemindahan ibu kota ini tidak memiliki pijakan yang kuat, apalagi mendasar.
Formulasi kebijakan setidaknya mendasarkan pada dua hal: pertama, ada kebutuhan
publik yang sifatnya mendesak untuk disikapi, dan kedua, ada basis data dan fakta
yang kuat untuk melegitimasi perumusan kebijakan tersebut. Pemindahan ibu kota
sudah barang tentu bukan kebutuhan yang sifatnya mendesak. Masyarakat saat ini
masih bergelut dengan wabah pandemi Covid-19. Kendatipun pemerintah sudah
mengambil langkah-langkah yang tepat, belum ada kepastian kapan wabah ini akan
berakhir. Terlebih lagi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi yang berlangsung
selama dua tahun ini sifatnya multidimensi, sehingga proses pemulihannya juga tidak
bisa dilakukan dalam waktu singkat. Kebijakan pemindahan ibu kota dalam situasi
dan kondisi seperti ini ibarat mencari kesempatan dalam kesempitan masyarakat.
Jika rezim penguasa saat ini berlaku lebih elegan, sirkumstansi yang kurang
berpihak kepada masyarakat saat ini bisa dijadikan sebagai periode untuk
menampung aspirasi dan masukan publik, bukan justru mengeksekusinya dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.

Argumentasi bahwa pemindahan ibu kota ini dapat menjadi kausa untuk
melahirkan pemerataan pembangunan juga terkesan sumbang dan tidak memiliki
3

basis argumentasi yang kuat. Pemerintah Indonesia di era pasca reformasi telah
menelurkan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Suatu kondisi yang
berbeda dengan era sebelumnya, ketika sentralisasi ke Jakarta merupakan hal yang
tidak bisa ditawar di era orde baru. Masih dalam konteks pemerataan pembangunan,
pemerintah pasca reformasi juga melakukan pemekaran provinsi, kabupaten, dan
kota, serta memberikan otonomi khusus kepada Aceh dan Papua yang kerap
bergejolak menuntut pemisahan (Kompas.com, 2012). Di era Presiden Joko Widodo
yang memerintah sejak 2014, digagas kebijakan Poros Maritim Dunia, yang mana
salah satu teknis implementasinya adalah melalui pembangunan tol-tol laut yang
menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini terpencil dan kurang mendapat
perhatian, seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua. Semua dilakukan dalam konteks
pemerataan pembangunan nasional (Kemenhub RI, 2021).

Upaya pemindahan ibu kota dengan argumentasi pemerataan pembangunan


nasional seakan menegasikan eksistensi kebijakan-kebijakan yang sudah diambil
sebelumnya. Alih-alih melakukan evaluasi berjenjang secara komprehensif terhadap
kebijakan-kebijakan tersebut (reaksi penerima manfaat, dampak ekonomi dan sosial
budaya, serta return on investment), pemerintah menempuh langkah potong kompas
dengan melakukan pemindahan ibu kota. Kebijakan otonomi daerah dan pemekaran
ibu kota harus jujur diakui tidak sepenuhnya berhasil karena masih banyak daerah-
daerah hasil pemekaran justru melonjak tingkat pengangguran dan kemiskinannya.
Pemberian otonomi khusus kepada Papua, hingga sampai jilid kedua pada 2021
yang lalu, ternyata bukan jaminan paten bahwa konflik di wilayah panas tanah air
tersebut dapat diredam. Pemerintah juga terkesan gamang dalam melanjutkan atau
menghentikan pendekatan militer yang selama ini digunakan. Kebijakan Poros
Maritim Dunia juga setali tiga uang. Kebijakan yang begitu nyaring disuarakan pada
periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo ini justru tenggelam dan
hilang pada periode kedua.

Nihil partisipasi publik

Hal yang paling fatal dan terkesan nihil eksistensinya dalam perumusan
kebijakan pemindahan ibu kota negara ini adalah partisipasi publik. Nomenklatur
kebijakan publik sudah jelas memosisikan publik sebagai objek sentral kebijakan.
Oleh karenanya, publik adalah elemen mendasar yang harus melekat dalam setiap
tahapan kebijakan, mulai dari formulasi, pengaturan, pelaksanaan, hingga monitoring
dan evaluasi. Ini adalah norma dasar dan prinsip utama dalam manajemen kebijakan
publik. Dalam konteks kebijakan pemindahan ibu kota, elemen publik sangat minim
keterlibatannya. Diskusi publik yang digelar oleh pemerintah dan DPR RI untuk
menyerap aspirasi dilakukan secara terbatas dan tidak terbuka untuk publik.
Komponen masyarakat sipil yang hendak berpartisipasi seperti para pegiat
lingkungan dari Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur dihalang-halangi oleh
4

aparat keamanan yang menjaga kegiatan penyerapan aspirasi. Tak hanya itu,
masyarakat adat yang bermukim di sekitar lokasi ibu kota juga tidak diajak untuk
urun rembuk (Majalah Tempo Edisi 24-30 Januari 2022, 2022). Padahal, segala
dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan ibu kota baru akan terasa langsung
kepada mereka.

Banyaknya celah dalam formulasi kebijakan pemindahan ibu kota ini akan
menimbulkan efek turunan pada tahapan selanjutnya, terutama pada eksekusi
kebijakan. Pemerintah sendiri melalui beberapa instansi terkait seperti Bappenas dan
Kementerian PUPR menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan proyek jangka
panjang yang tidak bisa selesai dalam satu hingga lima tahun. Diproyeksikan bahwa
semuanya akan tuntas pada 2045, atau 23 tahun pasca kebijakan ini diundangkan.
Yang menjadi persoalan adalah kebijakan ini lahir dari sebuah kebijakan pemilihan
eksekutif secara elektoral lima tahunan. Kebijakan ini lahir di era presidensi Presiden
Joko Widodo yang efektif tersisa tiga tahun lagi. Pada 2024 nanti sudah dipastikan
bahwa Presiden Joko Widodo tidak bisa mengikuti kandidasi lagi karena terganjal
konstitusi. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa suksesor pada 2024 nanti akan
konsisten melanjutkan kebijakan ini. Dasar hukumnya adalah undang-undang yang
artinya bisa direvisi atau dihapus oleh rezim pemerintah yang berkuasa saat itu. Apa
yang dilakukan oleh rezim saat ini seperti melakukan “pemaksaan secara regulatif”
kepada rezim selanjutnya karena sudah menggelontorkan banyak uang untuk proyek
awal.

Kesimpulan dan rekomendasi

Analisis di atas sudah cukup menjawab dua pertanyaan yang diajukan.


Pertama, jelas kebijakan pemindahan ibu kota negara ini bukan merupakan aspirasi
publik dan sangat kental akan wacana elit. Hal ini terbukti dari minimnya partisipasi
publik dalam pembahasan RUU. Begitu cepatnya proses pengesahan di tengah
kompleksitas substansi yang harus dibahas dan tingginya resistensi publik semakin
menegaskan bahwa aspirasi dan kepentingan publik bukanlah konsideran utama
bagi para pihak yang mengesahkan. Kedua, kebijakan ini bisa dikatakan cacat
formulasi karena basis argumentasi penyusunan kebijakan sangat mudah disangkal
dengan merujuk pada kebijakan-kebijakan eksisting sebelumnya, termasuk
kegagalan dalam eksekusi kebijakan-kebijakan tersebut.

Meskipun ada potensi jika UU IKN ini bisa dibatalkan melalui proses judicial
review yang saat ini bergulir di MK, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk
melakukan perbaikan terhadap cacat formulasi dalam kebijakan ini. Tingginya
resistensi publik harus diatensi oleh pemerintah jika tidak ingin dicap sebagai rezim
yang menyalahi aspirasi publik. Pertama, pemerintah harus menghentikan
sementara proses pembangunan yang telah bergulir. Kedua, proses pembuatan
peraturan turunan dari UU IKN ini harus melibatkan publik dari segala sektor terkait.
Pemerintah tidak boleh mengulangi lagi kesalahan yang sama dalam proses
5

penyusunan undang-undang. Ada banyak substansi yang harus didialektikakan


dengan publik. Pemindahan ibu kota ini ditengarai oleh banyak pihak akan merusak
tata kelola air, mengganggu habitat flora dan fauna, serta menimbulkan kerusakan
lingkungan. Dari aspek pembiayaan, kebijakan ini diprediksi akan sangat membebani
keuangan negara. Dalam konteks kebijakan publik, pemerintah harus hirau akan
suara-suara ini. Jangan pernah menegasikan publik dari kebijakan publik yang
dirumuskan.

Referensi

DPR RI. (2022, January 18). UU IKN Sebagai Landasan Hukum Ibu Kota Baru.
Dipetik February 9, 2022, dari dpr.go.id:
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37053/t/UU+IKN+Sebagai+Landasan+Hu
kum+Ibu+Kota+Baru

Kemenhub RI. (2021, April 1). Tol Laut dan Upaya Mendongkrak Perekonomian
Indonesia Timur. Dipetik February 9, 2022, dari Dephub.go.id:
http://dephub.go.id/post/read/tol-laut-dan-upaya-mendongkrak-perekonomian-
indonesia-timur

Kompas.com. (2012, July 3). Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua. Dipetik
February 9, 2022, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Kh
usus.Aceh.dan.Papua?page=all

Kompas.com. (2022, February 2). Alasan PKS Tolak UU IKN: Cacat Formil-Materiil
hingga Serampangan. Dipetik February 9, 2022, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/02/15064181/alasan-pks-tolak-uu-
ikn-cacat-formil-materiil-hingga-serampangan

Kompas.com. (2022, February 3). Belum Genap Sebulan Disahkan, Kini UU IKN
Digugat ke MK. Dipetik February 9, 2022, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/03/05400041/belum-genap-
sebulan-disahkan-kini-uu-ikn-digugat-ke-mk-?page=all

Majalah Tempo Edisi 24-30 Januari 2022. (2022). Monumen Upacara Terakhir
Presiden. Jakarta: PT. Tempo Inti Media, Tbk.

Republika.co.id. (2022, February 8). Din Syamsuddin: Gugatan UU IKN Tunggu


Diundangkan. Dipetik February 9, 2022, dari Republika.co.id:
https://www.republika.co.id/berita/r6zkys328/din-syamsuddin-gugatan-uu-ikn-
tunggu-diundangkan

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai