Anda di halaman 1dari 8

Review Buku

Bab 3 ”Perkebunan-Perkebunan Swasta di Jawa Abad ke-19”

Vincent J.H.Houben

Dosen Pengampu :
Dr. Retno Winarni, M.Hum.

Disusun Oleh :
1. Elvia Valarisa Bakara (170110301004)
2. Sri Hartuti (170110301011)
3. Ulik Agus Santuso (170110301026)
4. M. Syahrul M (170110301017)
5. Hasbie Nasroruddin (170110301037)

Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jember
2019
Review buku: Bab 3 ”Perkebunan-perkebunan Swasta di Jawa Abad ke-19

Vincent J.H.Houben

Sistem ekonomi Indonesia ditranformasikan oleh rezim colonial agar


memberikan keuntungan sebesar mungkin bagi ekonomi Belanda. Ini direalisasikan,
sekurang-kurangnya di Jawa pada abad ke-19, dengan menghasilkan produksi
pertanian berorientasi ekspor dalam skala besar yang menghambat perkembangan
ekonomi yang lebih tersebar dimana penduduk Indonesia akan bebas melanjutkan
proses integrasi ke dalam ekonomi dunia. Dalam tulisan ini, kami akan melakukan
kajian ulang terhadap pentingnya perkebunan-perkebunan swasta di Jawa sebelum
tahun 1870. Namun, jalur yang saya tempuh berbeda dari yang dipilih O’Malley.
Sementara O’Malley memberikan defenisi yang sangat umum pada istilah
perkebunan (termasuk produksi berorientasi ekspor, diarahkan kepasar,dan berskala
besar). Meskipun perkebunan swasta merupakan bentuk pertanian yang dominan di
Jawa 1870, rasanya aneh bahwa sangat sedikit perhatian telah diberikan kepada
perkebunan swasta ini dalam periode sebelumnya.Semua perhatian histiografis telah
tersedot oleh sistem penyerahan wajib yang dijalankan oleh Negara, sedangkan
pentingnya perkebunan-perkebunan swasta telah diremehkan.Kecenderungan ini
dimulai oleh Roosenschoon dalam disertasinya pada 1945 dan telah diikuti oleh para
penulis lainnya. Para tuan tanah di Jawa Barat dijuluki oleh Roosenschoon sebagai
kelompok yang tidap aktif, perusahaan-perusahaan tanah yang diolah (woeste
gronden) karena dianggap kurang penting para penyewa tanah di kerajaan Surakarta,
Jawa Tengah, dan Yogjakarta dianggapnya tidak dikenal oleh Batavia. Pendeknya
menurut Roosenschoon, sehubungan dengan perkembangan ekonomi Jawa tidak ada
yang dihasilkan dari para penguasa swasta tersebut.

Fasser mengarahkan perhatiannya pada kenyataan, bahwa sejak semula


penanaman gula hanya mungkin dilakukan dengan melibatkan para kontraktor swasta
untuk memproses tebu menjadi gula halus.Sebaliknya, peranan-peranan pengusaha
swasta yang bekerja tanpa dukungan pemerintah.Kejatuahan sistem tanam paksa
sebagian besar harus dijelaskan dengan pandangan-pandangan politikus colonial yang
berubah, dan munculnya perusahaan-perusahaan swasta di Jwa lebih merupakan
akibat daripada sebeb hilangnya sistem tersebut.Reinsma menyatakan bahwa pemilik-
pemilik tanah swasta di Jawa tidak dapat mensuplai pasar dengan jumlah produk
ekspor yang signifikan, sedangkan perkembangan pertanian di kerajaan-kerajaan
tetap tidak memuaskan. Namun, beberapa halaman kemudian, ia menyimpulkan
bahwa hasil-hasil bebas dan kelibihan diberbagai daerah yang langsung diawasi,
dengan cara yang semakin berhasil, dapat memenuhi tuntutan modal perdagangan
bagi tanaman ekspor. Jadi, menurut pendapatnya perkebunan-perkebunan swasta di
daerah-daerah pemerintah menyebabkan perluasan pertanian ekspor yang cukup
substansial sebelum 1870.Dalam tulisan ini, saya ingin mengevaluasi pentingnya
perkebunan-perkebunan swasta di Jawa sebelum 1870 dengan dasar analisis kualitatif
dan kuantitatif. Bagian kualitatif ini akan berhubungan dengan kebijakan dan masalah
ekonomi, namun mengesampinkan masalah-masalah penataan tenaga kerja dan hak-
hak tanah, karena hal tersebut telah dibahas pada penerbitan-penerbitan lain.

Perkembangan Kuantitaf

Pada 1860 Buentenzorg mempunyai tanah-tanah pemilikan (domain) yang


lebih besar (338.773 hektar), namun lebih sedikit orang tinggal pada tanah tersebut
dibandingkan dengan Btaviase ommelanden (386.663).sementara pada waktu yang
sama, perkebunan-perkebunan Surabaya lebih dipenuhi prang (34.347) dibandingkan
di daerah Semarang (22.994). perbedaan-perbedaan regional dalam distribusi
pertanian ekspor swasta di Jawa khususnya, relevan bila kita cermati lebih seksama
angka-angka produksi. Dari survey tanaman yang dihasilkan untuk tujuan-tujuan
pribadi selam 1860, ditemukan banyak perbedaan diberbagai anatara berbagai daerah
untuk tiga produk ekspor utama.Karena angka-angka absolut tidak memberikan
kejelasan mengenai letak-letak perusahaan-perusahaan pertanian swasta di Jawa
selama masa yang dipelajari, perbandingan dengan hasil-hasil sistem tanam paksa.
Roosenschoon memberikan angka-angka produksi resmi dari perkebunan-perkebunan
swasta dan tanah-tanah yang tidak diolah di Jawa pada 1860 untuk dua produk, yakni
tebu dan kopi. Jumlah keseluruhannya untuk tahun 1869 adalah 76.386 pikul kopi
dan 48.651 pikul untuk gula. Reinsma juga menyajikan beberapa angka untuk tahun
1860bdengan total 4.317 ton kopi, yang dihasilkan perkebunan-perkebunan swasta di
Jawa dari jumlah total 83.000 ton di seluruh Jawa.

Tampak ada divegensi antara statistikyang dihasilkan oleh para penulis


terdahulu berdasarkan data resmi yang dipublikasikan dan data yang diperoleh dari
berbagai arsip.Berdasarkan fenomena tersebut, kita dapat berspekulasi.Produksi
swasta tentu saja tidak ditulis secara berlebihan dalam sumber-sumber, karena
sebagaimana sering dinyatakan bahwa jumlah pemilik tanah dan pera pengusaha
swasta pada dasarnya tidak menyediakan informasi statistic yang diminta.Jadi, sejauh
ini menyangkut produksi perkebunan-perkebunan swasta, laporan yang bersifat
memperkecil lebih merupakan persoalan dibandingkan laporan yang
berlebihan.Alsannya adalah semacam pembukuuan ganda yakni satu untuk
penggunaan di Departemen di koloni –koloni dan satu lagi untuk memberikan
informasi kepada para anggota parlemen.Disamping menghitung validitas angka-
angka tersebut untuk mengukur pentingnya perkebunan-perkebunan swasta di Jawa,
harus dilihat juga berbagai perubahan proporsi produksi pertanian Negara berbanding
swasta.Produksi kopi pada tanah-tanah pribadi cenderung tetap stabil antara 1845 dan
1860, sedangkan produksi pemerintah meningkat hingga sepertiga.Keberhasilan ini
menjelaskan mengapa penanaman paksa dipertahankan untuk kopi setelah 1870.

Jika kita mencoba menghubungkan penduduk dengan produktivitas, jelaslah


bahwa sekilas perkebunan-perkebunan swasta tampak lebih produktif. Jika kita ambil
jumlah total tiga tanaman yang tercatat (kopi, gula, nila) pada 1860, rasio prodduksi
Negara berbanding swasta hamper 2:1, sedangkan untuk penduduk rasionya 3:1. Ini
berarti bahwa dengan jumlah penduduk yang sama, perkebunan-perkebunan swasta
mengasilkan dari tanah dibawah Sistem Tanam Paksa. Ketika melihat rasio tanag
berbanding penduduk untuk perkebunan-perkebunan swasta dan penanaman Negara,
kita dapat mencoba merekontruksi beberapa pola regional.Perkebunan-perkebunan
swasta mempunyai pengaruh kuat di Pasundan dan kerajaan-kerajaan.Berdasarkan
perhitungan diatas.Hubungan tanah dengan tenaga kerja terbalik, jika kita
membandingkan perkebunan-perkebunan swasta dan pemerintah. Pentingnya
produksi swasta versus pemerintah selama masa Sistem Tanam Paksa juga dapat
dicari dengan cara lain, yaitu dengan melihat stastistik-stastistik perdagangan secara
sumber-sumber arsip. Data perdagangan menjadi penting karena menjauhkan kita
dari focus yang terlalu sempit mengenai hubungan antara Nederland dan koloninya.
Suatu jaringan perdagangan yang jauh lebih luas dan berbeda telah beroperasi
dikepualauan ini sebelum 1830, dan terus berlanjut hingga masa Sistem Tanam
Paksa.Yang sembunyi dibalik angka-angka perdagangan ini adalah penyerahan uang
yang dilakukan oleh kontraktor gula yang bekerja sama erat dengan pemerintah.

Menuju Suatu Pendekatan Kualitatif

Sektor swasta di Jawa sebelum 1870 tampak dalam berbagai bentuk.Pertama,


terdapat bentuk tanah-tanah swasta di Jawa Barat. Jika disatukan, semuanya akan
meliputi suatu daerah yang amat luas meskipun ukuran pemilikikan individu
bervariasi mulai dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Tanah swasta
adalah pemilikikan woeste gronden, atau tanah yang tidak diolah.Tanah-tanah ini
dapat dibagian barat dan timur pesisir, terutama dikaresidenan Semarang, selain
Karawang, Cirebon, dan Surabaya.Setelah 1850, kategori ke empat dari produksi
pemerintah secara perlahan mulai tampak ketika pemerintah colonial mengizinkan
para kontraktor gula untuk membangun pabrik-pabrik yang beroperasi untuk
melayani kebutuhan Negara.Beberapa fraksi dalam birokrasi colonial sangat
menentang perbatasan kepentingan-kepentingan swasta lebih lanjut di Jawa.Para
pejabat yang menghalangi para kontraktor gula atau pengusaha-pengusaha bebas
tersebut kadang-kadang dapat disingkirkan oleh kelompok kepentingan (interest
group) liberal yang semakin kuat.

Hal penting dalam kontruksi kekuatan proliberal di Jawa sebelum 1870 adalah
hubungan social, terutama keluarga.Knight yang menggambarkan situasi selama tiga
decade pertama abad ke-19 membandingkan Jawa Barat dengan penduduk yang
bekerja sebagai penanam yang telah lama tinggal di Jawa dan berlatar belakang
pernah bekerja diperusahaan dengan situasi dilain tempat dimana pendatang baru,
yang sebagian besar dari mereka orang asing, bukan Belanda, lebih dominan.Kaitan
antara kepentingan finansial dan pertanian membawa kita pada pertanyaan mendasar
lain mengenai perkebunan-perkebunan tersebut dibiayai. Kredit eksternal mau tidak
mau digunakan untuk membayar biaya-biaya infrastruktur dan tenaga kerja. Knight
mencatat adanya hubungan yang kuat antara pemilikan tanah dan perdagangan.

Pada awal 1826, NHM mulai mempromosikan perkebunan-perkebunan


swasta dengan kontrak pengiriman.Kontrak pertama dilakukan dengan Louis Auguste
Petel yang memiliki pabrik nila di Doro (Pekalongan). Petel berjanji untuk mengirim
16.800 pon nila kepabrik (factorij) NHM dengan harga 43.620 gulden yang akan
dibayar secara kredit. Kontrak tersebut terbukti tidak berhasil karena penanaman
(planter), meskipun telah terbukti keterjaminannya, tidak mengirimkan jumlah nila
yang telah disetujui pada waktunya.Meskipun dengan pengalaman tersebut, NHM
tetap melanjutkan pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan penanaman swasta di Jawa,
terutama setelah 1830.Beberapa factor ekonomi mendasari kebijakan ini.Karena
daerah jajahan terus-menerus kekurangan uang, pengiriman ke Nederland biasanya
dibuat dalam bentuk pengapalan produk. Sikap positif NHM memberi kesempatan
bagus bagi penyewa tanah yang paling besar di Surakarta, J.A.Dezentje, seorang
Indo-Eropa. Untuk menanam saham dari fasilitas kredit yang ditawarkan. Pada
musim gugur 1837, perusahaan perdagangan Semarang MacLaine, Watson dan Co,
bertindak sebagai agen untuk Dezentje, mengajukan pengiriman sebagian dari
produknya sebagai imbalan atas uang muka.
Perkebunan-perkebunan swasta hanya dapat memperoleh kredit jika produk-
produk mereka dapat dieskpor dan dijual dengan menguntungkan diluar negeri.
Karena terjadi kekurangan uang tunai yang sangat besar di Jawa, nilai bill of
exchange berkurang 20 sampai 25% dari face valuenya. Akibatnya, pedagang
cenderung untuk memilih pembayaran dalam tanaman dagang yang dapat dijual
kembali ditempat lain. Setelah menyataakan bahwa perkebunan-perkebunan swasta di
Jawa sebelum 1870 tidak begitu tidak penting sebagaimana sering diasumsikan, dapat
diajukan pertanyaan mengenai segmen ekonomi pertanian yang mana yang
menyebabkan ekspansi produksi ekspor tumbuh pesat setelah 1870. Pertumbuhan
telah terjadi dari pabrik-pabrik gula yang telah beroperasi melalui kontrak dengan
pemerintah colonial sebelum 1870 dan diubah menjadi perusahaan-perusahaan
swasta. Sekurang-kurangnya dengan cara yang tidak langsung, perkebunan-
perkebunan swasta di Jawa berhubungan dengan perkebunan-perkebunan di pulau-
pulau luar Jawa yang muncul setelah 1870. Meskipun keadaan di daerah-daerah
diluar pulau Jawa berbeda, di daerah-daerah perusahaan juga terdiri atas bidang-
bidang tanah yang luas dengan tenaga kerja local yang tidak mencukupi. Karena
penduduk Jawa pada 1880 telah tumbuh sampai pada tingkat surplus untuk bidang
perkebunan disana, para tenaga kerja banyak dikirimin dengan kapal Sumatera atau
daerah lain.

Dari bab ini kita dapat melihat berdasarkan angka-angka yang diambil dari
sumber arsip, menyatakan bahwa perkebunan-perkebunan swasta di Jawa sebelum
1870 bukan tidak sepenting sebagaimana telah diasumsikan. Untuk penilaian
pertanian swasta versus pemerintah kita dapat melihat perbedaan-perbedaan antar
daerah dan perbedaan-perbedaan antar produk.Hasil perkebunan swasta telah menjadi
pesaing tangguh dari sistem Tanam Paksa yang menurun. Dari hasl tersebut, volume
beras, kopi, dan gula yang diekspor kedaerah tujuan laib sama banyaknya dengan
volume yang diekspor ke Nederland, sedangkan hasil pertanian dari Sistem Tanam
Paksa hanya dikirim ke Nederland.

Anda mungkin juga menyukai