Anda di halaman 1dari 20

MEMPERTIMBANGKAN DIMENSI POLITIK DENGAN AKUNTABILITAS YANG

MENDAPATKAN DAYA TARIK DAN PENCAPAIAN HASIL

Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntabilitas Publik


Dosen Pengampu : Taufiq Rahman Ilyas, M.IP

Kelompok 2
Kelas Akuntabilitas Publik 7B
Disusun Oleh :
Miftahul Akbar F 21901091056
Walisa Ratu Adil 21901091061
Sayyida Amalia 21901091063
Fitri Widyawati 21901091065

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akuntabilitas merupakan salah satu isu penting dalam kajian ilmiah dan praktik
administrasi publik. Ini karena publik menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan
kebijakan, program, proyek, dan aktivitas rutin yang dikerjakan oleh organisasi sektor
publik. Bentuk perhatian ini merupakan konsekuensi yang wajar dari pajak dan retribusi
yang telah dibayarkan masyarakat. Di negara demokrasi seperti Indonesia, organisasi
publik dituntut untuk akuntabel terhadap seluruh tindakan-tindakan yang telah
dilakukannya. Akuntabilitas sendiri merupakan sebuah konsep yang memfokuskan pada
kapasitas organisasi sektor publik untuk memberikan jawaban terhadap pihak-pihak yang
berkepentingan dengan organisasi tersebut. Dalam penegasan yang lebih spesifik,
akuntabilitas merupakan kemampuan organisasi sektor publik dalam memberikan
penjelasan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya terutama terhadap pihak-pihak yang
dalam sistem politik telah diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian dan evaluasi
terhadap organisasi publik tersebut (Starling, 2008: 169).
Akuntabilitas masih belum dilaksanakan dengan optimal oleh organisasi sektor
publik, sementara organisasi-organisasi tersebut semestinya bertanggung jawab atas
implementasi kebijakan, program, proyek dan pelaksanaan aktivitas rutin pemerintah
kepada seluruh pemangku kepentingan. Oleh karenanya, pembahasan mengenai
akuntabilitas organisasi sektor publik penting untuk diangkat menjadi sebuah tulisan
ilmiah. Apalagi jika mempertimbangkan bahwa publik menaruh harapan yang tinggi agar
organisasi sektor publik mampu menjelaskan secara bertanggung jawab seluruh aktivitas
dan tindakan yang telah mereka lakukan. Sebab, sumber daya yang mereka pergunakan
bersumber dari sumbangan atau pungutan yang diberikan oleh publik.
Dalam kehidupan politik akhir-akhir ini, tampak adanya perseturuan dan
persaingan yang tidak sehat, termasuk dalam pelaksanaan Pilkada gubernur, bupati
maupun walikota. Kebanyakan dalam proses Pilkada tersebut terjadi ketidak puasan pihak-
pihak yang berkompotisi, karena adanya persaingan yang tidak sehat. Hal ini dapat
mengakibatkan tercorengnya kemurnian demokrasi politik yang terbangun dari nilai-nilai
persatuan dan kesatuan. Hiruk pikuk dan segala macam hingar bingar yang terjadi dalam
proses demokrasi politik tersebut setidaknya telah menyedot perhatian masyarakat
sehingga berdampak negative dalam keikutsertaan anggota masyarakat dalam
menyalurkan aspirasinya. Bahkan praktek-praktek politik yang bernuansa politik
transaksional, sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar oleh sebagian elite politik.
Padahal masalah tersebut secara hakiki dapat merusak tatanan nilai demokrasi politik yang
sesungguhnya. Orang- money - politik transaksional tersebut dalam dinamika kehidupan
politik local dalam social capital. Tentu saja karena sebagai musuh bersama, maka
siapapun pelakunya harus diperangi secara bersamasama pula dalam rangka upaya
mewujudkan politik local dalam koridor modal social.
Analisis yang baik tentang hubungan kekuasaan dan struktur insentif dari aktor-
aktor kunci, misalnya, dapat menjadi sangat penting dalam merancang dukungan yang
efektif terhadap akuntabilitas domestik untuk pembuatan kebijakan yang peka gender
karena hak-hak perempuan seringkali dikaitkan dengan konflik atas pola distribusi
kekuasaan yang lebih luas. Hal ini, pada gilirannya, akan mengancam praktik elit distribusi
tanah untuk patronase dan berisiko menyebabkan ketidakamanan Semakin banyak
lembaga pembangunan menyadari kebutuhan untuk mengembangkan strategi yang lebih
berdasarkan informasi politik yang didukung oleh analisis. Namun menerjemahkan
prioritas ini ke dalam perubahan kebijakan dan praktik tetap menjadi tantangan: hanya
sedikit donor yang berinvestasi dalam analisis ekonomi politik, dan lebih sedikit lagi yang
membangun bantuan mereka di sekitarnya. Generasi analisis yang lebih baru (seperti
pendekatan ekonomi politik yang digerakkan oleh masalah) tampaknya sangat
menjanjikan, karena lebih mengakar dalam mengatasi tantangan dan masalah operasional.
Bahwa dinamika dan masa depan politik local dalam social capital yang demokratis
di berbagai belahan dunia telah tumbuh dan berkembang dalam proses yang panjang.
Proses demokratisasi di negara-negara Eropa Barat, ternyata bersumber dari politik lokal
kaum aristoktrat, para tuan tanah, yang berjuang melawan kesewenang-wenangan
kekuasaan mutlak raja mereka. Sementara di negara-negara lainnya, di Eropa Timur, pasca
perang dunia II memproklamirkan diri menjadi negara demokratis. Menyusul upaya
pemisahan negara-negara bagian dengan memerdekakan dirinya sendiri (negara-negara
Balkan, negara bagian Uni Soviet, dan sebagainya). Artinya sejarah perkembangan
demokratisasi di negaranegara yang diklaim sebagai sumber lahirnya demokrasi
berpangkal dari politik lokal. Tidak berbeda jauh dengan sejarah demokratisasi masyarakat
Barat, di negara berkembang yang bergulat memperjuangkan diri lepaas dari cengkeraman
penjajah kolonial seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Perancis, dan Belanda di negaranegara
semenanjung Liberia (Amerika Selatan), selalu penuh dengan gejolak politik lokal
mempertentangkan antara kekuasaan kapitalis milik para tuan tanah (latifundista) dengan
kaum sosialis revolusioner berjuang atas nama rakyat. Sedangkan di negara-negara di
Afrika, dan Asia Timur, perjalanan menuju demokrasi masyarakat merekapun penuh
dengan perjuangan kelompok-kelompok etnik untuk memperebutkan sumber-sumber
penghidupan yang tersebar luas di wilayahnya.
Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial,
desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan apabila kita
menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya di
seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal untuk memperluas
wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat dikatakan bukanlah barang baru
dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara hingga saat ini. Sejarah politik
lokal terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu: penjajahan kolonial Belanda; penjajahan
kolonial Jepang; pasca kemerdekaan tahun 1945; Republik Indonesia Serikat tahun 1948-
1949; Demokrasi Parlementer; Demokrasi Terpimpin; Orde Baru; dan Pasca Orde Baru.
Peristiwa-peristiwa bersejarah menandai hadirnya politik lokal di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah :
1. Apa yang dapat diperbaiki dalam Instrumen dan pendekatan yang mendukung
akuntabilitas domestic?
2. Apa yang mencegah tindakan berdasarkan analisis ekonomi politik lokal?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut:
1. Mengetahui instrument dan pendekatan apa saja yang dapat mendukung akuntabilitas
domestik.
2. Mengetahui apa yang dapat mencegah tindakan berdasarkan analisis ekonomi politik
lokal.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijaksanaan terutama dalam Good Governance yang lebih baik,
berkompetensi, dan pengendalian akuntatabilitas dan untuk memonitoring
(pengawasan) disuatu instansi pemerintah guna untuk menunjang Akuntabilitas
kinerja.
2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur dalam pengembangan ilmu
akuntabilitas barkaitan dengan pengaruh akuntabilitas domestik dan ekonomi politik
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menyusun makalah ini adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Teknik yang dilakukan oleh peneliti adalah survei literatur akademis
di bidang administrasi publik dengan tujuan untuk memperoleh konsep dan teori yang
relevan dengan kajian mengenai akuntabilitas pada organisasi sektor publik. Sementara,
untuk memperoleh data, dilakukan upaya penelusuran melalui berbagai sumber baik dari
dokumen resmi pemerintah maupun dari berbagai pemberitaan di media massa baik cetak
maupun elektronis untuk mendeskripsikan praktik-praktik yang berhubungan dengan
akuntabilitas pada organisasi sektor publik. Selanjutnya, data tersebut dianalisis
berdasarkan teori dan konsep akuntabilitas dan diberikan pemaknaan melalui proses
intepretasi data. Data yang diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk narasi.
Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan kerangka teori akuntabilitas dan
diintepretasikan untuk memberikan makna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dimensi politik
Dimensi politik berasal dari dua kata yaitu ‘dimensi’ dan ‘politik’. Dimensi di
dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan ‘ukuran’. Ukuran di sini adalah dalam
bentuk panjang, lebar, tinggi, luas dan lain sebagainya. Apabila diungkapkan kata ‘dimensi
hukum’, maka artinya adalah ‘segi hukum yang menjadi pusat tinjauan ilmiah’. Oleh sebab
itu jika terkait dengan politik atau dimensi politik maka maksudnya tidak jauh berbeda
yaitu ‘segi atau aspek politik yang menjadi titik sentral kajian ilmiah’. Lebih lanjut agar
lebih detail penjelasannya maka setelah ini akan penulis paparkan maksud dari politik itu
sendiri. Paradigma politik secara arti dan makna mengalami gejolak pemikiran yang tidak
seirama, tidak begitu mulus dan bersifat tentatif.
Salah satu penyebabnya adalah keilmuan yang terus berkembang dan cendrung
progresif sehingga berimplikasi terhadap definisi politik yang tidak kaku. Secara substansi
pengejawantahan istilah politik sudah ada sejak dahulu, akan tetapi pengembangannya
secara keilmuan termasuk yang baru, sehingga memberikan efek diskursus bahwa politik
bukan sesuatu yang konstan melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan
zaman dan waktu. Selain itu, terjadinya beragam definisi terkait kata politik disebabkan
oleh latar belakang keahlian dan kecendrungan yang dimiliki oleh para pakar dibidang
politik itu sendiri. Kata Politik teradobsi dari bahasa Inggris yaitu politic dengan arti
shrewdly judicious in support of an aim (kelihaian yang bijaksana dalam mendukung suatu
tujuan). Sedangkan dalam buku Cambridge International Dictionary of English
menyatakan penjelasan yang tidak jauh beda yaitu wise and showing the ability to make
the decisions (bijaksana dan menunjukkan kemampuan untuk membuat keputusan).
Perbedaannya adalah terletak dari segi orientasi yang dituju. Penekanan dari makna
pengertian yang pertama adalah istilah politik dipergunakan untuk suatu tujuan yang ingin
dicapai, apapun itu. Kemudian stressing arti yang kedua adalah dalam rangka
menghasilkan keputusan yang cemerlang. Adapun titik ikat persamaan diantara dua
pengertian politik di atas adalah dari aspek kelihaian dan kecerdikan, taktik atau siasat yang
sangat bijaksana lagi mumpuni. Negara sebagai manifestasi politik disebabkan oleh karena
Negara merupakan situasi yang sangat kondusif dalam mengatur dan menciptakan
kehidupan yang lebih baik, karena politik dalam arti Negara merupakan sebuah spirit dan
usaha bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan yang lebih nyaman, taratur dan kondusif
lagi baik. Hal ini secara tidak langsung menjadikan tujuan yang dicita-citakan oleh
masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya arti dan maksud politik mengalami pengertian
yang beragam. Indikatornya terlihat dan tergambarkan sebagaimana yang diungkapkan
oleh P. Anthonius Sitepu seperti yang beliau kutib juga dari pernyataan Varma yaitu di
abad pertengahan pemikiran politik dengan melibatkan para tokoh-tokoh dibidangnya
menunjukkan suatu usaha untuk merangkum sebuah kerangka pendirian kerajaan Allah di
dunia, kemudian priode setelahnya berkutik di ranah yang terkait dengan kekuasaan,
wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu politik berfokus pada masalah
kelembagaan dan memunculkan pendekatan yang semakin luas dan beragam. Pendekatan
yang dipergunakan itu bersifat historis dalam arti bahwa para pemikir politik lebih
memusatkan perhatiannya kepada usaha melacak dan mengambarkan bagaimana
fenomena politik dan lembaga politik yang bersifat khusus itu terjadi secara defakto, dan
tidak terlalu serius untuk mengkaji fenomena-fenomena yang bersifat abstrak.
Michael G. Roskin dan kawan-kawannya di dalam buku Political Science An
Introduction yang edisi 14, mengemukakan politik adalah suatu kompetisi yang
berlangsung antar manusia. Biasanya terjadi di dalam suatu kelompok apakah itu di ruang
kerja, keluarga, kelas dan lain sebagainya dalam rangka membuat kebijakan sesuai dengan
keinginan mereka. Sedangkan Menurut Rod Hague dan kawan-kawan memberikan
gambaran politik itu adalah “politics is the activity by which groups reach binding
collective decisions through attempting to reconcile differences among their members”
yang maksudnya yaitu politik adalah kegiatan di mana suatu kelompok mencapai
keputusan secara kolektif yang mengikat mereka melalui upaya untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan di antara anggotaanggotanya. Sedangkan menurut Andrew Heywood
yaitu: “politics is activity through which a people make, preserve and amend the general
rules under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of conflict
and cooperation”, artinya yaitu politik adalah kegiatan atau aktivitas di mana orang
membuat, mempertahankan atau melestarikan, dan mengamandemen (mengubah)
peraturan-peraturan umum di tempat mereka hidup dan hal ini menunjukkan ada
keterkaitan erat dengan fenomena konflik dan kerja sama yang ada.
Sedangkan menurut Ramlan Subekti, politik adalah interaksi antar pemerintah dan
masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat dengan tujuan kebaikan kolektif2. Beberapa defenisi politik yang
telah dinyatakan oleh para peneliti, terlihat khususnya dari paradigma Michael G. Roskin
beserta kawankawannya bahwa politik adalah suatu persaingan yang terjadi tidak hanya
pada komunitas tertentu, akan tetapi dapat juga melibatkan apapun bentuk dan klasifikasi
dari kelompok tersebut, baik skala kecil seperti keluarga maupun dalam tataran yang besar,
terutama Negara. Kompetisi yang terjadi bisa berafiliasi kepada nilai-nilai kebaikan
ataupun bersifat taktik yang curang, yang menjadi titik fokus lainnya adalah terkait dengan
kebijakan tertentu yang ditetapkan atau diputuskan. Jadi intinya adalah kompetisi tersebut
tidak bisa juga terlepas dari kebijakan yang akan diambil oleh suatu komunitas tertentu.
B. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik
pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga
yudikatif kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan
secara sinonim dengan konsep-kosnep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan
(responsibility), kemampuan memberikan jawaban (answeraility), yang dapat
dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability)
termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya.
Akuntabilitas secara umum dapat diartikan sebagai permintaan pertanggungjawaban atas
pemenuhan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya. Dalam tugasnya mengaudit
laporan keuangan, auditor dituntut bekerja dengan akuntabilitas yang tinggi dan secara
profesional. Hal ini untuk memenuhi permintaan klien yang menginginkan kinerja yang
tinggi.
Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean government) telah
mendorong pengembangan dan penerapan system pertanggungjawaban yang jelas, tepat,
teratur, dan efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP). Penerapan sistem tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab
dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Terdapat berbagai
definisi tentang akuntabilitas, yang diuraikan sebagai berikut :
1. Sjahruddin Rasul (2000) menyatakan bahwa akuntabilitas didefinisikan secara sempit
sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas
tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat secara luas atau
dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah, “seseorang” tersebut
adalah pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima amanat yang harus memberikan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat tersebut kepada masyarakat atau publik
sebagai pemberi amanat.
2. J.B. Ghartey (1998) menyatakan bahwa akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban
atas pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship yaitu apa, mengapa, siapa, ke
mana, yang mana, dan bagaimana suatu pertanggungjawaban harus dilaksanakan.
3. Ledvina V. Carino (2002) mengatakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu evolusi
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik yang masih berada
pada jalur otoritasnya atau sudah keluar jauh dari tanggung jawab dan kewenangannya.
Setiap orang harus benar-benar menyadari bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan
memberi pengaruh pada dirinya sendiri saja. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa
tindakannya juga akan membawa dampak yang tidak kecil pada orang lain. Dengan
demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah harus
memperhatikan lingkungannya.
4. Akuntabilitas juga dapat berarti sebagai perwujudan pertanggungjawaban seseorang
atau unit organisasi, dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan dan dikuasai,
dalam rangka pencapaian tujuan, melalui suatu media berupa laporan akuntabilitas
kinerja secara periodik. Sumber daya dalam hal ini merupakan sarana pendukung yang
diberikan kepada seseorang atau unit organisasi dalam rangka memperlancar
pelaksanaan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Wujud dari sumber daya tersebut
pada umumnya berupa sumber daya manusia, dana, sarana prasarana, dan metode kerja.
Sedangkan pengertian sumber daya dalam konteks negara dapat berupa aparatur
pemerintah, sumber daya alam, peralatan, uang, dan kekuasaan hukum dan politik.
5. Akuntabilitas juga dapat diuraikan sebagai kewajiban untuk menjawab dan
menjelaskan kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang
memiliki hak untuk meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah
diberikan wewenang untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini,
pengertian akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolak ukur
pengukuran kinerja.
Setiap organisasi menginginkan terus berkembang untuk meningkatkan
eksistensinya dengan berbagai cara dalam memenuhi tuntutan lingkungannya. Untuk
memenuhi lingkungan berarti perlu adanya upaya organisasi untuk dapat menggunakan
dukungan kemampuan dan memperhatikan kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan
mengatasi tantangan yang kompleks. Keberadaan organisasi salah satunya tergantung
akuntabilitasnya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Istilah akuntabilitas tidak
terlepas dari istilah akunting ataupun akuntansi yang mempunyai makna laporan,
pertanggungjawaban, perhitungan/nilai. Pengukuran nilai agak menjadi perhatian dalam
akuntabilitas dikarenakan didasari oleh sistem akuntasi (Walters, Aydelotte, Miller, 2010).
Dalam pemahaman selanjutnya, akuntabilitas dikaitkan dengan sikap anggota organisasi
didalam melaksanakan tugasnya, dengan memperhatikan keberlangsungan organisasi di
dalam melaksanakan tugasnya, dengan memperhatikan keberlangsungan ganisasi dalam
menghadapi persaingan dengan organisasi lain ke depan, dengan tidak mengurangi
perjalanan sejarah dan organisasi tersebut. Hal ini menjadi menarik dimana akuntablitas
yang dapat dipercaya untuk membantu revitalisasi, memberi kekuatan bersaing,
memperbaiki kualitas produk dan produk pelayanan perusahaan.
Akan meningkatkan reaksi organisasi terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan
atau pemilih, mengurangi penyalahgunaan/penyimpangan (Bachtiar Arif, 2008).
Akuntabilitas merupakan sikap yang berkelanjutan untuk bertanya apa yang dapat
diperbuat untuk membangkitkan keadaan dan hasrat/menginginkan pencapaian prestasi
hasil. Ini merupakan proses tindakan melihat, mendapatkan sesuatu, memecahkan sesuatu,
dan yang harus dikerjakan ini merupakan tingkatan kepemilikan termasuk di dalamnya
pembuatan, pemelihaaran/ penyimpanan dan secara proaktif menjawab untuk janji secara
personal. Merupakan pandangan ke depan yang mencakup kedua keadaan sekarang dan
usaha masa depan daripada reaksi dan penjelasan tentang sejarah masa lalu (Bachtiar Arif,
2008).
Akuntabilitas yang merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam
pencapaian hasil pada pelayanan publik. Rentetan kegiatan-kegiatan sejak dari pemahaman
tugas dan fungsi, perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian hasil akhir akan mempunyai
dampak terhadap kegiatan orang lain. Khususnya pihak-pihak yang memerlukan
pelayanan. Untuk itu perlu dicermati kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
seseorang/pejabat tersebut masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada di luar
jalur tanggung jawab dan kewenangannya sehingga tingkah laku pejabat perlu
memperhatikan lingkungannya. Akuntabilitas dapat tumbuh dan berkembang dalam
suasana yang transparan dan demokratis serta adanya kebebasan dalam mengemukakan
pendapat sehingga perlu disadari bahwa semua kegiatan organisasi publik dalam
memberikan pelayanan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari public (Choirul Saleh,
2012).
Dari berbagai definisi akuntabilitas seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi
untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Instrumen dan pendekatan yang mendukung akuntabilitas domestic

Dukungan biasanya diberikan melalui berbagai jenis bantuan teknis dan prakarsa
pengembangan kapasitas, seringkali kepada pelaku atau lembaga tertentu seperti organisasi
masyarakat sipil atau lembaga audit nasional. Ini biasanya melibatkan pelatihan, saran yang
disesuaikan dari konsultan atau pakar eksternal, serta dukungan untuk aktivitas tertentu
(pelaporan, kampanye, dll.). Di Peru dan Uganda, beberapa dukungan ditujukan untuk
meningkatkan transparansi dan akses informasi; di Mali dan Mozambik, terdapat fokus
yang lebih luas pada penjangkauan dan mobilisasi masyarakat untuk meningkatkan
permintaan masyarakat. Dukungan kelembagaan disediakan untuk badan audit nasional,
parlemen dan organisasi masyarakat sipil. Inovasi terbaru melibatkan dukungan untuk
dialog kebijakan, seperti forum masyarakat sipil atau forum partai politik yang menyatukan
berbagai aktor dan organisasi; serta bentuk peer ranking, seperti penggunaan score card
atau indeks peringkat untuk membandingkan kinerja akuntabilitas. Di arena pemerintahan,
bantuan pembangunan biasanya didukung oleh sejumlah “teori perubahan” atau asumsi
tentang bagaimana reformasi akan terjadi. Ini sangat terbukti dalam studi kasus GOVNET.
Implementasi program perlu melibatkan teori tentang “apa yang mungkin menyebabkan
perubahan”, meskipun teori tersebut mungkin tidak eksplisit (Pawson dan Tilley, 1997).
Hal ini memberikan hipotesis tentang bagaimana, dan untuk siapa, suatu program dapat
“bekerja” – sehingga memberikan dasar atau alasan yang sah untuk melaksanakan bantuan
yang direncanakan.
Pendekatan umum untuk desentralisasi diasumsikan akan mengurangi ruang antara
warga dan pembuat keputusan, meningkatkan suara warga dan memperkuat hubungan
akuntabilitas antara dua kelompok pelaku. Demikian pula, peningkatan transparansi dalam
pengambilan keputusan negara dianggap memfasilitasi akuntabilitas yang lebih besar
kepada warga negara. Sementara “teori perubahan” ini tampak masuk akal, studi kasus
mengungkapkan bahwa asumsi pemrograman, kadang-kadang, jauh dari kekuasaan dan
realitas politik di lapangan, dan yang tidak mampu menangani interaksi antara proses
politik formal dan informal secara memadai. Penekanan keseluruhannya adalah pada
keterlibatan teknis, bukan politis, sehingga tidak berhubungan dengan dinamika
akuntabilitas fungsional di negara-negara tersebut. Komunitas donor lokal tampaknya
mengalami kesulitan besar untuk menerima lapisan politik, hubungan kekuasaan dan
struktur insentif yang mempengaruhi tata kelola dan akuntabilitas dan di mana pendekatan
dan instrumen kerjasama pembangunan mereka diperlukan untuk berfungsi dan mencapai
hasil. Misalnya, sebagian besar dukungan kepada parlemen melibatkan bantuan teknis
untuk menyusun rancangan undang-undang; analisis ahli; dan dukungan untuk
memperkuat fungsi perwakilan, legislatif dan pengawasan parlemen. Secara umum, bentuk
umum dari pengembangan kapasitas atau bantuan teknis ini belum secara efektif terlibat
dalam konteks politik yang lebih luas. Kadang-kadang, mereka berjuang untuk
menghubungkan program dukungan dengan realitas konteks politik yang lebih luas atau
dengan “aturan main” informal.
Selain itu, meskipun kelemahan partai politik (terutama dalam kaitannya dengan
akuntabilitas) terlihat jelas di semua studi kasus GOVNET – ditandai dengan hubungan
yang buruk dengan warga negara, struktur yang dilembagakan dengan lemah, oposisi yang
terfragmentasi, dan kurangnya kerangka hukum dan peraturan yang kuat – donor
Dukungan standar partai politik (jika ada) sering berfokus pada bantuan teknis yang tidak
banyak membantu mengatasi tantangan struktural yang lebih dalam ini. Studi kasus juga
mengungkapkan kelemahan dalam “prosedur operasi standar” dan “zona nyaman” donor
yang sering mengakibatkan dukungan yang berpotensi disfungsional atau tidak efektif :
A) Donor cenderung memberikan sumber daya yang signifikan kepada beberapa
aktor atau lembaga (CSO) tetapi jumlah yang relatif lebih kecil untuk aktor lain
(parlemen dan partai politik). Dukungan yang “tidak seimbang” seperti itu
cenderung memperparah kesenjangan dalam kapasitas dan pengaruh di seluruh
sistem akuntabilitas yang lebih luas.
B) Donor dapat cenderung melebih-lebihkan kemampuan satu set aktor (seperti
CSO) untuk mempengaruhi perubahan mereka sendiri. Di Uganda, Mali, dan di
tempat lain, dukungan yang signifikan telah diarahkan kepada OMS yang
terlibat dalam pemantauan anggaran untuk penyampaian layanan – tetapi jarang
dengan cara yang memfasilitasi hubungan dengan proses lain, seperti proses
audit formal, penyelidikan parlemen, atau pengembangan kebijakan partai
politik.

3.2 Hal Mencegah tindakan berdasarkan analisis ekonomi politik lokal


Selain kebutuhan untuk mendukung dukungan tata kelola dengan penilaian yang
hati-hati terhadap kondisi dan politik lokal, para donor juga membutuhkan pendekatan
yang terinformasi untuk manajemen risiko, dan kemauan untuk tetap berada di jalur.
Realisme yang lebih besar juga diperlukan, baik tentang ruang reformasi untuk
akuntabilitas di setiap negara maupun jangka waktu yang lebih panjang dalam mewujudkan
reformasi kelembagaan transformasional (World Bank, 2011). Perubahan terjadi secara
perlahan dan dukungan yang efektif seringkali didasarkan pada komitmen jangka panjang.
Di Mali dan Uganda, hubungan pendanaan hingga 10 tahun mampu membangun hubungan
yang kuat antara mitra lokal dan donor. Program PACT di Mali, misalnya, merupakan
prakarsa 12 tahun yang menyertai proses desentralisasi negara. PACT beroperasi di tingkat
lokal dan nasional, membantu membangun mekanisme tata kelola multi-stakeholder
melalui dewan lokal dan untuk meningkatkan kerangka kerja dan prosedur desentralisasi.
Sejak diluncurkan pada tahun 2002 telah membantu pihak berwenang untuk
mengembangkan dan menguji alat baru untuk akuntabilitas, transparansi dan partisipasi
publik dalam pemerintahan daerah, bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan yang
mencakup masyarakat sipil, kepala adat, pemerintah daerah, media dan sektor swasta.
Ada banyak faktor berbeda yang berperan di sini. Sebagian, kurangnya penyerapan
mencerminkan kelemahan dalam analisis politik itu sendiri. Misalnya, temuan mungkin
tidak diterjemahkan ke dalam tindakan khusus yang dapat dilaksanakan oleh staf program.
Memahami ekonomi politik para donor itu sendiri juga merupakan kunci – keengganan
untuk melakukan analisis politik juga mencerminkan insentif dan budaya organisasi
lembaga pembangunan. Salah satu studi yang paling mendalam tentang insentif
kelembagaan lembaga donor (Swedia International Development Co-operation Agency,
Sida) menemukan bahwa asimetri informasi, pergantian staf yang cepat, dan tekanan untuk
mengalokasikan dana dapat merusak upaya untuk menumbuhkan pemahaman yang kuat
tentang konteks di mana kerjasama pembangunan disampaikan (Ostrom et al., 2001). Studi
kasus GOVNET mengidentifikasi sejumlah contoh di mana komunitas donor telah
mencoba untuk “meniru” dukungan yang sukses untuk akuntabilitas domestik di negara
mereka sendiri di negara berkembang – daripada mengidentifikasi solusi “lokal” yang lebih
tepat, fungsional, untuk kesenjangan akuntabilitas dan defisit. Di sini dukungan diberikan
untuk mendirikan lembaga audit berdasarkan model manajemen keuangan publik Anglo-
Saxon – meskipun sudah ada kantor akun nasional yang melakukan pekerjaan ini.
Pendekatan “bantuan yang lebih cerdas” di sini akan berfokus pada mendukung fungsi
audit dan bekerja melalui lembaga yang sudah ada sebelumnya. Pendekatan yang lebih
berwawasan politik harus memastikan fokus yang lebih besar pada fungsi substantif
akuntabilitas – daripada pada bentuk yang lebih luas yang mungkin diperlukan.
Pemerintah daerah sering gagal memahami bahwa mereka harus berkonsultasi
dengan warga; mereka juga tidak mengerti bagaimana melakukannya. Di Peru, undang-
undang yang mempromosikan akses ke informasi anggaran publik belum memupuk peran
pengawasan fungsional oleh masyarakat sipil karena masyarakat tidak dapat memahami
dan bertindak berdasarkan jenis informasi yang diberikan. Pihak berwenang di kedua
negara belajar bahwa semua aktor membutuhkan lebih banyak panduan dan dukungan
dalam menerapkan pengaturan tata kelola lokal yang baru – dan bahwa membangun
hubungan dan kapasitas baru ini serta mengembangkan visi bersama membutuhkan waktu.
undang-undang yang mempromosikan akses ke informasi anggaran publik belum
memupuk peran pengawasan fungsional oleh masyarakat sipil karena masyarakat tidak
dapat memahami dan bertindak berdasarkan jenis informasi yang diberikan. Pihak
berwenang di kedua negara belajar bahwa semua aktor membutuhkan lebih banyak
panduan dan dukungan dalam menerapkan pengaturan tata kelola lokal yang baru – dan
bahwa membangun hubungan dan kapasitas baru ini serta mengembangkan visi bersama
membutuhkan waktu. undang-undang yang mempromosikan akses ke informasi anggaran
publik belum memupuk peran pengawasan fungsional oleh masyarakat sipil karena
masyarakat tidak dapat memahami dan bertindak berdasarkan jenis informasi yang
diberikan. Pihak berwenang di kedua negara belajar bahwa semua aktor membutuhkan
lebih banyak panduan dan dukungan dalam menerapkan pengaturan tata kelola lokal yang
baru – dan bahwa membangun hubungan dan kapasitas baru ini serta mengembangkan visi
bersama membutuhkan waktu. Oleh karena itu, setiap pemahaman tentang fungsi
akuntabilitas perlu didasarkan pada apa yang sesuai secara lokal dan dipandang asli.
Memperkuat kebutuhan untuk menjauh dari model standar menuju pendekatan yang paling
sesuai dengan konteks.
BAB VI
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Akuntabilitas merupakan salah satu isu penting dalam kajian ilmiah dan praktik
administrasi publik. Ini karena publik menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan
kebijakan, program, proyek, dan aktivitas rutin yang dikerjakan oleh organisasi sektor
publik. Bentuk perhatian ini merupakan konsekuensi yang wajar dari pajak dan retribusi
yang telah dibayarkan masyarakat. Akuntabilitas masih belum dilaksanakan dengan
optimal oleh organisasi sektor publik, sementara organisasi-organisasi tersebut semestinya
bertanggung jawab atas implementasi kebijakan, program, proyek dan pelaksanaan
aktivitas rutin pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan.
Dukungan biasanya diberikan melalui berbagai jenis bantuan teknis dan prakarsa
pengembangan kapasitas, seringkali kepada pelaku atau lembaga tertentu seperti organisasi
masyarakat sipil atau lembaga audit nasional. Ini biasanya melibatkan pelatihan, saran yang
disesuaikan dari konsultan atau pakar eksternal, serta dukungan untuk aktivitas tertentu
(pelaporan, kampanye, dll.). Di Peru dan Uganda, beberapa dukungan ditujukan untuk
meningkatkan transparansi dan akses informasi; di Mali dan Mozambik, terdapat fokus
yang lebih luas pada penjangkauan dan mobilisasi masyarakat untuk meningkatkan
permintaan masyarakat. Dukungan kelembagaan disediakan untuk badan audit nasional,
parlemen dan organisasi masyarakat sipil. Selain itu, meskipun kelemahan partai politik
(terutama dalam kaitannya dengan akuntabilitas) terlihat jelas di semua studi kasus
GOVNET – ditandai dengan hubungan yang buruk dengan warga negara, struktur yang
dilembagakan dengan lemah, oposisi yang terfragmentasi, dan kurangnya kerangka hukum
dan peraturan yang kuat – donor Dukungan standar partai politik (jika ada) sering berfokus
pada bantuan teknis yang tidak banyak membantu mengatasi tantangan struktural yang
lebih dalam ini.
Perubahan terjadi secara perlahan dan dukungan yang efektif seringkali didasarkan
pada komitmen jangka panjang. Di Mali dan Uganda, hubungan pendanaan hingga 10
tahun mampu membangun hubungan yang kuat antara mitra lokal dan donor. Program
PACT di Mali, misalnya, merupakan prakarsa 12 tahun yang menyertai proses
desentralisasi Negara. Ada banyak faktor berbeda yang berperan di sini. Sebagian,
kurangnya penyerapan mencerminkan kelemahan dalam analisis politik itu sendiri.
Misalnya, temuan mungkin tidak diterjemahkan ke dalam tindakan khusus yang dapat
dilaksanakan oleh staf program. Memahami ekonomi politik para donor itu sendiri juga
merupakan kunci – keengganan untuk melakukan analisis politik juga mencerminkan
insentif dan budaya organisasi lembaga pembangunan

4.2 SARAN
Secara umum, bentuk umum dari pengembangan kapasitas atau bantuan teknis ini
belum secara efektif terlibat dalam konteks politik yang lebih luas. Kadang-kadang, mereka
berjuang untuk menghubungkan program dukungan dengan realitas konteks politik yang
lebih luas atau dengan “aturan main” informal. Studi kasus juga mengungkapkan
kelemahan dalam “prosedur operasi standar” dan “zona nyaman” donor yang sering
mengakibatkan dukungan yang berpotensi disfungsional atau tidak efektif. Namun setiap
pemahaman tentang fungsi akuntabilitas perlu didasarkan pada apa yang sesuai secara lokal
dan dipandang asli. Memperkuat kebutuhan untuk menjauh dari model standar menuju
pendekatan yang paling sesuai dengan konteks. Ada banyak faktor berbeda yang berperan
di sini. Sebagian, kurangnya penyerapan mencerminkan kelemahan dalam analisis politik
itu sendiri. Misalnya, temuan mungkin tidak diterjemahkan ke dalam tindakan khusus yang
dapat dilaksanakan oleh staf program. Memahami ekonomi politik para donor itu sendiri
juga merupakan kunci – keengganan untuk melakukan analisis politik juga mencerminkan
insentif dan budaya organisasi lembaga pembangunan
LAMPIRAN

 Pertanyaan saat presentasi kelompok 2 Tanggal 9 Desember 2022


1. Pertanyaan 1
Penanya : An Nisa Salsa Bela (21901091074)
Pertanyaan : Apa alasan yang mendukung akuntabilitas dari sisi permintaan
untuk meningkatkan perubahan ?
Jawaban : Bahwa meningkatkan suara akan membuat institusi publik lebih tanggap
terhadap kebutuhan atau tuntutan warga dan, pada gilirannya, membuat mereka lebih
akuntabel. Pendekatan umum untuk desentralisasi diasumsikan akan mengurangi ruang
antara warga dan pembuat keputusan, meningkatkan suara warga dan memperkuat
hubungan akuntabilitas antara dua kelompok pelaku. Demikian pula, peningkatan
transparansi dalam pengambilan keputusan negara dianggap memfasilitasi
akuntabilitas yang lebih besar kepada warga negara

2. Pertanyaan 2
Penanya : Roudhotun Madina (21901091068)
Pertanyaan : Jelaskan pendapat anda tentang ekonomi politik, kemudian apa
yang menjadi fokus perhatian dalam kajian ekonomi politik ?
Jawaban : Secara sederhana, ekonomi politik mengacu pada nasihat yang diberikan
oleh para ekonom kepada pemerintah baik tentang kebijakan ekonomi umum atau
proposal khusus tertentu yang dibuat oleh politisi. Hubungan ekonomi dan politik yaitu
saling terikat karena sistem politik mempengaruhi bagaimana sistem ekonomi, namun
begitu pula dapat mempengaruhi berbalik antara ekonomi juga bisa mempengaruhi
sistem politik didalam suatu pemerintahan. Fokus dari studi ekonomi politik adalah
fenomena-fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta dikaji menjadi lebih
spesifik ; yakni menyoroti interaksi antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor
politik.
DAFTAR PUSTAKA

https://kbbi.web.id/dimensi . Diakses pada 30 Desember 2022. Kata Miriam Budiardjo usia


ilmu terkait dengan politik relatif muda dan masih baru yang dimulai pada abad ke-19 yang
perkembangannya sangat pesat beserta dengan keilmuan-keilmuan yang lain.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017, cet.
14, hal. 5 dan bandingkan dengan Yusa Djuyandi, Pengantar Ilmu Politik, Depok: Rajawali Press,
2017, cet.2, hal.11 serta bisa juga dibaca penjelasan tentang penjelasan detail tentang
perkembangan politik secara keilmuan dari S.P. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali
Pers, 2016, cet.10, hal. 4-16. 5 J.M. Papasi, Ilmu Politik Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010, hal. 3.
The New Lexicon Webster’s Dictionary of The English Language, United States of
America: Lexion Publications, 2004, vol. 2, hal, 777 kemudian lihat juga The American Heritage
Dictionary, Boston: Houghton Mifflin Company, 1982, edisi: 2, hal. 960.
Cambridge International Dictionary of English, London: Cambridge University Press,
1995, hal. 1092.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, cet. 2, edisi 4, hal. 1091.
Abdul Rashid Moten. Ilmu Politik Islam, diterjemahkan oleh Munir A. Mu’in dan
Widyawati dari judul Political Science: An Islamic Perspective…, hal. 20.
Yunani kuno, lihat P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012,
hal. 3 dan Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…, hal.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,… hal. 13 dan P. Anthonius Sitepu, Studi
Ilmu Politik…, hal. 4.

Anda mungkin juga menyukai