Anda di halaman 1dari 11

OBSERVASI

RUMAH ADAT SULAWESI SELATAN


RUMAH ADAT BUGIS
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
- Wabil
- Abrar kiran R
- muh. Arif Ramadan
- muh. Aizat adianto
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 07

LUWU TIMUR X IPS 3 PI

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [Rumah Adat Bugis] ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas [guru] pada [bidang
studi/Bahasa Indonesi]. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
[Rumah Tongkonan] bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada [bapak/ibu] , telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

1. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam naskah kuno sastra lontara Bugis Makassar secara jelas dapat ditemukan relevansi

antara lingkungan dan kehidupan budaya manusia, hal tersebut terwujud pada penggambaran

bentuk rumah adat yang diciptakannya. Perkembangan rumah sebagai tempat berlindung dan

beraktivitas terkait erat dengan latarbelakang sosial, ekonomi dan kebudayaan pemiliknya.

Perkembangan rumah tidak dapat hanya dilihat sebagai bentuk fisik bangunan menurut ukuran

standar tertentu, melainkan sebagai hasil interaksi antara rumah dengan proses mobilisasi sosial,

ekonomi dan budaya penghuninya dan masyarakat dalam bentang waktu yang ada. Menurut

Sumintarja kriteria lain dalam menilai keaslian rumah adat umpamanya kebiasaan-kebiasaan

yang menjadi sesuatu (peraturan saat yang tidak tertulis) saat rumah itu didirikan ataupun mulai

digunakan. Adat ritual-ritual tertentu misalnya upacara pemancangan tiang pertama, selamatan

dan penentuan, waktu yang tepat, arah/orientasi yang tepat kemana rumah harus menghadap,

bentuk, warna, motif hiasan, bahan bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau mantera yang

harus dibaca dan sebagainya yang sangat erat pada rumah adat.
2. Karakteristik Arsitektur Rumah Adat Bugis

Rumah bugis memilik keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku

yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan

lego. Permukiman tradisional identik dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat di

masing-masing daerah. Permukiman tradisional umumnya memiliki aturan terhadap pola dan

tanamrumah pada permukimannya sesuai dengan tradisi dan budaya setempat, salah satunya

dalam hal orientasi rumah. Pola dan tatanan orientasi rumah tersebut juga terdapat pada

permukiman di Dusun Kajuara, namun orientasi bola ugi yang ada di dusun ini memiliki

karakteristik yang beragam. Dusun Kajuara merupakan permukiman yang berada di wilayah

topografi perbukitan, namun sebagian dari wilayah permukimannya berada pada kondisi tanah

datar. Pola permukiman di dusun ini umumnya berpola linier membentuk kelompok - kelompok

permukiman yang mengikuti sirkulasi jalan desa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

dan menjelaskan karakakteristik orientasi bola ugi di Dusun Kajuara yang memiliki arah

orientasi rumah yang beragam, berdasarkan pendekatan aturan adat dan tradisi masyarakat

setempat. Metodelogi penelitian menggunakan metode kualitatif analisis deskriptif dengan

teknik analisis komparatif terhadap beberapa kelompok permukiman. Hasil penelitian terhadap

kelompok permukiman tersebut menunjukkan bahwa dasar munculnya orientasi bola ugi yang

beragam adalah terkait dengan konsep orientasi rumah dapat menghadap ke arah empat

penjuru mata angin. Arah orientasi rumah yang baik adalah menghadap timur dan barat dengan

mempertimbangkan kondisi topografi letak rumah. Rumah yang berada pada topografi

perbukitan umumnya akan berorientasi kearah tanah yang lebih tinggi, sedangkan yang berada

pada kondisi tanah datar umumnya akan berorientasi ke jalan.


Menurut Haryadi dan Setiawan, faktor religi dan kepercayaan dipandang sangat berpengaruh

pada bentuk dan pola rumah bahkan dalam masyarakat tradisional cenderung merupakan

faktor dominan dibandingkan faktor-faktor lainnya. Menurut Koentjaraningrat, rumah dapat

mencerminkan wujud/jaman tertentu yang mempunyai ciri khas dan asli dari daerah tersebut,

dan sudah menyatu secara seimbang, serasi dan selaras dengan masyarakat, adat istiadat dan

lingkungannya. Demikian halnya dalam kehidupan masyarakat suku Bugis, salah satu dari

empat etnis suku bangsa yang terdapat di jazirah Selatan Pulau Sulawesi itu, sejak dahulu

memiliki keanekaragaman budaya, bahasa dan adat istiadat yang turut mewarnai

kehidupannya.
3. Kebudayaan Adat Bugis

Terdapat beberapa kebudaayaan yang dimiliki oleh suku bugis seperti Pakaian Adat, Rumah

Tadisional, Tari Tradisional, Alat musik Tradisional, Senjata Tradisional dan Lagu Daerah Tradisional.

Etnis Bugis dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk

beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara,

dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,

Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Rumah tradisional bangsawan suku Bugis di

Sulawesi Selatan merupakan unsur kebudayaan nasional yang memiliki karakter bentuk fisik,

fungsi dan style serta sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Bugis pada masa lalu

dimana wujud fisik rumah tradisional bangsawan Bugis sangat dipengaruhi stratafikasi derajat

sosial yang berlaku dimasyarakatnya. Dalam arsitektur rumah adat terkandung secara terpadu

wujud ideal, wujud sosial dan wujud material suatu kebudayaan.


4. Struktur Dan Bahan Bangunan

•Bahan Pembentuk Struktur

Struktur utama bangunan rumah Bugis terbuat dari kayu lokal. Jenis kayu yang digunakan
sebagai tiang adalah kayu bitti (vitex copassus). Jenis kayu untuk elemen struktur horizontal atau
balok adalah kayu ipiq (intsia bijuga O.K). Kayu bitti adalah kayu klas awet II sementara kayu ipiq
adalah klas awet I(Bagian Botani Hutan, 1972). Kayu bitti adalah kayu yang termasuk kelas kuat II-III
dengan modulus elastisitas sebesar 100.000 kg/cm2,kayu ipiq termasuk kayu kelas kuat I dengan
modulus elastisitas sebesar 125.000 kg/cm2, (Wiryomartono, 1976). Besarnya pembebanan struktur
diberikan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Perencanaan Pembangunan Gedung (1987).
Beban angin 40 kg/m², Berat beban hidup di rumah tinggal 200 kg/m², Berat kayu 1000 kg/m³.

• Bagian sistem struktur bangunan rumah Bugis

Pengungkapan perkembangan sistem struktur bangunan rumah Bugis diawali dengan penjelasan
bagian-bagian sistem struktur yang ada di rumah Bugis. Gambar 2 berikut adalah potongan panjang yang
memperlihatkan sistem struktur dan nama lokalnya.Sistem struktur bangunan rumah Bugis secara
umum dijelaskan dari bawah ke atas. Bagian terbawah adalah pallangga tempat dudukan tiang (alliri).
Balok pengikat paling bawah adalah balok yang pengikat tiang arah lebar bangunan (pattoloq yawa),
kemudianbalok yang mengikat tiang arah panjang bangunan (arateng) di bagian atasnya sebagai tempat
dudukan balok penopang lantai. Balok pateq berperan sama dengan pattoloq yawatetapi berdimensi
lebih kecil. Balok bagian atas terdiri dari pattoloq yaseq (sama dengan pattoloq yawa hanya posisinya
terletak diatas)dan bareq (balok ini sama dengan arateng yang terletak diujung tiang) Tiang penopang
balok bubungan disebut sudduq yang terpasang di deretan tiang terdepan dan terbelakang.
Berikut adalah bagian-bagian utamanya:

(1). Tiang utama ( Alliri ) biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisannya. Jumlahnya

tergantung jumlah ruangan yang dibuat. Tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4

barisan alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.

(2). Fadongko yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap

barisnya. 3 fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengais paling atas dari

alliri paling tengah tiap barisan nya. Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur

rumah yang memiliki kolong.

Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi' ), orang bugis memiliki

kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian

tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawah ( pratiwi ). Mungkin itulah yang mengalami orang

bugis ( terutama yang tinggal di kampung ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.

Bagian bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

(1). Rangkkeng, adalah bagian diatas langit langit ( eterni ). Dahulu biasanya
digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.

(2). Ale bola adalah bagian tengah rumah. Dimna kita tinggal. Padad Ale bola

ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( Posi' bola ).

(3). Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat

berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu.

Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat diangkat di pindahkan.

Terdiri atas :

1. Boring Langiq ( Perkawinan Di Langit Yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng )

2. Ale kawaq ( Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi )

3. Buri Liu ( Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut )

5. Kesimpulan
Masyarakat Bugis Makassar seperti juga masyarakat etnik yang lain memiliki kekayaan nilai budaya
yang terdapat pada kearifan lokal yang tertuang dalam naskah lontaraq. Dalam lontaraq ini, orang Bugis
Makassar menyimpan ilmu dan kearifan masa lalunya, termasuk berbagai ekspresi kebudayaannya.
Lontaraq memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar sejak zaman dahulu
karena mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi dan menjadi dasar berpijak dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Di antara naskah-naskah lontaraq yang ada, terdapat lontaraq
pappasêng/pappasang.Lontaraq tersebut memiliki berbagai kandungan nilai pedagogik yang merupakan
sekumpulan nilai yang telah teruji dari generasi ke generasi dan memberikan manfaat terhadap manusia
dan alam sekitarnya.

Nilai-nilai tersebut meliputi berbagai nilai karakter positif yakni: nilai yang berhubungan dengan
Tuhan, yakni religius dan tawakkal; nilai yang berhubungan dengan diri sendiri, terdiri dari: jujur,
bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, dan gemar membaca; nilai
yang berhubungan dengan sesama, yakni: patuh, solidaritas, persatuan toleransi, menghargai karya dan
prestasi orang lain, bersahabat/ komunikatif, cinta damai dan demokratis; nilai yang berhubungan
dengan lingkungan, yakni terdiri dari Peduli sosial dan peduli lingkungan; nilai yang berhubungan dengan
kebangsaan, yakni terdiri dari cinta tanah air dan semangat kebangsaan.

Melihat kandungan nilai yang terdapat di dalamnya, maka lontaraq pappaseng/pappasang sangat
cocok dan tepat untuk dijadikan sebagai pengembangan bahan ajar dalam mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Secara spesifik keunggulan lontaraq pappasêng/pappasang, sehingga dapat
dijadikan sebagai kajian etnopedagogi dalam pembelajaran IPS adalah sebagai berikut Lontaraq
pappasêng/pappasang berisi nasihat-nasihat tentang etika berinteraksi dengan sesama manusia,
berhubungan dengan orang tua dan berhubungan dengan alam sekitar, serta menjadi resep dan
penuntun dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan isi lontaraq pappasêng/pappasang sarat dengan
nilai-nilai pedagogik yang relevan dengan ajaran Islam agama mayoritas masyarakat Bugis Makassar.

Keunggulan dari lontaraq pappasêng/pappasang selanjutnya adalah isi kandungannya


memperlihatkan hakikat dari manusia Bugis Makassar, dapat dijadikan bahan ajar dalam pendidikan
karakter bangsa, bahasanya yang cukup sederhana dan mudah untuk difahami oleh semua orang.
Kandungan nilai dalam pappasêng/ pappasang juga selaras dengan pendidikan moral pancasila. Nilai
nilai yang terdapat dalam lontaraq pappasêng dapat dimanfaatkan untuk menjalin persatuan dan
kesatuan. Ajaran pappasêng/pappasang jika senantiasa dihidupkan di masyarakat khususnya pada
generasi muda Bugis Makassar, dapat menjadi benteng/tameng dari berbagai pengaruh negatif budaya
yang datangnya dari luar (budaya asing/barat).

Pada awalnya, keberlangsungan pewarisan nilai-nilai dalam lontaraq pappasêng/pappasang


terhadap generasi muda Bugis Makassar hanyalah disampaikan melalui lisan saja, yakni dari mulut ke
mulut dan dialihkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cara
mewarisanannya, dilakukan dalam bentuk menasihatkan atau memesankannya pada saat orang-orang
berkumpul bersama. Hal tersebut terlihat ketika seorang penasihat raja (tau sulesana),orang cerdik
cendekia (tau acca) memberikan nasihat kepada para penguasa yang ada, demikian juga para ulama (tau
panrinta) memberikan nasihat kepada raja/bangsawan dan pada masyarakat umum.
Untuk memelihara agar pappasêng/pappasang dapat terus terwariskan, maka nasihat-nasihat itu
kemudian oleh para cendekiawan/intelektual setempat mulai menulisnya di atas daun lontar dalam
sebuah naskah lontaraq, lambat launsebagian masyarakat yang memiliki kepedulian. Hal ini dilakukan
karena berbagai naskah asli yang ditulis di atas daun lontar, telah dimakan usia. Untuk menjaga
kelestarian dan ancaman kepunahan maka isi naskah dalam daun lontar tersebut ditulis kembali.

Anda mungkin juga menyukai