Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Idealnya, setiap pasien harus diperiksa oleh ahli anestesi sebelum dilakukan pembedahan
agar dapat mengidentifikasi, mengelola, dan meminimalkan resiko. Umumnya, pemeriksaan
dilakukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit, biasanya sebelum prosedur bedah elektif
dilakukan. Namun, apabila pada saat itu ditemukan komorbiditas yang bermakna pada pasien,
operasi bedah seringkali ditunda, dan segera menjadwal pasien lain untuk operasi. Akhir-akhir
ini, dalam upaya meningkatkan efisiensi terjadi perubahan berupa perawatan pasien pada hari
yang sama dengan jadwal pembedahan yang direncanakan. Ini menimbulkan situasi yang bahkan
lebih sulit dengan semakin berkurangnya kesempatan untuk melakukan penilaian anestesik yang
adekuat. Hal ini lebih lanjut menyebabkan perubahan yang bermakna dalam manajemen
preoperatif pasien-pasien yang menjalani pembedahan elektif, termasuk pengenalan klinis
terutama dalam penilaian anestetik.1

Penatalaksanaan perioperatif bedah mengalami pergeseran paradigma, dimana paradigma


tradisional seperti waktu pemanjangan waktu puasa preoperasi yang lama (nil by mouth from
midnight), pembersihan saluran pencernaan, dan pemberian nutrisi kembali setelah 3-5 hari
setelah operasi sudah mulai ditinggalkan. Perubahan – perubahan ini yang kemudian di
formulasikan ke dalam protokol baru yang disebut ERAS (Enhanced Recovery After Surgery).
ERAS merupakan penatalaksanaan perioperasi yang berbasis multimodal untuk mendapatkan
pemulihan segera kondisi pasien setelah dilakukan operasi dengan cara menjaga fungsi organ
preoperasi dan menurunkan respon stress selama operasi. Protokol ERAS meliputi spektrum luas
perioperatif, dimulai dari preadmisi, preoperasi, intraoperasi sampai paska operasi yang
melibatkan tim multidisiplin yang terdiri dari dokter anestesi, dokter bedah, perawat dan ahli gizi.
Dalam refarat ini akan membahas mengenai manajemen perioperatif anetesi.2
BAB II

MANAJEMEN PERIOPERATIF ANESTESI

A. Manajemen Preoperatif Anestesi


Penilaian preoperatif adalah bagian penting dari prosedur yang membutuhkan
anestesi. Penilaian preperatif memberikan evaluasi risiko anestesi pasien dari prosedur
yang diusulkan dan memungkinkan rekomendasi yang dibuat yang dapat meminimalkan
risiko dan memastikan transisi yang lancar dari rencana pembedahan sampai ke kamar
operasi dan seterusnya. Selain itu, instruksi untuk puasa dan obat-obatan, sebagaimana
yang diharapkan untuk hari operasi dan masa pasca operasi, semua harus disediakan.3
Penilaian preoperatif harus mencakup riwayat medis yang berfokus pada masalah
medis aktif, penggunaan obat-obatan dan pengalaman anestesi dan bedah masa lalu,
pemeriksaan fisik terbatas, penilaian jalan napas, dan pemeriksaan tambahan seperti yang
ditunjukkan. Risiko anestesi diperoleh dari pengetahuan tentang pasien dan pembedahan.
Anamnesis preoperatif harus mencakup diskusi dengan pasien tentang risiko dan manfaat
teknik anestesi yang berbeda. Penjelasan dan persetujuan untuk pemberian anestesi harus
diperoleh.3
Riwayat Preoperatif
Riwayat preoperatif mencakup tinjauan sistematis yang menyeluruh dari masalah
medis pasien, termasuk evaluasi informasi medis yang tersedia. Sistem organ dan
gangguan tertentu yang memiliki dampak tertentu sebelum operasi ditinjau secara singkat,
memperhatikan masalah utama yang harus dicakup dalam masa penilaian preoperatif.3
 Sistem Kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan, dan penilaian status kardiovaskular sebelum operasi harus
menjadi bagian dari evaluasi rutin pra operasi. Pertanyaan harus diarahkan
untuk menilai status masalah jantung saat ini dan memperoleh bukti yang
menunjukkan penyakit jantung okultisme. Riwayat kardiovaskular lengkap
juga mencakup penilaian kapasitas fungsional dan seperti yang
ditunjukkan oleh gejala tertentu yang menunjukkan adanya penyakit
jantung yang signifikan. Rincian tentang kejadian kardiak masa lalu dan
pengujian harus ditanyakan dan ditinjau ulang. Elektro kardiogram (EKG)
penting untuk menemukan pasien yang memiliki EKG abnormal.3
 Kapasitas Fungsional
Kapasitas fungsional dapat dinilai dari riwayat yang cermat dalam bentuk
ekuivalen metabolik. Berbagai aktivitas fisik uumum diklasifikasikan
tingkatannya menurut metabolik ekuivalen aktivitasnya atau “MET”,
dengan 1 MET merupakan energi (atau lebih tepatnya oksigen) yang
digunakan saat istirahat. Semakin besar aktivitasnya, semakin besar nilai
METs. Hal ini tidak spesifik untuk setiap pasien tapi berguna sebagai
panduan, dan sekali lagi bergantung pada penilaian pasien mengenai
aktivitasnya.1,3
Tabel 1.1

Klasifikasi skala aktivitas spesifik


I Dapat melakukan aktivitas yang Jogging/berjalan dengan kecepatan 8
memerlukan ≥7 METs km/jam, bermain ski, squash atau
bola basket, menyekop tanah
II Dapat melakukan aktivitas yang Berjalan dengan kecepatan 6,4
memerlukan ≥5 METs tetapi ≤7 METs km/jam pada lahan yang datar,
berkebun, membersihkan dedaunan,
menyiangi rumput
III Dapat melakukan aktivitas yang Melakukan sebagian besar pekerjaan
memerlukan ≥2 METs tetapi ≤5 METs rumah tangga, bermain golf,
mendorong pemotong rumput,
menyirami tanaman
IV Pasien tidak dapat melakukan aktivitas Tidak dapat berpakaian tanpa
yang memerlukan ≥2 METs berhenti terlebih dahulu karena
timbulnya gejala

 Sistem Respirasi
Riwayat pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik atau asma
harus mencakup pertanyaan tentang jenis penyakit, durasi, terapi, dan
kondisi garis dasar. Intervensi terbaru, seperti rawat inap, intubasi, atau
perubahan obat-obatan, seperti penambahan steroid atau antibiotik, harus
didokumentasikan. Gejala saat ini dapat membatasi pilihan anestesi;
misalnya, suatu kasus yang umumnya membutuhkan sedasi mungkin
mengharuskan penggunaan anestesi umum pada pasien dengan batuk yang
tidak terobati. Sleep apnea telah dikaitkan dengan hasil pasca operasi yang
lebih buruk dan peningkatan kejadian apnea dan kegagalan pernapasan,
terutama dengan pemberian opioid. Riwayat mendengkur (dikonfirmasi
oleh pasangan), hipertensi, kelelahan kronis, dan obesitas semuanya terkait
dengan sleep apnea yang signifikan. Menjadi semakin umum untuk
merujuk pasien dengan kemungkinan sleep apnea dan kemungkinan
intervensi sebelum operasi, untuk meminimalkan risiko apnea pasca
operasi.3
 Sistem Gastrointestinal
Aspirasi dapat menyebabkan komplikasi yang membahayakan selama
anestesi. Riwayat positif refluks posisional yang parah dapat menyebabkan
perubahan dalam rencana anestesi. Sebagai contoh, intubasi endotrakeal
dapat digunakan dalam kasus-kasus di mana penggunaan jalan napas
masker laryngeal akan menjadi pilihan. Riwayat refluks harus
didokumentasikan dengan hati-hati, dan gejala saat ini serta tingkat
keparahannya harus dikuantifikasi. Frekuensi gejala refluks, dampak
pengobatan jika diresepkan, dan timbulnya gejala pada malam hari saat
pasien berbaring, dapat membantu membedakan refluks yang sebenarnya
dari refluks umum yang terjadi setelah postprandial.3
Obesitas meningkatkan risiko anestesi. Pada pasien obesitas, penting untuk
mencatat perubahan berat badan baru-baru ini, indeks massa tubuh,
kesulitan intubasi di masa lalu, dan kondisi komorbiditas seperti hipertensi,
diabetes, dan sleep apnea. Pertimbangan penting selanjutnya adalah
dampak praktis dari berat pasien. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
peralatan khusus di ruang operasi, termasuk manset tekanan darah besar,
tandu lebar, dan tempat tidur ruang operasi yang lebih besar.3
 Sistem Neurologis
Sejumlah kondisi neurologis dapat memengaruhi pemberian anestesi.
Untuk setiap pasien dengan kondisi neurologis, diagnosis, pengobatan, dan
status gejala saat ini harus didokumentasikan dengan cermat. Banyak
gangguan neurologis, terutama ketika parah, berdampak pada status
pernapasan. Pada pasien dengan epilepsi, penilaian pra operasi harus
mencakup deskripsi jenis dan frekuensi kejang. Obat-obatan harus
dilanjutkan selama periode perioperatif. Banyak obat kejang tidak tersedia
sebagai formulasi intravena, sehingga perlu untuk merencanakan terapi
selama periode berkepanjangan ketika pasien tidak dapat minum obat
lewat mulut.3
 Sistem Endokrin
Diabetes mellitus adalah endokrinopati yang paling umum dijumpai
sebelum operasi dan dikaitkan dengan banyak kondisi komorbiditas yang
meningkatkan risiko anestesi. Selain deskripsi jenis diabetes dan status
insulin, riwayat terperinci harus diperoleh pada semua pasien diabetes
untuk mencari adanya penyakit jantung, gangguan ginjal, atau kerusakan
end organ.3
 Sistem Renal
Gagal ginjal kronis adalah penyakit sistemik kompleks yang mungkin
timbul dari banyak kondisi; diabetes mellitus, hipertensi, dan
glomerulonefritis adalah beberapa penyebab paling umum. Untuk pasien
dengan dialisis, frekuensi dan cara pemberian dialisis harus
didokumentasikan, termasuk rencana waktu dialisis secara perioperatif.
Kontrol volume adalah masalah penting pada pasien dialisis, dan riwayat
pra operasi harus mencakup dokumentasi kelebihan volume atau masalah
terkait dialisis, seperti hipotensi.3
 Sistem Hepatik
Penyakit hati akut dan kronis dapat meningkatkan risiko operasi. Untuk
pasien dengan penyakit hati, penting untuk mendokumentasikan
etiologinya, misalnya, apakah penyakit hati bersifat infeksius, neoplastik,
atau alkoholik. Penyakit hati stadium akhir dapat bermanifestasi dengan
asites, koagulopati, dan ensefalopati, yang mengakibatkan perubahan
signifikan dalam distribusi obat dan metabolisme.3
 Riwayat Anestetik
Riwayat anastesi adalah kunci dari penilaian pra operasi. Pengalaman
anestesi pasien sebelumnya sangat penting dan akan sangat mempengaruhi
sikap pasien (mengurangi kecemasan) terhadap pembedahan yang akan
datang. Riwayat harus mencakup diskusi tentang operasi sebelumnya,
termasuk jenis dan perkiraan tanggal. Riwayat intubasi yang sulit,
kelemahan yang berkepanjangan, atau intubasi harus didokumentasikan
dengan jelas. Mual atau muntah pasca operasi sebelumnya dapat
memprediksi kesulitan di masa depan. Masalah lain yang mungkin timbul
selama diskusi termasuk kecemasan mengenai akses vena yang buruk dan
berbagai kekhawatiran seputar anestesi, seperti “fobia” masker atau
claustrophobia.3
 Riwayat Keluarga
Semua pasien harus ditanyakan mengenai masalah anestesia yang pernah
dialami keluarga; misalnya, riwayat apnea berkepanjangan mengisyaratkan
defisiensi pseudokolinesterase, dan kematian yang tidak dapat dijelaskan
mengisyaratkan hiperpireksia maligna. Apabila ditemukan kondisi-kondisi
di atas, pembedahan elektif harus ditunda sementara pasien menjalani
pemeriksaan yang sesuai. Pada situasi emergensi, anestesi harus
disesuaikan menurut kebutuhan, misalnya dengan menghindari obat
pencetus pada pasien dengan potensi atau riwayat keluarga mengalami
MH.1
 Alergi dan Kebiasaan Sosial
Pendataan alergi harus mencakup obat dan reaksinya. Anamnesis
menyeluruh terkadang dapat membantu membedakan alergi sejati dari
reaksi jinak atau efek samping. Penilaian pra operasi harus mencakup
rincian tentang konsumsi alkohol, merokok, dan penggunaan narkoba.
Riwayat penyalahgunaan obat-obatan dan alkoholisme dapat
meningkatkan toleransi terhadap agen anestesi dan potensi withdrawal
yang tidak terduga setelah operasi.3
 Medikasi
Daftar obat yang terperinci dan jadwal pemberian dosis merupakan bagian
dari penilaian pra operasi. Pasien yang menggunakan antikoagulan tidak
boleh menghentikan pengobatan ini tanpa berdiskusi dengan dokter ahli
jantung atau dokter perawatan primer yang meresepkannya. Selain itu,
dokter yang meresepkan perlu diberitahu tentang prosedur mendatang
pasien sehingga mereka dapat memastikan bahwa pengobatan dimulai
kembali secara tepat pasca operasi. Pada pagi hari operasi, pasien mungkin
disarankan untuk menggunakan obat diuretik dan obat-obatan serta
suplemen non esensial.3
Angiotensin converting enzyme inhibitor dapat mengakibatkan
vasodilatasi dan hipotensi yang signifikan setelah induksi anestesi;
pemberian obat-obatan ini pada hari operasi sebelumnya direkomendasikan
tetapi sekarang umumnya hanya dilakukan sebelum operasi jantung.
Insulin kerja pendek umumnya diberikan pada pagi hari operasi, dan
insulin kerja panjang dilanjutkan pada dosis biasa atau berkurang (biasanya
setengah dari biasanya). Penggunaan obat nyeri kronis dapat menghasilkan
toleransi yang signifikan dan membuat kesulitan dengan manajemen nyeri
pada periode pasca operasi.3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan/pengukuran status presen: kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah


nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI. Pada akhir
pemeriksaan fisik, jalan napas pasien dinilai untuk mengenali adanya potensi masalah.
Apabila direncanakan suatu anestesi regional, dilakukan pemeriksaan anatomi yang sesuai
(mis., pemeriksaan vertebra lumbalis pada blokade saraf sentral).1,4

 Sistem kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut: aritmia, gagal jantung,
hipertensi, penyakit katup jantung, penyakit vaskular perifer.1
 Sistem pernapasan
Mengecek adanya peningkatan dimensi anteroposterior dada dan adanya
bunyi napas tambahan terutama wheezing. Adanya ronkhi atau
bronkospasme mungkin menunjukan adanya penyakit paru atau gagal
jantung.5
 Sistem saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan
setiap tanda adanya gangguan sensorik atauu motorik dicatat. Harus
diingat bahwa beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardioaskular
dan pernapasan, misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multipel.1
 Sistem muskuloskeletal
Catat setiap kebiasaan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki
kelainan jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit reumatoid kronik
sangat sering mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan
keterlibatan paru. Vertebra servikalis dan sendi temporomandibular pasien
perlu diperhatikan secara khusus.1
 Pemeriksaan bedside sederhana
 Kriteria Mallampati. Pasien duduk tegak diminta untuk membuka
mulut mereka dan menjulurkan lidah mereka semaksimal mungkin.
Gambaran struktur faring dicatat dan digolongkan sebahai kelas I-
IV. Kelas III dan IV mengisyaratkan intubasi sulit.1

Gambar 1. Kriteria Mallampati.

 Jarak Tiromental. Pada kepala yang diekstensikan sejauh mungkin,


diukur jarak antara puncak tulang pada dagu dan penonjolan tulang
rawan tiroid. Jarak <7 cm mengisyaratkan intubasi sulit.1
 Skor Wilson. Peningkatan berat badan, berkurangnya pergerakan
kepala dan leher, berkurangnya pembukaan mulut, dan adanya
mandibula yang mundur atau gigi tonggos merupakan predisposisi
terjadinya kesulitan intubasi.1
 Tes Calder. Pasien diminta untuk memajukan mandibula sejauh
mungkin. Incisivus bagian bawah akan terletak di depan (anterior)
atau sejajar atau di belakang (posterior) incisivus atas. Dua yang
disebut terakhir mengindikasikan berkurangnya lapangan
penglihatan laringoskopi.1

Tidak ada satu pun di tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi
semua kesulitan intubasi. Mallampati kelas III atau IV dengan jarak
tiromental <7 cm akan memprediksi 80% kesulitan intubasi. Apabila
masalah sudah diantisipasi, anestesia harus direncanakan sesuai dengan
temuannya. Apabila terbukti sulit diintubasi, hal ini harus dicatat di
tempat yang jelas terlihat dalam catatan pasien dan pasien diberitahu.1

Menentukan Prognosis Pasien Preoperatif

Berdasarkan hasil evaluasi praoperatif tersebut di atas maka dapat disimpulkan


status fisik pasien pra anestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 kelas, yaitu4 :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.

ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan
karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah
tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.

Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E


(emergency) dibelakang angka.4
Persiapan preoperatif dimulai dari persiapan di ruang perawatan dimulai dengan
memberikan penjelasan kepada pasien mengenai rencana tindakan anestesi dan
pembedahan yang akan dilakukan. Sedatif juga diberikan kepada pasien yang kurang
kooperatif dan cemas berlebihan. Kemudian dilanjutkan dengan persiapan fisik dengan
menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, minuman keras dan obat-obatan
minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal sejak pertama kali dievaluasi di
polikinik, melepas aksesoris, tidak menggunakan cat kuku atau cat bibir, memulai
program puasa untuk mengosongkan lambung, setelah itu pasien kemudian dimandikan
dan diganti dengan pakaian khusus. Sebelum operasi pasien atau keluarga pasien wajib
menandatangani informed consent didampingi dengan satu orang saksi.4

Pramedikasi

Premedikasi saat ini selain untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah
obat-obat yang digunakan namun yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas
periopetatif sehingga akan mempermudah proses pemulihan setelah anestesi dan
pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat
menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk
premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri.4

1) Benzodiazepin
Benzodiazepine digunakan kepada pasien bedah yang memiliki gangguan
cemas. Penggunaan midazolam 0,5 mg/kg sebagai premedikasi dan
penggunaan midazolam 0,25 mg/kg sebagai obat induksi dapat
menurunkan kecemasan.6
Midazolam, obat yang sering digunakan untuk premedikasi, biasanya
digunakan secara intravena maupun oral. Pasien yang akan mendapatkan
prosedur regional block atau central venous line midazolam intravena
sebesar 2-5 mg dan opioid dosis rendah diberikan saat pasien masih
sadar.7

2) a2-Adrenergic receptor agonists


 Clonidine
Sebuah studi yang membandingkan antara oral midazolam
0,5mg/kg dengan oral clonidine 4 mg/kg dalam hal penerimaan
obat, sedasi, kualitas penerimaan mask dan profil penyembuhan.
Hasil dari studi tersebut menunjukan, bahwa rasa dan level sedasi
dari clonidine lebih baik daripada midazolam. Namun, onset dari
sedasi midazolam lebih baik dibandingkan clonidine.6
 Dexmetomidine
Dexmedetomidine juga digunakan sebagai premedikasi yang
menurunkan angka delirium dan kejadian menggigil paska operasi.
Namun, dexmetomidine dapat menyebabkan turunnya tekanan
darah sistolik dan denyut jantung dan memperlama onset dari
sedasi pasien. Dexmetomidine juga dapat menurunkan derajat
keparahan dari acute postoperative pain dan menurunkan
kebutuhan analgesik.6
3) Antiemetik
Obat- obat yang secara efektif dapat menurunkan kejadian mual dan
muntah paska operasi adalah ondansentron, dolasentron, granisentron,
tropisentron, dexamethasone, droperidol, cyclizine dan metoclopramide.
Belum dapat dibuktikan mana obat yang lebih efektif untuk mengurangi
mual dan muntah. Namun, umur, jenis kelamin, jenis operasi dan waktu
pemberian premedikasi tidak merubah efek dari obat-obatan tersebut.6
4) Gabapentitoid
Gabapentitoid (gabapentin dan pregabalin) digunakan sebagai regimen
analgesia pada perioperative dengan cara mencegah sensitisasi central.
gabapentin digunakan pada kasus diabetic neuropathy, post-herpetic
neuralgia dan neuropathic pain. Selain digunakan sebagai premedikasi,
gabapentin juga sudah terbukti dapat menurunkan nyeri paska operasi.6,8
5) Antipsikotik
Antipsikotik yang digunakan untuk praktek anestesia adalah phenothiazine
dan butyrophenon. Promethazine digunakan pada pasien anestesi spinal
sebagai sedatif, antiemetik dan efek vagolitik melalui propert
antikolinergik dan antihistamin. Selain itu, antipsikotik yang digunakan
adalah droperidol. Droperidol memiliki sifat antiemetik kuat, sedatif dan
dapat diguanakan untuk mencegah PONV (Post Operative Nausea and
Vomiting) pada pasien dengan sedasi tinggi.6
Pilihan Anestesi
Pertimbangan anestesi yang diberikan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan, dapat memperhatikan terlebih dahulu beberapa faktor ini, yakni umur, jenis
kelamin, status fisik, dan jenis operasi. Berdasarkan dari faktor umur, pilihan anestesi
pada pasien bayi, dan anak dapat diberikan anestesi umum karena golongan pasien ini
cenderung kurang kooperatif. Sedangkan untuk orang dewasa dapat dilakukan anestesi
umum atau analgesia regional, tergantung dari jenis operasi yang akan dilakukan. Perlu
diperhatikan juga dari faktor jenis kelamin, faktor emosional, dan rasa malu yang lebih
dominan terlihat pada pasien perempuan merupakan pendukung pilihan anestesi umum,
sebaliknya pada pasien laki-laki dapat diberikan anestesi umum atau analgesia regional.
Apabila dilakukan anestesi regional pada pasien perempuan, dianjurkan untuk
memberikan tambahan obat sedatif terlebih dahulu. Untuk faktor dari status fisik, perlu
diperhatikan penyakit sistemik yang diderita pasien, komplikasi dari penyakit primer, dan
terapi yang sedang dijalaninya. Hal ini sangat penting, mengingat adanya interaksi antara
penyakit sistemik/pengobatan yang sedang dijalani dengan tindakan/obat anestesi yang
digunakan. Apabila dilihat dari jenis operasi, terdapat 4 masalah yang perlu
dipertimbangkan untuk menentukan pilihan anestesi, yakni lokasi, posisi, manipulasi, dan
durasi operasi.9
 General Anestesi Intra Vena
Teknik anestesi yang menggunakan jalur intravena sebagai jalan masuk obat
untuk induksi dan rumatan disebut total intravenous anesthesia (TIVA).
Teknik anestesi intravena total bertujuan mencapai kondisi anestesi yang
seimbang melalui penyuntikan beberapa golongan obat. Opioid, hipnotik–
sedatif, dan pelumpuh otot merupakan golongan obat yang digunakan sebagai
kombinasi untuk melakukan teknik anestesi dengan TIVA.10
 General Endotracehal Anestesi
Pipa Endotrakeal atau Endotracheal tube, disingkat sebagai ETT, adalah salah
satu alat yang digunakan untuk mengamankan jalan nafas atas. Dalam
prakteknya, ETT digunakan atas indikasi kepentingan anestesi umum dan
pembedahan atau perawatan pasien sakit kritis di unit rawat intensif
untuk kepentingan pengelolaan jalan nafas (airway management) dan nafas
buatan (Ventilasi Mekanik).11
 General Anestesi LMA
Laryngeal mask airway (LMA) adalah alat bantu jalan napas supraglotis yang
paling populer setelah endotracheal tube (ETT). Pemasangan LMA dilakukan
dengan menempatkan sungkup LMA di area hipofaring menutupi pintu masuk
laring. Pemasangan LMA tidak selalu sukses pada upaya pemasangan pertama.
Modifikasi teknik insersi LMA dilakukan untuk mempermudah pemasangan
LMA serta mengurangi morbiditas akibat komplikasi pemasangan LMA.
Modifikasi telah dilakukan terhadap teknik induksi anestesia, relaksasi otot,
maupun teknik pemasangan LMA.12
 Anestesi Spinal
Anestesi spinal atau blok subaraknoid adalah injeksi obat anestesi lokal ke
dalam ruang intratekal yang menghasilkan alagesia. Obat lokal anestesi
dimasukan ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di region lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam
cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda
spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena
mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior.7
 Anestesi Epidural
Anestesi epidural adalah teknik neuraxial yang menawarkan berbagai aplikasi
lebih luas daripada anestesi spinal. Blok epidural dapat dilakukan pada level
lumbal, torakal, atau servikal. Teknik epidural dapat digunakan sebagai injeksi
tunggal atau dengan kateter yang dapat dilakukan dengan bolus intermiten
dan/atau infusi yang berkelanjutan. Anestesi epidural digunakan pada
analgesia selama dan sesudah pembedahan, mengurangi nyeri persalinan,
sebagai suplemen anestesi umum yang ringan, mengurangi pendarahan selama
operasi dengan potensi hipotensi yang diakibatkannya.7

B. Manajemen Intraoperatif Anestesi


Pemantauan intraoperatif memiliki berbagai tujuan, yaitu sebagai dokumentasi dan
monitor prosedur intraoperatif, sehingga dapat digunakan sebagai referensi bagi dokter
anestesi yang akan menangani pasien tersebut dikemudian hari. Data yang disediakan
haruslah data yang akurat sehingga dapat digunakan sumber data yang dapat dipercaya.
Hampir sebagian besar dari dokumen anestesia sudah direkam menggunakan mesin. Baik
menggunakan mesin maupun dicatat secara manual, pemantauan selama intraoperatif
harus mencakup beberapa elemen yaitu7 :
1. Apakah sudah dilakukan dilakukan pengecekan mesin anestesi dan peralatan yang akan
digunakan.
2. Apakah sudah dilakukan reevaluasi terhadap pasien sebelum dilakukan induksi
anestesia, hal ini meliputi rekam medis maupun pemeriksaan penunjang pasien.
3. Dosis, waktu pelaksanaan dan jalur pemberian obat.
4. Perkiraan banyak hilangnya darah dan urine output.
5. Cairan intravena yang digunakan selama operasi.
6. Catatan operasi (misalnya intubasi trakea atau penggunaan
monitor yang invasive)
7. Mode ventilasi dan teknik yang digunakan untuk anestesia
8. Waktu saat dilakukan tindakan induksi, positioning, saat dilakukan surgical incision
dan ekstubasi.
9. Permasalahan yang terjadi saat operasi atau komplikasi
10. Kondisi saat pasien selesai dioperasi.
Tekanan darah dan denyut jantung pasien dicatat tiap rentang 5 menit. Data
biasanya dicatat dengan menggunakan grafik, sedangkan deskripsi dari teknik yang
digunakan maupun komplikasi dicatat menggunakan kalimat. Penulisan setiap kejadian
perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi dari beberapa catatan
medis (misalnya catatan perawat, dan bidang profesi lain yang masuk ke kamar operasi).
Pencegahan tersebut juga menghindarkan tenaga medis dari tuntutan malpraktik yang
dapat diajukan terhadap rekaman yang tidak lengkap dan tidak akurat.7
Terapi Cairan
Ada beberapa hal-hal yang mempengaruhi perfusi jaringan selama operasi,
diantaranya adalah pengaruh anestesia terhadap vasodilatasi pembuluh darah, kehilangan
darah, pengaruh hormone terhadap operasi, peningkatan permeabilitas kapiler dan
peningkatan kehilangan cairan.13
Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid atau transfusi
darah, tatalaksananya adalah13 :
- Mengikuti pedoman cairan prabedah
- Pemberian cairan sesuai dengan jumlah perdarahan dan cairan yang hilang,
dengan perkiraan :
• Operasi besar : 6-8 ml/kgbb/jam
• Operasi sedang : 4-6 ml/kgbb/jam
• Operasi kecil : 2-4 ml/kgbb/jam
- Koreksi perdarahan selama operasi :
Dewasa13 :
• Perdarahan >20% dari perkiraan volume darah = transfusi
• Pendarahan < 20% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak
2-3 kali jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah
perdarahan atau campuran kristaloid +koloid.
Bayi dan anak13:
 Perdarahan >10% dari perkiraan volume darah =transfusi
 Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak
2-3 kali jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan
perkiraan jumlah perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
Jumlah perdarahan selama operasi dihitung dengan cara13 :
• Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampungan
• Tambahan berat kasa yang digunakan (1gram = 1ml darah)
• Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% jumlah yang terukur + terhitung (jumlah
darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi).
C. Manajemen Postoperatif Anestesi
Setelah pasien sampai di ruang pemulihan, hal pertama yang harus dipantau ialah
jalan napas, tanda-tanda vital, oksigenasi dan derajat kesadaran. Sedangkan, tekanan
darah, denyut nadi dan laju pernapasan harus dipantau setiap 15 menit hingga pasien
stabil. Pemantauan tambahan yang harus dilakukan meliputi penilaian nyeri (numerical
atau deskriptif), ada tidaknya rasa mual atau muntah, produksi urin.7
Pasien dengan keseimbangan hemodinamik yang tidak stabil setelah mendapatkan
regional anestesia harus mendapatkan supplemental oksigen di ruang pulih. Pasien yang
mendapatkan spinal atau epidural anestesia lebih dari 4 jam harus menggunakan kateter.7
Analgesia Nyeri-Multimodal
Kontrol nyeri pasca operasi oleh analgesia multimodal menggunakan lebih dari
satu modalitas analgesik adalah wajib untuk meningkatkan pemulihan. Nyeri pasca
operasi yang tidak terkelola mengakibatkan tertundanya pemulihan dan keluarnya cairan
setelah operasi. Opioid parenteral adalah rejimen analgesik yang efektif, tetapi
berhubungan dengan efek samping seperti depresi pernapasan, mual dan muntah pasca
operasi, pruritus, retensi urin, dan ileus. Pemulihan pasca operasi dan perawatan di rumah
sakit dapat diperpanjang jika efek samping yang tidak diinginkan tersebut terjadi.
Kemajuan dalam teknik analgesik multimodal bertujuan untuk mencapai kontrol nyeri
yang lebih efektif dan efek samping yang kurang terkait opioid.14
Analgesia sistemik yang tersedia kecuali opioid diantaranya adalah: obat
antiinflamasi non-steroid (NSAID) dan penghambat siklooksigenase-2 (COX-2)
(parecoxib), asetaminofen (oral atau intravena), alfa 2 agonis (clonidine atau
dexmedetetomidine), lidokain intravena infus, antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin),
glukokortikoid (misalnya, deksametason), beta-blocker (misalnya, esmolol), antagonis
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) (ketamin). Parecoxib, satu-satunya inhibitor COX-2
intravena, telah dilaporkan mengurangi konsumsi opioid dalam operasi besar
(penggantian lutut total) dan memberikan efek analgesik yang sebanding sebagai opioid
dalam operasi minor (bedah mikro laring). Lebih lanjut, lebih sedikit efek samping terkait
opioid dan pemulihan fungsional yang lebih cepat dapat diharapkan.14
PONV
Telah dilaporkan bahwa PONV dapat memperpanjang pemulihan, menunda untuk
keluar dari rumah sakit dan mengurangi kepuasan pasien. PONV mempengaruhi 25-30%
populasi bedah secara keseluruhan dan insidensi menjadi setinggi 63-84% pada pasien
yang menjalani operasi tiroid.PONV mempengaruhi 25-30% populasi bedah secara
keseluruhan dan insidensi menjadi setinggi 63-84% pada pasien yang menjalani operasi
tiroid. Etiologi PONV kompleks dan dapat diklasifikasikan menjadi faktor pasien,
anestesi dan bedah. Insiden dapat diprediksi dengan faktor-faktor risiko sebagai berikut:
riwayat mabuk perjalanan atau PONV, pasien wanita, bukan perokok, penggunaan opioid
pasca operasi dan operasi emetogenik. Pendekatan multimodal untuk profilaksis PONV
dilakukan lebih dari dua intervensi, disarankan pada orang dewasa dengan risiko tinggi
(> 2 faktor risiko).10
Profilaksis dan intervensi pengobatan termasuk anestesi propofol, pemberian infus
dosis rendah propofol, antiemetik tradisional (droperidol, dimenhydrinate, scopolamine,
metoclopramide), antiemetik non-tradisional (propofol dan deksametason), dan antagonis
reseptor serotonin (ondansetronik) serta pendekatan non-farmakologis.14

BAB III

KESIMPULAN
Manajemen perioperatif anestesi terdiri dari manajemen preoperati, intraoperatif, dan post
operatif. Penilaian preperatif memberikan evaluasi risiko anestesi pasien dari prosedur yang
diusulkan dan memungkinkan rekomendasi yang dibuat yang dapat meminimalkan risiko dan
memastikan transisi yang lancar dari rencana pembedahan sampai ke kamar operasi dan
seterusnya. Penjelasan dan persetujuan untuk pemberian anestesi harus diperoleh.3

Pemantauan intraoperatif memiliki berbagai tujuan, yaitu sebagai dokumentasi dan


monitor prosedur intraoperatif. Data biasanya dicatat dengan menggunakan grafik, sedangkan
deskripsi dari teknik yang digunakan maupun komplikasi dicatat menggunakan kalimat.7

Manajemen postoperatif anestesi adalah memantau jalan napas, tanda-tanda vital,


oksigenasi dan derajat kesadaran pasca operasi. Sedangkan, tekanan darah, denyut nadi dan laju
pernapasan harus dipantau setiap 15 menit hingga pasien stabil. Kontrol nyeri pasca operasi oleh
analgesia multimodal menggunakan lebih dari satu modalitas analgesik adalah wajib untuk
meningkatkan pemulihan.7,10

DAFTAR PUSTAKA

1. Gwinutt CL. Catatan kuliah: Anestesi Klinis. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2014. Hal. 1-8.
2. Kurniawaty K, Sudadi, Anindita MP. Manajemen Preoperatif pada Protokol Enhanced
Recovery After Surgery (ERAS). Jurnal Komplikasi Anestesi Volume 5 Nomor 2. Maret
2018. Hal. 61-2.
3. Mahboobi SK, Barnett SR. Preoperative anesthetic assessment. Vacanti, et al (editors).
Essential Clinical Anesthesia. New York: Cambridge University Press. 2011. P:41-6.
4. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT Macanan Jaya
Cemerlang, 2017 : 185 – 188.
5. Miller, R.D., Cogen, N.H., Erksson, L.I., et al. Miller’s Anesthesia. 8th ed. Canada
Elsevier. 2015 : 2264 – 2334.
6. Sheen, Michael J, Fang-Lin Chang, and Shung-Tai Ho. "Anesthetic Premedication: New
Horizons Of An Old Practice". Acta Anaesthesiologica Taiwanica 08.001 (2014): 135-
142.
7. Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 7th (ed). New York:
McGraw-Hill Companies.2006.
8. Imani F, Rahimzadeh P. Gabapentitoids: Gabapentin and Pregabalin for Postoperative
Pain Management. Anesth Pain. 2012; 2(2): 52-3. DOI: 10. 5812/aapm.7743
9. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT Indeks; 2017.
10. Arvianto, Oktaliansah E, Surahman E. Perbandingan antara Sevofluran dan Propofol
Menggunakan TotalIntravenous Anesthesia Target Controlled Infusion terhadap Waktu
Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal
Anestesi Perioperatif. 2017;(5)1. Hal. 25.
11. Handayanto AW, Bagianto H, Isngadi M. Perbedaan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal
Setelah Perubahan Posisi Supine ke Lateral Decubitus Pada Pasien yang
Menjalani Anestesi Umum. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2013; 5(1). Hal. 36.
12. Harahap YS, Tavinto D, Surahman E. Perbandingan Angka Keberhasilan Pemasangan
Laryngeal Mask Airway (LMA) Jenis Klasik pada Usaha Pertama antara Teknik Balon
Dikempiskan dan Dikembangkan Sebagian pada Pasien Dewasa. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2016;(4)1. Hal. 33.
13. Powell-Tuck, Jeremy. British Consensus Guidelines On Intravenous Fluid Therapy For
Adult Surgical Patients. NICE guideline 1 (2011). P:18-20.
14. Lu IC, et al. Preoperative, intraoperative and postoperative anesthetic prospective for
thyroid surgery: what’s new. Journal Gland Surg. 2017;6(5). P:471-2.

BAGIAN ANESTESI REFARAT


FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN PERIOPERATIF ANESTESI

OLEH :
Andi Suci Setyawati, S.Ked
10542 0581 14
PEMBIMBING:
dr. Zulfikar Djafar, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2019

Anda mungkin juga menyukai