PENDAHULUAN
Idealnya, setiap pasien harus diperiksa oleh ahli anestesi sebelum dilakukan pembedahan
agar dapat mengidentifikasi, mengelola, dan meminimalkan resiko. Umumnya, pemeriksaan
dilakukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit, biasanya sebelum prosedur bedah elektif
dilakukan. Namun, apabila pada saat itu ditemukan komorbiditas yang bermakna pada pasien,
operasi bedah seringkali ditunda, dan segera menjadwal pasien lain untuk operasi. Akhir-akhir
ini, dalam upaya meningkatkan efisiensi terjadi perubahan berupa perawatan pasien pada hari
yang sama dengan jadwal pembedahan yang direncanakan. Ini menimbulkan situasi yang bahkan
lebih sulit dengan semakin berkurangnya kesempatan untuk melakukan penilaian anestesik yang
adekuat. Hal ini lebih lanjut menyebabkan perubahan yang bermakna dalam manajemen
preoperatif pasien-pasien yang menjalani pembedahan elektif, termasuk pengenalan klinis
terutama dalam penilaian anestetik.1
Sistem Respirasi
Riwayat pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik atau asma
harus mencakup pertanyaan tentang jenis penyakit, durasi, terapi, dan
kondisi garis dasar. Intervensi terbaru, seperti rawat inap, intubasi, atau
perubahan obat-obatan, seperti penambahan steroid atau antibiotik, harus
didokumentasikan. Gejala saat ini dapat membatasi pilihan anestesi;
misalnya, suatu kasus yang umumnya membutuhkan sedasi mungkin
mengharuskan penggunaan anestesi umum pada pasien dengan batuk yang
tidak terobati. Sleep apnea telah dikaitkan dengan hasil pasca operasi yang
lebih buruk dan peningkatan kejadian apnea dan kegagalan pernapasan,
terutama dengan pemberian opioid. Riwayat mendengkur (dikonfirmasi
oleh pasangan), hipertensi, kelelahan kronis, dan obesitas semuanya terkait
dengan sleep apnea yang signifikan. Menjadi semakin umum untuk
merujuk pasien dengan kemungkinan sleep apnea dan kemungkinan
intervensi sebelum operasi, untuk meminimalkan risiko apnea pasca
operasi.3
Sistem Gastrointestinal
Aspirasi dapat menyebabkan komplikasi yang membahayakan selama
anestesi. Riwayat positif refluks posisional yang parah dapat menyebabkan
perubahan dalam rencana anestesi. Sebagai contoh, intubasi endotrakeal
dapat digunakan dalam kasus-kasus di mana penggunaan jalan napas
masker laryngeal akan menjadi pilihan. Riwayat refluks harus
didokumentasikan dengan hati-hati, dan gejala saat ini serta tingkat
keparahannya harus dikuantifikasi. Frekuensi gejala refluks, dampak
pengobatan jika diresepkan, dan timbulnya gejala pada malam hari saat
pasien berbaring, dapat membantu membedakan refluks yang sebenarnya
dari refluks umum yang terjadi setelah postprandial.3
Obesitas meningkatkan risiko anestesi. Pada pasien obesitas, penting untuk
mencatat perubahan berat badan baru-baru ini, indeks massa tubuh,
kesulitan intubasi di masa lalu, dan kondisi komorbiditas seperti hipertensi,
diabetes, dan sleep apnea. Pertimbangan penting selanjutnya adalah
dampak praktis dari berat pasien. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
peralatan khusus di ruang operasi, termasuk manset tekanan darah besar,
tandu lebar, dan tempat tidur ruang operasi yang lebih besar.3
Sistem Neurologis
Sejumlah kondisi neurologis dapat memengaruhi pemberian anestesi.
Untuk setiap pasien dengan kondisi neurologis, diagnosis, pengobatan, dan
status gejala saat ini harus didokumentasikan dengan cermat. Banyak
gangguan neurologis, terutama ketika parah, berdampak pada status
pernapasan. Pada pasien dengan epilepsi, penilaian pra operasi harus
mencakup deskripsi jenis dan frekuensi kejang. Obat-obatan harus
dilanjutkan selama periode perioperatif. Banyak obat kejang tidak tersedia
sebagai formulasi intravena, sehingga perlu untuk merencanakan terapi
selama periode berkepanjangan ketika pasien tidak dapat minum obat
lewat mulut.3
Sistem Endokrin
Diabetes mellitus adalah endokrinopati yang paling umum dijumpai
sebelum operasi dan dikaitkan dengan banyak kondisi komorbiditas yang
meningkatkan risiko anestesi. Selain deskripsi jenis diabetes dan status
insulin, riwayat terperinci harus diperoleh pada semua pasien diabetes
untuk mencari adanya penyakit jantung, gangguan ginjal, atau kerusakan
end organ.3
Sistem Renal
Gagal ginjal kronis adalah penyakit sistemik kompleks yang mungkin
timbul dari banyak kondisi; diabetes mellitus, hipertensi, dan
glomerulonefritis adalah beberapa penyebab paling umum. Untuk pasien
dengan dialisis, frekuensi dan cara pemberian dialisis harus
didokumentasikan, termasuk rencana waktu dialisis secara perioperatif.
Kontrol volume adalah masalah penting pada pasien dialisis, dan riwayat
pra operasi harus mencakup dokumentasi kelebihan volume atau masalah
terkait dialisis, seperti hipotensi.3
Sistem Hepatik
Penyakit hati akut dan kronis dapat meningkatkan risiko operasi. Untuk
pasien dengan penyakit hati, penting untuk mendokumentasikan
etiologinya, misalnya, apakah penyakit hati bersifat infeksius, neoplastik,
atau alkoholik. Penyakit hati stadium akhir dapat bermanifestasi dengan
asites, koagulopati, dan ensefalopati, yang mengakibatkan perubahan
signifikan dalam distribusi obat dan metabolisme.3
Riwayat Anestetik
Riwayat anastesi adalah kunci dari penilaian pra operasi. Pengalaman
anestesi pasien sebelumnya sangat penting dan akan sangat mempengaruhi
sikap pasien (mengurangi kecemasan) terhadap pembedahan yang akan
datang. Riwayat harus mencakup diskusi tentang operasi sebelumnya,
termasuk jenis dan perkiraan tanggal. Riwayat intubasi yang sulit,
kelemahan yang berkepanjangan, atau intubasi harus didokumentasikan
dengan jelas. Mual atau muntah pasca operasi sebelumnya dapat
memprediksi kesulitan di masa depan. Masalah lain yang mungkin timbul
selama diskusi termasuk kecemasan mengenai akses vena yang buruk dan
berbagai kekhawatiran seputar anestesi, seperti “fobia” masker atau
claustrophobia.3
Riwayat Keluarga
Semua pasien harus ditanyakan mengenai masalah anestesia yang pernah
dialami keluarga; misalnya, riwayat apnea berkepanjangan mengisyaratkan
defisiensi pseudokolinesterase, dan kematian yang tidak dapat dijelaskan
mengisyaratkan hiperpireksia maligna. Apabila ditemukan kondisi-kondisi
di atas, pembedahan elektif harus ditunda sementara pasien menjalani
pemeriksaan yang sesuai. Pada situasi emergensi, anestesi harus
disesuaikan menurut kebutuhan, misalnya dengan menghindari obat
pencetus pada pasien dengan potensi atau riwayat keluarga mengalami
MH.1
Alergi dan Kebiasaan Sosial
Pendataan alergi harus mencakup obat dan reaksinya. Anamnesis
menyeluruh terkadang dapat membantu membedakan alergi sejati dari
reaksi jinak atau efek samping. Penilaian pra operasi harus mencakup
rincian tentang konsumsi alkohol, merokok, dan penggunaan narkoba.
Riwayat penyalahgunaan obat-obatan dan alkoholisme dapat
meningkatkan toleransi terhadap agen anestesi dan potensi withdrawal
yang tidak terduga setelah operasi.3
Medikasi
Daftar obat yang terperinci dan jadwal pemberian dosis merupakan bagian
dari penilaian pra operasi. Pasien yang menggunakan antikoagulan tidak
boleh menghentikan pengobatan ini tanpa berdiskusi dengan dokter ahli
jantung atau dokter perawatan primer yang meresepkannya. Selain itu,
dokter yang meresepkan perlu diberitahu tentang prosedur mendatang
pasien sehingga mereka dapat memastikan bahwa pengobatan dimulai
kembali secara tepat pasca operasi. Pada pagi hari operasi, pasien mungkin
disarankan untuk menggunakan obat diuretik dan obat-obatan serta
suplemen non esensial.3
Angiotensin converting enzyme inhibitor dapat mengakibatkan
vasodilatasi dan hipotensi yang signifikan setelah induksi anestesi;
pemberian obat-obatan ini pada hari operasi sebelumnya direkomendasikan
tetapi sekarang umumnya hanya dilakukan sebelum operasi jantung.
Insulin kerja pendek umumnya diberikan pada pagi hari operasi, dan
insulin kerja panjang dilanjutkan pada dosis biasa atau berkurang (biasanya
setengah dari biasanya). Penggunaan obat nyeri kronis dapat menghasilkan
toleransi yang signifikan dan membuat kesulitan dengan manajemen nyeri
pada periode pasca operasi.3
Pemeriksaan Fisik
Sistem kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut: aritmia, gagal jantung,
hipertensi, penyakit katup jantung, penyakit vaskular perifer.1
Sistem pernapasan
Mengecek adanya peningkatan dimensi anteroposterior dada dan adanya
bunyi napas tambahan terutama wheezing. Adanya ronkhi atau
bronkospasme mungkin menunjukan adanya penyakit paru atau gagal
jantung.5
Sistem saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan
setiap tanda adanya gangguan sensorik atauu motorik dicatat. Harus
diingat bahwa beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardioaskular
dan pernapasan, misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multipel.1
Sistem muskuloskeletal
Catat setiap kebiasaan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki
kelainan jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit reumatoid kronik
sangat sering mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan
keterlibatan paru. Vertebra servikalis dan sendi temporomandibular pasien
perlu diperhatikan secara khusus.1
Pemeriksaan bedside sederhana
Kriteria Mallampati. Pasien duduk tegak diminta untuk membuka
mulut mereka dan menjulurkan lidah mereka semaksimal mungkin.
Gambaran struktur faring dicatat dan digolongkan sebahai kelas I-
IV. Kelas III dan IV mengisyaratkan intubasi sulit.1
Tidak ada satu pun di tes ini, sendiri atau gabungan, akan memprediksi
semua kesulitan intubasi. Mallampati kelas III atau IV dengan jarak
tiromental <7 cm akan memprediksi 80% kesulitan intubasi. Apabila
masalah sudah diantisipasi, anestesia harus direncanakan sesuai dengan
temuannya. Apabila terbukti sulit diintubasi, hal ini harus dicatat di
tempat yang jelas terlihat dalam catatan pasien dan pasien diberitahu.1
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan
karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah
tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Pramedikasi
Premedikasi saat ini selain untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah
obat-obat yang digunakan namun yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas
periopetatif sehingga akan mempermudah proses pemulihan setelah anestesi dan
pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat
menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk
premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri.4
1) Benzodiazepin
Benzodiazepine digunakan kepada pasien bedah yang memiliki gangguan
cemas. Penggunaan midazolam 0,5 mg/kg sebagai premedikasi dan
penggunaan midazolam 0,25 mg/kg sebagai obat induksi dapat
menurunkan kecemasan.6
Midazolam, obat yang sering digunakan untuk premedikasi, biasanya
digunakan secara intravena maupun oral. Pasien yang akan mendapatkan
prosedur regional block atau central venous line midazolam intravena
sebesar 2-5 mg dan opioid dosis rendah diberikan saat pasien masih
sadar.7
BAB III
KESIMPULAN
Manajemen perioperatif anestesi terdiri dari manajemen preoperati, intraoperatif, dan post
operatif. Penilaian preperatif memberikan evaluasi risiko anestesi pasien dari prosedur yang
diusulkan dan memungkinkan rekomendasi yang dibuat yang dapat meminimalkan risiko dan
memastikan transisi yang lancar dari rencana pembedahan sampai ke kamar operasi dan
seterusnya. Penjelasan dan persetujuan untuk pemberian anestesi harus diperoleh.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Gwinutt CL. Catatan kuliah: Anestesi Klinis. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2014. Hal. 1-8.
2. Kurniawaty K, Sudadi, Anindita MP. Manajemen Preoperatif pada Protokol Enhanced
Recovery After Surgery (ERAS). Jurnal Komplikasi Anestesi Volume 5 Nomor 2. Maret
2018. Hal. 61-2.
3. Mahboobi SK, Barnett SR. Preoperative anesthetic assessment. Vacanti, et al (editors).
Essential Clinical Anesthesia. New York: Cambridge University Press. 2011. P:41-6.
4. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT Macanan Jaya
Cemerlang, 2017 : 185 – 188.
5. Miller, R.D., Cogen, N.H., Erksson, L.I., et al. Miller’s Anesthesia. 8th ed. Canada
Elsevier. 2015 : 2264 – 2334.
6. Sheen, Michael J, Fang-Lin Chang, and Shung-Tai Ho. "Anesthetic Premedication: New
Horizons Of An Old Practice". Acta Anaesthesiologica Taiwanica 08.001 (2014): 135-
142.
7. Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 7th (ed). New York:
McGraw-Hill Companies.2006.
8. Imani F, Rahimzadeh P. Gabapentitoids: Gabapentin and Pregabalin for Postoperative
Pain Management. Anesth Pain. 2012; 2(2): 52-3. DOI: 10. 5812/aapm.7743
9. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT Indeks; 2017.
10. Arvianto, Oktaliansah E, Surahman E. Perbandingan antara Sevofluran dan Propofol
Menggunakan TotalIntravenous Anesthesia Target Controlled Infusion terhadap Waktu
Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal
Anestesi Perioperatif. 2017;(5)1. Hal. 25.
11. Handayanto AW, Bagianto H, Isngadi M. Perbedaan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal
Setelah Perubahan Posisi Supine ke Lateral Decubitus Pada Pasien yang
Menjalani Anestesi Umum. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2013; 5(1). Hal. 36.
12. Harahap YS, Tavinto D, Surahman E. Perbandingan Angka Keberhasilan Pemasangan
Laryngeal Mask Airway (LMA) Jenis Klasik pada Usaha Pertama antara Teknik Balon
Dikempiskan dan Dikembangkan Sebagian pada Pasien Dewasa. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2016;(4)1. Hal. 33.
13. Powell-Tuck, Jeremy. British Consensus Guidelines On Intravenous Fluid Therapy For
Adult Surgical Patients. NICE guideline 1 (2011). P:18-20.
14. Lu IC, et al. Preoperative, intraoperative and postoperative anesthetic prospective for
thyroid surgery: what’s new. Journal Gland Surg. 2017;6(5). P:471-2.
OLEH :
Andi Suci Setyawati, S.Ked
10542 0581 14
PEMBIMBING:
dr. Zulfikar Djafar, Sp.An