BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit SLE ini
2.1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik
bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Penyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9):1. Pada SLE yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2
7
8
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari
RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010 (Kasjmir et al., 2011).
2.1.3 Patogenesis
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor
penyakit ini (Isbagio et al., 2009). Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis
penyakit SLE. Adanya mekanisme pengaturan imun yang tidak sempurna, seperti
sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke T helper 2 (Th2)
Beberapa faktor lingkungan juga menyebabkan pemicu timbulnya SLE (Mok dan
Lau, 2003).
9
autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada
nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi. Anti nuclear antibody (ANA) adalah antibodi yang
paling banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double
stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang
spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE
2.1.4 Diagnosis
hingga kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997 (Isbagio et al., 2009).
Berdasarkan kriteria ARA tahun 1997, SLE ditegakan bila memenuhi 4 kriteria
dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu
(Hochberg, 1997).
11
No Kriteria Definisi
1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial.
2 Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan follicular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik
3 Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat dokter
pemeriksa
5 Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
6 Serositis a. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau adanya pleural friction rub yang
dengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau
b. Perikarditis : terbukti dengan rekaman EKG, atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi pericardium.
7 Gangguan a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
renal pemeriksaan kuantitatif atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
8 Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit) atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit).
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
hematologik b. Leukopenia < 4000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia < 1500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat obatan
10 Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dalam titer yang abnormal,
imunologik atau
b. Anti-SM : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas :
(1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM
(2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau
(3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11 Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
positif (ANA) perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
12
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Perjalanan penyakit SLE
yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat
panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti
diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas
2.1.5 Tatalaksana
penatalaksanaan pasien SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal
ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien SLE yang tidak mengancam
13
nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara
Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang
2.2 Aterosklerosis
2.2.1 Definisi
dengan usia lanjut tetapi adalah penyakit inflamasi kronik yang sudah ada atau
muncul sejak usia dini. Jadi dalam usaha pencegahan dan penanganannyapun
sudah harus dimulai pada usia dini bahkan sudah harus diantisipasi pada saat
2.2.2 Patogenesis
arteri. Berasal dari kata Yunani, arteria dan skleros yang berarti arteri yang keras.
Arteri yang sehat bersifat fleksibel, elastik dan kuat. Dengan beban tekanan yang
terus menerus maka pada waktu tertentu bisa menjadi tebal dan kaku, proses
inilah yang disebut sebagai arteriosklerosis. Dinding arteri terdiri dari tiga lapis
mulai dari yang paling dalam ke luar berturut-turut tunika intima berisi sebaris
sel-sel endotel, tunika media berisi sel-sel otot polos juga elastin, dan tunika
salah satu bentuk arteriosklerosis, terjadi karena suatu proses pengerasan dan
penyumbatan arteri akibat penumpukan plak yang biasanya lambat tapi progresif.
Adanya deposisi plak di arteri, terbentuk dari kolesterol, lemak, kalsium dan
substansi lain. Jika tidak ditangani maka lapisan plak akan semakin tebal di antara
tunika intima dan tunika media dinding arteri. Penumpukan plak ini akan
menyebabkan lumen arteri itu menjadi semakin sempit. Lumen yang sempit akan
mengganggu aliran darah. Lapisan yang ada plak tebal membuat dinding arteri
bisa keras dan ada juga yang lunak, pada plak yang lunak ada bagian tertentu bisa
lepas dan kepingan dari pecahan plak di dinding arteri bisa menyumbat aliran
darah ke organ-organ. Arteri yang keras ini menjadi kaku dan tidak fleksibel
penyakit jantung koroner, stroke iskemik dan penyakit pembuluh darah perifer.
Jadi Aterosklerosis dapat terkena pada semua ukuran pembuluh darah tetapi
paling banyak pada yang berukuran sedang seperti arteri koroner. Penyakit
Proses aterosklerosis dimulai pada satu lesi endotel yang mulai kehilangan
dan partikel lipoprotein akan menyusup lewat endotel yang bocor dan rusak
aterogenik, yaitu low density lipoprotein (LDL) akan berkumpul dan dimodifikasi
15, lipoksigenase, dan nitric oxide synthase. Endotel sendiri menjadi teraktivasi
dalam menarik monosit dan sel-sel limfosit T. Selain VCAM-1, molekul adhesi
dalam proses penarikan sel-sel darah ke lesi aterosklerotik. Salah satu respon
monosit dan sel limfosit T. Dalam intima, monosit akan berdiferensiasi menjadi
makrofag melalui proses apoptosis dan nekrosis memegang peranan juga dalam
18
pembentukan inti dalam plak yang kaya lemak. Proses aktivasi imun juga
lesi yang bertanggung jawab dalam aktivasi sistem imun tubuh, meliputi LDL
2.3 Leptin
2.3.1 Definisi
Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti kurus (Faggioni et al.,
2001). Penemuan leptin pada tahun 1994 telah merubah secara total pandangan
jaringan lemak putih ini hanya dianggap sebagai tempat penyimpanan trigliserida
yang pasif atau tanpa peran endokrin. Penemuan leptin yang kemudian diikuti
dengan penemuan beberapa molekul yang berasal dari adiposit yang disebut
19
glukosa, dan juga bertindak sebagai sitokin yang berefek pada sistem imun
termasuk efek pada autoimun. Beberapa studi memperlihatkan level tinggi leptin
dan adiponektin pada SLE namun korelasi dengan aktivitas penyakit masih
dipertanyakan. Leptin meningkat selama infeksi akut dan ini berhubungan dengan
respon imun bawaan. Kehadiran reseptor OB-R pada limfosit T dan B diindikasi
bahwa leptin berperan pada aktivasi sistem imun didapat, dengan aksi mayor
sitokin Th1, seperti interleukin 2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-γ) dan
dan very late antigen 2 (VLA2) yang mungkin berkontribusi pada aktivasi dan
migrasi sel-sel imun dari tempat inflamasi. Pada manusia, peningkatan leptin
berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis berat seperti pada SLE. Tikus
dengan kekurangan leptin mengalami atrofi timus yang berat (Barbosa et al.,
2012).
molekul 16 kDa yang dikode oleh gen obese (ob) dan diproduksi terutama oleh
20
adiposit (Otero et al., 2006). Struktur dan fungsi leptin menyerupai keluarga dari
sitokin IL-6. Reseptor leptin (Ob-R) merupakan anggota keluarga dari reseptor
sitokin kelas 1. Gen reseptor leptin memproduksi paling sedikit enam transkrip
yaitu Ob-Ra sampai Ob-Rf. Dua isoform yaitu Ob-Rd dan Ob-Rf hanya
ditemukan pada tikus. Pada manusia hanya ekspresi Ob-Ra, Ob-Rb dan Ob-Rc
mRNA yang dilaporkan (Bernotiene et al., 2006). Struktur Ob-R sangat mirip
dengan tipe reseptor sitokin IL-6. Keenam isoform dari Ob-R mempunyai domain
yaitu satu berbentuk soluble (Ob-Re), empat berbentuk pendek (Ob-Ra, Ob-Rc,
Ob-Rd dan Ob-Rf) dan satu mempunyai bentuk panjang (Ob-Rb). Bentuk yang
berbeda ini mempunyai aktivitas biologik yang berbeda pula, misalnya Ob-Ra
keenam isoform tersebut hanya Ob-Rb yang paling berperanan dalam pengaturan
fungsi transduksi signal dan leptin-mediated signaling (Bartek et al., 2000; Lam et
al., 2007).
Leptin mengandung suatu protein dengan 167 asam amino yang dikode oleh
gen obese (ob) yang berlokasi di kromosom 7q31.3 dengan struktur 3 dimensi
yang merupakan keluarga sitokin IL-6. Leptin bertindak pada receptor OB-R
yang merupakan reseptor sitokin kelas 1 yang dikode oleh gen diabetes yang
berekspresi di pusat saraf pusat, sistem kardiovaskular dan di sel-sel sistem imun
seperti monosit, sel natural killer (NK) dan limfosit T CD4 dan CD8. Serum
leptin diukur dalam satuan ng/ml dan level ini berkorelasi dengan massa tubuh.
21
Leptin bertindak mengontrol nafsu makan dalam aksis usus-otak yang berada di
hipotalamus. Tikus dengan mutasi pada gen ob (tikus ob/ob) atau kekurangan
Gambar 2.5 Struktur dan isoform dari leptin tikus (Bernotiene et al., 2006).
rich box 1 yang tinggi (6-17 asam amino intraselular), tetapi hanya Ob-Rb yang
mempunyai domain intraselular yang panjang yaitu sekitar 300 residu. Fungsi
utama dari semua isoform yang pendek (kecuali Ob-Re) adalah terbatas pada
kesan bahwa mereka juga bisa sebagai pencetus terjadinya signal. Reseptor yang
panjang Ob-Rb adalah suatu reseptor fungsional yang berfungsi penuh, tidak
mempunyai suatu domain tyrosine kinase intrinsik tetapi bagian box 1 menerima
22
surrounding amino acids sangat esensial untuk aktivitas JAK. Bagian distal dari
Ob-Rb dibutuhkan untuk induksi tranduksi signal dan aktivator dari transkripsi
Pada waktu mengikat leptin, Ob-Rb yang berhubungan dengan JAK2 pada
fosforilasi residu tirosin pada domain intraselular dari reseptor (Tyr 974, Tyr 985,
Tyr 1077 dan Tyr 1138) untuk mempersiapkan tempat bagi signal protein yang
mengandung domain Src homology 2 (SH2). Fosforilasi residu tirosin Tyr 1077
dan Tyr 1138 akan berikatan dengan protein STAT sehingga teraktivasi, dan
fosforilasi yaitu Tyr 974 dan Tyr 985 juga berikatan dengan SH2 domain-
ekstraselular (ERK1/2), p38 MAPK dan p42/44 MAPK melalui interaksi dengan
JAK2 pada box 1 dapat memfosforilasi insulin receptor substrat ½ (IRS1/2) yang
leptin dapat diinduksi secara cepat melalui stimulasi inflamasi dengan LPS dan
IL-1. Hal ini mengindikasikan bahwa leptin berperan sebagai mediator dalam
peningkatan maturasi dan survival dari sel dendritik (Mattioli et al., 2005).
profil sitokin sel dendritik ke arah profil sitokin Th1 (Mattioli et al., 2005). Pada
dalam respon imun bawaan dapat secara tidak langsung memodulasi imunitas
dan maturasi sel T dan B sangat berpengaruh terhadap penurunan jumlah limfosit
pada organ limfoid perifer. Abnormalitas respon imun ditemukan pada mencit
ob/ob dan db/db serta sel T mencit ob/ob, mengindikasikan bahwa peranan
menunjukkan bahwa terapi leptin dengan dosis farmakologik pada mencit ob/ob
diinduksi oleh LPS. Leptin memperlihatkan survival sel limfosit T dan B melalui
merupakan hasil dari induksi protein anti-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-Xl (Lam
seperti IFN-γ dan IL-2 pada sel limfosit T dan memodulasi respon imun kearah
fenotipe Th1 melalui stimulasi CD4 pada mencit dengan starvation-induced leptin
deficiency (Fantuzzi et al., 2000). Pada sel Th1, leptin meningkatkan produksi
TNF-α dan IFN-γ serta peralihan IgG2a oleh sel B. Sebaliknya leptin mempunyai
efek penghambatan terhadap sel Th2 melalui pengurangan peralihan IgG1. Secara
didapatkan adanya peningkatan bukti, namun fungsi utama lainnya dari leptin
Gambar 2.7 Peran leptin dalam sistem imun (Lam et al., 2007).
juga dapat meningkatkan reaksi imun pada penyakit autoimun, yang umumnya
sehingga terjadi perbaikan yang bermakna pada aktivitas penyakit secara klinis
dan terjadi peralihan produksi sitokin kearah Th2 (Lam et al., 2007).
didapatkan bahwa perempuan mempunyai kadar leptin serum 2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki yang sudah disesuaikan dengan umur dan IMT, hal
dalam prevalensi penyakit autoimun pada perempuan (Lam et al., 2007). Kadar
leptin yang lebih tinggi pada perempuan dipertahankan oleh pengaruh resiprokal
dari estrogen terhadap sekresi leptin dan potensiasi produksi leptin oleh estrogen.
Selain itu antigen presenting cells pada perempuan memproduksi IL-12 lebih
rendah oleh karena kurangnya kadar estrogen dan kadar testosteron yang tinggi
dapat menurunkan kadar leptin serum. Selain itu testosteron juga dapat
memainkan peran sebagai penyebab dari progresi penyakit atau berfungsi sebagai
yang sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi, respon imun dan
juga induksi penyakit autoimun, masih perlu dibuktikan apakah leptin bisa
pada manusia, Pemberian leptin yang tidak efisien dalam merubah kadar sitokin
proinflamasi dan fungsi imun pada individu normal atau obesitas, tetapi gangguan
imun dapat diperbaiki dengan penggantian leptin pada defisiensi leptin kongenital
(Farooqi et al., 2002). Juga perlu penelitian lebih lanjut apakah terapi leptin dapat
hal ini dapat dipakai sebagai dasar dalam pengembangan vaksin sel dendritik.
atau reseptor leptin mutan yang berfungsi antagonistik, merupakan hal yang
menjanjikan sebagai pilihan terapi untuk penyakit autoimun atau penyakit lainnya
yaitu sentral dan perifer. Pada hipotalamus, leptin meregulasi nafsu makan, aliran
sistem saraf autonom, masa tulang dan sekresi hormon HPA (Hypothalamo-
pada timus dan diferensiasi sel Th1 di limfonodi (Cava et al., 2004). Insulin
meningkatkan sekresi leptin, demikian juga sebaliknya. TNF-α dan IL-1 juga
terjadi setelah puasa atau oleh pengaruh hormon testosteron (Cava et al., 2004)
al., 1999). Faktor-faktor lain yang meningkatkan kadar leptin antara lain: obesitas,
makan berlebihan, gagal ginjal tahap akhir, estrogen dan alkohol, sedangkan yang
menurunkan kadar leptin selain yang sudah disebutkan diatas adalah : merokok,
asam lemak bebas dan puasa (Merabet et al., 1996; Margetic et al., 2002).
Pada sel Th1, leptin meningkatkan produksi TNF-α, dan IFN-γ. Leptin dapat
mengaktivasi sel netrofil darah tepi manusia oleh karena mempunyai kemampuan
menginduksi sekresi TNF-α dari sel monosit (Esfahani et al., 2004). Sedangkan
pelepasan leptin dari jaringan lemak distimulasi oleh sitokin proinflamasi seperti
TNF-α dan IL-1B (Otero et al., 2006). TNF-α meningkatkan ekspresi gen dan
kadar leptin dalam sirkulasi, serta menginduksi sekresi leptin dari jaringan lemak.
Suatu target serangan autoimun secara lokal berasal dari modifikasi LDL.
Ini juga menjadi bukti bahwa inflamasi dan mekanisme imun memainkan
peranan penting pada patogenesis aterosklerosis dalam SLE dan suatu metode
kardiovaskular. Level leptin yang tinggi terlihat pada individu yang gemuk yang
diduga pada pasien gemuk terjadi resistensi dari leptin yang mirip resistensi
density lipoprotein (pi HDL) dan leptin, secara perorangan berhubungan dengan
stress pada sel-sel endotelial dan kardiomyosit ketika leptin dari luar diberikan
pada tikus dengan SLE, formasi plak aterosklerosis dipercepat (McMahon et al.,
2014).
100, kolesterol dan beberapa lipid dan beberapa molekul anti oksidan. Ketika
species (ROS), sehingga timbul produksi dari oxidized LDL (oxLDL) dan
rangkaian aktivasi sel-sel endotel arterial. Kejadian ini merupakan inisiasi pada
meningkat pada SLE dibandingkan dengan kontrol. Sel-sel T juga diambil untuk
memakan oxLDL dan menjadi sel-sel foam yang membentuk dasar dari lesi plak.
Sel-sel otot polos migrasi dan berproliferasi karena respon dari sitokin, bertumbuh
di sekeliling dari lesi dan memenuhi lumen pembuluh darah, yang akan
Miokard infark terjadi ketika fibrous cap dibentuk melebihi ruptur plak atau
2.4.2 Diagnosis
Belibou, 2012). Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu ketebalan intima
media dan ada tidaknya plak. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat
dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang
digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga
titik di kedua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis
33
arteri karotis interna (1 cm setelah percabangan aliran). CIMT disebut normal bila
nilainya <0.9 mm, dan disebut menebal bila > 0.9 mm, dan disebut plak
lebih tinggi dari leptin dan adiponektin pada pasien dengan SLE. Penelitian yang
dilakukan oleh Al et al. menilai pada anak-anak dengan SLE dan dilaporkan suatu
konsentrasi lebih tinggi pada leptin (34%) yang dibandingkan dengan kontrol.
visfatin, leptin dan adiponektin pada 109 pasien dengan SLE dan berhubungan
serum pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat (SLE
median 31 vs kontrol median 15, p=0,023). Pada studi ini, level leptin tidak
menderita sakit dan juga tidak berkorelasi dengan titer anti-dsDNA. Studi ini juga
Pada penelitian McMahon et al. (2011), dengan studi kohort diantara 250
pasien SLE dan 122 kontrol, setelah analisis bivariat ditunjukkan bahwa 41,9%
pasien SLE dengan plak memiliki level leptin yang tinggi dibandingkan dengan
34
20,8% pasien SLE tanpa plak (p=0,003). Pada analisis multivariat didapatkan
dengan plak ialah leptin dengan kuartil tertinggi (≥29,5 ng/ml)(OR=2,8 p=0,03)
p<0,001), merokok (OR=7,7 p=0,03) dan hipertensi (OR=3,0 p=0,01). Pada studi
ini level leptin berkorelasi lemah dengan CIMT (r=0,14 p=0,03) (McMahon et
al., 2011).
Pada penelitian McMahon et al. (2014), dengan studi kohort diantara 210
pasien SLE dan 100 pasien kontrol sehat, plak karotid ditemukan sebesar 29%.
Faktor-faktor yang secara signifikan berhubungan dengan plak pada penelitian ini
ialah umur ≥48 tahun (OR=4,1 p=0,002), fungsi proinflamasi HDL (OR=9,1
p<0,001), level leptin ≥34 ng/dl (OR=7,3 p=0,001), level plasma TWEAK ≥373
pg/ml (OR=28,8 p=0,004), dan riwayat diabetes (OR=61,8 p<0,001). Pada studi
ini, terjadi peningkatan 28 kali resiko plak karotid baik pasien SLE maupun