Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Manajemen Nyeri pada Pasien Ca Laring

Oleh:
Tika Ayu Sawaswati
NIM. 170070201011166

Pembimbing:
Dr. dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An, FIPM

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker merupakan keadaan dimana sel mengalami perubahan


DNA (Deoxyribonucleic acid) sehingga sel tersebut dapat keluar dari
siklus hidup yang sudah diatur (Dizon, Krychman dan Disilvestro, 2011).
Angka kejadian penyakit kanker terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah kematian penyakit kanker pada tahun 2005 mencapai 58 juta jiwa
(Depkes RI, 2013). Salah satu pengobatan penyakit kanker secara
sistemik adalah kemoterapi. Namun kemoterapi memiliki efek samping
karena obat kemoterapi yang digunakan tidak hanya menghancurkan sel-
sel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang
membelah dengan sangat cepat. Efek yang muncul pada pasien yang
menjalani kemoterapi adalah respon fisik dan fisiologis. Respon fisik yang
dialami diantaranya adalah mual dan muntah, kerontokan pada rambut
(alopecia) dan nyeri (Luanpitpong dan Rojanasakul, 2012; Raphael et al,
2010). Nyeri merupakan keluhan umum pasca pengobatan pada penderita
kanker, bahkan bertahun-tahun setelah pengobatan (Bennet & Puroshotham,
2009). Nyeri pada pasien kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari
pada pasien yang pertama kali datang berobat sekitar 30% dan hampir 70%
pasien kanker stadium lanjut yang menjalani pengobatan. Pada 20% penderita
yang mendapat pengobatan merasakan nyeri bukan disebabkan penyakit yang
dideritanya, tetapi justru oleh pengobatan yang telah dijalaninya (Banks, 2005).

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),


nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau
potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan
jaringan tersebut. Dari segi waktu berjalannya penyakit, nyeri dapat
tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Keduanya
memiliki karakteristik yang berbeda sehingga membuat terapi untuk kedua
macam nyeri tersebut dibedakan (Elavarasi dan Kumar, 2016).

2
Nyeri kronis dapat berlangsung tiga bulan atau lebih lama tanpa
diketahui penyebabnya dan mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-
hari. Nyeri kronis dapat terjadi tanpa trauma yang mendahului, dan
seringkali tidak dapat ditentukan adanya gangguan sistem yang
mendasari bahkan setelah dilakukannya observasi dalam jangka waktu
yang lama (Gupta R, 2014).

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui


intensitas dan menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya
harus dinilai sedini mungkin dan sangat diperlukan komunikasi yang baik
dengan pasien. Tujuan dari manajemen nyeri adalah untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien, memfasilitasi penyembuhan segera
dan kembali ke fungsi tubuh yang sempurna, mengurangi morbiditas dan
memungkinkan untuk keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Manfaat
manajemen nyeri yang efektif meliputi kenyamanan pasien dan oleh
karenanya juga kepuasan pasien, mengurangi resiko komplikasi jangka
panjang, penyembuhan yang lebih cepat, dan pengurangan biaya
perawatan (American Pain Society, 2014).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

International Association for the Study of Pain (IASP) menerangkan


bahwa nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kondisi kerusakan jaringan
yang nyata maupun potensial, atau terdeskripsikan dalam kondisi
kerusakan tertentu (Elavarasi dan Kumar, 2016). Nyeri adalah
pengalaman yang mengakibatkan stress terkait dengan kerusakan
jaringan aktual atau potensial kerusakan tissue dengan sensorik,
emosional, kognitif, dan komponen sosial (Williams dan Craig, 2016).

Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama,
yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik
merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal
nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas, lokasi, dan
kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen
yang menentukan berat ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat
mengawali kelainan emosi seperti cemas dan depresi jika menjadi nyeri
kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik melalui penggiatan
sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil pengobatan
yang tidak jelas, dan dukungan sosial/keluarga). Nyeri bersifat sangat
subyektif. Terlepas dari ada tidaknya kerusakan jaringan, nyeri sebaiknya
diterima sebagai keluhan yang harus dipercaya (Alaa Abd, 2019).

Nyeri akut adalah nyeri yang memiliki proses cepat dengan


intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk
waktu yang singkat. Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah, dan berdurasi singkat kurang lebih 7 hari serta akan
menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali
(Jones, 2013).

4
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari
1 atau 6 bulan setelah onset atau melewati perkiraan periode
penyembuhan. Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten dan
menetap sepanjang suatu periode waktu (American Pain Society, 2014).

2.2 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri dapat berdasarkan waktu, yaitu: nyeri akut dan kronis dan
dapat berdasarkan etiologi, yaitu: nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik
(Rodriguez, 2015).

1. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik


Nyeri akut terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang akut dan tidak
berlangsung lama. Sedangkan nyeri kronik, tetap berlanjut walaupun lesi
sudah sembuh. Ada yang memakai batas waktu 3 bulan sebagai nyeri
kronik. Untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronik secara klinis
ditampilkan seperti berikut (Rodriguez, 2015).

Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik (Williams AC, 2016)
Aspek Nyeri Akut Nyeri Kronik
Lokasi Jelas Difus, menyebar
Deskripsi Mudah Dijelaskan Sulit dijelaskan
Durasi Cepat / Pendek Berlangsung terus menerus
Fisiologis Kondisi Alert (BP,HR↑) Muncul puncak2 nyeri
Istirahat Mengurangi nyeri Memperburuk nyeri
Mood Ansietas, Takut Depresi, rasa bersalah,
iritabilitas,marah, frustasi, putus
asa
Toleransi Terkendali Kurang terkendali
Nyeri
Pengobatan Mencari penyebab dan Fokus pada fungsi dan
mengobati management nyeri

a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang
cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai
berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat

5
(Gunawan, 2011). Nyeri akut berdurasi singkat kurang lebih
7 hari dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area
yang rusak pulih kembali (Gunawan, 2011).
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung
lebih dari 3 atau 6 bulan setelah onset atau melewati
perkiraan periode penyembuhan. Nyeri kronik adalah nyeri
konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu (American Pain Society, 2014).

2. Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik


Nyeri secara patofisiologi dapat dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri
neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh
rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun
sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab
terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang
diakibatkan oleh aktivasi A dan nosiseptor –C terhadap stimulus yang
patologis (cedera, inflamasi). Nyeri muncul dari organ perifer yang disebut
visceral pain, sedangkan yang timbul dari kulit, otot, kapsul sendi dan
tulang disebut nyeri somatik. Berbanding terbalik dengan nyeri neuropatik,
nyeri nosiseptif dihubungkan dengan indikator dari kerusakan jaringan,
dengan kata lain nyeri nosiseptif adalah perlindungan tubuh terhadap
kerusakan yang terjadi (American Pain Society, 2014). Nyeri nosiseptif
biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid
(Rodriguez, 2015).

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan


neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi
jalur saraf aferen sentral dan perifer. Nyeri neuropatik disebabkan oleh
cedera sel-sel saraf di perifer atau sistem saraf pusat. Beberapa fitur
sensorik umum yang berhubungan dengan nyeri neuropatik termasuk
allodynia, hyperalgesia, hypoalgesia, paresthesia, dan dysesthesia. Nyeri

6
biasanya tidak terlokalisasi dan difus. Nyeri ini digambarkan seperti
tertusuk jarum, kesemutan, terbakar atau tajam (Alaa Abd, 2019).
Penyebab yang sering ditemukan yaitu trauma, inflamasi, dan penyakit
metabolik (diabetes), infeksi (herpes zoster), tumor, toksin dan penyakit
neurologis primer (American Pain Society, 2014) Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap
analgesik opioid (Rodriguez, 2015).

3. Cancer Pain

Nyeri dihubungkan dengan kondisi yang mengancam nyawa seperti


pada kanker yang sering disebut “malignant pain” atau “cancer pain”.
Nyeri pada kanker bisa berasal dari invasi jaringan tumor, kompresi atau
infiltrasi syaraf atau pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi, inflamasi
dan atau nyeri yang berasal dari biopsy, postoperatif, toksisitas
kemoterapi atau radiasi. Sebagai contoh, kemoterapi menginduksi
neuropati perifer. Pasien juga dapat mengalami nyeri pasca operasi atau
pasca radiasi yang dapat terus menjadi kronis. (Alaa Abd, 2019).

4. Chronic Non-Cancer Pain


Merupakan subtipe dari nyeri kronik, dimana nyeri tersebut adalah
nyeri persisten yang tidak berhubungan dengan kanker. Contoh dari
Chronic Non-Cancer Pain diantaranya adalah osteoarthritis, fibromyalgia,
neuropati perifer, neuralgia, nyeri kepala, dan phantom limb pain (Alaa
Abd, 2019; American Pain Society, 2014)

Nyeri Kronik Nonkanker

 Rheumatoid arthritis

7
 osteoarthritis
 fibromyalgia
 low back pain
 intermittent claudication
 dysmenorrhea
 mechanical neck disorder,
 spinal cord injury
 post-polio syndrome,
 patellofemoral pain

Tabel 2 Contoh Nyeri Kronik Nonkanker (Canadian Guidline for opioids for chronic
cancer 2017)

2.3 Patofisiologi Nyeri

Gambar 2.1 Patofisiologi Nyeri

2.3.1 Transduksi

8
Reseptor nyeri pada kulit dan jaringan lain adalah berupa ujung
saraf bebas. Tersebar luas pada lapisan superfisial kulit dan pada jaringan
tertentu di dalam tubuh, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan
sendi, falx, dan tentorium dalam tengkorak. Nyeri dapat dipicu oleh tiga
macam stimulus, yaitu mekanik, termal, dan kimiawi. Stimulus-stimulus
tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan dan intensitas nyeri
sangat berkaitan dengan tingkat kerusakan jaringan yang terjadi.
Beberapa zat kimia yang dapat menyebabkan nyeri di antaranya adalah
bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim-
enizm proteolitik. Selain itu, prostaglandin dan substance P dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri, tetapi tidak secara langsung
memicu nyeri. Zat- zat kimia tersebut berperan dalam menstimulasi nyeri
setelah terjadi kerusakan jaringan, misalnya karena infeksi bakteri atau
iskemia (Rodriguez, 2015). Proses transduksi diartikan seabgai respon
nosiseptor (reseptor nyeri) perifer terhadap trauma atau stimulasi yang
berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan selular
menyebabkan pelepasan ion hidrogen dan kalium serta asam arakidonat
(AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan AA menyebabkan
pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengubah AA
menjadi prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin G2 (PGG2), dan
prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+, dan K+ mengawali
terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
edema dan nyeri pada tempat yang rusak (Rodriguez, 2015).

2.3.2 Transmisi
Setelah memasuki medulla spinalis, impuls nyeri terbagi menjadi
dua jaras, yaitu tractus neospinothalamicus untuk nyeri cepat dan tractus
paleospinothalamicus untuk nyeri lambat. Akson dari neuron di lamina I
yang membentuk tractus neospinothalamicus menjadi bagian sistem
anterolateral. Serabut-serabut saraf tersebut naik ke otak. Sebagian
serabut berkahir pada formatio reticularis batang otak, tetapi sebagian
besar serabut berakhir di nukleus ventral posterolateral thalamus. Dari
sini, neuron-neuron berjalan ke korteks somatosensoris primer. Berbeda

9
dari traktus neospinothalamicus, serabut-serabut dari traktus
paleospinothalamicus lebih banyak yang berakhir di batang otak daripada
thalamus. Sebagian besar neuron berakhir pada formatio reticularis,
colliculus superior, dan periaqueductal gray (Rodriguez, 2015).

2.3.3 Modulasi
Modulasi merupakan mekanisme hambatan terhadap nyeri di
dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan di tingkat yang lebih tinggi di
batang otak dan mesensefalon. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja
inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang
dilepaskan dari interneuron spinal dan dari ujung terminal akson.
Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE) dan
gamma aminobutyric acid (GABA). Analgesik endogen ini mengaktifkan
reseptor opioid, alfa adrenergik, dan reseptor lain, yang menghambat
pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi
pos sinaptik dari neuron orde ke dua (Hall, 2015).

2.3.4 Persepsi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, serabut saraf dari


tractus neospinothalamicus banyak berakhir pada korteks
somatosensoris. Sistem dari tractus neospinothalamicus ini digunakan
untuk lokalisasi stimulus nyeri. Sedangkan serabut saraf dari tractus
paleospinothalamicus banyak berakhir pada batang otak. Sistem dari
tractus paleospinothalamicus ini berguna untuk merasakan sensasi tidak
nyaman dan pedih dari nyeri (Hall, 2015).

2.4 Sensitisasi Nyeri


2.4.1 Sensitisasi Perifer
Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan
melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K +,
pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, kemokin, dan
growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang

10
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers) (Australian and New Zealand College
of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi
ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai
komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia saja
tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Australian and New
Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).
2.4.2 Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan system nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral
dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri
setelah cedera. Sensitisasi sentral memasilitasi dan memperkuat transfer
sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla sipnalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molecular neuron (transcription dependent)
(Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain
Medicine, 2010).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas system
syaraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input
(kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan
yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif ke dalam medulla
spinalis. Reaksi ini akan menyebabkan jaringan saraf di dalam medulla
spinalis menjadi hiperesponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri
akibat stimulus non noksius dan daerah yang jauh dari jaringan cedera
juga menjadi sensitif terhadap rangsangan nyeri (Australian and New

11
Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).

2.5 Assesment untuk Nyeri

2.5.1 Visual Analog Scale (VAS)


Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan
secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang
pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm,
dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua
ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif.
Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang
lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat
dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi
skala hilangnya/ reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8
tahun dan dewasa.

Kelebihan VAS :

- Dapat mengukur derajat nyeri dan perubahan pada


situasi klinis
- Alat yang telah tervalidasi untuk mengukur nyeri akut
dan kronis
- Alat yang telah tervalidasi untuk penelitian
- Dapat digunakan untuk mengukur mood, distress, dan
mual
Kekurangan VAS :

- Tidak dapat mengukur seluruh aspek nyeri


- Pasien mungkin merasa kesulitan untuk
menghubungkan nyeri mereka pada suatu garis
- Sulit untuk digunakan pada periode immediate pasca
operasi karena gangguan kognisi (Gupta R,2014)

12
Gambar 2.2 VAS (Visual Analog Score)

2.5.2 Verbal Rating Scale (VRS)


Skala ini menggunakan 4 level (4 VRS) untuk menggambarkan
tingkat nyeri angka 0, tidak nyeri; 1, nyeri ringan; 2, nyeri sedang; 3,
nyeri berat. Ada juga varian lainnya yang mempunyai 7 skala level
(no pain, mild, discomforting, distressing, horrible, excruciating,
unendurable).

Kelebihan VRS :

- Dapat mengukur keterlibatan sensoris


- Dapat menilai aspek afektif dari nyeri
- Lebih baik untuk membedakan antara intensitas dan
ketidaknyamanan
Kekurangan VRS :

- Terdapat ekpresi nyeri yang bervariasi


- Skala yang digunakan tidak terus-menerus, sehingga
memiliki keterbatasan untuk tujuan penelitian (Gupta
R,2014)

13
Gambar 2.3 VRS (Verbal Rating Scale)

2.5.3 Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap
dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS
terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah
keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti
dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik.

Kelebihan NRS :

- Skala valid untuk pada pasien dengan nyeri akut


- Mudah digunakan
- Hasilnya mudah untuk disimpan
- Skala valid untuk setting klinis yang bervariasi
Kekurangan NRS:

- Pasien mungkin akan kesulitan untuk menghubungkan


nyeri dengan angka
- Tidak dapat digunakan pada beberapa setting klinis,
seperti pasien gelisah, tidak tervalidasi untuk pasien
post operasi orthopedic (Gupta R,2014).

14
Gambar 2.4 NRS (Numeric Rating Scale)

2.5.4 Wong Baker Pain Rating Scale


Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

Kelebihan :

- Valid dan terpercaya untuk pasien anak


- Dapat digunakan untuk pasien dengan disabilitas kognitif
- Mudah digunakan
Kekurangan :

- Hasil dipengaruhi oleh emosi


- Penilaian nyeri mungkin bervariasi tergantung budaya yang
ada (Gupta R,2014)

Gambar 2.5 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

15
2.5.5 Functional Activity Scale
Untuk menilai dampak fungsional nyeri akut. Skala ini mengukur
apakah pasien dapat melakukan aktivitas yang sesuai dengan rasa
nyeri yang terkait. Pasien diminta untuk melakukan aktivitas dengan
bantuan asisten. Tiga tingkat aktivitas yang dinilai :
 No limitation : skor 0 – 3; Dapat mengontrol nyeri secara
optimal
 Mild limitation : skor 4 – 10; Hasil fungsional adekuat,
diperlukan bantuan lebih lanjut
 Significant limitation : tidak dapat menyelesaikan aktivitas,
tidak dapat mengontrol nyeri (Gupta R,2014)
Kelebihan :
- Mudah
- Dapat digunakan untuk semua kondisi akut
- Membantu dalam perencanaan pengobatan
Kekurangan :

- Tidak valid (Gupta R,2014)

2.5.6 The Universal Pain Assessment Tool (UPAT)


Digunakan untuk menilai derajat nyeri pada orang dengan
kemampuan komunikasi yang terbatas. UPAT memudahkan
petugas kesehatan untuk konsul ke dokter spesialis manajemen
nyeri lebih sering dan dapat melakukan intervensi lebih awal
(Dugashvili et al, 2017)

16
Gambar 2.6 Univesal Pain Assessment Tool

2.6 Manajemen Terapi Nyeri


2.6.1 Non Farmakologi

Pendekatan farmakologis untuk manajemen nyeri adalah andalan


perawatan untuk akut nyeri dan rasa sakit kanker dan semakin banyak
digunakan untuk mengelola nyeri bukan kanker kronis (CNCP). Namun,
manajemen nyeri yang optimal juga termasuk psikologis, rehabilitasi fisik,
dan dalam beberapa kasus, perawatan bedah strategi. Penelitian panduan
tentang manajemen nyeri akut merekomendasikan pendekatan kognitif-
perilaku (misalnya, pendidikan pasien, relaksasi sederhana, citra,
hipnosis, dan biofeedback) dan terapi fisik agen dan modalitas (misalnya,
superfisial panas atau dingin, pijat, olahraga, imobilitas, dan
electroanalgesia) sebagai bagian dari manajemen nyeri akut (Berger R,
Cooney W, Simmons B, et al,1999).

17
Strategi non farmakologis harus melengkapi, tetapi tidak
menggantikan, penggunaan obat-obatan. Selain menambah penghilang
rasa sakit efek analgesik, nonfarmakologi pendekatan menawarkan
keuntungan lain. Sebagai contoh, mereka dapat meningkatkan suasana
hati, mengurangi kecemasan, meningkatkan rasa kontrol pasien,
memperkuat kemampuan mengatasi, membantu tidur, mengendurkan
otot, dan meningkatkan kualitas hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan pendekatan nonfarmakologis untuk manajemen nyeri termasuk
jenis rasa sakit, durasi, dan tingkat keparahan; preferensi pasien,
mengatasi keterampilan, dan kemampuan; ketersediaan dukungan (mis.,
anggota keluarga); ketersediaan peduli dalam komunitas; dan biaya
(Berger R, Cooney W, Simmons B, et al,1999).
a. Pendekatan Psikologis
Intervensi psikologis yang digunakan dalam manajemen nyeri
termasuk manajemen kontingensi, kognitif terapi perilaku, biofeedback,
relaksasi, citra, dan psikoterapi. Beberapa metode (misalnya, relaksasi,
citra) sederhana dan dapat diajarkan cepat, sedangkan yang lain
membutuhkan lebih banyak waktu. Bahan pendidikan pasien (misalnya,
dicetak lembar instruksi, audiotape) dapat melengkapi, tetapi tidak
menggantikan, upaya dokter untuk menginstruksikan pasien dalam
metode ini(Berger R, Cooney W, Simmons B, et al,1999).
b. Rehabilitasi Fisik
Pendekatan Metode rehabilitasi fisik manajemen nyeri sesuai untuk
banyak jenis rasa sakit dan sangat penting pada pasien dengan CNCP.
Selain menghilangkan rasa sakit, metode tersebut bisa mengurangi
ketakutan dan kecemasan, meningkatkan fungsi fisik, dan mengubah
respons fisiologis terhadap rasa sakit. Perawatan yang digunakan dalam
rehabilitasi fisik termasuk peregangan, latihan / rekondisi (meningkatkan
kekuatan, daya tahan, dan fleksibilitas), pelatihan gaya berjalan dan
postur, dan perhatian ergonomi dan mekanika tubuh (Ray A,2001). Non-
invasif lainnya perawatan fisik untuk rasa sakit termasuk termoterapi
(aplikasi panas), cryotherapy (aplikasi dingin), kontra-iritasi, dan

18
electroanalgesia (misalnya, listrik transkutan stimulasi) (Ray A,2001).
Dalam beberapa kasus, pasien memilih untuk mengejar non-alopati
(alternatif perawatan) seperti akupunktur atau terapi pijat.
c. Pendekatan Bedah
Sebagian besar rasa sakit dapat dikelola oleh non-invasif
sederhana metode. Namun, lebih bersifat invasif pendekatan, termasuk
operasi, kadang-kadang dibutuhkan. Pendekatan ortopedi untuk
manajemen nyeri termasuk nonsurgical ("konservatif") pendekatan dan
berbagai operasi (mis., penggantian total sendi, laminektomi, fusi tulang
belakang).

2.6.2 Farmakologi

Gambar 2.7 Step Ladder WHO

19
Pengobatan nyeri harus disesuaikan dengan penilaian individu pada
pasien. Dalam penanggulangan nyeri, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) telah merumuskan beberapa prinsip:

 NSAID efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri


sedang-berat
 Mulailah dengan pemberian NSAID/Opioid lemah (langkah 1 dan 2)
dengan pemberian intermitten (pro re nata-prn) opioid kuat
disesuaikan dengan kebutuhan pasien
 Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (diganti dengan opioid kuat
dan prn analgesk dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1)
 Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang digunakan
adalah morfin dan kodein
 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute NSAID, dapat diberikan
opioid ringan
 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati lakukan pengungarangan
dosis secara bertahap

2.6.2 Golongan Non Opioid


1. Parasetamol
Parasetamol adalah analgesik yang paling sering digunakan
dengan aksi analgesik dan antipiretik. Kebutuhan opioid dapat
dikurangi dengan 20-30% bila diberikan dengan parasetamol biasa
(Jones,2013)
 Cara kerja: aksi antipiretiknya disebabkan oleh
penghambatan sintesis prostaglandin pada sistem saraf
pusat. Meskipun mekanisme parasetamol sulit dipahami,
mungkin melibatkan penghambatan langsung dan tidak
langsung dari pusat cyclo-oksigenase, namun aktivasi
sistem endocannabinoid dan tulang belakang jalur
serotonergik juga perlu. Parasetamol juga telah
menunjukkan untuk mencegah produksi prostaglandin di

20
tingkat transkripsi seluler, independen dari aktivitas
siklooksigenase.1 Salah satu mekanisme parasetamol yang
muncul dihubungkan ke sistem serotonergik, memungkinkan
obat lain dengan efek serotonergik dapat mempengaruhi
nyeri yang timbul.
 Presentasi: sediaan parasetamol adalah 500 mg tablet saja
dan dikombinasi dengan opioid lemah. Tersedia dalam
bentuk oral / rektal dan intravena. Dosis dewasa adalah 15-
20 mg / kg dan dapat diberikan 4 jam dengan dosis
maksimum 90 mg / kg / hari. Dosis maksimal adalah
4000mg/hari (Kementerian Kesehatan RI, 2013)
 Efek samping: dapat ditoleransi dengan sedikit efek
samping dan kontraindikasi. Sejak dimetabolisme dalam hati,
setiap bentuk gangguan hati harus mendapat perhatian
khusus.
2. NSAID
NSAID secara luas digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang dan juga untuk mengurangi konsumsi opioid dalam periode
perioperatif. (Jones,2013)
 Cara kerja: aksi utama dari NSAID adalah dengan
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga
mencegah produksi baik prostaglandin (anti-inflamasi) dan
tromboksan (Agregasi platelet) dari membran fosfolipid.
Terdapat dua isoenzim siklooksigenase (COX), COX-1 dan
COX-2. COX-1 (bentuk konstitutif) bertanggung jawab untuk
memproduksi prostaglandin yang mengontrol aliran darah
ginjal, fungsi hemostasis dan melindungi mukosa. COX-2
(Bentuk diinduksi) diproduksi dalam menanggapi kerusakan
jaringan dan memfasilitasi respon inflamasi. Mereka juga
bertindak sebagai antipiretik dalam kaitannya dengan
penghambatan prostaglandin yang diproduksi di sentral.

21
Tabel 2.8 Dosis Obat NSAID

 Efek samping: mengurangi sintesis prostaglandin di sel


mukosa lambung dapat menyebabkan ulserasi mukosa dan
dapat menyebabkan ulkus peptikum. NSAID harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal dan
penderita asma yang rapuh.

2.6.3 Golongan Opioid


Opioid Lemah

1. Kodein
 Cara kerja : aktivasi reseptor opioid terkait dengan
hyperpolarization pada tingkat sel. Obat-obatan opioid
menghasilkan efek analgesik dengan mengurangi rangsangan
saraf dan penghambatan pelepasan neurotransmitter dari
terminal aferen primer di sumsum tulang belakang dan aktivasi
penghambatan kontrol secara menurun di otak tengah. Opioid
lemah yang sering digunakan adalah kodein dan tramadol,

22
yang digunakan oleh WHO untuk pengobatan langkah 1 pada
langkah 2.
 Presentasi : Kodein banyak digunakan secara oral dalam dosis
30-60 mg pada interval 4-6 jam sampai dosis maksimum 240
mg / hari. Tersedia juga dalam kombinasi dengan parasetamol
(Co-codamol) dalam berbagai kekuatan.
 Cara kerja : khas opioid jenis apapun (misalnya sembelit,
mual). Penggunaan kodein dan dihydrocodeine terbatas saat
operasi usus dan merugikan karena efeknya yaitu sembelit.
NNT yang tinggi dan profil efek samping yang terbatas
bermanfaat pada nyeri pasca operasi.
2. Tramadol
 Cara kerja : tramadol memiliki afinitas untuk reseptor opioid
dan juga menghambat sinap noradrenalin dan reuptake
serotonin (5-HT), sementara itu juga merangsang pelepasan
presinaptik 5-HT. Terdapat jalur alternatif untuk analgesik yang
melibatkan penghambatan jalur desenden pada sumsum tulang
belakang. Hal ini menyebabkan berkurangnya depresi
pernafasan dan sembelit pada dosis relatif equianalgesic
terhadap morfin.
 Presentasi : tersedia dalam 50/75/100 mg. Dosis: 2 mg/kg
(Max 8 mg/kg/hari)
 Efek samping : memiliki potensi untuk berinteraksi dengan
obat-obatan yang menghambat pusat 5-HT atau re-uptake
noradrenalin (misalnya trisiklik antidepresan, serotonin selektif
re-uptake inhibitor) yang menghasilkan kejang dan harus
dihindari pada pasien epilepsi.

Opioid Kuat

1. Morfin
 Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi
pemberian opioid. Mulai dengan dosis kecil immediate release

23
(IR) PO: 2,5 – 5 mg tiap 4 jam. Kemudian lakukan titrasi sampai
dosis yang diperlukan. Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri
renjatan dan nyeri insiden dengan dosis 1/6-1/10 total dosis 24
jam. Jika nyeri renjatan atau incident terjadi, dosis harian
(dosis dasar) tetap diberikan sesuai jadwal. Dosis morfin perlu
dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin hanya sebagian atau
durasinya sebentar. Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50%
jika efek samping yang muncul persisten. Dosis harian perlu
dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3x atau lebih dalam sehari,
dengan menjumlahkan dosis harian dan jumlah dosis renjatan
untuk hari berikutnya. Gantikan IR morfin dengan sustained
release (SR) morfin segera setelah dosis yang diperlukan
tercapai: dosis 24 jam immediate release dibagi 2 untuk
diberikan 2x sehari. SR morfin mempunyai kelebihan seperti
tidak perlu minum di tengah malam, efek samping mengantuk
dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih dapat diterima.
Berikan dosis SR pertama bersamaan dengan dosis IR terakhir.
Tablet SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan utuh
agar memiliki efek kerja dan durasi yang diinginkan. Bila
pasien tidak dapat menelan, tablet dapat diberikan per rektal
dengan dosis yang sama.
 Efek samping : pemberian morfin adalah sedasi, konstipasi,
dan mual. Sedasi yang berlebihan dapat diberikan
dextroamphetamine atau methylphenidate 5 mg setiap pagi.
Konstipasi dapat diberikan stool softener seperti senna,
cascara, mangnesium sitrat, atau lactulosa. Mual dapat
diberikan metoclopramide per oral (Lukman, 2007).
2. Fentanyl
Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping
terhadap susunan saraf pusat lebih sedikit dibanding dengan
morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan. Pemberian dapat melalui
transdermal atau parenteral. Pemberian IV atau SK memiliki durasi

24
singkat sehingga dapat digunakan untuk nyeri renjatan.
Kekurangan fentanyl adalah: tidak memiliki bentuk oral, dosis yang
besar tidak dapat diberikan melalui SK karena memiliki volume
yang besar, efek onset yang lama (18-24 jam), dosis transdermal
terbatas (12,5; 25; 50; dan 100 mikrogram/jam) dan tidak dapat
dipotong untuk mendapatkan dosis yang lebih kacil. Kekurangan
yang lain adalah bila pasien berkeringat, bentuk transdermal
mungkin kurang bermanfaat. Bila menggunakan transdermal, dosis
dasar opioid harus tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama.
Dosis equivalen untuk 25 mikrogram/jam trandermal fentanyl
adalah 60 – 100 mg oral morfin/24 jam (Kementrian Kesehatan RI,
2013)

25
2.6.3 Obat Ajuvan
Adjuvant ini mungkin dibutuhkan dalam menghilangkan efek
samping dari analgetik (contoh: antiemetic dan laksatif), Sebagai
antinyeri (contoh: kortikosteroid pada kompresi tulang belakang),
Sebagai terapi untuk gangguan psikologis seperti insomnia,
depresi, dan anxietas (contoh: sedasi pada malam hari, anxiolitik,
dan antidepresi) (Jones,2013)
Reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (misalnya ketamin,
dextromethorphan, amantadine, magnesium) telah digunakan
dalam nyeri akut untuk memodifikasi sensitisasi sentral pada
sumsum tulang belakang. Efek utama ketamin dosis rendah adalah
sebagai antihyperalgesic, Antiallodynic dan antitolerance agen.
Akibatnya, peran utama ketamine ini adalah sebagai adjuvant
dalam pengobatan nyeri yang terkait dengan pusat sensitisasi
seperti nyeri akut parah, nyeri neuropatik dan nyeri yang resisten
terhadap opioid. Ketamin perioperatif bersifat mencegah, tapi tidak
mendahului efek analgesik dengan segera pada pasca operasi
(Jones,2013).
Gabapentinoids (gabapentin / pregabalin) telah terbukti
meningkatkan analgesik dan mengurangi konsumsi opioid pasca
operasi, bersama dengan mengurangi muntah dan pruritus. Insiden
sedasi meningkat dibandingkan dengan plasebo. Efek dari
gabapentin tidak tampak bergantung pada dosis antara 300-1200
mg.
Perioperatif intravena (IV) lignocaine (lidokain) infus dapat menjadi
opioid-sparing dan secara signifikan mengurangi skor nyeri, mual,
muntah dan durasi ileus hingga 72 jam setelah operasi perut,
berkontribusi untuk mengurangi masa tinggal di rumah sakit. 1
Penggunaan a-2-agonis sistemik (misalnya klonidin) secara
konsisten meningkatkan analgesia opioid perioperatif tetapi
frekuensi dan keparahan efek samping (bradikardia, hipotensi)
dapat membatasi kegunaan klinisnya (Jones,2013).

26
2.7 Cancer Pain
1. Cancer Treatment-Related Chronic Neuropathic Syndromes
Pada pasien dengan kanker yang melaporkan nyeri jenis apa pun, 18,7-
21,4% mengalami nyeri neuropatik karena pengobatan kanker, beberapa
hal yang menyebabkannya adalah:
A. Prosedur pembedahan
Tingkat nyeri neuropatik tertinggi dikaitkan dengan cedera saraf atau
pembentukan bekas luka yang dihasilkan dari manajemen bedah.
Terlepas dari jenis operasi, neuroma pascaoperasi, yang berkembang
karena cedera saraf yang diinduksi operasi, atau dari bekas luka dan
edema jaringan, merupakan sumber umum dari nyeri neuropatik di
antara survivor kanker.

27
B. Terapi Radiasi
Terapi radiasi sering mengarah ke nyeri neuropatik kronis karena
peradangan saraf dan jaringan parut. Pasien dengan kanker payudara
yang menjalani perawatan radiasi, 21- 65% akan mengalami nyeri
neuropatik kronis terkait radiasi yang dapat secara signifikan
mengganggu status fungsional dan kualitas hidup, dan dapat terjadi di
mana saja dari 6 bulan hingga 17 tahun setelah perawatan.
C. Kemoterapi
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri
neuropatik akibat kemoterapi khususnya sangat mengganggu kualitas
hidup penderita, dan penggunaan obat sitostatika semakin dikenal
menyebabkan neuropati perifer. Mekanisme agen kemoterapi (seperti
paclitaxel dan vinkristin) menyebabkan neuropati perifer diantaranya
karena kemampuan mereka merusak fungsi tubulin. Polimerisasi
tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik, dan obat-obat
yang terkait proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron sensorik
serta pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamatorik yang secara langsung
mensensitisasi nosiseptor aferen primer. Kebanyakan neuropati yang
diinduksi kemoterapi bergantung pada dosis. Pasien kanker dengan
neuropati perifer sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes,
penyakit pembuluh darah iskemik, atau defisiensi nutrisi, beresiko besar
menderita neuropati perifer setelah kemoterapi. Kemoterapi dapat
menyebabkan nyeri neuropatik oleh karena kerusakan luas pada saraf
perifer dari terapi obat neurotoksik (Emril, 2017).

2. Nyeri akibat tumor


Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel kanker, termasuk sel
sistem imun seperti makrofag, neutrofil dan sel T. Sel-sel kanker dan
sel inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin,
H+, nerve growth factor, prostaglandin dan vascular endothelial growth
factor (VEGF), yang mengeksitasi atau mensensitasi nosiseptor. Stimuli
nyeri dideteksi oleh nosiseptor, dimana badan selnya terdapat pada
dorsal root ganglion (DRG), dan ditransmisikan ke neuron-neuron pada

28
medulla spinalis. Sinyal selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih
tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik sampai ke otak
setidaknya melalui dua jalur medula spinalis – traktus spinothalamikus
dan kolumna dorsalis. Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan
neurotransmitter seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP),
endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi nosiseptor juga
menyebabkan pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf
sensorik, yang menginduksi ekstravasasi plasma, rekruitmen dan
aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi (Emril, 2017).

3. Cancer induced bone pain (CIBP)


Nyeri tulang yang berkaitan dengan kanker merupakan masalah yang
sering pada pasien dengan metastasis. Nyeri tulang terkait kanker
sangat berkaitan dengan penyakit kanker dan perkembangannya. Ia
memiliki komponen nosiseptif dan neuropatik. Jenis nyeri ini
disebabkan oleh noxious stimulus dari periostium atau sumsum tulang
dan neuron sensorik perifer yang menstimulasi rangsangan melalui
sistem saraf pusat ke korteks serebral. Komponen neuropati ditentukan
oleh pertumbuhan tumor dan efek kerusakan yang diakibatkannya pada
serabut saraf tulang, bersama dengan pertumbuhan abnormal serabut
saraf sensorik dan simpatik. Beberapa mekanisme yang menyebabkan
nyeri tulang neoplastik antara lain teregangnya periosteum akibat
ekspansi tumor, mikrofraktur lokal yang menyebabkan kerusakan
tulang, kompresi saraf akibat kolapsnya vertebra atau kerusakan
langsung oleh tumor, serta pelepasan substansi analgesik lokal dari
sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan dengan aktivitas osteoklast.
Pada tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang yang
teresorbsi (osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel
yang terbentuk (osteoblast). Pada penyakit metastatik, terdapat bukti
peningkatan aktivitas osteoklast. Baik faktor tumor maupun humoral,
termasuk prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan lokal, dan hormon
paratiroid, meningkatkan aktivitas osteoklastik dan secara lokal
menstimulasi nosiseptor (Emril, 2017).

29
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki Laki
Alamat : Malang
Pekerjaan : Petani
Status Pernikahan : Menikah
Tinggi Badan : cm
Berat Badan : kg
No. Register : 11443743
Diagnosis : Cancer Pain dt Ca Laring on Kemoterapi

3.2.1 Primary Survey


A : Airway paten
B : Napas spontan, simetris, RR 22 kali/menit, SpO2 100% on
tracheal mask 10 lpm, terpasang Trakeostomi
C : Akral hangat, merah, kering, nadi 90 kali/menit regular dan
kuat, CRT < 2 detik, TD 110/60
D : Alert (AVPU)
E : nyeri di daerah sela sela tulang iga

3.2.2 Anamnesis (6 Maret 2020)


S : Nyeri pada sela sela tulang rusuk
A :Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan, obat-obatan,
ataupun asma
M : ceftriaxone 2x1 gram, codein 3x 20 mg, parasetamol 3x 500
mg.
P : HT (-) DM (-) Trakeostomi 1 tahun yang lalu
L : makan terakhir jam 18.00, minum terakhir jam 18.00

30
E : pasien mengeluh nyeri di sela sela tulang iga
 P: Nyeri timbul terutama saat pasien batuk dan bergerak miring
kiri-kanan.
 Q: Nyeri seperti ditusuk-tusuk
 R: Nyeri di Thorax anterior. Memberat dengan posisi miring,
berkurang dengan posisi duduk.
 S: NRS diam 1-2, NRS kambuh 2-3
 T: Nyeri dirasakan hilang timbul tidak ada waktu kambuh
tertentu.

3.2.3 Pemeriksaan Fisik (6 Maret 2020)


B1 : Airway paten, Nafas spontan, RR : 22 x/mnt , SpO2 100% on
tracheal mask 10 lpm, vesikular +/+, ronki +/+ di apeks paru,
wheezing -/- terpasang Trakeostomi
B2 : AHKM, CRT<2, N 90x/mnt nadi radialis teraba kuat, TD
110/60, S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallops (-)
B3 : KU cukup, compos mentis, GCS 456, Pupil Bulat Isokor
3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : BAK dbn
B5 : Soefl, BU (+) N, mual(-), muntah(-)
B6 : edema (-), deformitas (-), cyanosis (-/-), NRS diam 0-1, NRS
kambuh 1-2

3.2.4 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan PA ( 27/08/2019) ; Keratinizing Squamous Cell Ca


 Thorax AP : CTR 55%, nodul Multiple bilateral ec proses metastase

3.3.1 Assessment
Chronic Cancer pain

3.4 Planning Terapi


 Parasetamol 3x500mg --> 3x 1 gram IV
 Amitriptilin 0-0-12,5 mg

31
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Manajemen Nyeri pada Cancer Pain


Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi
nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Pasien terdiagnosis kanker laring post trakesotomi + penumonia
CAP + Cancer Pain. Nyeri pada cancer pain dapat terjadi karena
berbagai etiologi diantaranya karena tumor itu sendiri, karena terapi, atau
karena proses metastasis ke tulang. Pada pasien ini nyeri muncul
setelah setelah trakeostomi sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul
dan memberat sejak mau melakukan kemoterapi ke 4.
Penilaian nyeri pada pasien ini menggunakan metode PQRST
(Provocation, Quality/Quantity, Radiation, Severity Scale, Timing). Nyeri
terasa seperti ditusuk tusuk, dirasakan pada sela sela tulang
rusuknya. Dari skala 1-10, dengan interpretasi angka 1 (tidak nyeri)
hingga 10 (sangat nyeri) pasien menyebutkan angka 2-3 untuk nyeri
yang dirasakan saat kambuh dan angka 1-2 untuk nyeri yang
dirasakan saat diam. Mengingat nyeri merupakan salah satu tanda vital,
maka manajemen nyeri yang tidak adekuat akan dapat berkembang
menjadi nyeri yang kronis dan menyebabkan berbagai masalah seperti
berkurangnya aktivitas dan produktivitas, serta anoreksia yang dapat
memperburuk asupan nutrisi pada pasien.

4.2 Pilihan Terapi


WHO telah mengembangkan three-step ladder untuk
menghilangkan rasa nyeri kanker pada orang dewasa. Jika nyeri terjadi,
harus ada pemberian obat segera secara oral dengan urutan sebagai
berikut: nonopioid (aspirin dan parasetamol); kemudian, jika perlu, opioid
ringan (kodein); kemudian opioid yang kuat seperti morfin, sampai pasien

32
bebas dari rasa sakit. Untuk menenangkan ketakutan dan kegelisahan,
obat-obatan tambahan - "pembantu" - harus digunakan. Untuk menjaga
kebebasan dari rasa sakit, obat-obatan harus diberikan "by time", yaitu
setiap 3-6 jam, daripada "by demand". Pendekatan tiga langkah ini
dengan pemberian obat yang tepat dalam dosis yang tepat pada waktu
yang tepat adalah murah dan 80-90% efektif.
Karena sifat kompleks dari etiologi nyeri kanker, agen
farmakoterapi digunakan sebagai bagian dari rejimen pengobatan.
Nonopioid, seperti acetaminophen dan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang. opioid
efektif untuk nyeri sedang-berat.pada pasien ini dengan pemeriksaan NRS
pasien mengatakan sekitar 7-8 dengan intepretasi “worst possible pain”,
sehingga pasien perlu mendapatkan terapi golongan opioid. Pasien
mendapat terapi Amitripilin 0-0-12,5mg, dan Paracetamol 3 x 1 g IV.
Berdasarkan teori Step lader WHO, pasien mendapatkan NSAID
berupa parasetamol, serta terpai adjuvant antidepresan berupa
amitripillin.

33
BAB V
KESIMPULAN

Pasien adalah seorang laki laki berusia 60 tahun dengan keluhan


nyeri di daerah sela sela iga selama ±1 tahun terakhir setelah menjalani
trakeostomi dan terapi untuk penyakit kanker laring. Pasien terdiagnosis
kanker Laring rutin menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi.
Manajemen nyeri sangat dibutuhkan untuk mengurangi nyeri serta
memperbaiki kualitas hidup pasien dan memfasilitasi penyembuhan
segera agar segera kembali ke fungsi tubuh yang normal, apabila
manajemen nyeri ini tidak dijalankan dengan baik dapat memiliki efek
terhadap kehidupan sehari-hari pasien seperti susah tidur, penurunan
aktivitas, dan keadaan emosi yang tidak stabil. Untuk menilai derajat
keparahan nyeri dapat menggunakan beberapa skor seperti VAS, NRS,
VRS atau Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (ekspresi wajah).
Penggunaan obat-obatan dapat diberikan sesuai dengan
rekomendasi WHO menggunakan WHO Three-step Analgesic Ladder
secara bertahap dimulai dengan penggunaan analgesik non opioid pada
nyeri kronik, apabila dengan obat-obatan tersebut nyeri tidak dapat
teratasi maka dapat diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti
kodein dan apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri
yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat seperti
morfin, urutan tersebut dapat dibalik pada terapi nyeri akut.
Penatalaksanaan yang lebih baik diharapkan mampu memperbaiki
kualitas hidup penderitanya sehingga pasien juga akan lebih mudah untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari, Penatalaksanaan yang rasional adalah
yang mempertimbangkan efektivitas, keamanan pengobatan, dan biaya
pengobatan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Alaa Abd-Elsayed, Timothy R. Deer. 2019. Pain: A Review. Springer


Nature: Switzerland.
American Pain Society. 2014. Pain : Current Understanding Of
Assessment, Management and Treatments.
Banks, Carol, Mackrodt K. (2005). Chronic pain management.
Philadelphia: British Library.
Bennett, T.M., dan Purushotham, A.D. 2009. Understanding breast cancer
related lymphoedema surgeon, Medline 2, 120–4.
Dizon, D., Krychman, L. M., Disilvestro, A. P. 2011. 100 Tanya Jawab
Mengenai Kanker (Alexander sindoro, Penerjemah). Jakarta: Indeks.
Elavarasi, P.,Kumar, H. 2016. Definition of Pain and Classification of Pain
Disorder. Journal of Advanced Clinical & Research Insights (3) : 87–
90.
Emril, Dessy. 2017. Management of Cancer Pain: Focus on
Antineurophatic Pain, The 1st Syiah Kuala International Conference
on Medical and Health Sciences, the 1 st Aceh International Nursing
Conference (AINC), Banda Aceh, Indonesia, 11-12 Mey 2017,
Medan, USU Press, , 979-458-966-7.

Gunawan, SG. Famakologi dan Terapi (5 ed.). Jakarta: Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2011; 237-239

Gupta R. 2014. Pain Management Essential Topics for Examination.


Springer Heidelberg.
Hall, J.E. 2015. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Elsevier
Health Sciences.
Jones, Martin, 2013. Acute Pain Management. Diakses tanggal; 5 Maret
2020. http://www.surgeryjournal.co.uk/article/S0263-9319(12)00267-
0/fulltext

35
Luanpitpong, S., & Rojanasakul, Y. 2012. Chemotherapy Induced
Alopecia Topics in Cancer Survivorship. Journal of Europe: In Tech.
ISBN: 978-953.
Lukman, Gardian. 2007. Tata Laksana Farmakologis Nyeri Kanker.
Indonesian Journal of Cancer 3:121-123.
Raphael J et al. 2010. Cancer Pain: Part 1: Pathophysiology; Oncological,
Pharmacological, and Psychological Treatmens: A Perspective from
the British Pain Society Endorsed by the UK Association of Palliative
Medicine and the Royal College of General Practitioners. Journal of
Pain Medicine Wiley Periodicals,11: 742-764.
Rodriguez, L. 2015. Pathophysiology of Pain : Implications for
Perioperative Nursing. AORN Journal (101) : 338-342
Updating the definition of pain.Williams AC, Craig KD. Pain. 2016
Nov;157(11):2420-2423.PMID: 27200490
Vacanti, C.A et all. 2011. Essential Clinical Anaesthesia. Cambridge
University Press
World Health Organization. 2019. WHO's cancer pain ladder for adults.
https://www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/.

36

Anda mungkin juga menyukai