Oleh:
Tika Ayu Sawaswati
NIM. 170070201011166
Pembimbing:
Dr. dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An, FIPM
2
Nyeri kronis dapat berlangsung tiga bulan atau lebih lama tanpa
diketahui penyebabnya dan mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-
hari. Nyeri kronis dapat terjadi tanpa trauma yang mendahului, dan
seringkali tidak dapat ditentukan adanya gangguan sistem yang
mendasari bahkan setelah dilakukannya observasi dalam jangka waktu
yang lama (Gupta R, 2014).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama,
yaitu sensorik (fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik
merupakan mekanisme neurofisiologi yang menerjemahkan sinyal
nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas, lokasi, dan
kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen
yang menentukan berat ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat
mengawali kelainan emosi seperti cemas dan depresi jika menjadi nyeri
kronik, serta diperankan oleh rangsangan nosiseptik melalui penggiatan
sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil pengobatan
yang tidak jelas, dan dukungan sosial/keluarga). Nyeri bersifat sangat
subyektif. Terlepas dari ada tidaknya kerusakan jaringan, nyeri sebaiknya
diterima sebagai keluhan yang harus dipercaya (Alaa Abd, 2019).
4
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari
1 atau 6 bulan setelah onset atau melewati perkiraan periode
penyembuhan. Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten dan
menetap sepanjang suatu periode waktu (American Pain Society, 2014).
Klasifikasi nyeri dapat berdasarkan waktu, yaitu: nyeri akut dan kronis dan
dapat berdasarkan etiologi, yaitu: nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik
(Rodriguez, 2015).
Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik (Williams AC, 2016)
Aspek Nyeri Akut Nyeri Kronik
Lokasi Jelas Difus, menyebar
Deskripsi Mudah Dijelaskan Sulit dijelaskan
Durasi Cepat / Pendek Berlangsung terus menerus
Fisiologis Kondisi Alert (BP,HR↑) Muncul puncak2 nyeri
Istirahat Mengurangi nyeri Memperburuk nyeri
Mood Ansietas, Takut Depresi, rasa bersalah,
iritabilitas,marah, frustasi, putus
asa
Toleransi Terkendali Kurang terkendali
Nyeri
Pengobatan Mencari penyebab dan Fokus pada fungsi dan
mengobati management nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang
cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai
berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat
5
(Gunawan, 2011). Nyeri akut berdurasi singkat kurang lebih
7 hari dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area
yang rusak pulih kembali (Gunawan, 2011).
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung
lebih dari 3 atau 6 bulan setelah onset atau melewati
perkiraan periode penyembuhan. Nyeri kronik adalah nyeri
konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu (American Pain Society, 2014).
6
biasanya tidak terlokalisasi dan difus. Nyeri ini digambarkan seperti
tertusuk jarum, kesemutan, terbakar atau tajam (Alaa Abd, 2019).
Penyebab yang sering ditemukan yaitu trauma, inflamasi, dan penyakit
metabolik (diabetes), infeksi (herpes zoster), tumor, toksin dan penyakit
neurologis primer (American Pain Society, 2014) Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap
analgesik opioid (Rodriguez, 2015).
3. Cancer Pain
Rheumatoid arthritis
7
osteoarthritis
fibromyalgia
low back pain
intermittent claudication
dysmenorrhea
mechanical neck disorder,
spinal cord injury
post-polio syndrome,
patellofemoral pain
Tabel 2 Contoh Nyeri Kronik Nonkanker (Canadian Guidline for opioids for chronic
cancer 2017)
2.3.1 Transduksi
8
Reseptor nyeri pada kulit dan jaringan lain adalah berupa ujung
saraf bebas. Tersebar luas pada lapisan superfisial kulit dan pada jaringan
tertentu di dalam tubuh, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan
sendi, falx, dan tentorium dalam tengkorak. Nyeri dapat dipicu oleh tiga
macam stimulus, yaitu mekanik, termal, dan kimiawi. Stimulus-stimulus
tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan dan intensitas nyeri
sangat berkaitan dengan tingkat kerusakan jaringan yang terjadi.
Beberapa zat kimia yang dapat menyebabkan nyeri di antaranya adalah
bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim-
enizm proteolitik. Selain itu, prostaglandin dan substance P dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri, tetapi tidak secara langsung
memicu nyeri. Zat- zat kimia tersebut berperan dalam menstimulasi nyeri
setelah terjadi kerusakan jaringan, misalnya karena infeksi bakteri atau
iskemia (Rodriguez, 2015). Proses transduksi diartikan seabgai respon
nosiseptor (reseptor nyeri) perifer terhadap trauma atau stimulasi yang
berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan selular
menyebabkan pelepasan ion hidrogen dan kalium serta asam arakidonat
(AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan AA menyebabkan
pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengubah AA
menjadi prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin G2 (PGG2), dan
prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion H+, dan K+ mengawali
terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
edema dan nyeri pada tempat yang rusak (Rodriguez, 2015).
2.3.2 Transmisi
Setelah memasuki medulla spinalis, impuls nyeri terbagi menjadi
dua jaras, yaitu tractus neospinothalamicus untuk nyeri cepat dan tractus
paleospinothalamicus untuk nyeri lambat. Akson dari neuron di lamina I
yang membentuk tractus neospinothalamicus menjadi bagian sistem
anterolateral. Serabut-serabut saraf tersebut naik ke otak. Sebagian
serabut berkahir pada formatio reticularis batang otak, tetapi sebagian
besar serabut berakhir di nukleus ventral posterolateral thalamus. Dari
sini, neuron-neuron berjalan ke korteks somatosensoris primer. Berbeda
9
dari traktus neospinothalamicus, serabut-serabut dari traktus
paleospinothalamicus lebih banyak yang berakhir di batang otak daripada
thalamus. Sebagian besar neuron berakhir pada formatio reticularis,
colliculus superior, dan periaqueductal gray (Rodriguez, 2015).
2.3.3 Modulasi
Modulasi merupakan mekanisme hambatan terhadap nyeri di
dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan di tingkat yang lebih tinggi di
batang otak dan mesensefalon. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja
inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang
dilepaskan dari interneuron spinal dan dari ujung terminal akson.
Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE) dan
gamma aminobutyric acid (GABA). Analgesik endogen ini mengaktifkan
reseptor opioid, alfa adrenergik, dan reseptor lain, yang menghambat
pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi
pos sinaptik dari neuron orde ke dua (Hall, 2015).
2.3.4 Persepsi
10
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers) (Australian and New Zealand College
of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi
ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai
komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia saja
tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Australian and New
Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).
2.4.2 Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan system nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral
dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri
setelah cedera. Sensitisasi sentral memasilitasi dan memperkuat transfer
sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla sipnalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molecular neuron (transcription dependent)
(Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain
Medicine, 2010).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas system
syaraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input
(kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan
yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif ke dalam medulla
spinalis. Reaksi ini akan menyebabkan jaringan saraf di dalam medulla
spinalis menjadi hiperesponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri
akibat stimulus non noksius dan daerah yang jauh dari jaringan cedera
juga menjadi sensitif terhadap rangsangan nyeri (Australian and New
11
Zealand College of Anesthetics and Faculty Pain Medicine, 2010).
Kelebihan VAS :
12
Gambar 2.2 VAS (Visual Analog Score)
Kelebihan VRS :
13
Gambar 2.3 VRS (Verbal Rating Scale)
Kelebihan NRS :
14
Gambar 2.4 NRS (Numeric Rating Scale)
Kelebihan :
15
2.5.5 Functional Activity Scale
Untuk menilai dampak fungsional nyeri akut. Skala ini mengukur
apakah pasien dapat melakukan aktivitas yang sesuai dengan rasa
nyeri yang terkait. Pasien diminta untuk melakukan aktivitas dengan
bantuan asisten. Tiga tingkat aktivitas yang dinilai :
No limitation : skor 0 – 3; Dapat mengontrol nyeri secara
optimal
Mild limitation : skor 4 – 10; Hasil fungsional adekuat,
diperlukan bantuan lebih lanjut
Significant limitation : tidak dapat menyelesaikan aktivitas,
tidak dapat mengontrol nyeri (Gupta R,2014)
Kelebihan :
- Mudah
- Dapat digunakan untuk semua kondisi akut
- Membantu dalam perencanaan pengobatan
Kekurangan :
16
Gambar 2.6 Univesal Pain Assessment Tool
17
Strategi non farmakologis harus melengkapi, tetapi tidak
menggantikan, penggunaan obat-obatan. Selain menambah penghilang
rasa sakit efek analgesik, nonfarmakologi pendekatan menawarkan
keuntungan lain. Sebagai contoh, mereka dapat meningkatkan suasana
hati, mengurangi kecemasan, meningkatkan rasa kontrol pasien,
memperkuat kemampuan mengatasi, membantu tidur, mengendurkan
otot, dan meningkatkan kualitas hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan pendekatan nonfarmakologis untuk manajemen nyeri termasuk
jenis rasa sakit, durasi, dan tingkat keparahan; preferensi pasien,
mengatasi keterampilan, dan kemampuan; ketersediaan dukungan (mis.,
anggota keluarga); ketersediaan peduli dalam komunitas; dan biaya
(Berger R, Cooney W, Simmons B, et al,1999).
a. Pendekatan Psikologis
Intervensi psikologis yang digunakan dalam manajemen nyeri
termasuk manajemen kontingensi, kognitif terapi perilaku, biofeedback,
relaksasi, citra, dan psikoterapi. Beberapa metode (misalnya, relaksasi,
citra) sederhana dan dapat diajarkan cepat, sedangkan yang lain
membutuhkan lebih banyak waktu. Bahan pendidikan pasien (misalnya,
dicetak lembar instruksi, audiotape) dapat melengkapi, tetapi tidak
menggantikan, upaya dokter untuk menginstruksikan pasien dalam
metode ini(Berger R, Cooney W, Simmons B, et al,1999).
b. Rehabilitasi Fisik
Pendekatan Metode rehabilitasi fisik manajemen nyeri sesuai untuk
banyak jenis rasa sakit dan sangat penting pada pasien dengan CNCP.
Selain menghilangkan rasa sakit, metode tersebut bisa mengurangi
ketakutan dan kecemasan, meningkatkan fungsi fisik, dan mengubah
respons fisiologis terhadap rasa sakit. Perawatan yang digunakan dalam
rehabilitasi fisik termasuk peregangan, latihan / rekondisi (meningkatkan
kekuatan, daya tahan, dan fleksibilitas), pelatihan gaya berjalan dan
postur, dan perhatian ergonomi dan mekanika tubuh (Ray A,2001). Non-
invasif lainnya perawatan fisik untuk rasa sakit termasuk termoterapi
(aplikasi panas), cryotherapy (aplikasi dingin), kontra-iritasi, dan
18
electroanalgesia (misalnya, listrik transkutan stimulasi) (Ray A,2001).
Dalam beberapa kasus, pasien memilih untuk mengejar non-alopati
(alternatif perawatan) seperti akupunktur atau terapi pijat.
c. Pendekatan Bedah
Sebagian besar rasa sakit dapat dikelola oleh non-invasif
sederhana metode. Namun, lebih bersifat invasif pendekatan, termasuk
operasi, kadang-kadang dibutuhkan. Pendekatan ortopedi untuk
manajemen nyeri termasuk nonsurgical ("konservatif") pendekatan dan
berbagai operasi (mis., penggantian total sendi, laminektomi, fusi tulang
belakang).
2.6.2 Farmakologi
19
Pengobatan nyeri harus disesuaikan dengan penilaian individu pada
pasien. Dalam penanggulangan nyeri, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) telah merumuskan beberapa prinsip:
20
tingkat transkripsi seluler, independen dari aktivitas
siklooksigenase.1 Salah satu mekanisme parasetamol yang
muncul dihubungkan ke sistem serotonergik, memungkinkan
obat lain dengan efek serotonergik dapat mempengaruhi
nyeri yang timbul.
Presentasi: sediaan parasetamol adalah 500 mg tablet saja
dan dikombinasi dengan opioid lemah. Tersedia dalam
bentuk oral / rektal dan intravena. Dosis dewasa adalah 15-
20 mg / kg dan dapat diberikan 4 jam dengan dosis
maksimum 90 mg / kg / hari. Dosis maksimal adalah
4000mg/hari (Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Efek samping: dapat ditoleransi dengan sedikit efek
samping dan kontraindikasi. Sejak dimetabolisme dalam hati,
setiap bentuk gangguan hati harus mendapat perhatian
khusus.
2. NSAID
NSAID secara luas digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang dan juga untuk mengurangi konsumsi opioid dalam periode
perioperatif. (Jones,2013)
Cara kerja: aksi utama dari NSAID adalah dengan
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga
mencegah produksi baik prostaglandin (anti-inflamasi) dan
tromboksan (Agregasi platelet) dari membran fosfolipid.
Terdapat dua isoenzim siklooksigenase (COX), COX-1 dan
COX-2. COX-1 (bentuk konstitutif) bertanggung jawab untuk
memproduksi prostaglandin yang mengontrol aliran darah
ginjal, fungsi hemostasis dan melindungi mukosa. COX-2
(Bentuk diinduksi) diproduksi dalam menanggapi kerusakan
jaringan dan memfasilitasi respon inflamasi. Mereka juga
bertindak sebagai antipiretik dalam kaitannya dengan
penghambatan prostaglandin yang diproduksi di sentral.
21
Tabel 2.8 Dosis Obat NSAID
1. Kodein
Cara kerja : aktivasi reseptor opioid terkait dengan
hyperpolarization pada tingkat sel. Obat-obatan opioid
menghasilkan efek analgesik dengan mengurangi rangsangan
saraf dan penghambatan pelepasan neurotransmitter dari
terminal aferen primer di sumsum tulang belakang dan aktivasi
penghambatan kontrol secara menurun di otak tengah. Opioid
lemah yang sering digunakan adalah kodein dan tramadol,
22
yang digunakan oleh WHO untuk pengobatan langkah 1 pada
langkah 2.
Presentasi : Kodein banyak digunakan secara oral dalam dosis
30-60 mg pada interval 4-6 jam sampai dosis maksimum 240
mg / hari. Tersedia juga dalam kombinasi dengan parasetamol
(Co-codamol) dalam berbagai kekuatan.
Cara kerja : khas opioid jenis apapun (misalnya sembelit,
mual). Penggunaan kodein dan dihydrocodeine terbatas saat
operasi usus dan merugikan karena efeknya yaitu sembelit.
NNT yang tinggi dan profil efek samping yang terbatas
bermanfaat pada nyeri pasca operasi.
2. Tramadol
Cara kerja : tramadol memiliki afinitas untuk reseptor opioid
dan juga menghambat sinap noradrenalin dan reuptake
serotonin (5-HT), sementara itu juga merangsang pelepasan
presinaptik 5-HT. Terdapat jalur alternatif untuk analgesik yang
melibatkan penghambatan jalur desenden pada sumsum tulang
belakang. Hal ini menyebabkan berkurangnya depresi
pernafasan dan sembelit pada dosis relatif equianalgesic
terhadap morfin.
Presentasi : tersedia dalam 50/75/100 mg. Dosis: 2 mg/kg
(Max 8 mg/kg/hari)
Efek samping : memiliki potensi untuk berinteraksi dengan
obat-obatan yang menghambat pusat 5-HT atau re-uptake
noradrenalin (misalnya trisiklik antidepresan, serotonin selektif
re-uptake inhibitor) yang menghasilkan kejang dan harus
dihindari pada pasien epilepsi.
Opioid Kuat
1. Morfin
Morfin adalah jenis obat lini pertama jika ada indikasi
pemberian opioid. Mulai dengan dosis kecil immediate release
23
(IR) PO: 2,5 – 5 mg tiap 4 jam. Kemudian lakukan titrasi sampai
dosis yang diperlukan. Tetap gunakan IR morfin untuk nyeri
renjatan dan nyeri insiden dengan dosis 1/6-1/10 total dosis 24
jam. Jika nyeri renjatan atau incident terjadi, dosis harian
(dosis dasar) tetap diberikan sesuai jadwal. Dosis morfin perlu
dinaikkan 30% – 50% jika efek morfin hanya sebagian atau
durasinya sebentar. Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50%
jika efek samping yang muncul persisten. Dosis harian perlu
dinaikkan, bila renjatan nyeri terjadi 3x atau lebih dalam sehari,
dengan menjumlahkan dosis harian dan jumlah dosis renjatan
untuk hari berikutnya. Gantikan IR morfin dengan sustained
release (SR) morfin segera setelah dosis yang diperlukan
tercapai: dosis 24 jam immediate release dibagi 2 untuk
diberikan 2x sehari. SR morfin mempunyai kelebihan seperti
tidak perlu minum di tengah malam, efek samping mengantuk
dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih dapat diterima.
Berikan dosis SR pertama bersamaan dengan dosis IR terakhir.
Tablet SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus ditelan utuh
agar memiliki efek kerja dan durasi yang diinginkan. Bila
pasien tidak dapat menelan, tablet dapat diberikan per rektal
dengan dosis yang sama.
Efek samping : pemberian morfin adalah sedasi, konstipasi,
dan mual. Sedasi yang berlebihan dapat diberikan
dextroamphetamine atau methylphenidate 5 mg setiap pagi.
Konstipasi dapat diberikan stool softener seperti senna,
cascara, mangnesium sitrat, atau lactulosa. Mual dapat
diberikan metoclopramide per oral (Lukman, 2007).
2. Fentanyl
Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping
terhadap susunan saraf pusat lebih sedikit dibanding dengan
morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan. Pemberian dapat melalui
transdermal atau parenteral. Pemberian IV atau SK memiliki durasi
24
singkat sehingga dapat digunakan untuk nyeri renjatan.
Kekurangan fentanyl adalah: tidak memiliki bentuk oral, dosis yang
besar tidak dapat diberikan melalui SK karena memiliki volume
yang besar, efek onset yang lama (18-24 jam), dosis transdermal
terbatas (12,5; 25; 50; dan 100 mikrogram/jam) dan tidak dapat
dipotong untuk mendapatkan dosis yang lebih kacil. Kekurangan
yang lain adalah bila pasien berkeringat, bentuk transdermal
mungkin kurang bermanfaat. Bila menggunakan transdermal, dosis
dasar opioid harus tetap diberikan pada 12 – 18 jam pertama.
Dosis equivalen untuk 25 mikrogram/jam trandermal fentanyl
adalah 60 – 100 mg oral morfin/24 jam (Kementrian Kesehatan RI,
2013)
25
2.6.3 Obat Ajuvan
Adjuvant ini mungkin dibutuhkan dalam menghilangkan efek
samping dari analgetik (contoh: antiemetic dan laksatif), Sebagai
antinyeri (contoh: kortikosteroid pada kompresi tulang belakang),
Sebagai terapi untuk gangguan psikologis seperti insomnia,
depresi, dan anxietas (contoh: sedasi pada malam hari, anxiolitik,
dan antidepresi) (Jones,2013)
Reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (misalnya ketamin,
dextromethorphan, amantadine, magnesium) telah digunakan
dalam nyeri akut untuk memodifikasi sensitisasi sentral pada
sumsum tulang belakang. Efek utama ketamin dosis rendah adalah
sebagai antihyperalgesic, Antiallodynic dan antitolerance agen.
Akibatnya, peran utama ketamine ini adalah sebagai adjuvant
dalam pengobatan nyeri yang terkait dengan pusat sensitisasi
seperti nyeri akut parah, nyeri neuropatik dan nyeri yang resisten
terhadap opioid. Ketamin perioperatif bersifat mencegah, tapi tidak
mendahului efek analgesik dengan segera pada pasca operasi
(Jones,2013).
Gabapentinoids (gabapentin / pregabalin) telah terbukti
meningkatkan analgesik dan mengurangi konsumsi opioid pasca
operasi, bersama dengan mengurangi muntah dan pruritus. Insiden
sedasi meningkat dibandingkan dengan plasebo. Efek dari
gabapentin tidak tampak bergantung pada dosis antara 300-1200
mg.
Perioperatif intravena (IV) lignocaine (lidokain) infus dapat menjadi
opioid-sparing dan secara signifikan mengurangi skor nyeri, mual,
muntah dan durasi ileus hingga 72 jam setelah operasi perut,
berkontribusi untuk mengurangi masa tinggal di rumah sakit. 1
Penggunaan a-2-agonis sistemik (misalnya klonidin) secara
konsisten meningkatkan analgesia opioid perioperatif tetapi
frekuensi dan keparahan efek samping (bradikardia, hipotensi)
dapat membatasi kegunaan klinisnya (Jones,2013).
26
2.7 Cancer Pain
1. Cancer Treatment-Related Chronic Neuropathic Syndromes
Pada pasien dengan kanker yang melaporkan nyeri jenis apa pun, 18,7-
21,4% mengalami nyeri neuropatik karena pengobatan kanker, beberapa
hal yang menyebabkannya adalah:
A. Prosedur pembedahan
Tingkat nyeri neuropatik tertinggi dikaitkan dengan cedera saraf atau
pembentukan bekas luka yang dihasilkan dari manajemen bedah.
Terlepas dari jenis operasi, neuroma pascaoperasi, yang berkembang
karena cedera saraf yang diinduksi operasi, atau dari bekas luka dan
edema jaringan, merupakan sumber umum dari nyeri neuropatik di
antara survivor kanker.
27
B. Terapi Radiasi
Terapi radiasi sering mengarah ke nyeri neuropatik kronis karena
peradangan saraf dan jaringan parut. Pasien dengan kanker payudara
yang menjalani perawatan radiasi, 21- 65% akan mengalami nyeri
neuropatik kronis terkait radiasi yang dapat secara signifikan
mengganggu status fungsional dan kualitas hidup, dan dapat terjadi di
mana saja dari 6 bulan hingga 17 tahun setelah perawatan.
C. Kemoterapi
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri
neuropatik akibat kemoterapi khususnya sangat mengganggu kualitas
hidup penderita, dan penggunaan obat sitostatika semakin dikenal
menyebabkan neuropati perifer. Mekanisme agen kemoterapi (seperti
paclitaxel dan vinkristin) menyebabkan neuropati perifer diantaranya
karena kemampuan mereka merusak fungsi tubulin. Polimerisasi
tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik, dan obat-obat
yang terkait proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron sensorik
serta pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamatorik yang secara langsung
mensensitisasi nosiseptor aferen primer. Kebanyakan neuropati yang
diinduksi kemoterapi bergantung pada dosis. Pasien kanker dengan
neuropati perifer sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes,
penyakit pembuluh darah iskemik, atau defisiensi nutrisi, beresiko besar
menderita neuropati perifer setelah kemoterapi. Kemoterapi dapat
menyebabkan nyeri neuropatik oleh karena kerusakan luas pada saraf
perifer dari terapi obat neurotoksik (Emril, 2017).
28
medulla spinalis. Sinyal selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih
tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik sampai ke otak
setidaknya melalui dua jalur medula spinalis – traktus spinothalamikus
dan kolumna dorsalis. Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan
neurotransmitter seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP),
endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi nosiseptor juga
menyebabkan pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf
sensorik, yang menginduksi ekstravasasi plasma, rekruitmen dan
aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi (Emril, 2017).
29
BAB III
LAPORAN KASUS
30
E : pasien mengeluh nyeri di sela sela tulang iga
P: Nyeri timbul terutama saat pasien batuk dan bergerak miring
kiri-kanan.
Q: Nyeri seperti ditusuk-tusuk
R: Nyeri di Thorax anterior. Memberat dengan posisi miring,
berkurang dengan posisi duduk.
S: NRS diam 1-2, NRS kambuh 2-3
T: Nyeri dirasakan hilang timbul tidak ada waktu kambuh
tertentu.
3.3.1 Assessment
Chronic Cancer pain
31
BAB IV
PEMBAHASAN
32
bebas dari rasa sakit. Untuk menenangkan ketakutan dan kegelisahan,
obat-obatan tambahan - "pembantu" - harus digunakan. Untuk menjaga
kebebasan dari rasa sakit, obat-obatan harus diberikan "by time", yaitu
setiap 3-6 jam, daripada "by demand". Pendekatan tiga langkah ini
dengan pemberian obat yang tepat dalam dosis yang tepat pada waktu
yang tepat adalah murah dan 80-90% efektif.
Karena sifat kompleks dari etiologi nyeri kanker, agen
farmakoterapi digunakan sebagai bagian dari rejimen pengobatan.
Nonopioid, seperti acetaminophen dan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang. opioid
efektif untuk nyeri sedang-berat.pada pasien ini dengan pemeriksaan NRS
pasien mengatakan sekitar 7-8 dengan intepretasi “worst possible pain”,
sehingga pasien perlu mendapatkan terapi golongan opioid. Pasien
mendapat terapi Amitripilin 0-0-12,5mg, dan Paracetamol 3 x 1 g IV.
Berdasarkan teori Step lader WHO, pasien mendapatkan NSAID
berupa parasetamol, serta terpai adjuvant antidepresan berupa
amitripillin.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Luanpitpong, S., & Rojanasakul, Y. 2012. Chemotherapy Induced
Alopecia Topics in Cancer Survivorship. Journal of Europe: In Tech.
ISBN: 978-953.
Lukman, Gardian. 2007. Tata Laksana Farmakologis Nyeri Kanker.
Indonesian Journal of Cancer 3:121-123.
Raphael J et al. 2010. Cancer Pain: Part 1: Pathophysiology; Oncological,
Pharmacological, and Psychological Treatmens: A Perspective from
the British Pain Society Endorsed by the UK Association of Palliative
Medicine and the Royal College of General Practitioners. Journal of
Pain Medicine Wiley Periodicals,11: 742-764.
Rodriguez, L. 2015. Pathophysiology of Pain : Implications for
Perioperative Nursing. AORN Journal (101) : 338-342
Updating the definition of pain.Williams AC, Craig KD. Pain. 2016
Nov;157(11):2420-2423.PMID: 27200490
Vacanti, C.A et all. 2011. Essential Clinical Anaesthesia. Cambridge
University Press
World Health Organization. 2019. WHO's cancer pain ladder for adults.
https://www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/.
36