Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
inayahnya kepada kita sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tanpa
kendala apapun.

Sholawat bertangkaikan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah mengangkis kita dari lembah kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni
agama Islam yang kita peluk bersama.

Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Mata Kuliah Fiqh
Kontemporer dan teman teman yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, maka dari itu apabila
ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon kritik saran, guna perbaikan
dalam pembuatan tugas makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita khususnya kami pribadi.

Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Bangkalan, 14 Februari 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap pria dan wanita yang telah menganut agama Islam dituntut supaya seluruh
aspek kehidupannya harus berada dalam tatanan dan tuntunan ajaran Islam secara utuh,
termasuk dalam hal berpakaian. Ketentuan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
merupakan patron batasan berpakaian dan bentuk pakaian seseorang muslim dan muslimah.
Pakaian bagi orang Islam bukan hanya sebagai kebutuhan pokok untuk melindungi tubuhnya
dari sengatan matahari, terlindungi dari kedinginan, menjadi perisai dari sentuhan dan
sengatan binatang berbisa atau beracun dan terhindar dari terkena najis secara langsung ke
tubuhnya, juga berfungsi sebagai penutup aurat. Dengan berpakaian menutup aurat seseorang
muslim atau muslimah akan lebih terhormat kehidupannya dan akan terhindarnya dari godaan
perbuatan yang tidak terpuji, seperti perbuatan mesum yang sering diincar oleh para pelaku
maksiat.

Islam menuntut umatnya supaya selalu menutup aurat. Aurat pria atau orang laki-laki
yang sudah dikenal baik oleh mayoritas umat Islam adalah antara pusar sampai kedua
lututnya. Sedangkan aurat wanita atau perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah
(muka) dan kedua telapak tangannya. Aurat secara bahasa adalah berasal dari bahasa Arab
al-‘Awrah, yang diartikan dengan segala perkara yang dapat menimbulkan rasa malu.1
Menurut istilah, aurat adalah segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang merasa malu
atau marasa ‘aib, baik pada bagian tubuh, perkataan, sikap ataupun tinadakan. Dengan kata
lain, aurat adalah bagian dari tubuh seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain
dengan pakaian, berupa kain, atau kulit dan seumpamanya, dan menampakkan aurat bagi
seseorang muslim atau muslimah dianggap melanggar ketentuan syari’at Islam dan dihukum
sebagai perbuatan dosa.

Berkaitan dengan batasan aurat wanita terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa aurat wanita muslimah adalah keseluruhan tu

buhnya, termasuk wajah dan kedua telapak tangannya serta kedua telapak kakinya. Mereka
mendasari pendapatnya dari pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an surat al-Ahzab ayat
53 yang artinya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (min waraai al-hijaab) ; Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” Dasar yang kedua yang dijadikan dalil oleh mereka

adalah hadits Rasulullah SAW yang diinformasikan oleh Ibnu Mas’ud dimana Rasulullah
SAW bersabda:

“Wanita adalah aurat, apabila ia keluar dari rumahnya maka syaitan mengikutinya. Dan
tidaklah ia lebih dekat kepada Allah (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya.” (HR. At-
Turmudzi).

Dengan mendasari argumen dan pendapat ulama yang pertama yang menganggap
aurat wanita muslimah adalah keseluruhan tubuhnya maka munculnya atribut pakaian wanita
yang disebut cadar atau niqab dalam bahasa Arab sebagai bagian dari jilbab untuk menutupi
wajahnya. Cadar yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai bagian dari pakaian wanita
muslimah untuk menutup aurat itu, justeru akhir-akhir ini telah menjadi sorotan tajam oleh
segelintir umat Islam, termasuk aparat keamanan di Indonesia. Pro-kontra terhadap wanita
bercadar terus bergulir dan menjadi hangat diperbincangkan di pelbagai media massa.
Sebagian umat Islam ada yang menganggap aneh bahkan merasa tidak senang terhadap
wanita terbuka wajahnya. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim pemakaian cadar
sebagai budaya Arab Jahiliyah yang masih dijunjung tinggi oleh sebagian wanita muslimah
zaman sekarang.

Dengan terjadinya pro-kontra terhadap pemakaian cadar bagi wanita muslimah dan
adanya sorotan dari sebagian orang Islam terhadap asal usul cadar dan ada pandangan sinis
terhadap wanita bercadar maka timbullah pertanyaan, bagaimanakah proses kesejarahan
pemakaian cadar di kalangan wanita muslimah? Kemudian, bagaimanakah pendapat para
mufassirin dan fuqaha’ terhadap pemakaian cadar bagi wanita muslimah

B. Rumusan Masalah
1. Definisi Cadar
2. Sejarah Tentang Cadar
3. Hukum Memakai Cadar
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI CADAR
Cadar (bahasa Arab: ‫نِق اب‬, niqāb) adalah kain penutup kepala atau wajah (bagi
perempuan).[1] Niqab adalah istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk
menutupi bagian wajah. Cadar dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai
kesatuan dengan jilbab (hijab). Cadar banyak dipakai wanita di negara-negara Arab sekitar
Teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Biasanya juga ditemukan dan digunakan oleh wanita di negara Pakistan, dan beberapa
wanita Muslim di negara Barat.

B. SEJARAH PEMAKAIAN CADAR

di Indonesia mengatakan bahwa memakai pakaian tertutup bagi kaum wanita,


termasuk cadar bukanlah berasal dari budaya masyarakat Arab.5 Menurut Hasan al-‘Audah,
orang-orang Arab jauh sebelum lahirnya agama Islam meniru orang- orang Persia yang
menganut agama Zoroaster yang menilai kaum wanita sebagai makhluk yang tidak suci dan
oleh sebab itu mereka harus menutup mulut dan hidungnya dengan kain atau sejenisnya agar
nafas mereka tidak mengotori api suci, api sesembahan bangsa Persia kuno.6 Senada dengan
itu, Murtadha Muthahari, seorang ulama dan filosof kontemporer Iran mengatakan bahwa
pakaian tertutup, termasuk cadar telah lama dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno jauh
sebelum lahirnya agama Islam di jazirah Arab. Pakaian tertutup seluruh badan wanita,
termasuk cadar sudah membudaya pada masyarakat Sasanid Persia.7

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, niqab (cadar) sebagai bagian dari salah satu
jenis pakaian yang dipakai oleh sebagian wanita Arab telah ada jauh sebelum lahirnya agama
Islam dan terus berlanjut digunakan oleh sebagian wanita muslimah di masa Islam. Ketika
turunnya ayat 59 surat al-Ahzab yang memerintahkan agar memakai pakaian menutup aurat
atau berhijab kepada istri- istri Nabi, para putrinya dan para wanita muslimah pada tahun ke-
5 Hijriyah, sebagian wanita Arab telah menggunakan niqab (cadar) sebagai salah satu jenis
pakaian yang menutupi wajah mereka. Dengan turunnya al-Ahzab ayat 59 surat an-Nur ayat
31, yang memerintahkan para wanita muslimah berhijab, menurut Abu Syuqqah, Rasulullah
SAW tidak membatalkan pemakaian cadar dan tidak pula mengesahkan dengan sunnah
qawliyah-nya sebagai kewajiban pemakaian cadar bagi wanita muslimah.8
Untuk memperkuat argumentasinya Abdul Halim Abu Syuqqah mengutip hadits yang
diinformasikan oleh Aisyah RA bahwa ia berkata yang artinya: “Pada saat Rasulullah SAW
tiba di Medinah ketika beliau menikahi Shafiyah Binti Huyai, perempuan-perempuan Anshar
datang mengabarkan keda tangan Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah SAW menatap
kedua mataku dan mengenaliku. Lantas aku memalingkan mukaku sembari menghindar dan
berjalan dengan cepat. Kemudian Rasulullah SAW menyusulku.” Demikian kata Aisyah
RA.” (HR. Ibnu Majah). Dengan mendasari pada hadits ini Abu Syuqqah menyatakan bahwa
niqab (cadar) sudah ada di masa awal Islam, hanya saja cadar itu dipakai oleh sebagian
wanita muslimah di masa itu. Selanjutnya Abu Syuqqah mengatakan bahwa dalam redaksi
riwayat Aisyah di atas dibaringi dengan kata “tanakkur” (menyamarkan diri dari orang lain),
ini dipakai oleh wanita muslimah zaman sekarang, akan tetapi dalam bentuk lain, seperti
ditutupi dengan ujung jilbabnya.

Jilbab bagi wanita muslimah di Indonesia sudah dikenal sejak lama karena banyak
ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Timur Tengah, terutama di kota suci Mekkah
memperkenalkan pemakaian jilbab kepada para wanita muslimah sepulangnya mereka ke
tanah air. Bahkan ada pula di antara para wanita Arab memakai cadar.9 Sejak awal abad ke-
19 pemakaian jilbab bagi wanita muslimah telah diperjuangkan oleh gerakan Paderi di
kalangan masyarakat Minangkabau. Pada waktu itu masyarakat Minangkabau kurang
menghiraukan pengamalan syari’at Islam, dan di masa itu aktivitas kemaksiatan pun terjadi di
mana-mana. Untuk mengantisipasi tindakan-tindakan maksiat yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat, maka para ulama Paderi sepakat memutuskan untuk menetapkan dan
menerapkan syari’at Islam di Minangkabau, termasuk membuat dan menerapkan aturan
pemakaian jilbab bagi wanita muslimah. Tindak lanjut dari penerapan aturan pemakaian
jilbab telah membangkitkan kesadaran sebagian wanita muslimah di Minangkabau
menggunakan jilbab yang melekat dengan cadar.10 Dari sinilah diduga sebagai awal mula
pemakaian cadar di kalangan kaum wanita di Nusantara, yang kini telah menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia

C. HUKUM MEMAKAI CADAR

Madzhab Hanafi

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya
sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:

‫ وهو المختار‬، ‫وجميع بدن الحرة عورة إال وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في األصح‬

“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak
tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“
(Matan Nuurul Iidhah)

* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:

‫ؤدي إلى‬nn‫ا ي‬nn‫ وإنم‬، ‫ وليس بعورة على األشبه‬،‫ وكذا صوتها‬، ‫ وقدميها في رواية‬، ‫وجميع بدن الحرة عورة إال وجهها وكفيها‬
‫ ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة‬، ‫الفتنة‬

“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu
riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika
dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan
wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)

* Al Allamah Al Hashkafi berkata:

‫ بل يندب‬، ‫ ولو َس َدلَت شيئًا عليه َو َجافَتهُ جاز‬، ‫ لكنها تكشف وجهها ال رأسها‬، ‫والمرأة كالرجل‬

“Wanita sama seperti lelaki. Namun wanita (ketika ihram) itu membuka wajahnya namun
tidak boleh membuka kepalanya. Andaikan seorang wanita menjulurkan kain untuk menutupi
wajahnya dan menjauhkan kain tersebut (dari wajahnya), itu boleh, bahkan dianjurkan” (Ad
Durr Al Mukhtar, 2/189).

Dalam penjelasan beliau ini menunjukkan ketika ihram, asalnya wanita membuka wajah,
namun dianjurkan bagi dia untuk menjulurkan kain dari atas kepala, kemudian dijauhkan dari
wajah agar wajah tetap tertutup namun juga tidak terkena larangan memakai niqab.

* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:

‫ ألنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة‬، ‫تُمنَ ُع من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة‬

“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki,
kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya
dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)

* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:


‫ تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة‬: ‫قال مشايخنا‬

“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan
wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan
fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)

Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana
dengan zaman kita sekarang?

Madzhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar
hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

* Az Zarqaani berkata:

َّ
‫ان‬n‫ه والكف‬nn‫ا الوج‬n‫ وأم‬. ‫تها‬n‫وقص‬ ‫ا‬n‫تى دالليه‬n‫ ح‬، ‫دها‬nn‫ع جس‬nn‫ه والكفين من جمي‬n‫وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوج‬
، ‫رم‬n‫ذة فيح‬n‫د ل‬n‫ة أو قص‬n‫وف فتن‬n‫ إال لخ‬، ‫هادة أو طب‬n‫ذر من ش‬n‫ابة بال ع‬n‫ فله رؤيتهما مكشوفين ولو ش‬، ‫ظاهرهما وباطنهما‬
‫ كما للفاكهاني والقلشاني‬، ‫كنظر ألمرد‬

“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak
tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam,
boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik
sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau
lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya
melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh
Mukhtashar Khalil, 176)

* Ibnul Arabi berkata:

‫ون‬nn‫ أو داء يك‬، ‫ا‬nn‫هادة عليه‬nn‫ كالش‬، ‫ة‬nn‫ أو لحاج‬، ‫رورة‬nn‫ك إال لض‬nn‫ف ذل‬nn‫وز كش‬nn‫ فال يج‬، ‫وتها‬nn‫ وص‬، ‫ بدنها‬، ‫والمرأة كلها عورة‬
ُّ َ‫ أو سؤالها عما ي‬، ‫ببدنها‬
‫عن ويعرض عندها‬

“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh
menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian
atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang
dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:

‫ا‬nn‫ فعليه‬، ‫ة‬nn‫ا الفتن‬nn‫ا وكفيه‬nn‫ف من وجهه‬nn‫ إن المرأة اذا كانت جميلة وخي‬: ‫قال ابن ُخويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ‬
‫ستر ذلك ؛ وإن كانت عجو ًزا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها‬

“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu
cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia
menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan
wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)

* Al Hathab berkata:

‫د‬n‫يخ أحم‬nn‫ه الش‬nn‫ه عن‬n‫ ونقل‬، ‫اب‬n‫د الوه‬nn‫ي عب‬n‫ه القاض‬n‫ قال‬. ‫واعلم أنه إن ُخشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين‬
‫ وهو ظاهر التوضيح‬، ‫ز ّروق في شرح الرسالة‬

“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak
tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad
Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)

* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:

ً ‫اب‬n‫ل الحط‬n‫ ونق‬، ‫ذهب‬nn‫هور الم‬nn‫ إنه مش‬: ‫وهو الذي البن مرزوق في اغتنام الفرصة قائاًل‬
‫د‬n‫ي عب‬n‫وب عن القاض‬n‫ا الوج‬n‫أيض‬
َّ
‫يخ‬n‫ل الش‬n‫وفص‬ . ‫اض‬n‫ وَّاق عن عي‬n‫ل َم‬n‫ى نق‬n‫و مقتض‬n‫ وه‬، ‫ره‬n‫ل غض بص‬n‫ وإنما على الرج‬، ‫ أو ال يجب عليها ذلك‬، ‫الوهاب‬
‫ وغيرها فيُستحب‬، ‫زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها‬

“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia
berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil
perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki
menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan
pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul
Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah
‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)

Madzhab Syafi’i

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah
seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi.
Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:

‫ر‬n‫بة لنظ‬nn‫ورة بالنس‬n‫ وع‬. ‫ه والكفين‬n‫وى الوج‬n‫ا س‬n‫دنها م‬nn‫ل ب‬n‫دم ـ أي ك‬nn‫ا تق‬nn‫ وهو م‬، ‫ عورة في الصالة‬: ‫إن لها ثالث عورات‬
‫ا‬nn‫ كعورة الرجل »اهـ ـ أي م‬: ‫ جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم‬: ‫األجانب إليها‬
‫بين السرة والركبة ـ‬

“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu
seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi,
yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad,
(3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan
paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)

* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:

‫ا بين‬n‫ فم‬، ‫ارم‬n‫ال المح‬n‫د الرج‬n‫ا وعن‬nً‫لمات مطلق‬n‫اء المس‬n‫ وأما عورتها عند النس‬. ‫ وهذه عورتها في الصالة‬: ‫غير وجه وكفين‬
‫ وأما عند الرجال األجانب فجميع البدن‬. ‫السرة والركبة‬

“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini
adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki
yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang
bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)

* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

‫ أما خارج الصالة فعورتها جميع بدنها‬، ‫ وهذه عورتها في الصالة‬، ‫وجميع بدن المرأة الحرة عورة إال وجهها وكفيها‬

“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat.
Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)

* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:

‫وف‬nn‫ل لخ‬nn‫ ب‬، ‫ورة‬nn‫ا ع‬nn‫اة ليس لكونهم‬nn‫ترهما في الحي‬nn‫وب س‬nn‫ ووج‬. ‫فيجب ما ستر من األنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين‬
‫الفتنة غالبًا‬

“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun
penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya
adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”
(Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)

* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:


‫ترزون عن‬nn‫انب ال يح‬n‫اك أج‬n‫جد وهن‬n‫ون في مس‬nn‫ة إال أن تك‬n‫رأة متنقّب‬n‫ والم‬، ‫ل‬n‫ورة وتمثي‬n‫ه ص‬nn‫وب في‬nn‫لي في ث‬n‫ويُكره أن يص‬
‫ فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب‬، ‫النظر‬

“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh
pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit
terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi
sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul
Akhyaar, 181)

Madzhab Hambali

* Imam Ahmad bin Hambal berkata:

‫كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر‬

“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul
Masiir, 6/31)

* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:

‫ وأما خارجها‬. ‫ اهـ إال وجهها فليس عورة في الصالة‬. ‫ صرح به في الرعاية‬، ‫وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها‬ «
‫فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة‬

“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya.
Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah
aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula
wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita,
auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)

* Ibnu Muflih berkata:

‫ه‬nn‫ فإن‬، ‫ وال ُخفَّها‬، ‫ فإذا خرجت فال تبين شيئًا‬، ‫ظفرها عورة‬: ‫ وال تبدي زينتها إال لمن في اآلية ونقل أبو طالب‬: ‫ قال أحمد‬ «
‫ي أن تجعل لكـ ّمها زرًا عند يدها‬
َّ ‫ وأحبُّ إل‬، ‫يصف القدم‬

“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita)


menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu
Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika
mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki),
karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat
semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)

* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia
berkata:

» ‫ « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصالة « باعتبار النظر كبقية بدنها‬. ‫ الكفان‬: ‫« وهما » أي‬

“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya
pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)

* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:

‫القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال األجانب‬

“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup
wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad
Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa cadar pada
dasarnya sudah lama dikenal oleh bangsa-bangsa kuno jauh sebelum lahirnya agama Islam di
Jazirah Arab. Pakaian tertutup, termasuk cadar telah membudaya di kalangan masyarakat
Sasanid Persia. Kemudian orang- orang Arab jauh sebelum lahirnya agama Islam meniru
model pakaian orang-orang Persia tersebut. Setelah lahirnya agama Islam di Jazirah Arab,
sebagian wanita muslimah masih memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya,
termasuk pemakaian cadar. Ketika Rasulullah SAW masih hidup dan wahyu Allah masih
diturunkan kepadanya, tidak ditemukan teks atau lafazh ayat al-Qur’an dan hadits yang
secara sharih mewajibkan pemakaian niqab (cadar) bagi kaum wanita. Penarikan hukum
mewajibkan pemakaian cadar bagi wanita muslimah adalah didasarkan penafsiran ayat-ayat
al- Qur’an dan hadits oleh sebagian mufassirin dan fuqaha’ dengan kekuatan nalar ijtihadiyah
mereka.

2. Para mufassirin dan fuqaha’ berbeda pendapat tentang pemakaian cadar sebagai
penutup wajah bagi wanita muslimah. Mayoritas mufassirin dan fuqaha’ berpendapat bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Oleh karena
itu, cadar tidak wajib dipakai untuk menutup wajah, dan kedua telapak tangannya tidak wajib
dikenakan sarungnya. Sebaliknya, sebagian mufassirin dan para fuqaha’ berpendapat bahwa
seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah, kedua tangannya dan tapak kaki
sampai ujung kakinya, dan yang diperbolehkan terbuka hanya satu atau dua matanya saja
untuk melihat. Oleh karena itu, mereka menetapkan wajib hukumnya memakai cadar bagi
wanita muslimah di luar shalat, ketika keluar dari rumah dan ketika berada di kalangan laki-
laki ajnabi atau laki-laki non-mahram.

3. Para ulama yang berpendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan wanita bukan aurat
bukan berarti membiarkannya terbuka dengan segala macam warna-warni penghias wajah,
seperti pewarna bibir dengan lipstick yang warnanya sangat mencolok, pemerah pipi, make
up yang berlebihan dan penghias wajah lainnya. Demikian juga, dengan diperbolehkan kedua
telapak tangan terbuka tidaklah bermakna membiarkannya terbuka dengan memanjangkannya
kuku, mewarnai atau mengecat kukunya. Dalam hal ini dianjurkan kepada wanita yang keluar
dari rumah agar menjaga harkat dan martabat kewanitaannya dan tidak menghiasi dirinya
dengan aroma dan hiasan yang berpotensi membangkitkan nafsu birahi orang laki-laki yang
memandangnya.

4. Pendapat yang menyatakan tidak wajib hukumnya memakai cadar bagi wanita
muslimah tidak berarti dilarang pemakaian cadar bagi mereka. Kesediaan memakai cadar
atau tidak memakai cadar diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pribadi wanita.
Bagi wanita yang memakai cadar tidak menganggap wanita yang tidak bercadar sebagai
orang fasik yang berlumuran dosa yang harus dijauhi dan wanita bercadar tidak
memposisikan dirinya sebagai wanita yang eksklusif. Sebaliknya, bagi wanita yang tidak
memakai cadar tidaklah berprasangka negatif terhadap wanita bercadar, tidak mengejek
mereka dan tidak mengucilkan mereka. Pandanglah hal tersebut sebagai khazanah yang
berkembang dalam memahami teks-teks ajaran agama Islam yang bersifat dinamis.
DAFTAR PUSTAKA

‘Abd Al-Hayy Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Kairo: al-‘Arabiyah, 1977.

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Terjemahan, Jakarta: Gema Insani
Press, 1991.

‘Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Mawshili Al-Hanafi, al-Ikhtiyar li Ta’lil

al-Mukhtar, JuzIV, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
Juz XIV, Kairo: Dar al-Katib al-‘Araby li al-Thaba’ah wa al- Nasyr, 1387 H/1967 M.

Abu Ishaq Asy-Syairazi, al-Muhadzdzab, Juz III, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt. Amru
Abdul Karim Sa’dawi, Wanita Dalam Fikih Yusuf al-Qaradhawi,

Terjemahan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.

Hasan Al-‘Audah, al-Mar-ah al-‘Arabiyah fi al-Din wa al-Mujtama’, Beirut: al- Haly, 2000.

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Beirut: Dar al-
Fikr, 1401 H.

Ibnu Mundzir, al-Awsath, Juz V, Riyadh: Dar al-Falah, 1410 H.

Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz II, Mesir: Mushthafa Muhammad, 1389
H/1969 M.

Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafsir, Jilid II, Mekkah : Dar Ash- Shabuni, 1403
H/1972 M.

Munawwir, AW., al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Quraish Shihab, M., Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Jakarta: Lentera Hati, 2014.

, Tafsir al-Mishbah, Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Anda mungkin juga menyukai