SALURAN PERNAFASAN
OLEH :
Pada penyakit asma semua sel akan teraktivasi termasuk eosinofil, sel T, sel
mast, makrofag, sel epitel, fibrolas dan sel otot polos bronkus. Sel- sel tersebut juga
mengatur terjadinya inflamasi dan mengawali proses remodelling oleh karena
adanya sitokin dan faktor pertumbuhan. Sel epitel teraktivasi melalui mekanisme
reaksi IgE virus, polutan atau histamin. Kemudian sel epitel melepaskan eikosanoid,
peptida, matriks protein, sitokin dan nitrit oksid yang berperan dalam proses
inflamasi. Sel epitel juga sangat berperan dalam pengaturan remodelling saluran
nafas dan fibrosis. Pada asma, eosinofil juga memberikan kontribusinya dengan
melepaskan mediator proinflamasi. Mediator sitotoksik dan sitokin pada proses
aktivasi juga akan melepaskan mediator inflamasi serperti leukotrien dan granula
protein yang dapat melukai jaringan saluran pernafasan. Biopsi mukosa pada pasien
asma mengandung dua tipe limfosit yaitu TH1 dan TH2 yang menjadi marker adanya
inflamasi namun, TH1 bekerja menghambat aktivitas TH2 yang melepaskan sitokin
sebgai mediator inflamasi. Jadi asma dapat disebabkan ketidaksetimbangan jenis
limfosit TH1 dan TH2. Degranulasi sel mast mempunyai respon yang cepat dalam
mengawali terjadinya reaksi alergi akibat paparan alergen yang terjadi. Sel mast
ditemukan lebih banyak pada jalur nafas pada pasien asma akibat alergi. Alergen
berikatan dengan IgE dan kemudian terjadi pelepasan histamin, eosinofil dan faktor
kemotaktik neutrofil. Sensitifitas sel mast juga dapat diaktivasi oleh stimuli yang
menyebabkan bronkospasme akibat dari aktivitas yang berat. Makrofag alveolus
berperan penting dalam memakan dan mencerna bakteri serta benda asing lainnya
pada saluran nafas. Makrofag alveolus dapat menghasilkan faktor kemotaktik
neutrofil dan faktor kemotaktik eosinofil dimana hal tersebut dapat meningkatakan
proses inflamasi sedangkan neutrofil mempunyai peranan dalam meningkatkan
BHR dan menyebabkan inflamasi dengan pelepasan faktor pengaktifan platelet,
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien. Fibroblas juga dapat menyebabkan
inflamasi dengan mangaktivasi (Interleukin) IL-4 dan IL-13 yang kemudian
melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin dan remodelling jaringan. Molekul
adesi memiliki peranan penting dalam terjadinya proses inflamasi yaitu adesi dari
beberapa sel dan matriks jaringan yang memfasilitasi migrasi dan infiltrasi sel
tersebut pada tempat inflamasi. Beberapa molekul adesi yang berperan adalah
integrins cadherins, immunoglobulin supergene family, selectins, vascular
adressins dan ligan karbohidrat (Kelly et al., 2008).
2.6 Penatalaksanaan Asma
2.6.1 Terapi Farmakologi
1. Antialergika
Adalah zat zat yang berkhasiat menstabilisasi sel mast, sehinnga tidak pecah
dan mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator peradang lainnya yang
terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga antihistaminnika (ketotipen,
oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini. Obat ini sangat
berguna untuk prefensi serangan asma dan rhinitis alergis (hay fever).
Penggunaan kromoglikat sangat efektif sebagai obat pencegah serangan asma
dan bronchitis yang bersifat alergi serta conjunctivitis alergi dan alergi akibat
makanan. Untuk profilaksis yang layak, obat ini perlu diberikan minimal 4 kali sehari
yang efeknya baru menjadi nyata sesudah 2-4 minggu. Pada serangan akut kromolin
tidak efektif karena tidak memblok reseptor histamine. Reasorpsi didalam usus tidak
terjadi, dari suatu dosis inhalasi (serbuk halus) senyawa ini hanya 5-10% mencapai
bronchi dan diserap, yang segera diekskresikan lewat kemih dan empedu secara utuh.
Efek sampingnya berupa rangsangan local pada selaput lender tenggorokan
dan tracea, dengan gejala batuk-batuk, kadang-kadang kejang, dan serangan asma
selewat. Untuk mencegah hal ini dapat digunakan inhalasi salbutamol terlebih dahulu.
Rangsangan mukosa dapat terjadi pada penggunaan nasal (Rynacrom, Lomusol) dan
pada mata. Wanita hamil dapat menggunakan kromoglikat..
Dosis inhalasi minimal 4 dd 1 puff (20mg) sebagai serbuk halus dengan
menggunakan alat khusus (spinhaler) atau sebagai larutan (aerosol). Nasal 4 dd 10 mg
serbuk dan untuk mata 4-6 dd 1-2 tetes dari larutan 2%.
2. Bronchodilator
Pelepasan kejang dan bronchodilasi dapat dicapai dengan dengan merangsang
adrenergic dengan adrenergika atau melalui penghambatan sistim kolinergis
dengan antikolinergika juga dengan teofilin.
a. Agonis β adrenerrgik atau (β-mimetika)
salbutamol,terbutalin, klenbuterol, salmeterol, fenoterol, formoterol dan
prokaterol.
Contoh :
Kerja singkat (1-3 jam) : epinefrin, isoproterenol, isoetarin
Kerja sedang (3-6 jam) : salbutamol, bitolterol, fenoterol, metaproterenol.
pributerol, terbutalin.
Kerja lama (lebih dari 12 jam) : formoterol, salmeterol, bambuterol.
Zat zat ini bekerja selktif tehadap reseptor β adrenergic (bronchospasmolysis)
dan praktis tidak terhadap reseptor β1 (stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap
kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung efeknya terhadap jantung.
Seperti efedrin, isoprenalin, dan orsiprenalin.pengecualian ada adrenalin (reseptor-α
dan – β) dan yang sangat efektif pada keadaan kemelut.
Mekanisme kerjannya adalah melaui stimulasi reseptor β2 yang banyak
terdapat di trachea (batang tenggorok dan bronchi yang menyebabkan aktivasi dari
adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya
energi menjadi cyclic-adenosine-monophosphape (cAMP) dengan pembebasan
enersi yang digunakan proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar (cAMP) di
dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, bronchodilatasi
dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
Farmakodinamika: Zat zat ini bekerja selektif terhadap reseptor beta-2
adrenergik (bronchospasmolysis) dan praktis tidak terhadap reseptor beta-1
(stimulasi jantung).
Indikasi : Untuk mencegah dan untuk mengatasi bronkospasme.
Farmakokinetik : diadsorbsi minimal dari saluran cerna,tidak melintasi blood-brain
barier ,dimetabolisme secara ekstensif dalam hepar menjadi metabolit in
aktif,dieksresi secara cepat melaui urin dan feses.
Efek samping :
Kerja pendek : Mulut kering,tremors,tachycardia,paradoxial bronchospasm
Kerja lama: Bronchospasm, tachycardia
Penggunaanya semula sebagai monoterapi kontinu,yang ternyata berangsur
meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi allergen. Pada pasien
alergis.oleh karena itu sejak beberapa tahun sejak beberapa tahun hanya untuk
melawan serangan dan sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan zat anti
radang, yaitu kortikosteroid inhalasi. Salbutamol dan butalin dapat di gunakan oleh
wanita hamil, begitu pula penoterol dan hekso-prenalin setelah minggu ke
16.salbutamol, terbutalin dan salmeterol mencapaiair susu ibu dari obat lain nya
belum terdapat data untuk menilai keamanannya tetapi cukup pada binatang
percobaan salmeterol ternyata merugikan janin.
Contoh obat
Menurut "National Heart, Lung, and Blood Insitute (NHLBI)" dan WHO,
COPD didefinisikan sebagai penyakit yang dibatasi oleh terbatasnya saluran udara
yang progresif yang tidak dapat pulih kembali. Keterbatasan saluran udara biasanya
dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi paru-paru yang tidak normal
terhadap partikel atau gas. Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih
mukus kronik atau berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi
hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam pengawasan, dan ini
berlangsung paling tidak dalam 2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk lain telah
dikeluarkan. Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang berada di
distal terhadap terminal bronkhiol, tetapi tanpa fibrosis yang jelas. Secara definisi
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis
progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara
yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi
ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.
PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap
partikel berbahaya dalam udara.
Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk
kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.
Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Tidak
jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
C. Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) bergantung dari presentasi klinis pasien.
Secara umum, PPOK dapat didiagnosis banding dengan:
a. Asma
Asma biasanya sudah muncul dari usia anak. Gejala asma biasanya muncul
pada malam atau dini hari dan bersifat reversibel.Dapat juga ditemukan alergi, rhinitis
dan/atau eczema.Namun dapat juga ditemukan kombinasi gejala dari PPOK dan
Asma.
b. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung merupakan penyebab sesak nafas yang sering ditemui pada
pasien usia tua, dan beberapa pasien merasakan berat di dada dan wheezing dengan
penumpukan cairan. Pada gagal jantung biasanya ditemukan rhonki basah halus pada
basal paru.Pada foto thoraks ditemukan kardiomegali dan edema paru. Pada
pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya restriksi volume, bukan keterbatasan
aliran udara.Peningkatan BNP juga dapat ditemukan pada gagal jantung kongestif.
c. Bronkiektasis
Merupakan pelebaran abnormal bronchus yang berhubungan dengan infeksi
kronik atau infeksi berulang. Gejala menyerupai PPOK, namun disertai dengan sesak
semakin berat dengan produksi sputum yang mukopurulen.
d. Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat terjadi pada semua usia. Foto thoraks polos menunjukkan
gambaran infiltrat dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikrobiologis.
e. Bronkiolitis Konstriktif
Biasanya muncul pada usia muda, dan terjadi setelah trauma inhalasi,
transplantasi (sumsum tulang, paru), riwayat reumatoid arthritis atau inflammatory
bowel disease (IBS). Pasien akan mengalami batuk dan sesak yang dapat muncul saat
istirahat atau beraktifitas. Tes fungsi paru menunjukkan keterbatasan aliran udara
yang progresif dan ireversibel.
f. Panbronkiolitis Difusa
Biasanya ditemukan pada pasien dengan keturunan asia. Sebagian besar
pasien laki-laki dan tidak merokok. Tes fungsi paru menunjukkan adanya gambaran
obstruktif, namun terkadang ditemukan juga campuan obstruktif-restriktif.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) yang bermanfaat diantaranya
adalah pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan radiologis.
a. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosis,
menentukan tingkat keparahan PPOK dan untuk mengkaji ulang kondisi pasien
PPOK. Pemeriksaan dengan spirometri pada PPOK diutamakan untuk menentukan
nilai forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan the forced vital
capacity (FVC).
Pada PPOK ditemukan penurunan nilai FEV1 dengan penurunan rasio
FEV1/FVC. Dapat juga dilakukan uji bronkodilator. Jika Nilai rasio FEV1/FVC post
pemberian bronkodilator <0.70, ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara
yang persisten.
Global Initiative Lung Disease (GOLD) melakukan klasifikasi tingkat
keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK. Klasifikasi ini berdasarkan
pemeriksaan spirometri setelah dilakukan pemberian bronkodilator inhalasi kerja
pendek untuk meminimalisir variabilitas. Berikut klasifikasinya berdasarkan nilai
FEV1 post-bronkodilator dengan rasio FEV1/FVC <70%:
GOLD 1 (Mild) : FEV1 > 80% predicted
GOLD 2 (Moderate) : 50% < FEV1 < 80% predicted
GOLD 3 (Severe) : 30% < FEV1 < 50% predicted
GOLD 4 (Very Severe) : FEV1 < 30% predicted
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada PPOK adalah foto rontgen
toraks dan CT Scan toraks. Pada foto rontgen thoraks anteroposterior-lateral, dapat
ditemukan hiperinflasi paru, hiperlusensi, diafragma tampak datar, bayangan jantung
yang sempit, dan gambaran jantung seperti pendulum (tear drop appearance). Pada
PPOK tipe bronkitis kronis dapat ditemukan pertambahan corak vascular paru dan
kardiomegali.
Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai
tipe dari PPOK. CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika
dibandingkan foto thoraks polos.
Gambaran CT scan pada penderita PPOK emfisematosa (kiri) dan non-emfisematosa
(kanan)
b. Pemeriksaan Echokardiografi
Pada pasien dengan PPOK lama, dapat menyebabkan timbulnya hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).Echocardiografi dapat digunakan
untuk menilai tekanan sistolik arteri pulmonal dan fungsi sitolik ventrikel kanan.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak ada yang spesifik untuk PPOK.
Apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka akan didapatkan :
2 Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keparahan dan serangan akut dari PPOK. Secara umum. pH< 7.3
menandakan adanya gangguan pernafasan akut. Biasanya juga ditemukan
kompensasi ginjal sehingga nilai pH mendekati normal.
3 Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat apakah ada infeksi
sekunder pada PPOK yang ditandai dengan leukositosis
4 Pemeriksaan kimia darah pada pasien PPOK dapat menunjukkan retensi natrium.
Obat-obatan PPOK (agonis beta adrenergic, teofiline) memiliki efek penurunan
kadar kalium serum, sehingga harus dilakukan monitor berkala.
5 Pemeriksaan Sputum
Pada bronchitis kronis, biasanya sputum bersifat mukoid dan penuh dengan
makrofag. Pada PPOK eksaserbasi, sputum akan menjadi purulent dan penuh
dengan neutrofil. Perlu juga dilakukan pemeriksaan kultur mikroorganisme,
sehingga dapat diberikan antibiotik yang definitif.
Pemeriksaan Brain natriuretic peptide (BNP) dapat membantu dalam
membedakan sesak yang disebabkan oleh PPOK atau oleh gagal jantung kongestif.
Namun tetap harus memperhatikan gejala klinis pasien.
Pemeriksaan enzim alpha1-antitrypsin (AAT) dapat ditemukan defisiensi AAT.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat keluarga
menderita emfisema pada usia muda.
2.13 Penatalaksana PPOK
Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal
paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum penatalaksaan
PPOK meliputi terapi non farmakologis, terapi farmakologis, terapi oksigen.
2.13.1 Terapi Non Farmakologi (Dipiro dkk, 2015)
Penghentian merokok adalah satu-satunya intervensi yang terbukti memengaruhi
penurunan FEV1 jangka panjang dan perkembangan PPOK yang lambat.
Program rehabilitasi paru meliputi latihan olah raga, latihan pernafasan, perawatan
medis yang optimal, dukungan psikososial, dan penyuluhan kesehatan.
Berikan vaksinasi yang sesuai (misalnya, vaksin pneumokokus, vaksin influenza
tahunan).
Setelah pasien distabilkan sebagai pasien rawat jalan dan farmakoterapi
dioptimalkan, lakukan terapi oksigen jangka panjang jika (1) istirahat Pao2 kurang
dari 55 mmHg atau SaO2 kurang dari 88% dengan atau tanpa hiperkapnia, atau (2)
istirahat Pao2 55-60 mm Hg atau SaO2 kurang dari 88% dengan bukti gagal
jantung sisi kanan, polisitemia, atau hipertensi paru. Tujuannya untuk menaikkan
PaO2 di atas 60 mm Hg.
Rajin mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi serta olahraga yang cukup.
Terapi untuk PPOK harus dilakukan dengan penilaian individu berdasarkan
gejala yang timbul dan resiko jangka panjang dari eksaserbasi. Tujuan terapi adalah
penghentian konsumsi rokok, penyembuhan gejala pengurangan nilai FEV1,
pengurangan angka kejadian keparahan akut, peningkatan kesejahteraan fisik dan
psikologis, pengurangan tingkat kematian, perawatan di rumah sakit, dan hari tidak
masuk kerja. Manajemen terapi harus didukung dengan terapi non farmakologi
(Dipiro dkk., 2015).
2.13.2 Penanganan Eksaserbasi
Tujuan terapi adalah untuk mencegah rawat inap dan mengurangi lama
rawat, mencegah kegagalan terapi akut dan kematian, menangani gejala,
memperbaiki status kesehatan pasien dan kualitas hidupnya. Pertimbangkan terapi
oksigen untuk pasien dengan hipoksemia. Gunakan hati-hati karena banyak Pasien
PPOK mengandalkan hipoksemia ringan untuk memicu dorongan mereka untuk
bernapas. pemberian oksigen yang agresif untuk pasien dengan hiperkapnia kronis
dapat menyebabkan depresi pernapasan dan kegagalan pernapasan. Sesuaikan
oksigen untuk mencapai PaO2 yang lebih besar dari 60 mmHg atau saturasi oksigen
(SaO2) lebih besar dari 90%. Dapatkan analisa gas darah setelah itu inisiasi oksigen
untuk memantau retensi CO2 yang dihasilkan dari hipoventilasi (Dipiro dkk., 2015).
Noninvasive positive-pressure ventilation (NPPV) memberikan dukungan ventilasi
oksigen dan aliran udara bertekanan menggunakan masker wajah atau hidung tanpa
intubasi endotrakeal. NPPV tidak sesuai untuk pasien dengan status mental yang
berubah, asidosis parah, henti pernapasan, atau ketidakstabilan kardiovaskular (Dipiro
dkk., 2015).
2.13.3 Terapi Farmakologi PPOK Kronik
Pendekatan bertahap untuk sobat COPD ditunjukkan pada Gambar 34.1.
Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala; tidak ada golongan farmakologi
yang terbukti memberikan keuntungan lebih dibanding yang lain, meskipun terapi
inhalasi lebih. Pemilihan pengobatan berdasarkan pada pasien, respon individu, dan
efek samping. Pengobatan dapat dipakai sesuai kebutuhan atau jadwal. Terapi
tambahan yang dibangun pada tahapan tergantung respons dan keparahan penyakit.
Keuntungan klinis bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik,
penurunan terperangkapnya udara, dan peredaan gejala seperti dispnea. Namun,
peningkatan berarti penentuan fungsi paru-paru seperti FEV, mungkin tidak terlihat.
Gambar 34.1. Rekomendasi Terapi untuk COPD Stabil
a. Simpatomimetik
Simpatomimetik selektif B, menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan
bronkodilarasi dengan menstimulasi enzim adenil sildase untuk mening-katkan.
Pemesanan adenosin monofosfat siklik (CAMP), Simpatomimetik juga dapat
meningkatkan klirens mukotiliar. Pemberian melalui meternd-dose inhaler (MDI)
atau dry powder inhaler (DPI) seridaknya seefektif rerapi nebulisasi dan biananya
lebih efektif karena alasan biaya dan kenyamanan.
Albuterol, levalbuterol, birolterol, pirbuterol, dan terburalin merupakan agen
aksi pendek yang lebih masuk karena mempunyai selektivitas B, lebih besar dan
durani aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendele (isoproterenol,
metaproterenol, dan isoetarin). Rute inhalasi lebih sedikit dibundingkan rute oral dan
parenteral dalam hal efikasi dan efek samping. Agen aksi pendek dapat digunakan
untuk gejala gejala gejala akut atau berdasarkan jadwal untuk mencegah arau gejala
gejala. Durasi aksi agonis B, aksi pendek adalah 4 hingga 6 jam.
Formoterol dan salmeterol merupakan agonis B, inhalasi aksi panjang yang
diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi selama
interval dosis. Penggunaan agen ini dilarang untuk pasien yang memperlihatkkan
kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek. Tidak satu pun obat yang
diindikasikan untuk peredaan gejala akut.
b. Antikolinergik
Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi
bronkodilatasi dengan menginhibisi reseptor kolinergik secara kompetitif pada otot
polos bronkial. Akrivitas ini niemiblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah
berhadiah guanosin monofosfat siklik (eGMP), yang umumnya mengkonstriksi otot
polos bronkial.
Ipratropium bramida memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan agonis
B, aksi pendek (15 hingga 20 menit vs 5 menit untuk albuterol). Karena alasan ini,
zatr rersebur kurang sesuai dengan penggunaan yang dibutuhkan, tetapi sering
diresepkan untuk keadaan ini AH VIGenuguan Pernafusan memiliki efek
bronkodilator yang lebih panjang dibanding agonis B, aksi pendek. Efek puncaknya
muncul pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6 jam. Dosis vang
krisis menggunakan MDI adalah 2 hirup empat kali sehari dengan peningkatan
bertahap yang sering hingga 24 hirup / hari. Zat ini juga tersedia dalam bentuk
larutan untuk nebulisasi. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut kering,
mual, dan kadang rasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak diserap baik secara
sistemik, efek sampingnya jarang terlihat (pandangan kabur, retensi urinari, mual, dan
takikardia). Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Onser
terjadi dalam 30 menit dan efek puncak rercapai dalam 3 jam. Zat ini diberikan
menggunakan HandiHaler, suatu alat nafas beraktuator untuk sekali isi serbuk-kering.
Dosis yang diberikan adalah inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat
inhalasi Handihaler. Karena efeknya yang lokal, tiotropium ditoleransi dengan baik.
Efek antikolinergik lain juga dilaporkan.
c. Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik
Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis B, sering digunakan,
terutama kerika perkembangan penyakit dan gejala yang semakin memburuk seiring
waktu. Mengkombinasikan bronkodilator dengan yang berbeda membuat dosis
efektif dapat digunakan dan mengurangi efek samping dari masing-masing zat.
Kombinasi kedua agonis B. aksi pendek dan aksi panjang dengan ipratropium
menunjukkan peningkatan peredaan gejala dan fungsi paru-paru. Sediaan yang
mengandung albuterol dan ipratropium dalam MDI digunakan untuk rerapi
pemeliharaan COPD.
d. Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menginhibisi fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar CAMP), inhibisi
influks ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi
katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, dan inhibisi pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit.
Penggunaan kronik teofilin dalam COPD menunjukkan peningkatan fungsi
paru-paru, termasuk kapasitas vital dan FEV. Secara subjektif, teofilin, pengurangan
dispnea, meningkatkan toleransi terhadap latihan, dan memperbaiki kendali respirasi.
Efek nonpulmonari yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan fungsionalitas
yang lebih baik termasuk peningkatan fungsi kardiak dan penurunan tekanan arteri
pulmonari.
Metilxantin tidak lagi dipakai sebagai obat pilihan pertama dalam COPD.
Seperti bronkodilator lain dalam COPD, parameter lain, seperti objektif FEV, harus
dimonitor untuk memastikan efikasi. Parameter perbaikan yang dirasakan dalam
dispnea dan toleransi latihan fisik, merupakan hal penting dalam penilaian
penerimaan metilxantin untuk pasien COPD.
Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepuasan pasien dan mencapai
konsentrasi serum yang lebih konsisten dibandingkan sediaan teofilin lepas cepat dan
aminofilin. Perhatian, harus diwaspadai jika mengganti dari satu sediaan lepas
lambat ke yang lain karena ada variasi yang lepas lambat.
Peranan teofilin dalam COPD adalah sebagai terapi pemeliharaan pada
pasien sakit bukan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua kali sehari dan
ditingkatkan secara bertahap setiap 3 hingga 5 hari sampai target dosis; kebanyakan
pasien membutuhkan dosis harian 400 hingga 900 mg. Penyesuaian dosis sebaiknya
dibuat berdasarkan hasil konsentrasi pada serum. Rentang terapeutik dipelihara
antara 8 hingga 15 pg / mL. Hal tersebut lebih lanjut pada manula untuk mengurangi
kecenderungan toksisitas. Jika dosis telah ditetapkan, konsentrasi harus dikontrol
sekali atau dua kali salah, kecuali penyakit memburuk, ada pengobatan yang Penyakit
Paru Obstruktif Kronik mempengaruhi metabolisme teofilin, atau dicurigai terjadi
pada toksisitas.
Efek samping teofilin yang paling umum termasuk dispepsia, mual, muntah,
diare, sakit kepala, pusing, dan takikardia. Aritmia dan kejang dapat muncul,
terutama pada konsentrasi toksik.
Faktor yang dapat menurunkan klirens teofilin dan menghasilkan penu-runan
kebutuhan dosis termasuk bertambahnya umur, pneumonia karena bakteri atau virus,
gagal jantung, distungsi hati, hipoksemia dari dekompen-sasi akut, dan penggunaan
obat seperti antibiotik simetidin, makrolida, dan florokuinolon. Faktor yang dapat
meningkatkan klirens teofilin dan menyebabkan kebutuhan akan dosis yang lebih
tinggi termasuk merokok tembakau atau marijuana, hipertiroid, dan penggunaan obat
seperti fenitoin, fenobarbital, dan rifampin.
e. Kortikosteroid
Antiinflamasi dimana kortikosteroid memberikan efeknya yang
menguntungkan pada COPD termasuk penurunan permeabilitas kapiler untuk
mengurangi mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi
prostaglandin.
Keuntungan klinis terapi kortikosteroid sistemik pada penanganan COPD
kronik sering tidak jelas dan ada risiko toksik. Sebagai dampak, sebaiknya dihindari
jika memungkinkan.
Situasi yang sesuai untuk mempertimbangkan kortikosteroid untuk COPD
termasuk (1) penggunaan sistemik jangka pendek untuk kondisi buruk akut dan (2)
terapi inhalasi untuk COPD kronik stabil. Peranan kortikosteroid inhalasi dalam
PPOK diperdebatkan. Uji klinis besar tidak menunjukkan keuntungan penanganan
dengan kortikosteroid kronik dalam penurunan fungsi paru-paru jangka panjang.
Namun, keuntungan penting lain ditemukan pada beberapa pasien, termasuk
penurunan frekuensi dan peningkatan status kesehatan secara umum.
Penuntun hasil konsensus menyatakan terapi kortikosteroid inhalasi menurut
rekomendasi untuk pasien simptomatik pada penyakit tingkat III atau IV (FEV,
kurang dari 50%) yang mengalami keadaan memburuk berulang. Efek samping
kortikosteroid inhalasi relatif ringan dan termasuk suara parau, tenggorokan kering,
kandidiasis oral, dan memar pada kulit. Efek samping yang parah, seperti supresi
adrenal, osteoporosis, dan pemesanan katarak, lebih jarang dilaporkan dibandingkan
sistemik kortikosteroid, tetapi klinisi harus memperhatikan pasien yang menerima
terapi inhalasi dosis tinggi kronik.
Beberapa studi menunjukkan efek aditif pada kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan bronkodilator aksi panjang. Terapi kombinasi dengan salmeterol
ditambah Hutikason atau formorerol ditambah budeson yang berkaitan dengan
peningkatan besar FEV, status kesehatan, pengurangannya frekuensi keadaan
memburuk dibandingkan penggunaan agen tunggal. Ketersediaan kombinasi inhalasi
membuat pemakaian obat menjadi nyaman dan menurunkan jumlah kebutuhan
inhalasi dalam sehari.
f. Phosphodiesterase Inhibitors
Roflumilast adalah fosfodiesterase 4 (PDE 4) yang diindikasikan untuk
mengurangi resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang berhubungan dengan
bronkitis kronis dan riwayat eksaserbasi. Dosisnya 500 mcg per oral sekali sehari,
dengan atau tanpa makanan (Dipiro dkk., 2015). Roflumilast dimetabolisme oleh
CYP3A4 dan 1A2; administrasi bersama dengan Induksi kuat CYP P450 tidak
direkomendasikan karena berpotensi untuk meningkatknan konsentrasi plasma.
Berhati-hatilah saat memberikan roflumilast dengan inhibitor CYP450 yang kuat
karena tingginya potensi efek samping. Roflumilast digunakan pada pasien dengan
PPOK berat atau sangat parah yang beresiko tinggi dan tidak dapat dikendalikan oleh
inhalasi bronkodilator. Roflumilast tidak disarankan untuk digunakan dengan teofilin
karena memiliki mekanisme yang sama (Dipiro dkk., 2015).
2.13.4 Terapi Farmakologi COPD Yang Memburuk
a. Bronkodilator
Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan akut untuk
memberikan peredaan gejala. Agonis B, aksi pendek lebih, karena onset aksi yang
cepat. antikolinergik dapat ditambahkan jika gejala bertahan meskipun dosis agonis 2,
ditingkatkan.
Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi dengan efek yang
serupa. Nebulisasi dapat dicabut untuk pasien dengan dispnea parah yang tidak dapat
menahan nafas setelah pemakaian MDI. Bukti klinis yang mendukung penggunaan
teofilin saat keadaan memburuk hampir tidak ada dan oleh industri penggunaan
teofilin sebaiknya dihindari. Teofilin dapat mempertimbangkan untuk pasien yang
tidak merespon kepada terapi lain.
b. Kortikosteroid
Hasil pengujian klinis menyarankan pasien dengan COPD yang memburuk
secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam jangka pendek.
Karena variabilitas yang besar dalam rentang dosis yang digunakan dalam pengujian,
dosis optimum dan durasi terapi tidak diketahui.
Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9 hingga 14 hari) sama efektifnya dengan
terapi jangka panjang dan risiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi terapi
lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang diturunkan sebaiknya diambil untuk
menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-adrenal.
c. Terapi Antimikroba
Meskipun kebanyakan COPD yang diperkirakan diperkirakan karena infeksi
virus atau bakteri, sebanyak 30% keparahan tidak diketahui penyebabnya. Antibiotik
paling menguntungkan dan sebaiknya dimulai jika dua gejala gejala berikut tampak:
peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan kandungan nanah
sputum. Kegunaan pewarnaan Gram sputum dan kultur dipertanyakan karena di
beberapa pasien terdapat kolonisasi bakteri kronik pada cabang bronkus di antara
keadaan eksaserbasi.
Pemilihan terapi antimikroba empirik berdasarkan organisme yang paling
mungkin. Organisme yang paling umum untuk PPOK yang memburuk adalah
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia, dan
Haemophilus parainfluenzae. Terapi sebaiknya dalam 24 jam setelah hentikan gejala
untuk mencegah pasien dibawa ke rumah sakit dan sakit selama paling tidak 7 hingga
10 hari. Pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen memberikan efek yang
sebanding.
Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang menolak adalah
makrolida (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin menciptakan kedua atau ketiga,
atau doksisilin. Trimetoprim-sulfametoksazol yang sebaiknya tidak digunakan karena
meningkatkan resistensi pneumokokus. Amoksisilin dan sefalosporin menciptakan
pertama kali tidak kerentanan dari B-laktamase. Eritromisin tidak melawan karena
insufisiensi aktivitas melawan H. influenzae.
Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana mungkin terdapat
pneumococcus resisten obat, H. influenzae dan M. catarrhalis penghásil B-laktamase,
dan organisme enterik gram negatif, terapi yang direkomen-dasikan adalah
amoksisilin/klavulanat atau fluorokuinolon dengan peningkatan aktivitas terhadap
pneumokokus (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin).
Pada keadaan semakin memburuk dengan komplikasi dimana mungkin
terdapat risiko Pseudomonas aeruginosa, terapi yang mempertimbangkan dalam
fluorokuinolon dengan peningkatan aktivitas terhadap pneumococcus dan P.
aeruginosa levoflok-sasin, gatifloksasin, moksifloksasin). Jika terapi intravena
diperlukan, penisilin resisten B-laktamase dengan aktivitas antipseudomonal atau
sefalosporin generasi keempat dengan aktivitas antipseudomonal yang sebaiknya
digunakan.
2.14 Defenisi Batuk Pilek
Batuk pilek adalah infeksi primer nasofaring dan hidung yang sering
mengenai bayi dan anak. Penyakit batuk pilek pada balita cenderung berlangsung
lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga bawah, dan
nasofaring disertai demam yang tinggi. Penyakit ini sebenarnya merupakan self
limited diseased yang sembuh sendiri 5- 6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain.
(Ngastiyah, 1997:12).
Batuk pilek adalah infeksi virus yang menyerang saluran nafas atas (hidung
sampai tenggorokan) dan menimbulkan gejala ingus meler atau hidung mampet,
batuk sering disertai demam dan sakit kepala (Arifianto, 2018:93).
Batuk dan pilek merupakan suatu respon tubuh yang diciptakan untuk
membuang benda asing, termasuk virus, bakteri, debu, lendir, dan partikel kecil lain
yang berusaha mengotori saluran nafas dimulai dari tenggorokan hingga paru-paru.
Batuk menjaga saluran nafas tetap bersih agar seseorang tidak mengalami sesak
nafas. Ingus atau lendir yang diproduksi saat seseorang mengalami batuk pilek adalah
upaya tubuh mengeluarkan benda asing, termasuk partikel virus dan bakteri dari
saluran napas atas manusia. (Arifianto,2018:92)
2.15 Etiologi Batuk Pilek
Penyebab batuk pilek hampir selalu virus. Lebih dari dua ratus virus dikenal
sebagai penyebab batuk-pilek (termasuk rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus
sinsitial pernafasan), dan diduga ada lebih dari 1.500 virus batuk pilek atau kombinasi
virus. Karena anak balita belum mempunyai banyak kesempatan untuk membangun
daya tahan tubuh terhadap virus-virus ini, maka anak balita sangat peka terhadap
batuk pilek (Einsenberg, 1998:636).
2.16 Tanda Dan Gejala Batuk Pilek
Batuk pilek ditandai dengan:
a. Hidung berair (pengeluaran bersifat cair dan bening)
b. Hidung tersumbat
c. Bersin
d. Panas tidak lebih dari 38°C (Einsenberg, 1998:635)
Batuk pilek mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit dan kadang-kadang
bersi, keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh
kokus seket menjadi kental dan purulen. Sekret ini sangat menggangu anak.
Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas dari mulut dan mengakibatkannya
gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapatkan keluhan nyeri otot dan
pusing (Ngastiyah, 1997:13).
2.17 Klasifikasi Batuk Pilek
a. Batuk pilek ringan : Bila timbul batuk tidak mengganggu tidur, dahak encer,
ingus encer berwarna bening, mata berair, panas tak begitu tinggi atau tidak
lebih dari 38°C. Batuk pilek ini berlangsung selama 5 – 6 hari (Ngastiyah,
1997:12).
b. Batuk pilek sedang: Dahak kental berwarna kuning kehijauan, ingus kental
berwarna kehijauan, panas tinggi lebih dari 38°C, tenggorokan sakit pada saat
menelan.
c. Batuk pilek berat: Panas tinggi di sertai sesak napas ngorok, stridor, kadang-
kadang disertai penurunan kesadaran (contoh: pneumonia) (Departement
kesehatan RI, 1998).
2.18 Patofisiologi Batuk Pilek
Terjadinya pembengkakan pada submukosa hidung yang disertai vasodilatasi
pembuluh darah. Terdapat infiltrasi leukosit, mula-mula sel monokleus kemudian
juga polimorfonukleus. Sel epitel superfisial banyak yang lepas dan regenerasi epitel
sel baru terjadi setelah lewat stadium akut (Ngastiyah, 2005:31).
Banyak virus yang dapat menyebabkan batuk pilek, tetapi yang paling sering
adalah rinovirus (terdapat 100 jenis rinovirus berbeda yang dapat menginfeksi
manusia, diikuti dengan respiratory sincytial virus (RSV), dan adenovirus. Virus yang
masuk ke tubuh dan menginfiltrasi saluran nafas di hidung sampai tenggorokan akan
memicu rangkaian reaksi sitem imun (pertahanan tubuh) dan bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang dialami (Arifianto, 2018 :93).
2.19 Pedoman Tatalaksana Terapi
Batuk pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus (umumnya
rhinovirus) yang bersifat akan sembuh dengan sendirinya saat virus mati karena masa
hidup virus terbatas atau disebut self limiting disease bergantung pada daya tahan
tubuhnya. Namun, karena belum ditemukan antivirus khususnya untuk rhinovirus ini,
maka hanya gejala-gejala yang muncul saja yang diobati jika dirasakan mengganggu
penderita. Jadi pengobatan hanya bersifat meringankan atau menghilangkan gejala
saja, tanpa membunuh virus penyebabnya.
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas
akibat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga
menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi
berlebihan. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) merupakan salah satu penyakit yang ditandai dengan
adanya obstruksi aliran udara kronik di paru. Batuk pilek adalah infeksi virus yang
menyerang saluran nafas atas (hidung sampai tenggorokan) dan menimbulkan gejala
ingus meler atau hidung mampet, batuk sering disertai demam dan sakit kepala.
Rhinitis merupakan peradangan pada membran yang melapisi hidung dengan ciri
adanya sumbatan hidung, rinore, bersin dan gatal pada hidung.
3.2 Saran
Kesehatan sangatlah penting untuk diri sendiri. Jangan lupa untuk selalu
menjaga kesehatan karena penyakit bisa datang kapan saja dan dimana saja. Kita bisa
menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan yang sehat dan bergizi, hindari hal
yang membuat alergi, cukup beristirahat dan rajin berolahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G., Boies, L., Higler, P., 1997, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY, Drastyawan
B, et al. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan DokterParu Indonesia (PDPI).
Arifianto, 2018. Orangtua Cermat anak Sehat. Gagas Media. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta : LITBANG
DEPKES RI.
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Melbourne:
Cambridge University Press. 293.
Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N (2001). Allergic rhinitis and its impact
on asthma. J Allergy Clin Immunol; 108(Suppl.): S183–S195.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa :
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Calverley PM, Anderson JA, Celli B, et al. 2007. Salmeterol and Fluticasone
Propionate and Survival in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N engl J
Med. 356(8): 775-89.
Depkes RI. Standar Pelayanan dan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 1998.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C.V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit. McGraw-Hill Education Companies.
Inggris.
Einsenberg Dkk. 1998. Anak Dibawah Tiga Tahun. Jakarta.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2017. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, American Journal of COPD.
Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. 2006. Global Burden of COPD: Systematic
Review and Meta-analysis. EurResoir J. 2006 Sep. 28(3):523-32.
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N., 2008, Alergi Hidung dalam Buku Ajar lmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI.
Kelly, H. W., & Sorkness, C. A. 2008. Asthma. Dalam J. T. Dipiro,
Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach, Seventh Edition (hal. 463 -
490). USA: The Mc. Graw Hill Company.