Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN

SALURAN PERNAFASAN

OLEH :

NAMA : Rifqi Kasyfur Rahman


NIM : 2130122108
KELAS :A
DOSEN PENGAMPU : apt. Sanubari Rela Tobat, M.Farm

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVIII
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pernah mengalami sakit. Penyakit yang diderita oleh setiap
makhluk berbeda satu dan yang lainnya. Sakit merupakan suatu keadaan dimana
tubuh tidak berada pada kondisi normal yang disebabkan oleh beberapa faktor dari
dalam maupun luar tubuh.
Secara atronomis Indonesia terletak antara 6° Lintang Utara sampai 11°
Lintang Selatan dan juga antara 95° Bujur Timur sampai 141° Bujur Timur. Oleh
karena letak astronomis Indonesia merupakan daerah yang memiliki iklim 2 tropis.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia memiliki dua musin yaitu penghujan dan
kemarau. Masa peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan ataupun
sebaliknya disebut pancaroba. Pada masa ini banyak orang yang jatuh sakit. Banyak
di antara mereka mengaku bahwa penyebabnya adalah daya tahan tubuh orang
tersebut menurun karena belum siap menghadapi pergantian musim.
Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas akibat
adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga menjadi
sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi berlebihan.
Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang masuk dalam paru-paru
berkurang.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) merupakan suatu kondisi yang serius dan berkembang secara
progresif. PPOK merupakan salah satu penyebab kematian utama pada pasien
geriatrik. Kondisi ini ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara kronik di paru.
Obstruksi aliran udara kronik pada PPOK disebabkan oleh gabungan dari kerusakan
saluran nafas (bronkiolitis obstruktif) dan kerusakan parenkim paru (emphysema).
Batuk pilek adalah infeksi virus yang menyerang saluran nafas atas (hidung
sampai tenggorokan) dan menimbulkan gejala ingus meler atau hidung mampet,
batuk sering disertai demam dan sakit kepala. Rhinitis merupakan peradangan pada
membran yang melapisi hidung dengan ciri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin
dan gatal pada hidung.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit asma ?
2. Apa saja etiologi dari penyakit asma ?
3. Apa saja klasifikasi dari penyakit asma ?
4. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit asma ?
5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit asma ?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit asma ?
7. Apa yang dimaksud dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
8. Bagaimana epidemiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
9. Apa saja etiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
10. Apa saja faktor resiko dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
11. Bagaimana patofisiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
12. Bagaimana diagnosis dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ?
13. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
?
14. Apa yang dimaksud dengan penyakit batuk pilek ?
15. Apa saja etiologi dari penyakit batuk pilek ?
16. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit batuk pilek ?
17. Apa saja klasifikasi dari penyakit batuk pilek ?
18. Bagaimana patofisiologi dari penyakit batuk pilek?
19. Bagaimana pedoman tatalaksanaa terapi pada penyakit batuk pilek ?
20. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit batuk pilek ?
21. Apa yang dimaksud dengan penyakit rhinitis alergi ?
22. Apa saja klasifikasi dari penyakit rhinitis alergi ?
23. Apa saja etiologi dari penyakit rhinitis alergi ?
24. Apa saja faktor resiko dari penyakit rhinitis alergi ?
25. Bagaimana patofisiologi dari penyakit rhinitis alergi ?
26. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit rhinitis alergi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit asma.
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit asma.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit asma.
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit asma.
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit asma.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penyakit asma.
7. Untuk mengetahui definisi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
8. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
9. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
10. Untuk mengetahui faktor resiko dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
11. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
12. Untuk mengetahui diagnosis dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
13. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK).
14. Untuk mengetahui definisi dari penyakit batuk pilek.
15. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit batuk pilek.
16. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit batuk pilek.
17. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit batuk pilek.
18. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit batuk pilek?
19. Untuk mengetahui pedoman tatalaksanaan terapi dari penyakit batuk pilek.
20. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penyakit batuk pilek ?
21. Untuk mengetahui definisi dari penyakit rhinitis alergi.
22. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit rhinitis alergi.
23. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit rhinitis alergi.
24. Untuk mengetahui faktor resiko dari penyakit rhinitis alergi.
25. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit rhinitis alergi.
26. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penyakit rhinitis alergi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Asma
Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang memiliki reaksi
berlebihan terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversibel (Padila, 2015). Definisi
asma juga disebutkan oleh Reeves dalam buku Padila yang menyatakan bahwa asma
adalah obstruksi pada bronkus yang mengalami inflamasi dan memiliki respon yang
sensitif serta bersifat reversible. Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu
jalan napas akiabat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas
sehingga menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan
reaksi berlebihan. Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang masuk
dalam paru-paru berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya napas berbunyi
(wheezing), batuk-batuk, dada sesak, dan gangguan bernapas terutama pada malam
hari dan dini hari (Soedarto, 2012).
2.2 Etiologi Asma
Penyebab awal terjadinya inflamasi saluran pernapasan pada penderita asma
belum diketahui mekanismenya (Soedarto, 2012).
Terdapat berbagai keadaan yang memicu terjadinya serangan asma, diantara lain:
1. Kegiatan fisik (exercise)
2. Kontak dengan alergen dan irritan
Alergen dapat disebabkan oleh berbagai bahan yang ada di sekitar penderita
asma seperti misalnya kulit, rambut, dan sayap hewan. Selain itu debu rumah yang
mengandung tungau debu rumah (house dust mites) juga dapat menyebabkan alergi.
Hewan seperti lipas (cockroaches, kecoa) dapat menjadi pemicu timbulnya alergi
bagi penderita asma. Bagian dari tumbuhan seperti tepung sari dan ilalang serta
jamur (nold) juga dapat bertindak sebagai allergen.
Iritans atau iritasi pada penderita asma dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti asap rokok, polusi udara. Faktor lingkungan seperti udara
dingin atau perubahan cuaca juga dapat menyebabkan iritasi. Bau-bauan yang
menyengat dari cat atau masakan dapat menjadi penyebab iritasi. Selain itu,
ekspresi emosi yang berlebihan (menangis tertawa) dan stres juga dapat memicu
iritasi pada penderita asma.
3. Akibat terjadinya infeksi virus
4. Penyebab lainnya. Berbagai penyebab dapat memicu terjadinya asma yaitu:
- Obat-obatan (aspirin, beta-blockers)
- Sulfite (buah kering wine)
- Gastroesophageal reflux disease, menyebabkan terjadinya rasa terbakar pada
lambung (pyrosis, heart burn) yang memperberat gejala serangan asma terutama
yang terjadi pada malam hari
- Bahan kimia dan debu di tempat kerja
- Infeksi

2.3 Klasifikasi Asma


1. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi
serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan
kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat. Biasanya tidak ada gejala
retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤ 2X dalam sebulan. Fungsi paru
PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau <20 %.
2. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan asma
diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik ketika duduk, bisa
mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang- kadang menggunakan
retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2X dalam sebulan. Fungsi paru
PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau 20% – 30%.
3. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per
kata, RR 30x/menit, Biasanya menggunakan retraksi iga ketika bernapas.
Gejala malam ≥ 1X dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel
PEF 60% - 80% atau > 30%.
4. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, Sering dan Aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi: Abnormal
pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam Sering. Fungsi paru PEF atau
PEV1 Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.
Brunner & suddarth (2002) menyampaikan asma sering di rincikan sebagai
alergik, idiopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu :
1. Asma alergik
Disebabkana oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal (misal: serbuk
sari, binatang, amarah dan jamur ) kebanyakan alergen terdapat di udara dan
musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga
yang alergik dan riwayat masa lalu ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap
alergen pencetus asma.
2. Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan dengan alergen spesifik
faktor-faktor, seperti comand cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan
polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan. Agen farmakologis
seperti aspirin dan alergen anti inflamasi non steroid lainya, pewarna rambut dan
agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor). Serangan asma idiopatik atau
nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dapat
berkembang menjadi bronkitis kronis dan empizema.
3. Asma gabungan
Asma gabungan adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik.
2.4 Tanda Dan Gejala Asma
Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dyspnea, wheezing,
pusing-pusing, sakit kepala, peningkatan nafas pendek, kecemasan, diaphoresis, dan
kelelahan. Hiperventilasi adalah salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak
nafas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus).
Gejala utama yang sering muncul adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering
dianggap sebagai salah satu gejala yang harus ada bila serangan asma muncul.
2.5 Patofisiologi Asma

Karakteristik utama asma adalah mengenai tingkat keparahan obstruksi


saluran nafas (bronkospasme, udem, hipersekresi), BHR (Bronchial
Hyperresponsiveness) serta inflamasi saluran nafas. Pada asma respon imun dari
immunoglobulin (Ig)E sangat berperan. Inflamasi yang terjadi ada dua macam yaitu
inflamasi akut dan inflamasi kronik (Kelly et al., 2008)
Mekanisme terjadinya inflamasi akut adalah ketika adanya paparan alergen
yang menyebabkan reaksi alergi fase awal dan pada beberapa kasus dapat diikuti
reaksi alergi fase akhir. Aktivasi dari sel yang mempengaruhi alergen spesifik IgE
mengawali terjadinya reaksi alergi fase awal dengan aktivasi sel mast dari saluran
nafas dan makrofag secara cepat. Kemudian sel yang sudah aktif tersebut akan
melepaskan mediator inflamasi yaitu, histamin, eikosanoid, dan spesies oksigen
reaktif yang dapat menimbulkan kontraksi otot polos pada saluran nafas, sekresi
mukus dan vasodilatasi. Mediator inflamasi menginduksi terjadinya kebocoran
mikrovaskular dengan eksudasi plasma pada saluran nafas. Plasma protein yang
bocor menyebabakan penebalan dan udem pada dinding saluran nafas sehingga
terjadi penyempitan lumen saluran nafas. Eksudasi plasma juga dapat
mempengaruhi integritas dari epitel dan menurunkan klirens mukus.
Reaksi fase akhir terjadi setalah 6-9 jam terjadinya paparan dan meperlihatkan
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, basofil, neutrofil dan makrofag.
Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan sitokin TH2 yang menjadi kunci
terjadinya reaksi fase akhir. Peningkatan dari nonspesifik BHR biasanya terlihat
setelah terjadinya reaksi fase akhir tetapi tidak terjadi setelah reaksi fase awal
karena alergen (Kelly et al., 2008).

Pada penyakit asma semua sel akan teraktivasi termasuk eosinofil, sel T, sel
mast, makrofag, sel epitel, fibrolas dan sel otot polos bronkus. Sel- sel tersebut juga
mengatur terjadinya inflamasi dan mengawali proses remodelling oleh karena
adanya sitokin dan faktor pertumbuhan. Sel epitel teraktivasi melalui mekanisme
reaksi IgE virus, polutan atau histamin. Kemudian sel epitel melepaskan eikosanoid,
peptida, matriks protein, sitokin dan nitrit oksid yang berperan dalam proses
inflamasi. Sel epitel juga sangat berperan dalam pengaturan remodelling saluran
nafas dan fibrosis. Pada asma, eosinofil juga memberikan kontribusinya dengan
melepaskan mediator proinflamasi. Mediator sitotoksik dan sitokin pada proses
aktivasi juga akan melepaskan mediator inflamasi serperti leukotrien dan granula
protein yang dapat melukai jaringan saluran pernafasan. Biopsi mukosa pada pasien
asma mengandung dua tipe limfosit yaitu TH1 dan TH2 yang menjadi marker adanya
inflamasi namun, TH1 bekerja menghambat aktivitas TH2 yang melepaskan sitokin
sebgai mediator inflamasi. Jadi asma dapat disebabkan ketidaksetimbangan jenis
limfosit TH1 dan TH2. Degranulasi sel mast mempunyai respon yang cepat dalam
mengawali terjadinya reaksi alergi akibat paparan alergen yang terjadi. Sel mast
ditemukan lebih banyak pada jalur nafas pada pasien asma akibat alergi. Alergen
berikatan dengan IgE dan kemudian terjadi pelepasan histamin, eosinofil dan faktor
kemotaktik neutrofil. Sensitifitas sel mast juga dapat diaktivasi oleh stimuli yang
menyebabkan bronkospasme akibat dari aktivitas yang berat. Makrofag alveolus
berperan penting dalam memakan dan mencerna bakteri serta benda asing lainnya
pada saluran nafas. Makrofag alveolus dapat menghasilkan faktor kemotaktik
neutrofil dan faktor kemotaktik eosinofil dimana hal tersebut dapat meningkatakan
proses inflamasi sedangkan neutrofil mempunyai peranan dalam meningkatkan
BHR dan menyebabkan inflamasi dengan pelepasan faktor pengaktifan platelet,
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien. Fibroblas juga dapat menyebabkan
inflamasi dengan mangaktivasi (Interleukin) IL-4 dan IL-13 yang kemudian
melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin dan remodelling jaringan. Molekul
adesi memiliki peranan penting dalam terjadinya proses inflamasi yaitu adesi dari
beberapa sel dan matriks jaringan yang memfasilitasi migrasi dan infiltrasi sel
tersebut pada tempat inflamasi. Beberapa molekul adesi yang berperan adalah
integrins cadherins, immunoglobulin supergene family, selectins, vascular
adressins dan ligan karbohidrat (Kelly et al., 2008).
2.6 Penatalaksanaan Asma
2.6.1 Terapi Farmakologi
1. Antialergika
Adalah zat zat yang berkhasiat menstabilisasi sel mast, sehinnga tidak pecah
dan mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator peradang lainnya yang
terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga antihistaminnika (ketotipen,
oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini. Obat ini sangat
berguna untuk prefensi serangan asma dan rhinitis alergis (hay fever).
Penggunaan kromoglikat sangat efektif sebagai obat pencegah serangan asma
dan bronchitis yang bersifat alergi serta conjunctivitis alergi dan alergi akibat
makanan. Untuk profilaksis yang layak, obat ini perlu diberikan minimal 4 kali sehari
yang efeknya baru menjadi nyata sesudah 2-4 minggu. Pada serangan akut kromolin
tidak efektif karena tidak memblok reseptor histamine. Reasorpsi didalam usus tidak
terjadi, dari suatu dosis inhalasi (serbuk halus) senyawa ini hanya 5-10% mencapai
bronchi dan diserap, yang segera diekskresikan lewat kemih dan empedu secara utuh.
Efek sampingnya berupa rangsangan local pada selaput lender tenggorokan
dan tracea, dengan gejala batuk-batuk, kadang-kadang kejang, dan serangan asma
selewat. Untuk mencegah hal ini dapat digunakan inhalasi salbutamol terlebih dahulu.
Rangsangan mukosa dapat terjadi pada penggunaan nasal (Rynacrom, Lomusol) dan
pada mata. Wanita hamil dapat menggunakan kromoglikat..
Dosis inhalasi minimal 4 dd 1 puff (20mg) sebagai serbuk halus dengan
menggunakan alat khusus (spinhaler) atau sebagai larutan (aerosol). Nasal 4 dd 10 mg
serbuk dan untuk mata 4-6 dd 1-2 tetes dari larutan 2%.
2. Bronchodilator
Pelepasan kejang dan bronchodilasi dapat dicapai dengan dengan merangsang
adrenergic dengan adrenergika atau melalui penghambatan sistim kolinergis
dengan  antikolinergika juga dengan teofilin.
a. Agonis β adrenerrgik atau (β-mimetika)
salbutamol,terbutalin, klenbuterol, salmeterol, fenoterol, formoterol dan
prokaterol.
Contoh :
 Kerja singkat (1-3 jam) : epinefrin, isoproterenol, isoetarin
 Kerja sedang (3-6 jam) : salbutamol, bitolterol, fenoterol, metaproterenol.
pributerol, terbutalin.
 Kerja lama (lebih dari 12 jam) : formoterol, salmeterol, bambuterol.
Zat zat ini bekerja selktif tehadap reseptor β adrenergic (bronchospasmolysis)
dan praktis tidak terhadap reseptor β1 (stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap
kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung efeknya terhadap jantung.
Seperti efedrin, isoprenalin, dan orsiprenalin.pengecualian ada adrenalin (reseptor-α
dan – β) dan yang sangat efektif pada keadaan kemelut.
Mekanisme kerjannya adalah melaui stimulasi reseptor β2 yang banyak
terdapat di trachea (batang tenggorok dan bronchi yang menyebabkan aktivasi dari
adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya
energi menjadi cyclic-adenosine-monophosphape (cAMP)  dengan pembebasan
enersi yang digunakan proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar (cAMP)  di
dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, bronchodilatasi
dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
Farmakodinamika: Zat zat ini bekerja selektif terhadap reseptor beta-2
adrenergik  (bronchospasmolysis) dan praktis tidak terhadap reseptor beta-1
(stimulasi jantung).
Indikasi : Untuk mencegah dan untuk mengatasi bronkospasme.
Farmakokinetik : diadsorbsi minimal dari saluran cerna,tidak melintasi blood-brain
barier ,dimetabolisme secara ekstensif dalam hepar menjadi metabolit in
aktif,dieksresi secara cepat melaui urin dan feses.
Efek samping :
Kerja pendek : Mulut kering,tremors,tachycardia,paradoxial bronchospasm
Kerja lama: Bronchospasm, tachycardia
Penggunaanya semula sebagai monoterapi kontinu,yang ternyata berangsur
meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi allergen.  Pada pasien
alergis.oleh karena itu sejak beberapa tahun sejak beberapa tahun hanya untuk
melawan serangan dan sebagai pemeliharaan dalam kombinasi  dengan zat anti
radang, yaitu kortikosteroid inhalasi. Salbutamol dan butalin dapat di gunakan oleh
wanita hamil, begitu pula penoterol dan hekso-prenalin setelah minggu ke
16.salbutamol, terbutalin dan salmeterol mencapaiair susu ibu dari obat lain nya
belum terdapat data untuk menilai keamanannya tetapi cukup pada binatang
percobaan salmeterol ternyata merugikan janin.
Contoh obat

Dosis : 2mg, 4mg/tab, 2mg/5ml


Anak-anak : 3-4x 1/4-1/2 tab
Dewasa : 3-4x  2 tab
Indikasi : asma bronkial, bronkitis kronik, emfisema pulmonum,
Efek samping : kejang otot, tremor,takikardia, sakit kepala, ketegangan, gugup,mual,
vasodilatasi perifer, dan susah tidur.
Kontraindikasi: Hipersensitif
3. Antikolinergik
Ipratropium,tiotropiumdan deftropin. Di dalam sel sel otot polos terdapat
keseimbangan antara sistem adrenergic dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu
sebab reseptor beta-2 dari sistem adrenergic akan berkuasa dengan akibat
bronchokonsttriksi. Antikolinergika memblock reseptor muskarin dari saraf saraf
kolinergik di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi dominan
dengan efek bronchodilatasi. Penggunaannya untuk terapi pemeliharaan HRB, tetapi
juga berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui inhalasi efek pesat).
Iprat ropium dan tiotropium khusus digunakan sebagai inhalasi, kerjanya lebih
panjang daripada salbutamol, kombinasinya dengan β2 mimetika sering kali igunakan
karena mencapai efek adiktif. Deptropin (brontin) berdaya mengurangi HRB tetapi
kerja spasmolitisnya ringan, sehingga diperlukan dosis tinggi dengan risiko efek
samping yang lebih tinggi pula. Adakalahnya senyawa ini masih digunakan pada
anak-anak kecil dengan hipersekresi dahak, yang belum mampu diberikan terapi
inhalasi.
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan
dahak dan tachycardia, yang tak jarang mengganggu terapi. Begitu pula efek atropine
lainnya seperti mulut kering, obstipasi, sukar kemih, dan penglihatan kabur akibat
gangguan akomodasi. Penggunaannya sebagai inhalasi meringankan efek samping
ini.
4. Derivate Xantin
Derivat metilxanttin mencangkup teofilin, aminofilin, dan kafein. Xantin juga
merangsang saraf pusat dan pernafasan, mendilatasi pembuluh pulmolar dan
koronaria, dan menyebabkan diuresis karena efeknya terhadap respirasi dan
pembuluh pulmolar, maka xantin dipakai untuk mengobati asma.
Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blockade reseptor
adenosine. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya
hiperreaktivitas dan berdasarkan ini bekerja profilaktis. Resorpsi dari turunan teofilin
sangat berfariasi yang terbaik adalah teofilin microfine (particle size :1-5 micron) dan
garam-garam aminofilin dan kolinteofilinat.
Penggunaan secara terus menerus pada terapi pemeliharaan ternayata efektif
mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada keadaan akut (injeksi
aminofilin) dapat dikombinasi dengan abat asma lain, tetapi kombinasi dengan beta-2
mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati berhubung kedua jenis obat saling
memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (asmadex,
asmasolon) praktis tidak meningkatkan efek bronchodilatasi. Sedangkan efeknya
terhadap jantung dan efek sentralnya sangat diperkuat. Oleh karena ini, sediaan
kombinasi demikian tidak dianjurkan terutama untuk pasien pemula.
Farmakokinetik : diabsorbsi dengan baik setelah diberikan secara oral, tetapi
absorbsi dapat bervariasi sesuai dengan dosis. Teofilin dapat diberikan secara i.v
dalam cairan i.v. obat-obat teofilin dimetabolisasi oleh enzim hati, dan 90% dari obat
ini dikeluarkan melalui ginjal.
Farmakodinamik : Teofilin meningkatkan kadar siklik AMP, menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi.
Efek samping : Mual, muntah, nyeri lambung karena peningkatan sekresi asam
lambung, pendarahan usus, disritmia jantung, palpitasi (berdebar), hipotensi berat,
hiperrefleks, dan kejang. Teofilin adalah suatu bronkodilator dengan potensi sedang.
Mekanisme : menghambat aktifitas fosfodiesterase yang dihasilkan oleh peningkatan
kadar cAMP dalam otot polos saluran napas. Teofilin menghambat degranulasisel
mastosit, mengurangi kebocoran mikrovaskular, dan meningkatkan bersihan
mukosiliar.
Efek samping : teofilin berkaitan dengan kadar plasma (20 mg/1),
termasuk  kegugupan, tremor ansietas, mual, anoreksia, perut tidak enak, aritmia
jantung, dan kejang.
Indikasi : sebagai terapi penunjang untuk asma kronis yang gejalanya masih sulit
dikontrol oleh kombinasi  agonis beta-2 dan obat antiinflamasi. Memperbaiki fungsi
paru dan kelemahan diafragma.
Farmakokinetik : Absorbsi teofilin lebih komplet dan cepat pada pemakaian peroral.
Metabolisme : oleh sitokrom  P-450 dan kecepatan metabolisme bervariasi luas
diantara subjek-subjek.
5. Kortikosteroid
Kortikosteroi berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan dan
gatal gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blockade enzim fosfolipase A2, sehingga
pembentukan mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam
arachidonat tidak terjadi. Kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan allergen
yang melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi sel mast, juga meningkatkan
kepekaan reseptor beta 2 hingga efek beta mimetika. Penggunaannya terutama
bermanfaat pada serangan asma akibat infeksi virus, selain itu juga pada infeksi
bakteri dan melawan reaksi perdangan. zat zat ini dapat diberikan inhalasi atau per
oral pada kasus gawat dan statuis asthmatikus, obat ini di berikan secara iv (perinfus)
disusul pemberian oral. Penggunaan oral dalam jangka waktu lama hendaknya di
hindari karena menekan funsi ginjal yang mengakibatkan osteoporosis maka hanya
diberikan untuk satu kurunsingkat.
Steroid inhalasi → untuk asma nokturnal (budesonid, beklometason, flunisolid,
flutikason dan triamcinolon cetonide)
Steroid intravena → untuk penanganan asma akut berat ( hydrocortisone sodium
succinate. Metylprednisolon sodium succinate)
Oral → prednisolon, prednisone
Indikasi : pengobatan asma sedang dan asma berat.
Mekanisme : bekerja dengan jalan berikatan dengan reseptor cytosolic yang penting
untuk regulasi gen tertentu. Kortikosteroid meningkatkan densitas reseptor beta 2
dalam otot polos saluran naps yang dapt mencegah potensial toleransi terhadap agonis
beta 2.
Contoh obat

Dosis : 4mg, 8mg, dan 16mg


Anak –anak : 0,4-1,6 mg/kg BB
Dewasa : 4-48 mg/hari
Kontra indikasi : infeksi jamur ,sistemik, dan hipersensitif.
Indikasi : asma bronkial, gangguan endokrin, gastrointestinal, reumatik, eksema,
alergi, meningitis tuberkulosa.
Efek samping : gangguan elektrolit dan cairan tubuh,gangguan pencernaan, keringat
berlebih, kelemahan otot, hambatan pertumbuhaan pada anak, DM, glaukoma,
katarak, meningkatnya tekanan darah.
Farmakokinetik : Prednison oral dapat diabsorbsi dengan cepat dalam sal. Cerna
dimetabolisme secara ekstensif dalam hepar menjadi metabolit aktif prednisolone
.Bentuk iv mempunyai onset cepat .Bentuk inhalasi diabsorbsi minimal (absorbsi
linier dengan penambahan dosis)
Kortikosteroid bekerja dengan banyak mekanisme yaitu :
 Relaksasi bronkospasme
 Mengurangi sekresi mukosa
 Potensiasi dengan reseptor adrenergik beta
 Mengantagonis aksi aksi kolinergik
 Stabilisasi lisosom
 Memiliki sifat antiinflamsi
 Menghambat pembentukan antibodi dan mengantagonis kerja histamin.
 Kortikosteroid tidak menghambat pembebasan mediator dari sel mastosit, dan
tidak pula menghambat respon awal terhadap alergen , tetapi
memblok  respon lambat dan hiperresponsif selanjutnya.
 Steroid yang aktif pada pemberian topikal dan dapat mengontrol asma tanpa
menyebabkan efek sistemik atau suspersi adrenal adalah beklometason
dipropionat, budesonid, triamsinolon asetat, dan flunisolid.
 Efek samping : yang umum dari steroid inhalasi adalah kandidiasis
orofaringeal dan disfonia yang dapat dikurangi dengan penggunaan aerosol
spacer dan higiene orofaringeal yang baik. Efek samping trerois per oral
adalah osteoporosis, penambahan berat badan, hipertensi, diabetes, miopati,
gangguan psikiatri, kulit rapuh, katarak, dan supresi adrenal.

B. Terapi Non Farmakologi


 Memberikan edukasi atau penjelasan kepada penderita/ yang merawat penderita
mengenai berbagai hal tentang asma, misalnya tentang terjadinya asma,
bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal
keparahan.
 Mengenali dan mengontrol faktor-faktor pemicu serangan asma
 Melakukan olahraga  secara teratur, misalnya senam asma untuk latihan
pernafasan.
 Selain obat obatan yang dikonsumsi terdapat alat-alat bantu yang biasa
digunakan untuk membantu memudahkan pernapasan pada anak. Perawatan ini
umumnya diberikan 4 kali sehari dan dalam waktu 10-15 menit. Namun
frekuensinya tergantung kapada dokter.
  
Alat bantu untuk asma yaitu :
 Inhaler
Inhaler adalah alat kesehatan (medical device) yang digunakan untuk
mengatar obat kedalam tubh melalui paru paru.pada umum nya inhaler merupakan
sistim yang bergantung pada kekuatan dari liquid gas yang berkompresi untuk
menularkan isi dari kontainer.
Aerosol terdiri dari 2 komponen yaitu :
 Produk terkonsentrat yang terdiri dari zat aktif obat atau campuran dari zat
aktif dan bahan penting lainnya seperti pelarut antioksidan,dan surfaktan.
 Propellant (penndorong obat)
Selain itu dapat digunakan alat sebagai berikut :
 Masker wajah
Biasanya digunakan untuk anak dibawah usia empat tahun. Saat anak
mengalami kesulitan bernapas masker wajah yang disambungkan pada spacer atau
tabung semprot sebelum anak mulai menghirup obat asma.
 Inhaler dengan dosis terukur
Inhaler dengan ukuran segenggaman tangan digunakan untuk menyemprotkan
obat kedalam mulut. Alat ini dapat digunakn pada anak usia sekolah.
 Nebulizer
Berfungsi untuk menyemprotkan obat dalam dosis tinggi ke paru-paru. Ini
adalah alat yang paling sering digunakan untuk anak-anak dan dapat mengubah obat
menjadi partikel kecil yang dihirup melalui masker wajah. Pada balita, alat ini
digunakan dengan dosis yang lebih ringan.
 Inhaler dengan bubuk kering
Bubuk yang dihirup ini lebih umum digunakan untuk anak anak di atas usia
empat tahun karena memerlukan teknik pernapasan dalam.
Cara memakai inhaler yang benar adalah sebagai berikut :
 Cuci tangan bersih bersih
 Masukkan tabung obat kedalam plastik pemegang.
 Kocok inhaler sebelum dipakai.lepaskan bagian mulut  kedalam mulut,pegang
inhaler .
 Bibir diusahakan untuk tetap mengelilingi bagian mulut dan tarik nafas,tekan
tabung obat sekali.
 Tahan nafas selama beberapa detik ,keluarkan tabugng dari mulut dan
keluarkan nafas perlahan2.
 Jika diperlukan  dosis kedua,tunggu 2 menit dan ulangi prosedur dengan
terlebih dahulu mengocok tabung obat yang ada dalam tabung plastik
pemegang  dengan penutup terpasang.
 Bersihkan bagian mulut ,jika inhaler tidak dipakai belakangan ini atau
pertama kali dipakai uji “uji semprot dulu sebelum melakuakan pemberian
dosis terukur.
 Jika inhalat glukokortikoid akan digunakan bersama2 dengan bronkodilator
tunggu selama 5 menit sebelum memakai inhaler yang mengandung steroid
agar tersedia cukup waktu untuk bronkodilator dapat bekerja.
 Jangan lupa mencuci mulut atau berkumur setelah menggunakan alat ini.
2.7 Definisi PPOK

Menurut "National Heart, Lung, and Blood Insitute (NHLBI)" dan WHO,
COPD didefinisikan sebagai penyakit yang dibatasi oleh terbatasnya saluran udara
yang progresif yang tidak dapat pulih kembali. Keterbatasan saluran udara biasanya
dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi paru-paru yang tidak normal
terhadap partikel atau gas. Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih
mukus kronik atau berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi
hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam pengawasan, dan ini
berlangsung paling tidak dalam 2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk lain telah
dikeluarkan. Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang berada di
distal terhadap terminal bronkhiol, tetapi tanpa fibrosis yang jelas. Secara definisi
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis
progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara
yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi
ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.
PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap
partikel berbahaya dalam udara.

PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh


terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas dan kerusakan alveoli paru-
paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema,
atau gabungan keduanya. Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan
emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi
menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.

Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk
kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.
Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Tidak
jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

2.8 Epidemiologi PPOK


Epidemiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic
obstructive pulmonary disease di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti, namun
diperkirakan berkisar antara 7-19%. The Burden of Obstructive Lung
Disease (BOLD) mengungkapkan angka prevalensi global adalah 10.1%. Pria
ditemukan memiliki prevalensi 8.5% dan wanita 8.5%. Angka prevalensi bervariasi di
berbagai daerah di dunia. Kota Cape Town di Afrika Selatan memiliki angka
prevalensi tertinggi, yaitu 22.2% pada pria dan 16.7% pada wanita. Kota Hannover di
Jerman memiliki angka prevalensi terendah, yaitu 8,6% pada pria dan 3.7% pada
wanita. Angka kematian karena PPOK di seluruh dunia diperkirakan mencapai 3 juta
kematian pada tahun 2015.Ini berarti sekitar 5% dari seluruh kematian di dunia.Lebih
dari 95% kematian karena PPOK terjadi pada Negara berpenghasilan rendah dan
sedang.PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di amerika serikat dengan angka
kematian mencapai 120000 orang per tahun.
Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1992 menunjukkan angka kematian
karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak
3,7%. Pada tahun 2015 saja, dapat dilihat bahwa penduduk berusia 15 tahun keatas
yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan.
Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang
di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini menunjukkan tingginya angka
perokok di Indonesia yang merupakan faktor risiko utama PPOK.

2.9 Etiologi PPOK


A. Merokok
Merokok hingga saat ini masih menjadi penyebab utama dari PPOK,
termasuk perokok pasif.World Health Organitation (WHO) memperkirakan pada
tahun 2005, 5.4 juta orang meninggal akibat konsumsi rokok. Kematian akibat rokok
diperkirakan akan meningkat hingga 8.3 juta kematian pertahun pada tahun 2030.
Merokok merangsang makrofag melepaskan fator kemotaktik netrofil dan
elastase yang akan menyebabkan destruksi jaringan. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa penurunnan fungsi paru dan perubahan struktur paru pada pasien yang
merokok telah terjadi jauh sebelum gejala klinis PPOK muncul.
B. Faktor Lingkungan
PPOK dapat muncul pada pasien yang tidak pernah merokok.Faktor
lingkungan dicurigai dapat menjadi penyebabnya namun mekanisme belum diketahui
pasti.Pada negara dengan penghasilan sedang hingga tinggi, merokok merupakan
penyebab utama PPOK, namun pada negara dengan penghasilan rendah paparan
terhadap polusi udara merupakan penyebabnya. Faktor risiko yang berasal dari
lingkungan antara lain adalah polusi dalam ruangan, polusi luar ruangan, zat kimia
dan debu pada lingkungan kerja, serta infeksi saluran nafas bagian bawah yang
berulang pada usia anak.
C. Defisiensi enzim Alpha1-antitrypsin (AAT)
AAT merupakan enzim yang berfungsi untuk menetralisir efek elastase
neutrophil dan melindungi parenkim paru dari efek elastase.Defisiensi AAT
merupakan faktor predisposisi pada Emfisema tipe panasinar. Defisiensi AAT yang
berat akan menyebabkan emfisema prematur pada usia rata-rata 53 tahun untuk
pasien bukan perokok dan 40 tahun pada pasien perokok.
Penyebab PPOK Lainnya, hal lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah :
 Hiperresponsif jalan nafas
 Penggunaan obat intravena
 Sindrom Immunodefisiensi
 Sindrom vaskulitis
 Gangguan jaringan ikat
2.10 Faktor Risiko PPOK
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan (Tabel
1), dan umumnya, interaksi antara risiko ini mengarah pada ekspresi penyakit. Faktor
host, seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dapat dimodifikasi namun penting
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terkena penyakit ini. Faktor
lingkungan, seperti asap tembakau, debu dan bahan kimia kerja, merupakan faktor
yang dapat dihindari, sehingga mengurangi risiko perkembangan penyakit. Paparan
lingkungan yang terkait dengan PPOK adalah partikel yang dihirup oleh individu dan
mengakibatkan peradangan serta cedera sel. Paparan beberapa racun lingkungan
meningkatkan risiko PPOK (Dipiro et al, 2008).
Tabel 1. Faktor risiko PPOK (Dipiro, 2008)
Faktor Host Predisposisi genetik (α1-antitrypsin)
Keterlambatan tekanan udara
Gangguan paru
Asap rokok
Debu dan bahan kimia industri
Faktor Lingkungan Polusi udara

2.11 Patofisiologi PPOK


Etiologi paling umum dari PPOK adalah paparan terhadap asap rokok di
lingkungan, tapi paparan kronik lain dapat menjadi penyebab PPOK. Menghirup
partikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil, makrofag, dan limfosit CD8+
yang membebaskan sejumlah mediator kimia. Sel inflamasi dan mediator ini
menyebabkan perubahan dekstruktif secara meluas pada saluran udara, pembuluh
pulmonar, dan parenkim paru – paru (Dipiro dkk., 2015).
Proses patofisiologi lainnya termasuk stres oksidatif dan ketidak-seimbangan
antara sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease)
juga dapat terjadi. Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan
merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Oksidator juga memudahkan inflamasi secara lansung dan mempeperparah
ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menginhibisi aktivitas antiprotease.
Antiprotease protektif alfa-1-antitripsin (AAT) menghambat sejumlah enzim
protease, termasuk elastase neutrofil. Dengan tidak adanya aktivitas AAT, etalase
menyerang elastin, yang merupakan komponen utama dari dinding alveolus.
Defisiensi AAT secara genetic menyebabkan peningkatan resiko perkembangan
emfisema premature. Pada emfisema diakibatkan oleh merokok, ketidakseimbangan
ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas
antiprotease. (Dipiro dkk., 2015).
Suatu eksudat inflamasi sering ditemui pada saluran udara yang
menyebabkan suatu peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus.
Sekresi mukus meningkat dan motilitas siliaris mengalami kerusakan. Ada Terdapat
penebalan otot polos dan jaringan ikat pada saluran udara. Inflamasi kronis
menyebabkan pembentukan parut dan fibrosis. Penyempitan saluran udara yang
meluas terjadi dan lebih parah pada saluran udara perifer yang berukuran kecil.
PPOK yang terkait merokok paling umum menyebabkan emfisema
sentrilobular yang terutama mempengaruhi bronkiolus pernapasan. Emfisema pan-
lobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantung
alveolus.
Perubahan vaskular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat
menyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonalis. Selanjutnya, perubahan struktural
meningkatkan tekanan paru, terutama saat berolahraga. Pada PPOK berat, hipertensi
paru sekunder menyebabkan gagal jantung sisi kanan (cor pulmonale).

2.12 Diagnosis PPOK


A. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) biasanya datang dengan
kombinasi gejala dari bronkitis kronik, emfisema, dan asma. Gejala utama antara lain:
 Batuk produktif, yang biasanya lebih berat pada pagi hari disertai produksi
sputum
 Sesak nafas yang biasanya memberat pada usia 60 tahun ke atas
 Wheezing dapat ditemukan pada beberapa pasien, terutama saat aktifitas.
Gejala tersebut berubah menjadi semakin berat, sehingga menyebabkan
keluhan sesak yang hebat, keterbatasan aktifitas fisik dan perubahan pada status
mental.Terkadang ditemukan gejala-gejala tambahan yang khas pada tipe PPOK
tertentu.
Pada PPOK tipe bronkhitis kronik, gejala khas yang sering muncul adalah :
 Batuk produktif yang semakin parah seiring waktu dan menyebabkan sesak
yang hilang timbul
 Infeksi paru yang sering berulang
 Gagal nafas/gagal jantung yang berkembang secara progresif disertai edema dan
peningkatan berat badan
 Pada PPOK tipe emfisema, gejala khas yang sering muncul adalah:
 Riwayat sesak nafas yang progresif disertai batuk nonproduktif
 Sputum mukopurulent yang jarang kambuh
 Cachexia
Merokok merupakan faktor risiko utama dari PPOK, sehingga perlu
ditanyakan riwayat merokok pada pasien. Riwayat merokok yang perlu ditanyakan
adalah jumlah dan lama merokok, termasuk usia mulai merokok dan usia berhenti
merokok. Riwayat terpapar zat iritan di tempat bekerja juga perlu
ditanyakan.Penyakit komorbid yang mungkin dapat ditenukan pada PPOK adalah
kanker paru, bronkiektasis, penyakit jantung, osteoporosis, sindrom metabolik,
kelemahan otot, anxietas, depresi, dan gangguan fungsi kognitif. Pasien dapat juga
memiliki riwayat keluarga penderita PPOK atau penyakit pernafasan kronik lainnya.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada PPOK fase awal umumnya normal atau hanya
menunjukkan ekspirasi yang memanjang. Pemeriksaan fisik akan semakin bervariasi
sesuai dengan tingkat keparahan PPOK dan semakin bermakna pada PPOK berat.
Pada inspeksi dapat ditemukan :
 Penampilan pink puffer (kurus, kulit kemerahan) atau blue bloater(gemuk,
sianosis, edema tungkai)
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan dapat terlihat denyut vena jugularis dan
edema tungkai
 Penggunaan dan hipertrofi otot bantu nafas
 Pursed-lips breathing
 Barrel chest( diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
a. Palpasi
Pada tipe emfisema, fremitus paru dirasakan melemah dengan sela iga melebar.
b. Perkusi
Pada perkusi toraks akan ditemukan suara paru hipersonor, batas jantung
mengecil, dan letak diafragma rendah.
c. Auskultasi
Pada auskultasi toraks akan ditemukan ekspirasi memanjang, wheezing pada
waktu bernafas biasa atau ekspirasi paksa, penurunan suara nafas vesikuler, dan
suara jantung terdengar menjauh.

C. Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) bergantung dari presentasi klinis pasien.
Secara umum, PPOK dapat didiagnosis banding dengan:
a. Asma
Asma biasanya sudah muncul dari usia anak. Gejala asma biasanya muncul
pada malam atau dini hari dan bersifat reversibel.Dapat juga ditemukan alergi, rhinitis
dan/atau eczema.Namun dapat juga ditemukan kombinasi gejala dari PPOK dan
Asma.
b. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung merupakan penyebab sesak nafas yang sering ditemui pada
pasien usia tua, dan beberapa pasien merasakan berat di dada dan wheezing dengan
penumpukan cairan. Pada gagal jantung biasanya ditemukan rhonki basah halus pada
basal paru.Pada foto thoraks ditemukan kardiomegali dan edema paru. Pada
pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya restriksi volume, bukan keterbatasan
aliran udara.Peningkatan BNP juga dapat ditemukan pada gagal jantung kongestif.
c. Bronkiektasis
Merupakan pelebaran abnormal bronchus yang berhubungan dengan infeksi
kronik atau infeksi berulang. Gejala menyerupai PPOK, namun disertai dengan sesak
semakin berat dengan produksi sputum yang mukopurulen.
d. Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat terjadi pada semua usia. Foto thoraks polos menunjukkan
gambaran infiltrat dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikrobiologis.
e. Bronkiolitis Konstriktif
Biasanya muncul pada usia muda, dan terjadi setelah trauma inhalasi,
transplantasi (sumsum tulang, paru), riwayat reumatoid arthritis atau inflammatory
bowel disease (IBS). Pasien akan mengalami batuk dan sesak yang dapat muncul saat
istirahat atau beraktifitas. Tes fungsi paru menunjukkan keterbatasan aliran udara
yang progresif dan ireversibel.
f. Panbronkiolitis Difusa
Biasanya ditemukan pada pasien dengan keturunan asia. Sebagian besar
pasien laki-laki dan tidak merokok. Tes fungsi paru menunjukkan adanya gambaran
obstruktif, namun terkadang ditemukan juga campuan obstruktif-restriktif.

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) yang bermanfaat diantaranya
adalah pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan radiologis.
a. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosis,
menentukan tingkat keparahan PPOK dan untuk mengkaji ulang kondisi pasien
PPOK. Pemeriksaan dengan spirometri pada PPOK diutamakan untuk menentukan
nilai forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan the forced vital
capacity (FVC).
Pada PPOK ditemukan penurunan nilai FEV1 dengan penurunan rasio
FEV1/FVC. Dapat juga dilakukan uji bronkodilator. Jika Nilai rasio FEV1/FVC post
pemberian bronkodilator <0.70, ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara
yang persisten.
Global Initiative Lung Disease (GOLD) melakukan klasifikasi tingkat
keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK. Klasifikasi ini berdasarkan
pemeriksaan spirometri setelah dilakukan pemberian bronkodilator inhalasi kerja
pendek untuk meminimalisir variabilitas. Berikut klasifikasinya berdasarkan nilai
FEV1 post-bronkodilator dengan rasio FEV1/FVC <70%:
 GOLD 1 (Mild) : FEV1 > 80% predicted
 GOLD 2 (Moderate) : 50% < FEV1 < 80% predicted
 GOLD 3 (Severe) : 30% < FEV1 < 50% predicted
 GOLD 4 (Very Severe) : FEV1 < 30% predicted
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada PPOK adalah foto rontgen
toraks dan CT Scan toraks. Pada foto rontgen thoraks anteroposterior-lateral, dapat
ditemukan hiperinflasi paru, hiperlusensi, diafragma tampak datar, bayangan jantung
yang sempit, dan gambaran jantung seperti pendulum (tear drop appearance). Pada
PPOK tipe bronkitis kronis dapat ditemukan pertambahan corak vascular paru dan
kardiomegali.
Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai
tipe dari PPOK. CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika
dibandingkan foto thoraks polos.

 
Gambaran CT scan pada penderita PPOK emfisematosa (kiri) dan non-emfisematosa
(kanan)
b. Pemeriksaan Echokardiografi
Pada pasien dengan PPOK lama, dapat menyebabkan timbulnya hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).Echocardiografi dapat digunakan
untuk menilai tekanan sistolik arteri pulmonal dan fungsi sitolik ventrikel kanan.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak ada yang spesifik untuk PPOK.
Apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka akan didapatkan :
2 Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keparahan dan serangan akut dari PPOK. Secara umum. pH< 7.3
menandakan adanya gangguan pernafasan akut. Biasanya juga ditemukan
kompensasi ginjal sehingga nilai pH mendekati normal.
3 Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat apakah ada infeksi
sekunder pada PPOK yang ditandai dengan leukositosis
4 Pemeriksaan kimia darah pada pasien PPOK dapat menunjukkan retensi natrium.
Obat-obatan PPOK (agonis beta adrenergic, teofiline) memiliki efek penurunan
kadar kalium serum, sehingga harus dilakukan monitor berkala.
5 Pemeriksaan Sputum
Pada bronchitis kronis, biasanya sputum bersifat mukoid dan penuh dengan
makrofag. Pada PPOK eksaserbasi, sputum akan menjadi purulent dan penuh
dengan neutrofil. Perlu juga dilakukan pemeriksaan kultur mikroorganisme,
sehingga dapat diberikan antibiotik yang definitif.
 Pemeriksaan Brain natriuretic peptide (BNP) dapat membantu dalam
membedakan sesak yang disebabkan oleh PPOK atau oleh gagal jantung kongestif.
Namun tetap harus memperhatikan gejala klinis pasien.
 Pemeriksaan enzim alpha1-antitrypsin (AAT) dapat ditemukan defisiensi AAT.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat keluarga
menderita emfisema pada usia muda.
2.13 Penatalaksana PPOK
Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal
paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum penatalaksaan
PPOK meliputi terapi non farmakologis, terapi farmakologis, terapi oksigen.
2.13.1 Terapi Non Farmakologi (Dipiro dkk, 2015)
 Penghentian merokok adalah satu-satunya intervensi yang terbukti memengaruhi
penurunan FEV1 jangka panjang dan perkembangan PPOK yang lambat.
 Program rehabilitasi paru meliputi latihan olah raga, latihan pernafasan, perawatan
medis yang optimal, dukungan psikososial, dan penyuluhan kesehatan.
 Berikan vaksinasi yang sesuai (misalnya, vaksin pneumokokus, vaksin influenza
tahunan).
 Setelah pasien distabilkan sebagai pasien rawat jalan dan farmakoterapi
dioptimalkan, lakukan terapi oksigen jangka panjang jika (1) istirahat Pao2 kurang
dari 55 mmHg atau SaO2 kurang dari 88% dengan atau tanpa hiperkapnia, atau (2)
istirahat Pao2 55-60 mm Hg atau SaO2 kurang dari 88% dengan bukti gagal
jantung sisi kanan, polisitemia, atau hipertensi paru. Tujuannya untuk menaikkan
PaO2 di atas 60 mm Hg.
 Rajin mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi serta olahraga yang cukup.
Terapi untuk PPOK harus dilakukan dengan penilaian individu berdasarkan
gejala yang timbul dan resiko jangka panjang dari eksaserbasi. Tujuan terapi adalah
penghentian konsumsi rokok, penyembuhan gejala pengurangan nilai FEV1,
pengurangan angka kejadian keparahan akut, peningkatan kesejahteraan fisik dan
psikologis, pengurangan tingkat kematian, perawatan di rumah sakit, dan hari tidak
masuk kerja. Manajemen terapi harus didukung dengan terapi non farmakologi
(Dipiro dkk., 2015).
2.13.2 Penanganan Eksaserbasi
Tujuan terapi adalah untuk mencegah rawat inap dan mengurangi lama
rawat, mencegah kegagalan terapi akut dan kematian, menangani gejala,
memperbaiki status kesehatan pasien dan kualitas hidupnya. Pertimbangkan terapi
oksigen untuk pasien dengan hipoksemia. Gunakan hati-hati karena banyak Pasien
PPOK mengandalkan hipoksemia ringan untuk memicu dorongan mereka untuk
bernapas. pemberian oksigen yang agresif untuk pasien dengan hiperkapnia kronis
dapat menyebabkan depresi pernapasan dan kegagalan pernapasan. Sesuaikan
oksigen untuk mencapai PaO2 yang lebih besar dari 60 mmHg atau saturasi oksigen
(SaO2) lebih besar dari 90%. Dapatkan analisa gas darah setelah itu inisiasi oksigen
untuk memantau retensi CO2 yang dihasilkan dari hipoventilasi (Dipiro dkk., 2015).
Noninvasive positive-pressure ventilation (NPPV) memberikan dukungan ventilasi
oksigen dan aliran udara bertekanan menggunakan masker wajah atau hidung tanpa
intubasi endotrakeal. NPPV tidak sesuai untuk pasien dengan status mental yang
berubah, asidosis parah, henti pernapasan, atau ketidakstabilan kardiovaskular (Dipiro
dkk., 2015).
2.13.3 Terapi Farmakologi PPOK Kronik
Pendekatan bertahap untuk sobat COPD ditunjukkan pada Gambar 34.1.
Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala; tidak ada golongan farmakologi
yang terbukti memberikan keuntungan lebih dibanding yang lain, meskipun terapi
inhalasi lebih. Pemilihan pengobatan berdasarkan pada pasien, respon individu, dan
efek samping. Pengobatan dapat dipakai sesuai kebutuhan atau jadwal. Terapi
tambahan yang dibangun pada tahapan tergantung respons dan keparahan penyakit.
Keuntungan klinis bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik,
penurunan terperangkapnya udara, dan peredaan gejala seperti dispnea. Namun,
peningkatan berarti penentuan fungsi paru-paru seperti FEV, mungkin tidak terlihat.
Gambar 34.1. Rekomendasi Terapi untuk COPD Stabil

a. Simpatomimetik
Simpatomimetik selektif B, menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan
bronkodilarasi dengan menstimulasi enzim adenil sildase untuk mening-katkan.
Pemesanan adenosin monofosfat siklik (CAMP), Simpatomimetik juga dapat
meningkatkan klirens mukotiliar. Pemberian melalui meternd-dose inhaler (MDI)
atau dry powder inhaler (DPI) seridaknya seefektif rerapi nebulisasi dan biananya
lebih efektif karena alasan biaya dan kenyamanan.
Albuterol, levalbuterol, birolterol, pirbuterol, dan terburalin merupakan agen
aksi pendek yang lebih masuk karena mempunyai selektivitas B, lebih besar dan
durani aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendele (isoproterenol,
metaproterenol, dan isoetarin). Rute inhalasi lebih sedikit dibundingkan rute oral dan
parenteral dalam hal efikasi dan efek samping. Agen aksi pendek dapat digunakan
untuk gejala gejala gejala akut atau berdasarkan jadwal untuk mencegah arau gejala
gejala. Durasi aksi agonis B, aksi pendek adalah 4 hingga 6 jam.
Formoterol dan salmeterol merupakan agonis B, inhalasi aksi panjang yang
diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi selama
interval dosis. Penggunaan agen ini dilarang untuk pasien yang memperlihatkkan
kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek. Tidak satu pun obat yang
diindikasikan untuk peredaan gejala akut.
b. Antikolinergik
Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi
bronkodilatasi dengan menginhibisi reseptor kolinergik secara kompetitif pada otot
polos bronkial. Akrivitas ini niemiblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah
berhadiah guanosin monofosfat siklik (eGMP), yang umumnya mengkonstriksi otot
polos bronkial.
Ipratropium bramida memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan agonis
B, aksi pendek (15 hingga 20 menit vs 5 menit untuk albuterol). Karena alasan ini,
zatr rersebur kurang sesuai dengan penggunaan yang dibutuhkan, tetapi sering
diresepkan untuk keadaan ini AH VIGenuguan Pernafusan memiliki efek
bronkodilator yang lebih panjang dibanding agonis B, aksi pendek. Efek puncaknya
muncul pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6 jam. Dosis vang
krisis menggunakan MDI adalah 2 hirup empat kali sehari dengan peningkatan
bertahap yang sering hingga 24 hirup / hari. Zat ini juga tersedia dalam bentuk
larutan untuk nebulisasi. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut kering,
mual, dan kadang rasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak diserap baik secara
sistemik, efek sampingnya jarang terlihat (pandangan kabur, retensi urinari, mual, dan
takikardia). Tiotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Onser
terjadi dalam 30 menit dan efek puncak rercapai dalam 3 jam. Zat ini diberikan
menggunakan HandiHaler, suatu alat nafas beraktuator untuk sekali isi serbuk-kering.
Dosis yang diberikan adalah inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat
inhalasi Handihaler. Karena efeknya yang lokal, tiotropium ditoleransi dengan baik.
Efek antikolinergik lain juga dilaporkan.
c. Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik
Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis B, sering digunakan,
terutama kerika perkembangan penyakit dan gejala yang semakin memburuk seiring
waktu. Mengkombinasikan bronkodilator dengan yang berbeda membuat dosis
efektif dapat digunakan dan mengurangi efek samping dari masing-masing zat.
Kombinasi kedua agonis B. aksi pendek dan aksi panjang dengan ipratropium
menunjukkan peningkatan peredaan gejala dan fungsi paru-paru. Sediaan yang
mengandung albuterol dan ipratropium dalam MDI digunakan untuk rerapi
pemeliharaan COPD.
d. Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan
menginhibisi fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar CAMP), inhibisi
influks ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi
katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, dan inhibisi pelepasan mediator
dari sel mast dan leukosit.
Penggunaan kronik teofilin dalam COPD menunjukkan peningkatan fungsi
paru-paru, termasuk kapasitas vital dan FEV. Secara subjektif, teofilin, pengurangan
dispnea, meningkatkan toleransi terhadap latihan, dan memperbaiki kendali respirasi.
Efek nonpulmonari yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan fungsionalitas
yang lebih baik termasuk peningkatan fungsi kardiak dan penurunan tekanan arteri
pulmonari.
Metilxantin tidak lagi dipakai sebagai obat pilihan pertama dalam COPD.
Seperti bronkodilator lain dalam COPD, parameter lain, seperti objektif FEV, harus
dimonitor untuk memastikan efikasi. Parameter perbaikan yang dirasakan dalam
dispnea dan toleransi latihan fisik, merupakan hal penting dalam penilaian
penerimaan metilxantin untuk pasien COPD.
Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepuasan pasien dan mencapai
konsentrasi serum yang lebih konsisten dibandingkan sediaan teofilin lepas cepat dan
aminofilin. Perhatian, harus diwaspadai jika mengganti dari satu sediaan lepas
lambat ke yang lain karena ada variasi yang lepas lambat.
Peranan teofilin dalam COPD adalah sebagai terapi pemeliharaan pada
pasien sakit bukan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua kali sehari dan
ditingkatkan secara bertahap setiap 3 hingga 5 hari sampai target dosis; kebanyakan
pasien membutuhkan dosis harian 400 hingga 900 mg. Penyesuaian dosis sebaiknya
dibuat berdasarkan hasil konsentrasi pada serum. Rentang terapeutik dipelihara
antara 8 hingga 15 pg / mL. Hal tersebut lebih lanjut pada manula untuk mengurangi
kecenderungan toksisitas. Jika dosis telah ditetapkan, konsentrasi harus dikontrol
sekali atau dua kali salah, kecuali penyakit memburuk, ada pengobatan yang Penyakit
Paru Obstruktif Kronik mempengaruhi metabolisme teofilin, atau dicurigai terjadi
pada toksisitas.
Efek samping teofilin yang paling umum termasuk dispepsia, mual, muntah,
diare, sakit kepala, pusing, dan takikardia. Aritmia dan kejang dapat muncul,
terutama pada konsentrasi toksik.
Faktor yang dapat menurunkan klirens teofilin dan menghasilkan penu-runan
kebutuhan dosis termasuk bertambahnya umur, pneumonia karena bakteri atau virus,
gagal jantung, distungsi hati, hipoksemia dari dekompen-sasi akut, dan penggunaan
obat seperti antibiotik simetidin, makrolida, dan florokuinolon. Faktor yang dapat
meningkatkan klirens teofilin dan menyebabkan kebutuhan akan dosis yang lebih
tinggi termasuk merokok tembakau atau marijuana, hipertiroid, dan penggunaan obat
seperti fenitoin, fenobarbital, dan rifampin.
e. Kortikosteroid
Antiinflamasi dimana kortikosteroid memberikan efeknya yang
menguntungkan pada COPD termasuk penurunan permeabilitas kapiler untuk
mengurangi mukus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi
prostaglandin.
Keuntungan klinis terapi kortikosteroid sistemik pada penanganan COPD
kronik sering tidak jelas dan ada risiko toksik. Sebagai dampak, sebaiknya dihindari
jika memungkinkan.
Situasi yang sesuai untuk mempertimbangkan kortikosteroid untuk COPD
termasuk (1) penggunaan sistemik jangka pendek untuk kondisi buruk akut dan (2)
terapi inhalasi untuk COPD kronik stabil. Peranan kortikosteroid inhalasi dalam
PPOK diperdebatkan. Uji klinis besar tidak menunjukkan keuntungan penanganan
dengan kortikosteroid kronik dalam penurunan fungsi paru-paru jangka panjang.
Namun, keuntungan penting lain ditemukan pada beberapa pasien, termasuk
penurunan frekuensi dan peningkatan status kesehatan secara umum.
Penuntun hasil konsensus menyatakan terapi kortikosteroid inhalasi menurut
rekomendasi untuk pasien simptomatik pada penyakit tingkat III atau IV (FEV,
kurang dari 50%) yang mengalami keadaan memburuk berulang. Efek samping
kortikosteroid inhalasi relatif ringan dan termasuk suara parau, tenggorokan kering,
kandidiasis oral, dan memar pada kulit. Efek samping yang parah, seperti supresi
adrenal, osteoporosis, dan pemesanan katarak, lebih jarang dilaporkan dibandingkan
sistemik kortikosteroid, tetapi klinisi harus memperhatikan pasien yang menerima
terapi inhalasi dosis tinggi kronik.
Beberapa studi menunjukkan efek aditif pada kombinasi kortikosteroid
inhalasi dan bronkodilator aksi panjang. Terapi kombinasi dengan salmeterol
ditambah Hutikason atau formorerol ditambah budeson yang berkaitan dengan
peningkatan besar FEV, status kesehatan, pengurangannya frekuensi keadaan
memburuk dibandingkan penggunaan agen tunggal. Ketersediaan kombinasi inhalasi
membuat pemakaian obat menjadi nyaman dan menurunkan jumlah kebutuhan
inhalasi dalam sehari.
f. Phosphodiesterase Inhibitors
Roflumilast adalah fosfodiesterase 4 (PDE 4) yang diindikasikan untuk
mengurangi resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang berhubungan dengan
bronkitis kronis dan riwayat eksaserbasi. Dosisnya 500 mcg per oral sekali sehari,
dengan atau tanpa makanan (Dipiro dkk., 2015). Roflumilast dimetabolisme oleh
CYP3A4 dan 1A2; administrasi bersama dengan Induksi kuat CYP P450 tidak
direkomendasikan karena berpotensi untuk meningkatknan konsentrasi plasma.
Berhati-hatilah saat memberikan roflumilast dengan inhibitor CYP450 yang kuat
karena tingginya potensi efek samping. Roflumilast digunakan pada pasien dengan
PPOK berat atau sangat parah yang beresiko tinggi dan tidak dapat dikendalikan oleh
inhalasi bronkodilator. Roflumilast tidak disarankan untuk digunakan dengan teofilin
karena memiliki mekanisme yang sama (Dipiro dkk., 2015).
2.13.4 Terapi Farmakologi COPD Yang Memburuk
a. Bronkodilator
Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan akut untuk
memberikan peredaan gejala. Agonis B, aksi pendek lebih, karena onset aksi yang
cepat. antikolinergik dapat ditambahkan jika gejala bertahan meskipun dosis agonis 2,
ditingkatkan.
Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi dengan efek yang
serupa. Nebulisasi dapat dicabut untuk pasien dengan dispnea parah yang tidak dapat
menahan nafas setelah pemakaian MDI. Bukti klinis yang mendukung penggunaan
teofilin saat keadaan memburuk hampir tidak ada dan oleh industri penggunaan
teofilin sebaiknya dihindari. Teofilin dapat mempertimbangkan untuk pasien yang
tidak merespon kepada terapi lain.
b. Kortikosteroid
Hasil pengujian klinis menyarankan pasien dengan COPD yang memburuk
secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam jangka pendek.
Karena variabilitas yang besar dalam rentang dosis yang digunakan dalam pengujian,
dosis optimum dan durasi terapi tidak diketahui.
Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9 hingga 14 hari) sama efektifnya dengan
terapi jangka panjang dan risiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi terapi
lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang diturunkan sebaiknya diambil untuk
menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-adrenal.
c. Terapi Antimikroba
Meskipun kebanyakan COPD yang diperkirakan diperkirakan karena infeksi
virus atau bakteri, sebanyak 30% keparahan tidak diketahui penyebabnya. Antibiotik
paling menguntungkan dan sebaiknya dimulai jika dua gejala gejala berikut tampak:
peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan kandungan nanah
sputum. Kegunaan pewarnaan Gram sputum dan kultur dipertanyakan karena di
beberapa pasien terdapat kolonisasi bakteri kronik pada cabang bronkus di antara
keadaan eksaserbasi.
Pemilihan terapi antimikroba empirik berdasarkan organisme yang paling
mungkin. Organisme yang paling umum untuk PPOK yang memburuk adalah
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia, dan
Haemophilus parainfluenzae. Terapi sebaiknya dalam 24 jam setelah hentikan gejala
untuk mencegah pasien dibawa ke rumah sakit dan sakit selama paling tidak 7 hingga
10 hari. Pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen memberikan efek yang
sebanding.
Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang menolak adalah
makrolida (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin menciptakan kedua atau ketiga,
atau doksisilin. Trimetoprim-sulfametoksazol yang sebaiknya tidak digunakan karena
meningkatkan resistensi pneumokokus. Amoksisilin dan sefalosporin menciptakan
pertama kali tidak kerentanan dari B-laktamase. Eritromisin tidak melawan karena
insufisiensi aktivitas melawan H. influenzae.
Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana mungkin terdapat
pneumococcus resisten obat, H. influenzae dan M. catarrhalis penghásil B-laktamase,
dan organisme enterik gram negatif, terapi yang direkomen-dasikan adalah
amoksisilin/klavulanat atau fluorokuinolon dengan peningkatan aktivitas terhadap
pneumokokus (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin).
Pada keadaan semakin memburuk dengan komplikasi dimana mungkin
terdapat risiko Pseudomonas aeruginosa, terapi yang mempertimbangkan dalam
fluorokuinolon dengan peningkatan aktivitas terhadap pneumococcus dan P.
aeruginosa levoflok-sasin, gatifloksasin, moksifloksasin). Jika terapi intravena
diperlukan, penisilin resisten B-laktamase dengan aktivitas antipseudomonal atau
sefalosporin generasi keempat dengan aktivitas antipseudomonal yang sebaiknya
digunakan.
2.14 Defenisi Batuk Pilek
Batuk pilek adalah infeksi primer nasofaring dan hidung yang sering
mengenai bayi dan anak. Penyakit batuk pilek pada balita cenderung berlangsung
lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga bawah, dan
nasofaring disertai demam yang tinggi. Penyakit ini sebenarnya merupakan self
limited diseased yang sembuh sendiri 5- 6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain.
(Ngastiyah, 1997:12).
Batuk pilek adalah infeksi virus yang menyerang saluran nafas atas (hidung
sampai tenggorokan) dan menimbulkan gejala ingus meler atau hidung mampet,
batuk sering disertai demam dan sakit kepala (Arifianto, 2018:93).
Batuk dan pilek merupakan suatu respon tubuh yang diciptakan untuk
membuang benda asing, termasuk virus, bakteri, debu, lendir, dan partikel kecil lain
yang berusaha mengotori saluran nafas dimulai dari tenggorokan hingga paru-paru.
Batuk menjaga saluran nafas tetap bersih agar seseorang tidak mengalami sesak
nafas. Ingus atau lendir yang diproduksi saat seseorang mengalami batuk pilek adalah
upaya tubuh mengeluarkan benda asing, termasuk partikel virus dan bakteri dari
saluran napas atas manusia. (Arifianto,2018:92)
2.15 Etiologi Batuk Pilek
Penyebab batuk pilek hampir selalu virus. Lebih dari dua ratus virus dikenal
sebagai penyebab batuk-pilek (termasuk rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus
sinsitial pernafasan), dan diduga ada lebih dari 1.500 virus batuk pilek atau kombinasi
virus. Karena anak balita belum mempunyai banyak kesempatan untuk membangun
daya tahan tubuh terhadap virus-virus ini, maka anak balita sangat peka terhadap
batuk pilek (Einsenberg, 1998:636).
2.16 Tanda Dan Gejala Batuk Pilek
Batuk pilek ditandai dengan:
a. Hidung berair (pengeluaran bersifat cair dan bening)
b. Hidung tersumbat
c. Bersin
d. Panas tidak lebih dari 38°C (Einsenberg, 1998:635)
Batuk pilek mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit dan kadang-kadang
bersi, keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh
kokus seket menjadi kental dan purulen. Sekret ini sangat menggangu anak.
Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas dari mulut dan mengakibatkannya
gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapatkan keluhan nyeri otot dan
pusing (Ngastiyah, 1997:13).
2.17 Klasifikasi Batuk Pilek
a. Batuk pilek ringan : Bila timbul batuk tidak mengganggu tidur, dahak encer,
ingus encer berwarna bening, mata berair, panas tak begitu tinggi atau tidak
lebih dari 38°C. Batuk pilek ini berlangsung selama 5 – 6 hari (Ngastiyah,
1997:12).
b. Batuk pilek sedang: Dahak kental berwarna kuning kehijauan, ingus kental
berwarna kehijauan, panas tinggi lebih dari 38°C, tenggorokan sakit pada saat
menelan.
c. Batuk pilek berat: Panas tinggi di sertai sesak napas ngorok, stridor, kadang-
kadang disertai penurunan kesadaran (contoh: pneumonia) (Departement
kesehatan RI, 1998).
2.18 Patofisiologi Batuk Pilek
Terjadinya pembengkakan pada submukosa hidung yang disertai vasodilatasi
pembuluh darah. Terdapat infiltrasi leukosit, mula-mula sel monokleus kemudian
juga polimorfonukleus. Sel epitel superfisial banyak yang lepas dan regenerasi epitel
sel baru terjadi setelah lewat stadium akut (Ngastiyah, 2005:31).
Banyak virus yang dapat menyebabkan batuk pilek, tetapi yang paling sering
adalah rinovirus (terdapat 100 jenis rinovirus berbeda yang dapat menginfeksi
manusia, diikuti dengan respiratory sincytial virus (RSV), dan adenovirus. Virus yang
masuk ke tubuh dan menginfiltrasi saluran nafas di hidung sampai tenggorokan akan
memicu rangkaian reaksi sitem imun (pertahanan tubuh) dan bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang dialami (Arifianto, 2018 :93).
2.19 Pedoman Tatalaksana Terapi
Batuk pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus (umumnya
rhinovirus) yang bersifat akan sembuh dengan sendirinya saat virus mati karena masa
hidup virus terbatas atau disebut self limiting disease bergantung pada daya tahan
tubuhnya. Namun, karena belum ditemukan antivirus khususnya untuk rhinovirus ini,
maka hanya gejala-gejala yang muncul saja yang diobati jika dirasakan mengganggu
penderita. Jadi pengobatan hanya bersifat meringankan atau menghilangkan gejala
saja, tanpa membunuh virus penyebabnya.

2.20 Penatalaksanaan Batuk Pilek


2.20.1 Terapi Non Farmakologi
Makanan dan minuman seperti teh dengan lemon dan madu, sop ayam, dan air
daging hangat membantu meredakan pilek dan meningkatkan retensi cairan. Batuk
Pilek dapat dicegah dengan:
a. Perbanyak minum air putih
b. Menjaga pola hidup sehat, makan makanan bernutrisi
c. Istirahat cukup
d. Hindari asap rokok
e. Menjaga kebersihan
f. Menjauhi penggunaan kompor kayu yang mengotori udara karena asap dari
pembakaran kayu dapat mengurangi daya tahan anak sehingga anak mudah
terserang batuk pilek
g. Membiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang sesuatu yang telah
tersentuh oleh orang yang sedang terinfeksi batuk pilek. (Einsenberg, 1998:637).
2.20.2 Terapi Farmakologi
a. Dekongestan
Dekongestan adalah stimulan reseptor alpha-1 adrenergik. Mekanisme kerja
dekongestan (nasal decongestant) melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung
sehingga mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran hidung.
Mekanisme ini membantu membuka sumbatan hidung. Namun, dekongestan juga
dapat menyebabkan vasokonstriksi di tempat lainnya pada tubuh, sehingga
kontraindikasi bagi penderita hipertensi yang tidak terkontrol, hipertiroid serta
penderita penyakit jantung. Dekongestan bertujuan melegakan hidung tersumbat.
Untuk farmakokinetiknya, dekongestan sistemik dengan cepat dimetabolisme
oleh monoamine oxidase dan katekol-O-methyltransferase di gastrointestinal (GI)
mukosa, hati, dan jaringan lain. Contoh obat golongan dekongestan yaitu:
Pseudoefedrin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin.
Pseuodoephedrine diserap dengan baik setelah pemberian oral, penylephrine
memiliki bioavailabilitas oral rendah. Pseuodoephedrine dan penylephrine memiliki
distribusi volume besar (2,6-5 L/kg) dan durasi pendek (6 jam untuk pseudoefedrin
dan 2,5 jam untuk phenylephrine), konsentrasi puncak untuk kedua obat terjadi pada
0,5 jam sampai 2 jam setelah pemberian oral. Indikasi dari dekongestan untuk
mengurangi rasa sakit dari hidung serta untuk hidung tersumbat. Efek samping yang
ditimbulkan dekongestan seperti takikardi (frekuensi denyut janting berlebihan,
aritmia (penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan darah atau stimulasi
susunan saraf pusat.
b. Antihistamin
Antihistamin ditujukan untuk meredakan gejala bersin-bersin (Arifianto, 2018
:100). Antihistamin digunakan karena adanya efek antikolinergik, yang antara lain
dapat mengurangi sekresi mukus. Obat ini digunakan untuk mengatasi gejala bersin,
rhinorrhoea, dan mata berair. Efek samping yang paling mengganggu dari
antihistamin generasi pertama ini adalah sedasi atau mengantuk.
Mekanisme kerja antihistamin adalah antagonis reseptor H1 berikatan dengan
H1 tanpa mengaktivasi reseptor, sehingga mencegah terjadi ikatan dan kerja histamin.
Efek sedatif antihistamin tergantung dari kemampuan melewati sawar darah otak.
Kebanyakan antihistamin bersifat larut lemak dan melewati sawar otak dengan
mudah. Mengantuk adalah efek samping yang paling sering ditimbulkan oleh
antihistamin. Selain juga hilang nafsu makan, mual, muntah, dan gangguan ulu hati.
Antihistamin lebih efektif jika dimakan 1-2 jam sebelum diperkirakan terjadinya
paparan pada allergen. Beberapa antihistamin yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
antara lain: klorfeniramin maleat (CTM), Loratadin, cetirizin, promethazin,
triprolidin. Dosis CTM untuk anak umur 2-6 tahun 1 mg dan untuk anak umur 6-12
tahun 2 mg, dan triprolidin untuk anak 4-6 tahun 0,9 mg 3-4 kali sehari.
c. Analgesik dan Antipiretik
Parasetamol adalah analgesik-antipiretik yang terdapat dalam komposisi
produk obat flu untuk mengatasi nyeri dan demam yang umumnya dapat ditoleransi
dengan baik. Dosis yang dapat diberikan untuk anak 2 – 6 tahun adalah 1 – 2 sendok
teh atau 120 – 250 mg dan untuk anak 6–12 tahun di minum setiap 4 atau 6 jam.
Dengan efek samping kerusakan hati (jika digunakan jangka lama dan penggunaan
dalam dosis besar), selain itu juga dapat menimbulkan tukak lambung.
d. Antitusif
Antitusif adalah obat batuk yang digunakan untuk batuk tidak berdahak atau
batuk kering. Obat tersebut bekerja dan menaikkan ambang rangsang batuk. Ketika
batuk tidak produktif dapat ditekan dengan antitusif yang bekerja dengan menekan
sistem saraf pusat. Beberapa antitusif dapat diperoleh tanpa resep dokter diantaranya,
difenhidramin HCl dan dextrometorpan yang efektif untuk pilek. Dosis yang
diberikan pada anak usia 2 – 12 tahun, 2,5 – 5 ml, 3 – 4 kali sehari.
e. Ekspektoran dan Mukolitik
Ekspektoran umumnya diberikan untuk mempermudah pengeluaran dahak
pada batuk kering (nonproduktif) agar menjadi lebih produktif. Ekspektoran bekerja
dengan cara membasahi saluran napas sehingga mukus (dahak) menjadi lebih cair dan
mudah dikeluarkan (dibatukkan). Beberapa contoh ekspektoran yang dapat digunakan
antara lain amonium klorida, gliseril guaiakolat, dan succus liquiritiae yang
merupakan salah satu komponen dari obat batuk hitam (OBH).
Mukolitik, mirip dengan ekspektoran, diberikan untuk mempermudah
pengeluaran dahak, namun dengan mekanisme kerja yang berbeda. Mukolitik
memecahkan ikatan protein mukus, sehingga mukus menjadi cair dan mudah
dikeluarkan. Beberapa contoh mukolitik yang dapat digunakan antara lain
bromheksin, ambroxol, dan N-asetilsistein.
f. Vitamin
Suplemen yang dapat diberikan seperti vitamin C, jus lemon, teh herbal,
bioflavonoid, betakaroten. Vitamin C pada dosis tinggi (1-1,5 mg) berkhasiat
meringankan gejala, mempersingkat lamanya infeksi dan sebagai stimulan sistem
imun. Pada dosis tinggi limfosit dirangsang perbanyakan aktivitasnya sehingga
pembasmian virus berlangsung lebih cepat. Dosis yang dapat diberikan 50-75 mg.
2.21 Definisi Rhinitis Alergi
Rhinitis sebagai peradangan pada membran yang melapisi hidung, dengan
cirri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin, gatal pada hidung dan/atau postnasal
drainage. Sedangkan rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung
yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.
2.22 Klasifikasi Rhinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2.23 Etiologi Rhinitis Alergi


Etiologi rinitis alergi Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan
dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis
alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Berdasarkan cara masuknya
allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
2.24 Faktor Resiko Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi dapat dialami oleh siapa saja, tetapi ada beberapa faktor yang
diduga bisa meningkatkan risiko terjadinya rhinitis alergi. Faktor-faktor risiko
tersebut meliputi:
 Faktor keturunan, terutama jika orang tua atau saudara kandungnya juga
memiliki kondisi yang sama.
 Memiliki alergi jenis lain, misalnya asma atau dermatitis atopik.
 Sering terpapar asap rokok.
Selain faktor risiko, terdapat beberapa hal yang dapat memperparah rhinitis alergi
yang dialami, antara lain:
 Suhu dingin
 Lingkungan yang lembab
 Parfum atau deodorant
 Asap dan polusi udara
2.25 Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5,
IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
2.26 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
2.26.1 Terapi Non Farmakologi
1. Menghindari alergen yang mengganggu, terutama untuk alergen pribadi,
pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan mengurangi kelembaban
rumah tangga dari 50% dan menghilangkan pertumbuhan dengan
pemutih/desinfektan
2. Pasien yang sensitif terhadap hewan, sedapat mungkin dikeluarkan dari
rumah.
3. Mengurangi paparan debu dengan membungkus alas tidur dengan penutup
yang kedap air dan mencuci sprei.
4. Pasien dengan rhinitis alergi musiman harus menjaga agar jendela tetap
tertutup dan meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar ruangan.
5. Jangan mengkonsumsi makanan yang menimbulkan alergi.
2.26.2 Terapi Farmakologi
1) Antihistamin
Antihistamin merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin yang
digunakan adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
Pada reseptor H-1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa, sehingga efektif menghilangkan gejala rinore dan bersin akibat
dilepaskannya histamin pada rinitis alergi. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 terbukti secara klinis efektif mengurangi gejala bersin
dan rinore, tetapi mempunyai efek samping sedatif karena dapat menembus
sawar otak. Antihistamin generasi satu yaitu ctm, difenhidramin hcl.
Antihistamin generasi kedua seperti astemizol, loratadin, cetirizin, dan terfenadin
dapat menutup kelemahan antihistamin lama karena bersifat non-sedatif dan
mempunyai masa kerja yang panjang.
2) Dekongestan
Pada rinitis alergi, pengaruh berbagai mediator akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah yang menimbulkan buntu hidung. Dekongestan
merupakan obat yang bersifat agonis alfa adrenergik yang dapat berikatan
dengan reseptor alfa adrenergik yang ada di dalam mukosa rongga hidung dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka, akibatnya mengurangi
buntu hidung. Dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni
efedrin, fenil propanolamin, dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk
tetes hidung maupun semprot hidung yaitu fenileprin, efedrin, dan semua derivat
imidazolin. Penggunaan secara topikal ini lebih cepat dibanding penggunaan
sistemik.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dimana
penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut
sehingga hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala hidung buntu
yang berat. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
4) Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Ipratropium
bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat mengurangi
hidung tersumbat atau bersin.
5) Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja
belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan
mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion
kalsium dan klorida.
6) Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya
penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala
klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi
subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi dengan
menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek
preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis
mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas
akibat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga
menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi
berlebihan. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) merupakan salah satu penyakit yang ditandai dengan
adanya obstruksi aliran udara kronik di paru. Batuk pilek adalah infeksi virus yang
menyerang saluran nafas atas (hidung sampai tenggorokan) dan menimbulkan gejala
ingus meler atau hidung mampet, batuk sering disertai demam dan sakit kepala.
Rhinitis merupakan peradangan pada membran yang melapisi hidung dengan ciri
adanya sumbatan hidung, rinore, bersin dan gatal pada hidung.
3.2 Saran
Kesehatan sangatlah penting untuk diri sendiri. Jangan lupa untuk selalu
menjaga kesehatan karena penyakit bisa datang kapan saja dan dimana saja. Kita bisa
menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan yang sehat dan bergizi, hindari hal
yang membuat alergi, cukup beristirahat dan rajin berolahraga.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boies, L., Higler, P., 1997, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY, Drastyawan
B, et al. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan DokterParu Indonesia (PDPI).
Arifianto, 2018. Orangtua Cermat anak Sehat. Gagas Media. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta : LITBANG
DEPKES RI.
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Melbourne:
Cambridge University Press. 293.
Bousquet J, Van Cauwenberge P, Khaltaev N (2001). Allergic rhinitis and its impact
on asthma. J Allergy Clin Immunol; 108(Suppl.): S183–S195.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa :
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Calverley PM, Anderson JA, Celli B, et al. 2007. Salmeterol and Fluticasone
Propionate and Survival in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N engl J
Med. 356(8): 775-89.
Depkes RI. Standar Pelayanan dan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 1998.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C.V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit. McGraw-Hill Education Companies.
Inggris.
Einsenberg Dkk. 1998. Anak Dibawah Tiga Tahun. Jakarta.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2017. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, American Journal of COPD.
Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. 2006. Global Burden of COPD: Systematic
Review and Meta-analysis. EurResoir J. 2006 Sep. 28(3):523-32.
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N., 2008, Alergi Hidung dalam Buku Ajar lmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI.
Kelly, H. W., & Sorkness, C. A. 2008. Asthma. Dalam J. T. Dipiro,
Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach, Seventh Edition (hal. 463 -
490). USA: The Mc. Graw Hill Company.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Edisi 1. EGC : Jakarta.


Padila. (2015). Asuhan Keperawata Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai