Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PENGARUH AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA


A.Sejarah Agama Hindu dan Budha

Lahirnya Agama Hindhu

Perkembangan kebudayaan Hindu tidak dapat lepas dari peradaban Lembah Sungai Indus, di
India. Pada tahun 1500 SM Agama dan Kebudayaan Hindu tumbuh bersamaan dengan
kedatangan Bangsa Arya ke kota Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber.
Kedatangan bangsa Arya ini mendesak Bangsa Dravida dan Bangsa Munda yang merupakan
suku asli yang telah mendiami daerah tersebut.

Bangsa Arya mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan
kepercayaan Bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli Bangsa Dravida. Istilah
Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran Agama dan Kebudayaan Hindu Lembah
Sungai Indus/Hindustan. Dalam perkembangannya, terjadinya perpaduan antara budaya Arya,
budaya Dravida, dan budaya Munda yang kemudian disebut kebudayaan Hindu (Hinduisme).

Kitab suci agama Hindu disebut Weda (Veda), artinya pengetahuan tentang agama. Sanusi Pane
dalam bukunya Sejarah Indonesia menjelaskan tentang Weda terdiri dari 4 buah kitab, yaitu:
1. Rigweda.
Rigweda adalah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran Hindu. Rigweda merupakan kitab yang
tertua dan kemungkinan muncul pada waktu bangsa Arya masih berada di daerah Punjab.
2.Samaweda.
Samaweda adalah kitab yang berisi nyanyian-nyanyian pujaan yang wajib dilakukan ketika
upacara agama.
3.Yajurweda.
Yajurweda adalah kitab yang berisi dosa-doa yang dibacakan ketika diselenggarakan upacara
agama. Munculnya kitab ini diperkirakan ketika bangsa Arya mengusai daerah Gangga Tengah.
4.Atharwaweda.
Atharwaweda adalah kitab yang berisi doa-doa untuk menyembuhkan penyakit, doa untuk
memerangi raksasa. Doa-doa atau mantera pada kitab ini muncul setelah bangsa Arya berhasil
menguasai daerah Gangga Hilir.
Agama Hindu bersifat Politheisme, yaitu percaya terhadap banyak dewa yang masing-masing
dewa memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat.
Ada tiga dewa utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti terdiri dari Dewa Brahma (dewa
pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Siwa (dewa perusak).
Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya adalah sistem kasta. Sistem kasta
mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa-bangsa yang ditaklukkannya. Sistem ini
membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya. Ada 4 kasta dalam agama Hindu, yaitu:
1.Kasta Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama.
2.Kasta Kesatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua.
3.KastaWaisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga,
4.Kasta Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat.
Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna, dan masing2 kasta tidak dapat berubah
posisinya.

Lahirnya Agama Buddha


Agama Buddha lahir sekitar abad ke-5 SM. Agama ini lahir sebagai reaksi terhadap agama
Hindu terutama karena keberadaan kasta. Pembawa agama Buddha adalah Sidharta Gautama
(563-486 SM), seorang putra dari Raja Suddhodana dari Kerajaan Kosala di Kapilawastu. Untuk
mencari pencerahan hidup, ia meninggalkan Istana Kapilawastu dan menuju ke tengah hutan di
Bodh Gaya. Ia bertapa di bawah pohon (semacam pohon beringin) dan akhirnya mendapatkan
bodhi, yaitu semacam penerangan atau kesadaran yang sempurna. Pohon itu kemudian dikenal
dengan pohon bodhi. Sejak saat itu, Sidharta Gautama dikenal sebagai Sang Buddha, artinya
yang disinari. Peristiwa ini terjadi pada tahun 531 SM. Usia Sidharta waktu itu kurang lebih 35
tahun. Wejangan yang pertama disampaikan di Taman Rusa di Desa Sarnath.
Dalam ajaran Buddha manusia akan lahir berkali-kali (reinkarnasi). Hidup adalah samsara,
menderita, dan tidak menyenangkan. Menurut ajaran Buddha, hidup manusia adalah menderita,
disebabkan karena adanya tresna atau cinta, yaitu cinta (hasrat/nafsu) akan kehidupan.
Penderitaan dapat dihentikan, caranya adalah dengan menindas tresna melalui delapan jalan
(astawida), yakni pemandangan (ajaran) yang benar, niat atau sikap yang benar, perkataan yang
benar, tingkah laku yang benar, penghidupan (mata pencaharian) yang benar, usaha yang benar,
perhatian yang benar, dan semadi yang benar.
B. Masuknya Agama dan kebudayaan Hindhu Budha di Indonesia.
Berikut beberapa teori masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara:

1.Teori Brahmana
Teori Brahmana diungkap oleh J.C Van Leur. Dia menyatakan bahwa agama dan kebudayaan
Hindu-Buddha yang datang ke Nusantara dibawa oleh golongan Brahmana. Golongan Brahmana
adalah golongan agama/pendeta. Mereka sengaja diundang oleh penguasa di Indonesia waktu itu
untuk memimpin upacara adat. Ini didasarkan pada pengamatan terhadap sisa-sisa peninggalan
kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa
Sansekerta dan huruf Pallawa. Di India bahasa Sansakerta hanya digunakan dalam kitab suci dan
upacara keagamaan dan hanya golongan Brahmana yang mengerti dan menguasai penggunaan
bahasa tersebut.

2.Teori Kesatria
Dalam teori kesatria menyatakan jika masuk agama dan kebudayaan Hindu-Buddha ke
Nusantara dibawa oleh kasta ksatria. Karena sekitar abad ke-4 hingga abad ke-6 di India sering
terjadi peperangan. Sehingga kasta ksatria yang terdiri dari kaum bangsawan ada yang
mengalami kekalahan, kemudian melarikan diri mencari daerah baru hingga ke Nusantara. Teori
Kesatrian ini dikemukan oleh sejarawan C.C Berg.

3.Teori Waisya
Teori Waisya dikemukakan oleh Prof. Dr. N. J. Krom. Dia mengatakan jika proses masuknya
kebudayaan Hindu-Buddha melalui hubungan dagang antara India dan Nusantara. Kaum Waisya
(para pedagang) yang berdagang ke Nusantara mengikuti angin musim. Jika angin musim tidak
memungkinkan akan kembali. Saat tiba di Nusantara biasanya mereka menetap sementara waktu,
sekitar enam bulan. Selama menetap, mereka memanfaatkan untuk menyebarkan kebudayaan
Hindu-Buddha.
4.Teori Sudra
Teori ini dikemukakan oleh van Faber. Teori Sudra beranggapan bahwa agama dan kebudayaan
Hindu dibawa oleh golongan Sudra atau budak yang datang ke Indonesia untuk memperbaiki
taraf hidupnya.
Mereka menetap dan terjadilah asimilasi dan akulturasi dengan penduduk sekitar. Lambat laun
masyarakat yang pada awalnya memeluk Animisme dan Dinamisme berganti memeluk agama
Hindu atau Buddha.
5.Teori Arus Balik
Menurut F.D.K. Bosch, masyarakat Indonesia tidak hanya menerima pengetahuan agama dari
orang asing yang datang. Kebudayaan Hindu yang masuk ke Indonesia itu adalah atas inisiatif
dari bangsa Indonesia sendiri. Sebab banyak orang dari Nusantara yang sengaja datang ke India
untuk berziarah dan belajar agama Hindu-Buddha. Setelah kembali ke Nusantara mereka lalu
menyebarkan ajaran yang mereka dapatkan. Prof. Dr. Sutjipto Wiljo Suparto mengemukakan
bahwa raja-raja yang tercantum dalam prasasti bukanlah orang India, melainkan orang Indonesia
sendiri.

C. Kerajaan – kerajaan Hindhu Budha di Indonesia


1. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan hindu tertua di
Indonesia, dengan aliran agama hindu-siwa. Letaknya di Muara Kaman tepatnya pada hulu
sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Keberadaan kerajaan ini ditandai dengan adanya 7 buah prasasti, yang dinamai prasasti yupa.
Dengan palawa sebagai hurufnya,dan sansekerta sebagai bahasanya. Pendirinya adalah Raja
Kudungga. Setelah Raja Kudungga wafat, kerajaan diambil alih oleh putranya, Raja
Aswawarman. Dan setelah Raja Aswawarman wafat, kerajaan diambil alih oleh putra Raja
Aswawarman, yaitu Raja Mulawarman.

Pada sebuah prasasti Yupa abad ke-4, dikisahkan bahwa Raja Mulawarman telah
menyumbangkan 20.00 ekor sapi kepada para brahmana. Kisah ini menceritakan betapa
dermawannya seorang Raja Mulawarman, oleh karena itu, dari sekian banyak raja yang
memimpin kerajaan Kutai, Raja Mulawarman lah yang paling terkenal.

Keruntuhan kerajaan Kutai Martadipura disebabkan oleh tewasnya raja terakhir Kutai
Martadipura yang kalah memperebutan kekuasaan dari kerajaan Kutai Kartanegara di bawah
pimpinan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Awalnya Kutai Kartanegara merupakan bagian
dari kerajaan Kutai Martadipura, namun karena perbedaan kepercayaan, di mana Kutai
Kartanegara menganut kepercayaan agama islam, akhirnya perebutan kekuasaan pun terjadi
dan berakhir dengan Kutai Kartanegara sebagai pemenang.

2.Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan dengan nama asli Tarumanagara ini terletak di daerah Bekasi, Jawa Barat bagian
utara. Raja yang paling terkenal adalah raja yang ke-3, yaitu Raja Purnawarman. Keberadaan
kerajaan hindu dengan aliran hindu wisnu ini diketahui dengan ditemukannya beberapa
prasasti yang menceritakan tentang keberhasilan-keberhasilan kerajaan. Prasasti-prasasti
tersebut antara lain:

1. Prasasti Kebon Kopi, ditemukan di kebon kopi milik Jonathan Reck


2. Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Bekasi, menceritakan tentang penggalian
SungaiGomati oleh kerajaan Tarumanagara

3. Prasasti Cidanghiang, ditemukan di daerah Pandeglang


4. Prasasti Ciaruteun, ditemukan di aliran Sungai Ciampea, menggambarkan betapa
perkasanya seorang raja Purnawarman dengan telapak kaki besarnya yang terukir
di prasasti tersebut
5. Prasasti Muara Cianten, ditemukan di daerah Ciampea
6. Prasasti Jambu, ditemukan di daerah Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, ditemukan di daerah Cieteureun

Selain ditemukannya peninggalan-peninggalan berupa prasasti, ternyata ditemukan pula


peninggalan berupa candi yang dikenal dengan sebutan Candi Jiwa, letaknya di daerah
Karawang.

Selain peninggalan sejarah berupa prasasti dan candi, terdapat pula sumber-sumber sejarah
lain mengenai kerajaan ini seperti:

1. Fa hien, pada kitab Fa Kao Chi dari China


2. Dinasti Sui, tahun 528 dan 535 Masehi
3. Dinasti Tang, tahun 666 dan 669 Masehi
4. Naskah wangsakerta yang menceritakan tentang pendirian kerajaan Tarumanegara

Akhir dari kerajaan ini disebabkan oleh keinginan Tarusbawa untuk membawa kerajaan
Tarumanagara kembali ke kerajaan Sunda, namun salah satu saudara Tarusbawa yang
bernama Galuh tidak setuju jika kerajaan Taruma kembali ke kerajaan Sunda, akhirnya
Galuh pergi dari kerajaan Taruma, dan kembali datang untuk merebutnya kekuasaan kerajaan
Sunda yang awalnya adalah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, akhirnya kerajaan itu pun
diubah menjadi Kerajaan Sunda Galuh.

3.Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya lahir pada abad ke-7 Masehi dengan pendirinya yang bernama
Dapuntahyang Sri Jayanasa. Keterangan ini tertulis pada salah satu prasasti yang ditemukan di
Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka

Namun, kisah pendirian kerajaan ini merupakan salah satu bagian yang sulit dipecahkan oleh
peneliti. Sebab dalam sumber-sumber yang ditemukan tidak ada struktur genealogis yang
tersusun rapi antar raja Sriwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) menyebutkan nama Dapunta Hyang, dan prasasti
Talang Tuo (684 Masehi) memperjelasnya menjadi Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Kedua
prasasti ini adalah penjelasan tertua mengenai seseorang yang dianggap sebagai raja atau
pemimpin Sriwijaya.

Dalam Prasasti Kedukan Bukit juga menceritakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan
perjalanan dengan memimpin 20 ribu tentara dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi,
dan Bengkulu. Dalam perjalanan tersebut, ia berhasil menaklukkan daerah-daerah yang
strategis untuk perdagangan sehingga Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur.

Berdasarkan prasasti Kota (686 M) di Pulau Bangka, Sriwijaya diperkirakan telah berhasil
menguasai Sumatera bagian selatan, Bangka dan Belitung, bahkan sampai ke Lampung.
Bukti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa bahkan mencoba untuk melancarkan
ekspedisi militer menyerang Jawa yang dianggap tidak mau berbakti kepada maharaja
Sriwijaya.

Peristiwa ini terjadi pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan runtuhnya kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang bisa saja
terjadi karena serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya.

Letak pasti kerajaan ini masih banyak diperdebatkan. Namun, pendapat yang cukup populer
adalah yang dikemukakan oleh G. Coedes pada tahun 1918 bahwa pusat Sriwijaya ada di
Palembang.

Sampai dengan saat ini, Palembang masih dianggap sebagai pusat Sriwijaya. Beberapa ahli
berkesimpulan bahwa Sriwijaya yang bercorak maritim memiliki kebiasaan untuk berpindah-
pindah pusat kekuasaan.

Sebab para ahli ada yang menyimpulakan bahwa Sriwijaya berpusat di Kedah, kemudian
Muara Takus, hingga menyebut kota Jambi.

Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya bahwa struktur genealogis raja-raja Sriwijaya


banyak terputus dan hanya didukung bukti-bukti yang dianggap kurang kuat.

Berikut ini adalah nama-nama raja Kerajaan Sriwijaya yang sedikit banyak disepakati oleh
para ahli setelah masa kekuasaan Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

- Sri Indrawarman
- Raja Dharanindra
- Raja Samaratungga
- Rakai Pikatan
- Balaputradewa
- Sri Udayadityawarman
- Sri Culamaniwarman atau Cudamaniwarmadewa
- Sri Marawijayatunggawarman
- Sri Sanggramawijayatunggawarman

Raja Balaputradewa dianggap sebagai raja yang membawa Sriwijaya ke puncak


kegemilangannya pada abad ke-8 dan 9. Namun pada dasarnya, kerajaan ini mengalami masa
kekuasaan yang gemilang sampai ke generasi Sri Marawijaya.

Hal ini disebabkan raja-raja setelah Sri Marawijaya sudah disibukkan dengan peperangan
melawan Jawa pada 922 M dan 1016 M. Dilanjutkan dengan melawan Kerajaan Cola (India)
pada tahun 1017 hingga 1025 Raja Sri Sanggramawijaya berhasil ditawan.

Pada masa kekuasaan Balaputradewa sampai dengan Sri Marawijaya, Kerajaan Sriwijaya
menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan antara India dan Cina.
Selain itu, seperti yang dilansir dari buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara karya Deni
Prasetyo, mereka berhasil memperluas kekuasaannya hingga Jawa Barat, Kalimantan Barat,
Bangka, Belitung, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan.
Untuk menjaga keamanan itu, Sriwijaya membangun armada laut yang kuat. Sehingga kapal-
kapal asing yang ingin berdagang di Sriwijaya merasa aman dari gangguan perompak. Hingga
lambat laun, Sriwijaya berkembang menjadi negara maritim yang kuat.

Kebesaran Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran sejak abad ke-11. Berawal dari
serangan besar-besaran yang dilakukan oleh Raja Rajendra Coladewa dari kerajaan Cola yang
berhasil menawan salah satu raja Sriwijaya tersebut.

Dikutip dari buku Sejarah karya Nana Supriatna, kemudian pada abad ke-13, salah satu
kerajaan taklukan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, berhasil dikuasai Singasari, kerajaan dari Jawa
yang dipimpin oleh Kertanegara. Melalui Ekspedisi Pamalayu, Kertanegara berhasil menjalin
hubungan baik dengan Kerajaan Malayu.

Sementara itu, Kerajaan Sriwijaya mulai lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mencegah negara taklukannya menjalin hubungan dengan negara saingan di Jawa.

Hingga kelemahan ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Sukhodaya dari Thailand di bawah Raja
Kamheng. Wilayah Sriwijaya di Semenanjung Malaysia berhasil direbut sehingga Selat
Malaka bisa dikontrol. Akhir abad ke-14, Sriwijaya benar-benar runtuh akibat serangan
Kerajaan Majapahit dari Jawa.

4.Kerajaan Mataram Kuno


Menurut Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah, hal ini disebabkan oleh
2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan Gunung Merapi, dan karena adanya
peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di
daerah Jawa Tengah, kemudian setelah Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan
ini dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.

Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha
pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna
kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya. Setelah Raja Sanjaya meninggal,
Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran. Raja
Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai Warak
digantikan oleh Rakai Garung (Samaratungga).

Di tengah-tengah pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan


untuk menjadi penguasa tunggal sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara Dinasti Sanjaya
yang dipimpin Rakai Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang dipimpin Raja Samaratungga,
membuat cita-cita Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa terhalang.
Terjadi pertikaian antar kedua dinasti. Akhirnya pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua
dinasti melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan
Pramodawardhani dari Dinasti Syailendra.

Namun, pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani ternyata tidak


membuahkan kedamaian, malah justru membuat pertikaian antara Dinasti Sanjaya dengan
Dinasti Syailendra semakin sengit. Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil
menguasai kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa
melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk kemudian mereka menjalankan sebuah
kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan
wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan
penasehat yang juga jadi pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih ini di
antaranya adalah:

 Ratu, Datu, Sri Maharaja


 Rakryan Mahamantri I Hino
 Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan
 Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang
 Rakryan Kanuruhan

Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah
Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha
Dambhu sebagai Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil
menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa
pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah
susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I
Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I
Halu,dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis
Prasasti Balitung.

Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di
Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan
Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum
akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahan
Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino,melakukan kudeta karena merasa bahwa ia adalah
keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa digantikan oleh menantunya, Sri
Maharaja Tulodhong.

Kerajaan Mataram Kuno berakhir dengan sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa
Mahapralaya. Saat itu, Raja Teguh Dharmawangsa sedang menikahkan putrinya, dengan
Raden Wijaya. Di tengah-tengah pesta, datang pasukan kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan
kecil sekutunya, Kerajaan Wurawari. Raja Teguh Dharmawangsa tewas, sedangkan putrinya
yang sedang menikah lolos dan berhasil melarikan diri ke Madura bersama suaminya,
Raden Wijaya.

5.Kerajaan Kediri
Berdirinya Kerajaan Kediri berawal ketika Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan kecil
Wurawari berhasil meruntuhkan kerajaan Mataram Kuno lewat Peristiwa Mahapralaya.
Kekuasaan Kerajaaan Mataram Kuno diambil alih, dan nama Mataram diubah menjadi
Kediri. Kerajaan Kediri merupakan kerajaan turunan Ajiwuwari. Raja pertamanya adalah
Raja Sri Jayawarsha.
Kemudian dilanjutkan oleh Raja Bameswara. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan
Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti
Isyana. Kemudian Raja Bameswara digantikan oleh mertuanya, Jayabhaya. Pada masa
pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin
Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh.

Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil
disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti
Ngantang. Kemudian Raja Jayabhaya digantikan oleh Raja Sarweswara dari Aryyeswara.
Kemudian digantikan lagi oleh Raja Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra
menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Mataram Kuno. Setelah
Raja Gandra, Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara
ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa.

Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan. Raja
kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya,
Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha
membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana, kemudian di daerah
Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok.

Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel.
Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk
menyerbu Tumapel. Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter.
Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya. Atas kekalahan
ini, Kerajaan Kediri memang seolah-olah telah runtuh, namun ternyata, secara perlahan
kerajaan Kediri masih berdiri dibawah pimpinan Raja Jayakatwang, meskipun keberadaan
mereka di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari.

6.Kerajaan Singasari
Berdirinya Kerajaan Singasari, saling berkaitan erat dengan Kerajaan Kediri dan Majapahit.
Ketika Ken Arok menjabat sebagai prajurit di Tumapel, di Kerajaan Kediri sedang
berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana
tersebut melarikan diri ke Tumapel karena merasa lebih nyaman berada di Tumapel, akhirnya
terjadilah pertempuran antara Kerajaan Kediri dengan paukan akuwu Tumapel. Dalam
pertempuran di Ganter, Kerajaan Kediri mengalami kekalahan dan Raja Kertajaya
meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan sebagian wilayah Kerajaan Kediri dengan
Tumapel, dan mendirikan Kerajaan Singasari, dengan Tunggul Ametung sebagai rajanya.

Ken Arok bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Istri pertamanya bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji
Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Awalnya, Ken Arok hanyalah
seorang anak desa yang dilahirkan oleh seorang Ibu bernama Ken Nduk. Ia dididik oleh para
penjahat di lingkungan sekitarnya hingga dewasa, sehingga ia tumbuh dan berkembang
menjadi seorang penjahat yang suka mabuk, mencuri, dan membunuh. Pada perjalan
hidupnya, ia bekerja sebagai seorang prajurit di daerah Tumapel, dan tertarik pada Ken
Dedes, istri komandan Tunggul Ametung.

Timbul keinginan Ken Arok untuk memperistri Ken Dedes. Singkat cerita, Ken Arok
berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dibuat Mpu Gandring, kemudian ia
pun segera memperistri Ken Dedes. Setelah sekian lama, Ken Dedes akhirnya menceritakan
peristiwa pebunuhan suaminya tersebut kepada anaknya dari Tunggu Ametung, Anusapati.
Anusapati marah, dan berniat balas dendam, akhirnya Anusapati berhasil membunuh Ken
Arok dengan keris buatan Mpu Gandring yang telah digunakan Ken Arok untuk membunuh
ayah kandungnya.

Panji Tohjaya, anak kandung Ken Arok dengan Ken Umang mengetahui peristiwa
pembunuhan ayahnya yang dilakukan Tohjaya. Akhirnya dengan keris yang sama, Tohjaya
berhasil membunuh Anusapati. Ranggawuni, yang merupakan saudara dari Anusapati,
mengetahui pembunuhan yang dilakukan Tohjaya, akhirnya dengan keris yang sama,
Ranggawuni membunuh Tohjaya.Setelah kejadian bunuh membunuh berantai ini, akhirnya
naik tahta lah Raja Kertanegara sebagai raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan
Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis.

Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang
disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke
Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai Ekspedisi Pamalayu.
Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan. Peristiwa ini diabadikan
pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat).

Seorang utusan Cina bernama Meng K’i pulang ke Cina, dan menceritakan pada kaisar
Kubilai Khan bahwa Kerajaan Melayu yang awalnya menjadi incarannya telah dikuasai dan
ditaklukan oleh Kerajaan Singasari. Kaisar Kubilai Khan begitu marah, ia segera mengirim
pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari.

Mendengar wilayah kekuasaannya di bagian Sumatra akan diserang, pasukan-pasukan


Kerajaan Singasari segera dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina.
Sementara itu, Raja Jayakatwang dari Kerajaan Kediri (kerajaan yang pernah dikalahkan
Kerajaan Singasari) melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kekuasaan selagi
pasukan-pasukan Kerajaan Singasari dikirim ke Sumatra. Pada tahun 1292, Raja
Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri langsung menyerang Ibu kota Kerajaan
Singasari.

Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan
pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana, sehingga dapat dengan mudah mereka semua
dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut kembali oleh
Jayakatwang, Raja dari Kerajaan Kediri.

7.Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan hindu terakhir dan terbesar di Indonesia. Letaknya di
Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya, menantu dari Raja Teguh Dharmawangsa
(Kerajaan Mataram Kuno) yang sempat melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi
Peristiwa Mahapralaya.

Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik.Desa itu
merupakan pemberian dari Raja Jayakatwang dari Kediri atas kembalinya menantu Raja
Teguh Dharmawangsa (Raden Wijaya) dari Kerajaan Mataram Kuno yang telah lama dikuasai
Kerajaan Kediri. Raden Wijaya telah dimaafkan dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan
generasi atasnya.

Singkat cerita, pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan
20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan untuk menyerang Raja
Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan menyatakan tidak mau tunduk pada
Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa Raja Kertanegara beserta Kerajaan Singasari itu
telah meninggal dan hancur dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.

Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara
menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus
menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain
pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal
(Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.

Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra
yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik
perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani.
Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.

Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa


pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para
pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia
dapat menundukan seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam
Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22
tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja
Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan Gajah Mada diangkat sebagai Patih
Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit
mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas.

Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil
yang belum berhasil dikuasai kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam
Wuruk bersama Patih Gajah Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut, namun
ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur jatuh cinta pada putri dari Kerajaan Sunda Galuh yang
bernama Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi Dyah Pitaloka. Ia
mengundang keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh datang ke Kerajaan Majapahit untuk
menikah dengan Dyah Pitaloka.
Ketika keluarga besar dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan Majapahit, terjadi
kesalahpahaman. Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh
ingin menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih Gajah Mada segera mengeluarkan
pasukan dan membunuh semua anggota keluarga Kerajaan Sunda Galuh. Hanya Dyah
Pitaloka yang tidak dibunuh. Melihat seluruh keluarganya tewas, Dyah Pitaloka pun akhirnya
melakukan belapati (bunuh diri) pada dirinya sendiri.

Raja Hayam wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman tersebut menjadi marah,
terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh diri atas kesalah pahaman patihnya.
Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan meninggal karena sakit hati. Sejak kematian
Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan Majapahit mencapai masa kemunduran, perlahan-lahan
kekuasaan Majapahit pun runtuh. Pada salah satu versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah
Mada pergi ke sebuah gunung untuk berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah
pada rajanya.

D. Akulturasi kebudayaan Hindu Budha dan kebudayaan Indonesia

Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru, tetapi kebudayaan baru
yang terbentuk tidak kehilangan ciri khasnya.Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-
masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India
dengan kebudayaan Indonesia asli.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli
sebagai berikut.

1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi
antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan
yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagianbagian candi dan
stupa adalah unsur-unsur dari India.
Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan
unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi
tersebut.

2. Seni Rupa dan Seni Ukir

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat,
dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian
dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan
di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha.

Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan
burung merpati. Relief binatang pada Candi Borobudur Pada relief kala makara pada candi
dibuat sangat indah.
Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal
semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci,
maka sering diabadikan dengan cara di lukis.

3. Seni Sastra dan Aksara

Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada
yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi).

Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. tutur /pitutur
(kitab keagamaan), 2.kitab hukum, 3. wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata
sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata.

Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya,
Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita
Carangan. Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan
Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa).

Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari asli dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas
yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia. Di samping bentuk dan ragam
hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-
tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di
India.

4. Sistem Kepercayaan

Sejak masa pra aksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol
yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya
disertakan benda-benda.

Di antara benda-benda itu ada lukisan seorang naik perahu, ini memberikan makna bahwa
orang yang sudah meninggal rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang
membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan
sesudah mati, yakni sebagai roh halus.

Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). Setelah
masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat
pada fungsi candi.

Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, di samping
sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah
raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja
didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya.
5. Sistem Pemerintahan

Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem


pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di
suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala
suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif,
dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi,
berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian).

Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya
disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai.

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus
berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum
Hindu-Buddha. Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat
dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

Anda mungkin juga menyukai