memperoleh status sosial, kekuasaan, kepuasan, dan memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi
tidak selamanya manusia dapat bekerja. Ketika menjelang masa usia lanjut, seseorang akan
berhenti dari pekerjaannya (pensiun) dan beristirahat. Pensiun merupakan masa transisi hidup
yang ditandai dengan berhenti dari aktivitas dunia kerja disertai dengan perubahan status.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eva Diana (2006) pada
karyawan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk (2006) tercatat bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan dalam menghadapi masa pensiun.
Dimana semakin tinggi dukungan sosial maka kecemasan dalam menghadapi masa pensiun
akan semakin rendah. Seseorang yang akan menghadapi masa pensiun membutuhkan
dukungan keluarga untuk membantu mengurangi kecemasan dalam dirinya, dukungan yang
positif berhubungan dengan kurangnya kecemasan (Garmenzy dan Rutter, 1983). Pendapat
ini didukung oleh Conel (1994) menyatakan bahwa kecemasan akan rendah apabila individu
memiliki dukungan sosial. Dukungan sosial tersebut didapat diperoleh dari keluarga, teman,
dan atasan ( Kuncoro dan Sari 2009). Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan,
perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada
individu (Sarafino 2006). Keluarga yang memberikan dukungan emosional dengan
meyakinkan bahwa ia adalah individu yang berharga, disayangi dan tidak sendiri akan
membuat ia menjadi nyaman.
Mu’in dan Setyaningsih (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan
sosial yang diterima individu dengan tingkat kecemasan yang dialami dalam menghadapi masa
pensiun. Individu yang mendapatkan dukungan sosial tinggi tidak mengalami kecemasan dalam
menghadapi masa pensiunnya. Salah satu bentuk dari dukungan sosial tersebut adalah dukungan
yang berasal dari significant others yaitu istri, anak dan teman yang sangat mempengaruhi seseorang
untuk merasa siap dalam menghadapi perubahan lingkungan, aktifitas yang berbeda dan kondisi
penurunan fisik. Mutran, dkk (dalam Papalia, Sterns & Feldman, 2007) menyebutkan, dalam sebuah
studi dari 753- an pensiunan dan pekerja setengah baya (usia 58-64), status perkawinan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap sikap positif terhadap pensiun, hal ini menunjukkan bahwa
menikah dapat memberikan dukungan sosial sebagai penyeimbang dalam ketidakpastian pensiun.
Penelitian yang dilakukan Sari (2003) yang meneliti hubungan berpikir positif dengan
kecemasan menghadapi masa pensiun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan
yang negatif antara keduanya yaitu, semakin tinggi tingkat berpikir positif individu terhadap masa
pensiun maka kecemasan makin rendah, demikian sebaliknya. Individu yang berpikir positif akan
merasa bahwa setelah pensiun masih berguna, masih merasa berharga, masih berarti bagi keluarga
dan tetap dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Bagi individu yang berpikiran positif juga lebih dapat
menyesuaikan diri terhadap kejadian-kejadian yang menekan karena individu tersebut memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah secara tepat dan efektif. Oleh karena itu individu yang
berpikiran positif tentunya akan memandang masa pensiun sebagai suatu hal yang positif. Hal
tersebut akan menimbulkan sikap yang optimis dalam menghadapi datangnya masa pensiun.
Albrecht (1980) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri merupakan salah satu aspek dari
berpikir positif. Menurut Hurlock (1996) penyesuaian diri merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan muncul kecemasan dalam menghadapi masa pensiun. Individu yang mampu
menyesuaikan diri pada masa pensiun diharapkan dapat melakukan hal-hal seperti mengembangkan
hobi, mengajak cucu di akhir pekan ataupun mengikuti kursuskursus pengganti kerja (Gordon dalam
Hurlock, 1996). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif
antara penyesuaian diri terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun.
Penelitian oleh Utomo, Sekarini, dan Mudjillah (2012) pada 34 orang PNS di Solorejo yang
berusia 56-59 tahun menunjukkan adanya kecemasan pada PNS dalam menghadapi pensiun.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 26 lansia atau 76,46% mengalami kecemasan ringan, 6
lansia atau 17,64% tidak mengalami kecemasan, dan 2 lansia atau 5,88% mengalami kecemasan
sedang. Penelitian di Kanada oleh MacEwen dkk. (2001) menunjukkan bahwa ada hubungan antara
tingkat kecemasan individu yang akan memasuki masa pensiun dengan tingkat subjective well-being
individu.
Di Indonesia, penelitian Yuniar, Basoeki, dan Budiono (2006) pada PNS pra pensiun di RSUD
Dr. Soetomo menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecemasan menghadapi pensiun
dengan kesejahteraan psikologis. Sejauh penemuan peneliti, belum ditemukan penelitian mengenai
hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan life satisfaction pada pegawai negeri sipil,
khususnya di kota semarang sehingga membuat peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan
tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat subjective
well-being individu dipengaruhi oleh kecemasan menghadapi pensiun. Diasumsikan bahwa semakin
tinggi subjective well-being individu, maka semakin baik pula penyesuaian diri individu dengan masa
menjelang pensiun. Dapat diasumsikan pula bahwa semakin tinggi kecemasan individu dalam
menghadapi pensiun, maka semakin rendah subjective well-being individu tersebut, begitu juga
sebaliknya semakin rendah tingkat kecemasan individu dalam menghadapi pensiun, maka semakin
tinggi subjective well-being individu tersebut.